"Kairos Wren." Suara itu memecah keheningan, tetapi tidak ada balasan dari sosok yang berdiri melamun di tengah ruangan.
"Kairos Wren?" Suara itu memanggilnya lagi, sedikit lebih tegas kali ini.
"Kairos?" Dipanggil sekali lagi, dan kali ini, Kairos Wren yang sedang melamun terkejut dari lamunannya.
"Oh? Ada! Ada!" Kairos terjaga dari pikirannya yang jauh. Ia mengangkat kepalanya dan melihat seorang guru yang berdiri di samping Batu Altherion, sebuah batu magis kuno yang dikenal karena kemampuannya menguji level kemampuan seorang Eldritch. Batu itu bersinar lembut dengan aura mistis, seolah menyimpan ribuan tahun pengetahuan dan kekuatan di dalamnya.
"Silahkan maju ke depan," kata sang guru, mengarahkan pandangannya dengan tegas.
Kairos perlahan-lahan melangkah menuju Batu Altherion, merasa berat di dadanya. Ruangan Gedung Pelatihan Eldritch penuh dengan pasukan dan pelatih yang mengamati dengan penuh perhatian. Ini adalah hari yang penting baginya—hari di mana ia akan menguji kemampuannya dan membuktikan dirinya sebagai seorang pasukan Eldritch yang layak.
Ia tidak bisa mengabaikan bayangan ibunya, seorang Eldritch yang hebat dan kepala pasukan, yang selalu menjadi sumber inspirasinya. Ibunya telah mengorbankan dirinya dalam suatu misi di kota terbengkalai beberapa tahun lalu, dan sejak saat itu, Kairos bertekad untuk meneruskan jejak ibunya dan melindungi orang lain seperti yang dilakukan ibunya.
Kehilangan ibunya meninggalkan bekas yang mendalam dalam dirinya, dan ayahnya, menghilang begitu saja setelah mendengar kabar tersebut, meninggalkan Kairos sendirian untuk menghadapi dunia yang keras ini.
Kairos berdiri di depan Batu Altherion, merasakan getaran energi magis dari batu tersebut. Ia mengambil napas dalam-dalam dan menempatkan tangannya di permukaan batu.
Sementara itu, di tengah ruangan, suasana hening dan tegang. Setiap mata tertuju pada Kairos, menunggu hasil dari ujian tersebut. Batu Altherion adalah alat yang tidak hanya mengukur kekuatan magis, tetapi juga mengungkapkan potensi dan karakter seseorang.
Dengan setiap detik yang berlalu, Kairos merasa semakin fokus, menyalurkan seluruh energi dan tekadnya untuk memenuhi harapan ibunya dan menjadi pelindung yang layak.
Tak lama kemudian, cahaya-cahaya yang belum pernah dilihat sebelumnya mulai memancar dari batu tersebut. Cahaya-cahaya itu menyebar dengan keindahan yang menakjubkan, berkilauan dalam warna-warna yang mempesona. Ruangan itu dipenuhi dengan pemandangan yang sangat indah, membuat para pelatih dan murid di bawahnya terkesima, begitu juga dengan guru Kairos yang ada di samping batu.
Namun, keindahan itu tidak berlangsung lama. Setelah beberapa detik yang terasa seperti jam, cahaya dari Batu Altherion mulai memudar, dan sebuah huruf terukir di permukaan batu—huruf "S".
"S-Specter?" batin Kairos, terkejut dengan hasilnya. Ini adalah tingkatan magis yang paling dasar, menunjukkan bahwa ia baru berada pada level paling rendah dalam Hierarki Eldritch.
Level dalam Hierarki Eldritch terbagi menjadi 5, dimulai dari yang paling rendah ke yang tertinggi :
1. Specter
2. Raven
3. Tempest
4. Obsidian
5. Celestial
Seketika, suasana di ruangan berubah. Para pasukan yang ada di bawah tertawa terbahak-bahak, tidak bisa menahan ejekan mereka. Mereka mulai berbisik dan bercanda tentang hasil yang didapatkan Kairos. Tawa mereka memecah keheningan, menambah rasa malu di hati Kairos.
Sang guru hanya menggelengkan kepala, menatap dengan tatapan campur aduk antara kecewa dan prihatin. Ia mengetahui betapa pentingnya momen ini bagi Kairos, dan tidak ingin menambah beban mental yang sudah cukup berat.
Kairos menundukkan kepalanya, berusaha menahan rasa malunya. Ia merasakan campuran emosi—kekecewaan, kemarahan, dan kebingungan. Meskipun ia berusaha keras untuk membuktikan kemampuannya bertahun-tahun, hasil ini seolah meruntuhkan semua usahanya.
Kairos kembali ke barisannya dengan langkah yang berat. Perasaannya campur aduk setelah hasil ujiannya. Saat ia berdiri di barisan, dia merasakan tepukan ringan di bahunya. Kairos menoleh dan melihat Aric berdiri di sampingnya.
"Oi!" panggil Aric dengan nada ceria.
Kairos menoleh ke arahnya, berusaha tersenyum meskipun hatinya masih terasa berat. Aric, sahabatnya sejak kecil, tampak tidak berubah—selalu punya cara untuk membuat suasana lebih ringan.
"Jangan sedih gitu lah, Specter doang, ntar juga naik," kata Aric sambil memberikan senyuman penuh pengertian.
Kairos mencoba tersenyum lebar, meskipun ada rasa malu yang masih tersisa. "Gak ada yang sedih kok, wlee," jawabnya sambil memasang wajah jelek.
Aric melihat sahabatnya yang tampak lebih semangat lagi. Dia tersenyum tipis, kemudian menggoda Kairos dengan nada ceria. "Ah, masaa?" tanyanya sambil menusuk-nusuk perut samping Kairos.
"Ahahahah, stop-stop, geli woi!" Kairos tertawa, merasa geli dan lega karena kehadiran Aric yang selalu bisa membuatnya merasa lebih baik.
Aric, yang telah menjadi sahabat setianya sejak bayi, sangat berarti baginya. Kedua ibu mereka bersahabat baik, Miss. Gleora - Ibu Aric, Ketika mendengar kabar bahwa Ibu Kairos sudah tiada, menangis histeris seolah tidak mau mempercayai kabar itu, sahabat baiknya yang ia kasihi, harus meninggalkannya selamanya.
Dan ketika ibunya meninggal dan ayahnya menghilang, Miss. Gleora dan suaminya lah yang merawat Kairos.
Selama masa-masa sulit itu, Miss Gleora dan suaminya menjadi keluarga pengganti yang sangat berharga bagi Kairos. Ia merasa berhutang budi kepada mereka dan sudah menganggap Aric seperti saudaranya.
---To Be Continued...
DORRR!! HALOWW TEMEN2, TOLONG DIKRITIK BABNYA KALO ADA YANG NGGA SESUAI 🙏 THANKYOU TEMEN2 (p≧w≦q)