Chereads / The Man from The Cult / Chapter 1 - Prologue (little girl)

The Man from The Cult

Irma_Hndy
  • --
    chs / week
  • --
    NOT RATINGS
  • 1.6k
    Views
Synopsis

Chapter 1 - Prologue (little girl)

Irina masih berusia delapan tahun saat itu..

Tinggal di sebuah perumahan yang mana para tetangganya sangat ramah, bersepeda di sore hari bersama teman-teman sebayanya. Mengenakan dress berwarna putih dengan motif bunga-bunga di bagian bawahnya, rambut pirang lurus dihiasi dengan bando bermotif bunga-bunga senada dengan dress yang ia kenakan.

Beberapa orang dewasa melakukan aktivitasnya di sore hari seperti bersepeda atau pun lari sore, bercengkrama sesama tetangga, atau bahkan makan-makan bersama di halaman rumah. Semua orang terlihat bahagia dan ramah, tapi tidak dengan satu rumah yang selalu tertutup seolah tak berpenghuni. Rumah itu tepat berada di samping rumah Irina. Irina pun terkadang bertanya-tanya, apa masih ada orang yang tinggal di rumah itu atau tidak?

Namun terkadang Irina melihat seorang wanita dengan anak lelakinya keluar menunggunakan mobil, hanya berdua, tidak ada Ayah maupun Adik atau Kakak. Hanya seorang Ibu dan anak laki-laki yang lumayan tinggi, yang usianya sekitar beberapa tahun di atas Irina.

Sesekali Irina menoleh ke rumah itu dan mendapati pemilik rumah yaitu seorang wanita yang memiliki anak laki-laki tadi, tapi tatapannya kepada Irina terlihat datar dan cenderung mengerikan. Sampai-sampai Irina tak berani lagi menoleh ke rumah itu, hingga saat ini. Tiba-tiba terdengar suara Ibu Irina memanggil dari kejauhan, Irina segera melajukan sepedanya cukup kencang melihat sang Ibu sudah masuk kembali ke dalam rumah.

Biasanya sang Ibu akan meminta bantuan Irina untuk mengerjakan pekerjaan rumah jika ada panggilan seperti ini, saking lajunya ia mengayuh sepedanya. Sampai-sampai Irina kehilangan kendali dan tak sempat menarik rem tangan, hingga menabrak lampu jalanan yang tepat berada di depan rumah Irina.

Irina tidak menangis, hanya terduduk diam setelah jatuh dari sepeda melihat lutut dan kakinya terdapat luka gesekan terkena aspal. Gadis kecil itu hanya mendesah mengetahui Ibunya akan mengomel karena ia tak berhati-hati, Irina berusaha bangkit meski terasa sakit di kakinya sembari mendorong sepedanya.

Namun sebuah bayangan membuat Irina berhenti dan menoleh ke arah kanan, dimana ada rumah selalu tertutup itu. Irina terkejut, anak laki-laki yang sering keluar bersama Ibunya berdiri tak jauh dari Irina. Lelaki itu berdiri di rumput halamannya, tepatnya di ujung rumput yang berbatasan dengan rumput halaman rumah Irina.

Seolah lelaki itu tak ingin keluar dari zona rumahnya..

Lelaki itu hanya berdiri memerhatikan Irina, Irina yang bingung hanya bisa terdiam tepat di tempatnya berdiri saat ini memegang sepedanya. Tidak seperti tetangga lainnya yang akan membantu ketika Irina terjatuh dari sepeda, lelaki itu hanya diam.

Berdiri di sana layaknya sebuah patung, mengenakan setelan serba hitam dengan rambut hitam legam yang ditata serapih mungkin. Seakan-akan ia baru saja pulang dari acara resmi seperti sebuah pemakaman.

Tapi tak heran, wanita pemilik rumah dan anak laki-lakinya itu memang selalu mengenakan setelan berwarna hitam. Seperti, mereka berkabung di setiap harinya.

Irina tak ingin berlama-lama berdiri di sana dan melihat orang aneh, karena Ibunya di dalam sana pasti menunggunya. Tapi baru beberapa langkah berjalan, tiba-tiba suara lelaki itu mulai terdengar. Untuk pertama kalinya, setelah beberapa tahun terakhir, semenjak Irina dan kedua Orang Tuanya pindah ke rumah ini. Irina mendengar suara anak laki-laki itu..

"Kau Irina?" Tanya anak laki-laki itu, ekspresinya hanya datar. Seperti tak ingin mengajak bermain tapi hanya sekedar bertanya, namun arah badan anak lelaki itu mengikuti Irina. Seperti ingin mengajak Irina berbicara atau bercengkrama, batin Irina mungkin anak lelaki itu ingin mencoba berteman dengannya.

Dengan senang hati Irina akan melakukannya, karena sedari kecil gadis itu selalu dididik dengan baik oleh kedua Orang Tuanya. Bagaimana memperlakukan orang lain dengan baik, bagaimana berlaku baik pada sekitar, tanpa membedakan siapapun yang ada di hadapannya.

"Ya, bagaimana kau tahu namaku?" Balas Irina, terlihat ada gurat senyuman di bibir lelaki itu.

Seolah begitu senang mendapat tanggapan dari Irina dan mendengar suara merdu dari gadis kecil itu.

"Hanya tahu saja." Balasnya singkat, Irina meletakan sepedanya di atas rumput halaman rumah. Berjalan menuju lelaki itu yang sepertinya sudah bisa membuka diri dengan orang lain, pikir Irina begitu.

"Berapa usiamu?" Tanya Irina, berhenti tepat di hadapan pria yang tingginya melebihi Irina. Dengan alis tajam yang tebal dan kedua netra sebiru laut, indah, namun terasa misterius.

"Lima belas." Jawab lelaki itu, lima belas tahun rasanya tidak mungkin untuk bermain sepeda bersama dengan Irina. Pikir gadis itu lagi.

"Kau?" Lelaki itu balik bertanya.

"Delapan." Jawab Irina, lelaki itu mengangguk.

Irina ingin sekali bertanya mengapa mereka selalu menutup diri, namun ia takut untuk bertanya hal-hal yang tidak sopan dan bersifat pribadi seperti itu karena kedua Orang Tuanya mendidiknya demikian. Jadi hanya ada momen yang canggung di antara mereka berdua ketika beberapa detik berlalu dengan kediaman.

"Ini untukmu!" Tiba-tiba lelaki itu menyodorkan sekuntum bunga mawar, berwarna merah, lengkap dengan tangkainya yang masih berduri. Diberi bunga secara tiba-tiba tentu saja membuat Irina terkejut, perlahan jemari mungilnya mengambil bunga mawar tersebut dan berterimakasih kepada lelaki itu.

"Terimakasih." Ucap Irina, laki-laki itu hanya mengangguk.

"Apa cita-citamu?" Tanya lelaki itu kepada Irina, ditanya seperti itu membuat Irina berpikir sembari memutar kedua bola matanya ke atas.

"Mungkin, menjadi seorang putri." Kata Irina sembari bercanda, mereka berdua tahu bahwa itu bukan sebuah cita-cita yang nyata melainkan hanya sebuah khayalan belaka. Namun jawaban Irina ternyata mampu membuatnya tertawa dan lelaki itu tersenyum seolah ingin tertawa juga.

"Ku harap cita-citamu tercapai, tapi jika kau tidak diperlakukan sebagai seorang Putri. Kelak kau bisa mendatangiku." Kata Lelaki itu, Irina yang masih belia menganggap hal itu juga sebagai khayalan semata. Irina hanya mengangguk meng-iyakan tanpa tahu bahwa Lelaki itu menganggapnya serius.

"Kalau kau, bagaimana dengan cita-citamu?" Irina balik bertanya.

"Aku tidak punya cita-cita, semua sudah diatur oleh Ibuku." Jawabnya, Irina bingung. Tak heran jika mereka selalu pergi kemana pun berdua, ternyata Lelaki itu selalu diatur oleh Ibunya dan pantas saja ia tak pernah keluar bermain dengan anak lelaki seusianya.

"Apa kau tahu cita-cita Ibumu untukmu?" Tanya Irina berusaha membuat lelaki itu tak berkecil hati karena tak memiliki cita-cita.

"Ya. Ibuku ingin aku menghancurkan tatanan dunia, menghilangkan keyakinan manusia dan menjerumuskan manusia dalam kesesatan!" Jawabnya dengan nada tegas, seketika Irina terdiam.

Sungguh, di sekolah maupun di rumah, Irina tak pernah diajarkan seperti itu. Sontak Irina memundurkan langkahnya satu langkah dari lelaki itu.

"Ku harap cita-citamu terwujud, kau lebih dari pantas menjadi seorang Putri!" Ujar lelaki itu, nada bicara lelaki itu sangatlah menenangkan dengan sedikit senyuman di bibirnya. Padahal, Irina sempat takut padanya dengan jawaban tentang cita-citanya yang mengerikan tadi.

Irina sempat berpikir, mungkin itu hanya sebuah guyonan. Irina berusaha berpikir positif apalagi terhadap orang-orang yang baru dikenalnya, karena semua orang memiliki rasa humor yang berbeda-beda.

"Noah!!!" Teriakan yang seperti bentakan membuat Irina terkejut, dari belakang yang tak jauh dari lelaki itu, berdiri si wanita pemilik rumah. Yang tak lain ada Ibu dari lelaki yang belum Irina ketahui namanya itu.

Lelaki itu berbalik badan, melihat Ibunya sudah memasukan beberapa koper ke dalam bagasi mobil seakan mereka akan pergi.

Lelaki itu berbalik badan kembali ke arah Irina dengan raut wajah yang sedikit kesal tapi tak mengurangi ekspresi datarnya.

"Aku dan Ibuku akan pindah!" Katanya, tak kalah mengejutkan dari seruan wanita itu. Baru saja mereka bertemu dan bersapa setelah beberapa lama tak pernah berbicara satu sama lain. Dan sekarang lelaki itu akan pindah.

"Kemana?" Tanya Irina penasaran, berharap suatu saat mereka bisa bertemu kembali.

"Aku tidak tahu." Jawabnya singkat.

"Apa kita bisa bertemu lagi?" Tanya Irina lagi.

"Mungkin, setelah kau menjadi seorang Putri." Jawab lelaki itu, yang membuat gelak tawa di bibir Irina. Memperlihatkan deretan giginya yang putih di sela bibirnya yang merekah berwarna peach.

"Baiklah, sampai jumpa lagi!" Irina melambaikan tangannya.

Lelaki itu lalu berbalik badan menuju ke arah Ibunya, Irina sempat lupa menanyakan namanya. Namun lelaki itu sudah cukup jauh darinya dan Irina tak ingin membuat wanita itu marah, terlihat sekali jika wanita itu memandang Irina seolah tak suka padanya.

"Sudah Ibu bilang jangan berbicara dengan orang lain!" Terdengar suara wanita itu kepada anaknya yang masih dapat Irina dengar.

Irina melihat beberapa kotak kardus juga dimasukan ke dalam jok mobik bagian belakang, sepertinya mereka akan benar-benar pindah dari sini. Padahal Irina baru saja mendapat teman baru, tapi dia pergi begitu cepat tanpa Irina tahu namanya.

Saat kendaraan wanita itu mulai meninggalkan halaman rumahnya, tiba-tiba salah satu jemari Irina terluka karena terkena duri dari tangkai bunga mawar merah yang diberikan oleh lelaki itu.

"Ah!" Irina meringis menahan sakit dan saat itu juga mawar merah itu jatuh ke atas rumput bersamaan dengan setetes darah yang keluar dari jari Irina.

Melihat jarinya berdarah cukup banyak, lagi-lagi tak membuat Irina merasa heboh. Memang terasa sakit namun ia hanya memerhatikan darah segar yang keluar dari jari telunjuknya lalu memungut tangkai mawar merah itu kembali dari atas rumput, dan seketika itu juga kendaraan yang ditumpangi lelaki tadi, sudah tak terlihat lagi dari pandangan Irina. Lelaki itu sudah pergi jauh...

Irina kembali ke sepedanya dan membawanya ke garasi. Memasuki dapur lalu mencuci tangannya sembari meletakan setangkai mawar tadi di pinggiran wetafel, terlihat Ibunya sedang sibuk di dapur mempersiapkan makan malam.

"Lama sekali!" Ujar Ibunya yang tak melihat keadaan Irina yang terluka di bagian lutut dan kaki.

Irina duduk di kursi makan sembari memegangi jari dan lututnya yang berdarah, Ibu Irina yang menyadari kediaman Irina, menoleh ke arah anak perempuannya itu. Dan betapa terkejutnya ia, saat melihat jari dan lutut Irina terluka.

"Astaga! Apa kau jatuh lagi dari sepeda?" Ibu Irina segera mengambil kotak P3K dari dalam lemari dan mengobati luka anaknya.

Irina berkata kepada Ibunya bahwa ia terjatuh dari sepeda, meskipun luka yang ada di jarinya sebenarnya bukan karena terjatuh dari sepeda. Hanya tak ingin Ibunya membuang bunga mawar merah itu jika Ibunya tahu yang membuatnya terluka adalah mawar merah itu.

"Sudah, lain kali hati-hati!" Kata Ibunya selesai memberikan plester di lutut, kaki serta jari telunjuk Irina. Gadis kecil itu mengangguk seraya tersenyum, kemudian membantu Ibunya menyiapkan makan malam sambil menunggu Ayahnya pulang bekerja. Dan benar saja, setelah senja Ayahnya pulang dengan membawa makanan kecil di dalam sebuah kantung.

"Ada ribut-ribut apa di rumah sebelah?" Tanya Ayahnya yang melepas jas lalu menaruh koper kerjanya ke atas meja.

"Sepertinya penggerebekan." Sahut Ibu Irina yang sontak membuat Irina terkejut, ia baru saja ingin menyuap makanannya ke dalam mulut.

"Jadi berita itu benar? Bahwa mereka menganut ajaran sesat?" Tanya Ayah Irina, Ibu Irina terlihat menaikan bahunya.

"Entahlah! Tapi pasti ada alasan mengapa mereka begitu tertutup, kita tunggu saja beritanya besok pagi!" Tukas Ibu Irina, Irina yang hanya anak kecil tak berani bertanya lebih lanjut mengenai hal itu. Tapi Irina juga bukan gadis kecil yang bodoh, ia tahu apa itu sesat dan penggerebekan. Seketika ia teringat akan perkataan lelaki itu di sore hari tadi.

Menghancurkan tatanan dunia, menghilangkan keyakinan manusia,

Menjerumuskan manusia ke dalam kesesatan...

Tentu saja Irina tak berani menceritakan hal itu kepada kedua Orang Tuanya dan lebih memilih untuk diam sembari memerhatikan setangkai mawar merah yang masih ada di pinggiran westafel. Dan entah mengapa, nafas Irina terasa berat saat melihatnya.

"Aku pernah mendengar suara jeritan wanita tepat di tengah malam saat aku terbangun ingin buang air kecil." Kata Ayah Irina bercerita seolah Irina tidak ada di meja makan bersama dengan mereka.

"Benarkah? Aku kira hanya aku yang mendengarnya." Sahut Ibu Irina.

"Kau juga? Ku kira aku bermimpi, tapi setelah melihat ke arah jendela luar. Rumah sebelah seketika bersinar terang dengan lampu berwarna merah gelap.."

"...diiringi dengan suara-suara tidak jelas namun suara jeritan wanita itu terdengar begitu jelas sekali. Aku ingin menolongnya, tapi tiba-tiba ada seekor gagak menabrak jendela rumah kita..."

"...namun saat pagi hari ingin membersihkannya, ternyata tidak ada burung gagak di bawah jendela luar. Bahkan tidak ada bekas di kaca jendela. Aneh bukan?" Jelas Ayah Irina panjang lebar, Irina di situ masih mendengarkan dengan teliti.

"Hah, syukurlah mereka sudah pindah. Bahkan sebelum penggerebekan, mereka sudah banyak membuat tetangga sekitar menjadi tidak nyaman, dan juga mereka terlihat mengerikan." Sahut Ibu Irina sembari menyantap makan malamnya.

Irina hanya terdiam berusaha mencerna semua hal yang terjadi hari ini, hidupnya terasa begitu ceria meski ada rumah misterius yang diisi oleh tetangga misterius tepat di sebelah rumahnya. Tapi Irina tak mengira akan semengerikan seperti ini.