Lucian berjalan perlahan melewati hutan yang gelap, sendirian seperti biasa. Ia tak pernah peduli dengan hal-hal kecil seperti membuat tim dalam latihan.
Baginya, kemampuan individunya sudah cukup. Tiba-tiba, matanya menangkap sesuatu di tanah—sosok yang tergeletak tak berdaya. Dia mendekat, dan saat melihat wajah orang itu, Lucian terkejut.
"Oi, bangun!" panggil Lucian dengan nada tegas, tetapi tidak ada respon. "Oi." Kali ini lebih keras, hingga akhirnya terdengar gumaman pelan dari orang yang tergeletak itu.
Aric perlahan membuka matanya. Pandangannya masih kabur, tapi saat fokusnya kembali, ia mengenali wajah di depannya. "Lu-Lucian?!"
Refleks, Aric buru-buru mendorong tubuhnya ke belakang, berusaha menjauh dari Lucian. Namun, ia malah terbentur pohon yang ada di belakangnya. "Awwh..." keluh Aric sambil memegangi kepalanya dengan kedua tangan. Lucian hanya mengamati, masih jongkok di sampingnya. Ia tahu Aric ketakutan, dan itu bukan hal yang baru baginya.
Lucian akhirnya berdiri, memutuskan bahwa sebaiknya ia pergi saja. Ia memikirkan untuk memberi tahu orang lain tentang kondisi Aric. Namun, baru saja ia berbalik untuk pergi, terdengar suara pelan yang lemah, "To-tolong..."
Lucian menghentikan langkahnya, lalu berbalik. Dia melihat Aric yang berusaha menggapai sesuatu dengan tangannya. Lucian menghela napas panjang, kembali mendekati Aric, dan kali ini mengulurkan tangannya.
Aric segera menggenggam tangan itu, berusaha bangkit dengan bantuan Lucian. Tapi begitu berhasil berdiri, tubuh Aric langsung lunglai lagi, ambruk ke pelukan Lucian karena pergelangan kakinya yang terluka.
"Ma-maaf," gumam Aric dengan wajah penuh rasa malu. Lucian hanya mendesah panjang, merasa ini lebih merepotkan dari yang ia harapkan. "Bentar," jawab Lucian singkat. Dia lalu berbalik dan jongkok, memperlihatkan punggung lebarnya kepada Aric.
"Naik," kata Lucian, dengan nada datar namun tegas. Aric terkejut sejenak, tapi akhirnya menurut. "A-ah, iya," jawab Aric canggung, lalu mengalungkan tangannya ke leher Lucian dan kaki di pinggangnya. "Makasih," ucapnya pelan.
"Hm," gumam Lucian tanpa banyak bicara. Ia pun mulai berjalan menuju Sanctum, membawa Aric di punggungnya, dengan langkah tenang namun pasti, meninggalkan kegelapan hutan yang semakin mencekam.
"Ternyata orang ini ga busuk-busuk amat," gumam Aric dengan suara pelan, berharap Lucian tidak mendengarnya.
"Hm?" Lucian bertanya, sedikit mengerutkan kening dan berhenti sejenak, seolah mencoba menangkap kata-kata yang mungkin terlewat.
"Ah-ngga, ngga papa," jawab Aric cepat, berusaha menyembunyikan rasa canggungnya.
Lucian mengangkat bahu, tidak benar-benar memedulikan gumaman Aric. Dia hanya fokus pada langkahnya, memastikan bahwa Aric tetap nyaman di punggungnya.
Dalam perjalanan mereka, suasana menjadi lebih tenang, dengan suara langkah kaki Lucian yang monoton menjadi satu-satunya hal yang mengisi kesunyian.
Akhirnya, mereka tiba di luar hutan, dan penampakan Sanctum semakin jelas. Lucian merasa sedikit lega saat melihat lampu-lampu yang terang dari jauh, menandakan bahwa mereka hampir sampai.
Saat mereka mendekati pintu gerbang Sanctum, para petinggi yang sudah menunggu dengan cemas melihat kedatangan mereka. Lady Elara, yang telah memimpin pencarian, segera melangkah maju dan menghampiri mereka.
"Lucian!" serunya, tampak lega saat melihat sosok yang dia cari. "Aric, bagaimana keadaanmu?"
"Aman, Lady, Hehe..." Jawabnya sambil tertawa kecil. "Apa yang lain sudah di Sanctum Lady?"
"Baguslah, semua sudah ada, tapi..." Lady Elara menghentikan perkataannya sejenak, "Apakah Kairos tidak bersamamu?"
"Hah? Kairos belum ditemuin?" Aric terlihat panik dan khawatir. "Aku... aku harus mencari dia! Dia pasti masih di hutan!"
"Sudahlah, kau istirahat dulu di dalam, yang lain masih berusaha mencarinya di hutan." Kata Lady Elara.
Wajah Aric terlihat pasrah, ia ingin sekali membantu untuk mencari sahabatnya itu, tapi ia sendiri masih terluka cukup parah. Ia hanya bisa mendengarkan perkataan Lady Elara lalu masuk ke dalam Sanctum.
Lady Elara : "Hahh...Kemana anak itu pergi..."
---To Be Continued...