Berharap diperlakukan seperti seorang Putri, namun berakhir menjadi seorang petarung...
Ia masih berusia dua puluh empat tahun memutuskan untuk menikah, usai kelulusan kedua Orang Tuanya mengenalkan Irina dengan seorang pria seusianya namun sudah bergelar dokter dan bekerja di sebuah rumah sakit swasta. Pekerjaan yang begitu menjanjikan kehidupan yang layak dan bahagia.
Tanpa ada proses panjang, Irina menerima perjodohan itu. Lagi pula ia melihat Denis adalah pria yang baik dan juga sangat ramah serta bersahabat, sementara Irina yang baru saja lulus masih berusaha mencari pekerjaan untuk memulai karirnya. Tapi pasca pernikahan, Denis menyarankan untuk tidak usah bekerja, di rumah saja mengurus segala urusan rumah tangga.
Berhubung Denis sudah memiliki rumah sendiri, dengan segala fasilitas rumah tangga serta kendaraan yang memadai. Jujur saat itu Irina sedikit kecewa, karena itu berarti sekolahnya tidak ada gunanya sama sekali. Ia adalah murid yang cerdas sedari kecil, mendapat beasiswa serta lulus dengan predikat yang baik. Dan itu semua sia-sia setelah pernikahan..
Irina memandangi foto pernikahannya dengan Denis yang terpajang rapih di ruang tamu, pernikahannya sudah berjalan selama dua tahun tapi Irina tidak merasakan apapun. Ibunya dulu pernah berkata bahwa cinta akan tumbuh dengan sendirinya seiring waktu, karena kedua Orang Tuanya dulu ternyata juga dijodohkan.
Tapi mengapa Irina tidak merasa demikian?
Denis adalah seorang dokter, Irina paham. Selalu sibuk apalagi bekerja di sebuah Rumah Sakit yang selalu banyak pasien. Tapi, apakah pria itu harus secuek itu terhadap istrinya sendiri?
Denis tidak pernah mengajaknya makan malam di luar, makan malam romantis dan lebih memilih untuk menonton televisi siaran bola jika hari libur.
Bahkan, Denis tidak pernah memberinya kejutan atau sebuah kado di hari ulang tahunnya sendiri, atau hari ulang tahun pernikahan mereka. Seolah Irina tidak ada di rumah ini.
Mereka berdua juga jarang berhubungan, terkadang Irina sempat berpikir. Apakah dirinya tak semenarik itu di mata Denis?
Suara deru mobil berhenti di halaman rumah, tepat pukul sembilan malam Denis pulang bekerja mengenakan seragam dokternya. Terlihat sekali dari wajah pria itu kalau ia sedang lelah, Irina melirik ke arah jari manisnya. Di sana ada sebuah cincin bermatakan berlian melingkar indah, mengingatkannya kembali bahwa ia sudah menikah dan tetap harus patuh pada suaminya.
Irina berusaha tersenyum dan menyambut Denis yang baru saja pulang bekerja, namun sahutan pria itu hanya minta disiapkan makan malam setelah ia mandi.
Irina terdiam, begitu Denis melewatinya begitu saja. Ini adalah hari jadi pernikahan mereka, tapi Denis seolah tak acuh dan hanya gila bekerja demi sebuah promosi jabatan.
"Kau ingat hari ini hari apa?" Tanya Irina saat mereka sudah berada di meja makan menyantap makan malam, Irina sampai menunggu makan malam lewat dari jamnya hanya demi makan bersama dengan Denis dan membicarakan hal ini.
"Hari senin." Jawabnya singkat, Irina menarik nafas lalu menghembuskannya secara perlahan. Masih berusaha sabar meski kedua tangannya mengepal keras.
"Ini adalah hari ulang tahun pernikahan kita!" Ujar Irina mengingatkan.
"Oh, ya? Aku lupa." Sahutnya, dan selalu begitu. Dua tahun menikah seharusnya mereka berdua masih dalam keadaan romantis, tapi nyatanya, setelah menikah pun Irina tak mendapatkan apresiasi apapun dari suaminya sendiri.
Sekedar memuji, atau bahkan melihat ke arah Irina saja, Denis tak pernah melakukannya. Seperti tahun kemarin, momen penting di pernikahan mereka terlewat begitu saja tanpa ada yang istimewa. Di sini Irina berpikir, mengapa selalu dirinya yang berusaha mempertahankan rumah tangga yang dingin ini? Sementara Denis hanya sebagai mesin pencari uang untuk Irina.
Hari-hari seperti itu..
Denis bilang Irina harus mencari kegiatan agar tidak mudah bosan berada di rumah terus-menerus setiap hari, namun pria itu tidak mengijinkan Irina untuk mencari pekerjaan. Kegiatan macam apa? Pikir Irina.
Irina memutuskan untuk pergi berbelanja di supermarket, seperti biasa, seorang diri, tanpa Denis menemani.
Sampai tiba di kasir, Irina melihat selebaran yang ditempel dimana-mana bahkan di area parkiran hingga pepohonan sekitar. Ada sebuah perkumpulan yang dipimpin oleh seorang Psikolog untuk membantu memecahkan masalah apapun, sebuah forum diskusi tatap muka dari kalangan bawah maupun golongan atas. Jujur saja Irina sempat tertarik, lokasinya pun tak jauh dari rumahnya.
Irina sempat mengabaikan selebaran tersebut dan lebih memilih untuk membuangnya ke tempat sampah, namun saat ia melewati lokasi yang dimaksud, karena kebetulan arah rumahnya melewati lokasi tersebut. Irina melihat ada banyak kendaraan yang terparkir di sana, sebuah gedung yang sudah lama tak terpakai. Kelihatannya diperbaiki dan digunakan kembali.
Gedung yang awalnya berwarna cokelat terang, kini berubah menjadi warna hitam pekat dengan bagian pintu dan jendela dicat berwarna putih. Irina sempat bimbang, ia bahkan berhenti di pinggir jalan hanya untuk berpikir. Jika ia terus pulang ke rumah, Irina mungkin akan melewati hari-hari yang bosan seperti biasanya. Tapi, kesempatan seperti ini tidak akan ia dapati lagi.
Hingga pada akhirnya, Irina membelokan kendaraannya ke halaman parkir gedung tersebut. Ada banyak orang yang mulai memasuki gedung tersebut dan Irina pun perlahan mengikuti orang-orang tersebut, meski sedikit ragu. Ada loket pendaftaran yang ternyata tidak memungut biaya apapun alias gratis, Irina sempat bertanya-tanya dalam hati.
Mengapa seorang yang berilmu seperti seorang psikolog mau membuang-buang waktunya dengan pertemuan gratis seperti ini dan membantu banyak orang menyelesaikan masalah mereka?
Irina yang pada dasarnya adalah wanita cerdas menganggap hal ini seperti tak masuk akal, namun entah mengapa langkahnya terus hingga memasuki aula gedung.
Setelah menyelesaikan pendaftaran dengan mengisi data diri, Irina memasuki gedung yang ternyata ada banyak sekali orang di dalam sana. Mungkin ratusan, mungkin juga karena ini adalah pertemuan pertama di kota ini, pikir Irina. Tapi ada sesuatu yang aneh, ada beberapa orang yang tidak mengisi form pendaftaran dan langsung mengambil duduk di dalam sana.
Wajah orang-orang yang tidak mendaftar tadi sepertinya juga tidak seperti orang-orang pada umumnya yang kebingungan mencari tempat duduk dan bertanya-tanya apa yang akan dilakukan di gedung dengan orang sebanyak ini, mereka hanya diam, tenang dan duduk. Serta seperti menunggu kedatangan seseorang yang mungkin adalah sang psikolog, pikir Irina lagi.
Tak lama ia dan yang lainnya menunggu, kemudian datang seorang pria tua berambut putih. Naik ke atas panggung yang sudah dilengkapi mic untuk memperjelas suaranya, Irina cukup antusias mendengar apa yang akan disampaikan di tempat ini dan bagaimana cara diskusi mereka. Walau sepertinya tidak akan ada diskusi dengan orang sebanyak ini.
Namun tiba-tiba saja ponsel Irina bergetar, ada sebuah pesan masuk yang sangat jarang sekali Irina terim. Karena jujur saja semenjak ia menikah, Irina sama sekali tidak memiliki teman untuk sekedar bertukar pesan. Apalagi Denis yang sama sekali tidak pernah menghubungi ponselnya.
Ting!
"Sayang, istriku sedang tidak ada di rumah. Dia sedang pergi berbelanja, cepatlah datang ke rumah! Aku tunggu!"
Irina masih berusaha mencerna isi pesan singkat tersebut, berharap itu adalah pesan singkat dari orang lain yang salah kirim. Tapi jelas-jelas di ponselnya tertera nama Denis dan itu memang benar nomor ponselnya.
Irina sedang tidak tahu apa yang sedang terjadi saat ini, seolah tidak mempercayainya, Irina berniat untuk pulang ke rumah dan meninggalkan tempat ini.
Irina berdiri dari duduknya dan melewati banyak orang karena kursi berjejer rapih sementara Irina mengambil duduk di dekat dinding. Semua orang melihat ke arah Irina yang berdiri, itu adalah momen yang canggung sekaligus memalukan bagi Irina.
Tapi ia tak memiliki pilihan lain selain pulang sekarang juga karena ingin membuktikan pesan singkat barusan yang ia terima adalah salah, Irina langsung melajukan mobilnya setelah keluar dari gedung tersebut, tanpa ia tahu materi apa yang ingin disampaikan hari ini.
Di sepanjang perjalanan pulang dada Irina terasa berdebar kencang, tak perduli berapa kecepatan ketika ia mengendarai mobilnya. Hingga tiba di rumah, benar saja ia mendapati kendaraan Denis dan satu kendaraan lagi yang Irina tidak tahu milik siapa. Irina segera turun dari mobil hendak memasuki rumah, debaran di jantungnya semakin kencang ketika melihat ada heels tergeletak di ruang tamu lengkap dengan tas wanita.
Air mata perlahan keluar membasahi kedua pipinya namun tanpa isakan tangis, Irina berjalan pelan menuju ke arah lantai dua dimana letak kamarnya bersama dengan Denis. Dan benar saja, dari depan pintu kamar, Irina dapat mendengar dengan jelas suara desahan seorang wanita dari dalam sana.
Irina membuka pintu kamarnya sendiri yang ternyata tidak dikunci, mendapati Denis dan seorang wanita dengan ekspresi terkejut sedang bercumbu di atas meja kerja Denis dengan keadaan setengah telanjang. Denis dan wanita itu buru-buru mengenakan pakaian mereka setelah tertangkap basah oleh Irina, Irina masih berusaha untuk diam dan tetap tenang menunggu keduanya berpakaian kembali.
Setelah selesai berpakaian, wanita yang sama sekali tidak Irina kenal itu melewati Irina begitu saja sembari melirik ke arah Irina dengan tatapan sinis. Irina yang tidak perduli hanya mengabaikan wanita tersebut dan membiarkannya pergi, sementara Denis berhutang penjelasan kepada Irina atas apa yang telah terjadi hari ini.
Beruntung Irina tak berlama-lama menunggu materi dari Psikolog tadi, dan beruntung Denis mengirim sebuah pesan yang mungkin sebenarnya akan ditujukan kepada wanita tadi.
Hingga pada akhirnya, Irina mengetahui mengapa Denis selalu mengacuhkan Irina selama ini.
"Lalu mengapa kau menikahiku?" Tanya Irina dengan nada santai, masih berusaha setenang mungkin.
Saat ini mereka berdua sudah berada di ruang keluarga, hanya berdua, berbicara empat mata setelah dua tahun bersama, tidak ada pembicaraan yang serius seperti ini.
"Ibuku menjdohkanku denganmu, aku tidak ingin mengecewakan Ibuku!" Jawabnya, namun nada bicara Denis seperti tertahan dan terdengar canggung.
Irina sebenarnya tidak perduli hal itu benar atau tidak, namun pada kenyataannya Denis tak memungkiri bahwa dia selingkuh.
"Kalau begitu aku ingin bercerai!" Kata Irina dengan tegas, Denis menatap Irina sebentar lalu mengangguk menyetujui hal itu. Dan hal itu terdengar aneh bagi Irina, katanya pria itu tak ingin mengecewakan Ibunya, tapi ia malah menyetujui perceraian.
"Baiklah, akan aku urus semuanya. Biar aku yang menanggung semuanya karena ini adalah kesalahanku." Kata Denis, keringat mulai keluar dari dahi dan pelipis Denis. Hal yang tak biasa terjadi pada seodang dokter seperti Denis, tapi Irina tak mau lagi menghiraukan hal seperti itu. Karena ia merasa sudah dibohongi sekarang ini.
Singkat cerita hari persidangan terakhir pun terjadi, suara ketukan palu menandakan bahwa ia dan Denis resmi bercerai dihadiri langsung oleh kedua Orang Tua Irina dan juga Orang Tua Denis. Ibu Irina menangis setelah putusan perceraian itu, tapi tidak dengan Irina yang menganggap hal itu adalah sebuah kebebasan untuknya.
Irina bisa mencari pekerjaan dan memulai kembali karirnya yang sempat tertunda dulu, Denis memberikan rumah yang mereka tinggali bersama selama dua tahun beserta dengan isinya, dan juga mobil yang dipakai Irina sehari-hari, sebagai rasa permintaan maaf kepada Irina. Sebenarnya Irina tak memerlukan semua hal itu, namun saat ini ia tak ingin kembali ke rumah kedua Orang Tuanya yang jauh dari kota ini.
Karena Irina masih ingin mengikuti forum diskusi yang ada di kota ini..
Kedua Orang Tua Irina berusaha menghibur wanita itu dengan menginap di rumahnya selama beberapa hari, sudah Irina katakan bahwa ia tidak apa-apa dan baik-baik saja setelah perceraian ini.
Tapi kedua Orang Tuanya tetap ingin bersama dengan Irina karena khawatir dengan keadaan anaknya, padahal ini adalah waktu luang bagi Irina untuk mengikuti forum diskusi di gedung tadi. Jadilah Irina mengurungkan niatnya untuk pergi mendatangi gedung itu lagi dan hanya bisa terdiam di rumah saja.
"Aku ingin bekerja, Ibu, Ayah!" Ujar Irina saat mereka bertiga makan malam bersama.
"Aku ingin memiliki hidupku sendiri dan memutuskan apapun yang aku ingin lakukan!" Tambahnya, mengerti dengan kondisi Irina yang baru saja bercerai, yang membuktikan pernikahannya yang gagal adalah salah satu kesalahan Orang Tuanya dan kedua Orang Tuanya mengakui hal itu.
"Baiklah, bekerjalah jika kau ingin! Mulai karirmu dengan baik! Kau pantas mendapatkannya setelah kejadian ini." Sahut Ayahnya.
Ayahnya itu selalu mendukung Irina sejak kecil, karena Irina adalah anak yang cerdas dan juga berprestasi. Namun entah mengapa dua tahun yang lalu tiba-tiba Ayahnya mengusulkan sebuah perjodohan yang berakhir perceraian seperti ini.
Di hari-hari setelah perceraia, Irina sebenarnya tak terlalu memikirkan hal itu. Namun saat ia selalu melewati gedung yang setiap hari selalu ramai tersebut, membuat Irina ingin segera mendatangi tempat itu. Namun ia masih menunggu hingga kedua Orang Tuanya pulang sambil Irina mencari pekerjaan yang ada di kota itu.
"Mengapa tidak pulang ke rumah saja? Rumah ini bisa kau sewakan dan kau bisa mencari pekerjaan di sana." Kata Ibunya berusaha membujuk Irina, entah mengapa ada perasaan tidak enak pada Ibu Irina ketika harus meninggalkan Irina sendirian di kota ini.
"Entahlah, Bu. Sepertinya aku betah tinggal di kota ini." Sahut Irina yang sepertinya sudah sangat berantusias dengan forum diskusi itu.