Chereads / Terra Vespera 18+ (BL) / Chapter 3 - Chapter 2. Obsidian.

Chapter 3 - Chapter 2. Obsidian.

"Kai," panggil Aric pelan, mencoba menarik perhatian sahabatnya yang tampak masih tenggelam dalam pikirannya.

"Apa lagi?" Kairos menoleh dengan malas, matanya sedikit mengerut.

Aric mengangkat alisnya, masih terlihat penasaran. "Tadi cahayanya silau banget, men. Serius dah, masa lu cuma Specter? Apa jangan-jangan batunya rusak?"

Kairos menghela napas panjang, lalu mengangkat bahunya. "Ntahlah, jujur gua juga heran. Tapi ya... emang kenyataannya gitu," jawabnya dengan nada pasrah, meskipun di dalam hatinya ia masih mencoba memahami apa yang sebenarnya terjadi. 

Batu Altherion seharusnya tidak bisa salah—setiap cahaya yang muncul adalah refleksi dari kekuatan magis sejati seseorang.

Aric hanya mengangguk-anggukkan kepalanya, tampak berpikir sejenak, tapi tidak mengatakan apa-apa lagi.

Sementara itu, ujian terus berlangsung. Nama-nama lain dipanggil satu per satu, setiap orang maju dengan berbagai tingkat kecemasan dan harapan. 

Cahaya Batu Altherion menyala dan padam dengan cepat setiap kali tangan menyentuh permukaannya. Beberapa pasukan terlihat puas dengan hasil mereka, sebagian besar berada di kelas Raven —tingkatan kedua dalam hierarki Eldritch. Ada juga yang mencapai Tempest.

Pasukan yang berkumpul di sini adalah calon-calon terbaik yang dipersiapkan untuk menjadi kekuatan tempur di tahun ajaran baru. 

Mereka sudah melewati seleksi pengetahuan maupun fisik. Mereka adalah generasi penerus dalam pertempuran melawan makhluk-makhluk bawah tanah, dan kebanyakan dari mereka telah dilatih sejak kecil untuk mencapai tingkatan magis tertentu. 

Tempest dianggap sebagai standar kekuatan yang kuat, dan kebanyakan pasukan berharap bisa mencapainya, jika tidak lebih tinggi.

Aric melirik ke arah pasukan yang terus maju satu per satu. "Lihat tuh, kebanyakan orang - orang masih di Raven." kata Aric, mencoba mengalihkan percakapan.

Kairos hanya mengangguk pelan. "Iya."

Aric mendengus kesal sambil melipat tangan di dadanya. "Ck, kapan gua dipanggil dah? Lama bener." Wajahnya sudah memperlihatkan tanda-tanda kejenuhan.

Kairos, yang berdiri di sampingnya, hanya menggelengkan kepala sambil tertawa kecil. "Sabar broo, lu ga liat ini orangnya banyak banget?"

Aric menghela napas panjang, mencoba menahan rasa kesalnya. "Iya sih, tapi gua ga tahan nunggunya. Gua mau cepat-cepat tahu hasilnya," katanya dengan suara rendah, tapi jelas terdengar frustasi.

Tiba-tiba, suasana di ruangan itu berubah drastis. Salah seorang guru yang berdiri di samping Batu Altherion berseru keras, suaranya menggema di seluruh aula. "Obsidian!" teriaknya.

Seketika, keheningan menelan seluruh aula. Semua pasukan yang hadir terdiam, tatapan mereka tertuju ke arah Batu Altherion. Beberapa detik kemudian, bisik-bisik mulai terdengar di antara barisan pasukan.

"Hah? Obsidian?" tanya salah satu dari mereka, terlihat tidak percaya.

"Gila keren... Obsidian..." bisik pasukan lainnya, suara kekaguman mulai menyebar di seluruh ruangan. Obsidian, tingkatan magis yang nyaris tak tersentuh, hanya sedikit orang yang pernah mencapainya.

Kairos yang berdiri di samping Aric langsung menoleh dengan mata membelalak. "Wahh... itu siapa ya?" tanyanya penuh kekaguman.

Aric, yang tampak tidak terlalu terkejut, menjawab dengan nada biasa. "Lu gatau? Itu Lucian. Anak Sir. Louran, salah satu dari 12 petinggi Sanctum."

"Serius? Wah... pantesan," gumam Kairos, kagum dengan keturunan keluarga Sanctum yang legendaris. Tapi sebelum ia bisa berpikir lebih jauh, Aric menyela.

"Tapi denger-denger ya, Anak itu... busuk tau. Jangan deket-deket," kata Aric sambil mengangkat alisnya, mengingatkan sahabatnya dengan serius.

Kairos mengerutkan kening. "Sumpah? Hmm." jawabnya. Walaupun masih terkesan dengan prestasi Lucian, peringatan Aric membuatnya sedikit waspada.

Saat itu, terdengar sorakan riuh dari sisi lain aula, terutama dari kelompok pasukan wanita. Beberapa dari mereka bahkan tampak saling berbisik dengan mata berbinar-binar, wajah mereka memerah dengan kekaguman yang tak bisa disembunyikan.

Lucian, yang baru saja kembali ke barisannya, berdiri dengan postur tegap dan wajah tenang. Dengan rambut hitam yang tertata rapi, mata tajam, dan wajah tegas, ia jelas menjadi pusat perhatian. Tinggi, tampan, dan karismatik—idaman banyak pasukan wanita di tempat itu.

Kairos menggelengkan kepala pelan sambil tersenyum tipis. "Gak heran sih, kenapa cewek-cewek pada heboh."

Aric mendengus, "Bodo amat. Mau dia ganteng atau Obsidian, kalo hatinya busuk, gak ada artinya. ati-ati aja kalau ketemu dia, Kai."

Kairos hanya tertawa kecil, tapi di dalam hatinya, ia tahu nasihat Aric selalu tepat...

***

Di tempat lain...

"Sir, Area 3B57 cleared!" kata salah satu pasukan dengan nada tegas, memberikan laporan kepada seorang pria yang berdiri di depannya.

Pria itu, dengan wajah keras dan mata tajam, menghisap rokoknya dalam-dalam, menghembuskan asap tebal ke udara. Debu halus dari langit yang kelabu menari-nari di sekeliling mereka, menciptakan suasana yang suram dan penuh ketegangan. Matanya tetap terpaku pada horizon yang jauh, seolah menimbang sesuatu yang lebih dalam dari sekadar medan pertempuran.

"Hm," gumamnya, suaranya rendah namun penuh otoritas. "Kembali ke Fortis dulu."

"Siap, Sir!" jawab pasukan itu dengan sigap, sebelum ia memberi aba-aba kepada timnya untuk bersiap. Mereka bergerak cepat, menyiapkan peralatan mereka untuk kembali ke Fortis, salah satu dari tiga markas besar yang masih berdiri di dunia yang porak-poranda ini.

Setelah sejenak termenung, pria itu melempar rokoknya ke tanah, menginjaknya dengan sepatu hitamnya, lalu berbalik mengikuti pasukannya...

---To Be Continued...

THANKYOU YANG UDAH BACAA ヾ(≧▽≦*)o