Chereads / IDOLIZE / Chapter 18 - Bab 16: Lagu dan Pilu

Chapter 18 - Bab 16: Lagu dan Pilu

Di tengah malam yang sunyi, pada kamar penuh gelapnya seorang gadis tengah tertidur begitu lelap. Dalam tidurnya itu sebuah mimpi ia alami, gadis tersebut berdiri di atas panggung yang megah, disinari oleh lampu-lampu yang berkilauan. Musik mengalun lembut di sekitar dan ia bernyanyi dengan penuh semangat dikelilingi oleh teman-temannya. Saat-saat itu terasa penuh kehangatan, berisikan senyum serta kebahagiaan semata. Mereka menyanyikan lagu yang penuh kenangan, lagu yang pernah menjadi kisah dalam kehidupan mereka. Setiap nada dan lirik mengandung kemanisan, serasa terbang pada langit dengan awan merah muda dari permen kapas.Tetapi saat ia menoleh ke samping, gadis itu mulai menyadari bahwa satu per satu, teman-temannya menghilang dari panggung layaknya kabut yang menguap. Awalnya ia mencoba untuk tidak memperhatikannya dan terus menyanyi, tetapi ketika ia kembali menoleh mereka betul-betul tiada di sana. Di akhir, hanya tersisa seorang wanita di sampingnya — sahabat yang sangat berarti baginya. Mata sahabatnya terlihat penuh dengan kesedihan yang mendalam, dan suara sahabatnya terdengar samar, menanyakan dengan lembut,"Apa kamu senang di sana? Setelah ngehancurin kebahagiaan yang pernah kumiliki?"Pertanyaan itu menghantam kalbu, memecah keheningan malam. Gadis yang bermimpi itu menyaksikan seluruh dunia mimpi perlahan runtuh di sekelilingnya. Tubuhnya dipenuhi gemetar akan rasa takut, tanpa bisa berucap dengan jelas. Mimpi itu mengingatkannya kembali, pada sebuah kenyataan yang pahit — sebuah bayangan dari masa lalu yang penuh kenangan indah serta sebuah penyesalan.Akhirnya, dengan hati yang berat, wanita itu terbangun dari tidurnya. Cahaya pagi yang lembut masuk ke dalam kamar, tetapi tetap tidak bisa menghapus rasa sakit yang tersisa dari mimpinya. Dia duduk di tepi tempat tidur, merenungkan mengenai apa yang baru saja ia saksikan, sekelebat pengingat dari masa lalu."Mawar... aku..." ucapnya begitu lirih dengan sebuah air mata perlahan turun pada pipi gadis tersebut."Yunaaa! Bangun! Sarapannya udah siap, cepetan mandi. Nanti telat sekolah!" Suara dari seorang wanita memanggil gadis tersebut dari balik pintu."Ya bu, Yuna dah bangun kok."Yuna, hidup pada keluarga yang biasa. Ayahnya bekerja di kantor dengan rutinitas yang padat, sementara ibunya mengajar di sekolah, menjadi seorang guru yang penuh dedikasi. Pagi hari adalah saat-saat paling sibuk pada keluarga mereka, sehingga untuk sarapan saja kadang berupa makanan instan atau makanan dari semalam yang dihangatkan kembali.Hari itu, seperti hari-hari lainnya, Yuna berangkat sekolah dengan mengendarai motor bersama ayahnya. Mereka menyusuri jalanan kota Jakarta yang dari pagi saja sudah penuh oleh kendaraan. Seusai sampai di sekolah, ia berpamitan dengan ayahnya di gerbang dan mulai berjalan menuju ke kelasnya."Pagi Yuna!""Pagi juga, Dita!""Pagi semua!""Pagi!"Ketika berjalan pada lorong, seperti biasa, beberapa teman kelas menyapanya dengan ramah, dan Yuna membalas dengan senyuman yang terlatih, meski dalam hati ia merasa penuh waspada. Senyum itu bukanlah cerminan kebahagiaan, melainkan usaha untuk menyembunyikan rasa tidak nyaman dan kekhawatiran akan kemunculan dari para pembullynya."Minggir!"Ketika Yuna tengah berjalan memasuki pintu kelas, tiba-tiba ia merasa sebuah dorongan kuat dari belakang. Tubuhnya jatuh ke lantai dengan cepat, merasakan benturan yang menyakitkan. Melihat ke belakang, ia mendapati geng terkuat di kelas yang selama ini suka merundungnya. Mereka berdiri di sana dengan tatapan yang tidak bersahabat, menertawakan Yuna yang terjatuh sembari berkata sinis."Ngalangin jalan doang lu, minggir sana!"Yuna berusaha untuk bangkit sendiri, memaklumi bahwa mereka yang berada di kelas hanya bisa menyaksikan tanpa berani membantu. Ketika ia berhasil berdiri, sosok dari seorang gadis yang lewat di hadapan Yuna membuatnya terdiam membatu. Tentu Yuna tidak bisa melupakan gadis itu, ia adalah sahabatnya, yang kini ikut berdiri di antara geng tersebut. Gadis itu, yang bernama Mawar, kini menatap Yuna dengan penuh kebencian. Wajahnya tidak lagi menunjukkan senyuman hangat seperti dulu, melainkan ekspresi dingin."Yuna! Yuna!""Ah—?"Yuna terbangun dari lamunannya tentang masa lalu ketika mendengar suara Produser yang memanggil namanya berulang kali dari balik kaca studio. Dia tersentak, menyadari bahwa kini ia sedang berada di studio rekaman, bukan dalam pikirannya sendiri. Seusai penampilan mereka di KoMIKaL, fokus Spica kini kembali pada persiapan untuk Dreamy Festival, sebuah tantangan besar yang harus mereka hadapi dalam sebulan lagi."Kamu gapapa, Yuna?""Produser, aku..."Saat ini, mereka sedang melakukan sesi rekaman di studio, dengan Yuna yang dijadwalkan untuk mencoba lirik lagu baru. Tetapi, pikiran Yuna seakan tidak mengikutinya pada saat ini. Fokusnya terpecah, dan di tengah-tengah menyanyikan lirik, ia tiba-tiba terdiam, tak mampu melanjutkan. Nyanyiannya terhenti menyisakan hanya keheningan yang memenuhi ruangan."Sebaiknya kita istirahat dulu sejenak." Ucap Produser pada seisi staff, berusaha mementingkan Yuna terlebih dahulu."Oke, kita bisa break lagi 5 menit."Keluar dari ruangan kedap suara itu, Yuna tampak lelah dan begitu frustasi akan dirinya sendiri. Dia menghela napas panjang, mencoba mengumpulkan pikirannya yang tercecer. Tetapi bayangan masa lalu yang selalu menghantuinya terus menariknya kembali ke belakang. Rian duduk di sampingnya, menyadari bahwa Yuna sedang menghadapi sesuatu yang lebih dalam daripada sekadar kehilangan fokus sesaat."Yuna, apa ada sesuatu yang ganggu pikiranmu? Kamu bisa bicarakan padaku.""Ngga... bukan apa-apa. Sebaiknya kita fokus ke perekaman lagu aja, Produser.""Gak mungkin ga ada apa-apa, kamu pikir aku gak sadar kalau ada luka di lututmu. Walau ditutupi pakai rok begitu aku bisa sadar kok."Yuna terkejut saat Produser mengetahui bahwa dia memiliki luka lecet pada lututnya. Padahal ia telah berusaha begitu keras untuk menutupi luka itu dari tadi. Semuanya sebab kejadian tadi pagi ketika Yuna didorong begitu keras sampai jatuh ke lantai oleh para geng kelasnya. Tetapi Yuna tetap bersikeras bahwa luka itu tidak mengganggunya. Dengan tegas, dia mengatakan bahwa hal itu bukan masalah besar, berharap bisa menepis perhatian Produser dan fokus pada pekerjaannya."Ya sudah, kalau kamu bilang begitu."Rian mengangguk dengan penuh pengertian, meskipun jelas ia masih khawatir. Tanpa banyak bicara, ia memberikan minuman kepada Yuna, berharap bisa meredakan sedikit kecemasan yang jelas tergambar di wajahnya. Minuman tersebut ialah susu kotak manis dengan rasa stroberi, yang begitu digemari oleh Yuna. Gadis itu saja sampai terkejut mengenai bagaimana Produsernya bisa tahu minuman yang ia sukai, tetapi ia hanya diam saja sembari menyeruput susu tersebut. Rian menyaksikan senyum sedikit mengembang saat Yuna menikmati susu pemberiannya, senang bahwa ia bisa dengan betul memahami idolnya."Oke, take ketiga, dimulai!"Walau telah berusaha keras mengalihkan segalanya pada perekaman, Yuna kembali kehilangan kemampuannya. Ketika dia mulai menyanyikan lirik, pikirannya kembali terpecah, dan kali ini rasa nyeri yang kuat menghantam kepalanya. Ia memegangi kepalanya dengan kedua tangan, mencoba menahan rasa sakit yang tiba-tiba muncul. Ingatan tentang kejadian sepulang sekolah tadi menghantamnya dengan keras.Saat itu, Yuna sedang berada di ruang ekskul, bernyanyi seperti biasanya. Tapi kali ini, sahabatnya datang, Yuna begitu senang karena mendapati kehadiran sahabatnya."Mawar? Ada apa.""Aku cuma pengin ngucapin selamet. Kamu dah jadi idol kan?" katanya, sembari tak menatap mata Yuna sama sekali."Ah... ya. Anu, Mawar... Aku—" saat Yuna hendak mengungkapkan segalanya pada sahabat yang ada di depan, justru perkataan lain ia dengar dari seberang."Selamat ya, kamu dah merenggut segalanya dariku."Alih-alih ucapan selamat yang tulus, sahabatnya memberikan selamat dengan nada sindiran, mengatakan bahwa Yuna telah berhasil menjadi seorang idol dengan cara merenggut segalanya dari Mawar. Kata-kata itu menusuk hati Yuna seperti pisau, mengingatkannya pada bagaimana ia berusaha keras hingga sampai di titik ini dan dibantah begitu saja. Rasa bersalah serta kebingungan menyelimuti dirinya, membuat Yuna semakin sulit untuk fokus pada apa yang seharusnya ia lakukan saat ini—yaitu menyanyi."Yuna! Gawat! Hentiin dulu rekamannya!" Suara Produser yang kembali memanggilnya terdengar seperti bagai gema yang jauh dari telinga.Yuna tidak bisa menjawab dengan segera. Ia merasakan campuran emosi—rasa sakit, rasa bersalah, dan ketakutan—semuanya menggerogoti dirinya dari dalam. Dengan susah payah, ia mencoba untuk kembali fokus, mencoba menepis bayangan-bayangan masa lalu yang begitu jelas di pikirannya.Namun, rasa nyeri di kepala dan hatinya membuatnya tak mampu melanjutkan. Air mata mulai menggenang di matanya, dan dengan suara yang hampir tak terdengar, Yuna akhirnya berkata,"Aku... aku tidak bisa..."Perekaman lantas dihentikan pada saat itu juga, Rian dengan hati-hati memimpin Yuna ke sofa untuk beristirahat. Yuna, yang sudah begitu lelah secara fisik dan emosional, perlahan mulai menangis lirih, melepaskan sebagian beban yang selama ini dia pendam pada sofa. Di sudut ruangan, beberapa staf studio yang mendiskusikan situasi mulai gelisah. Mereka tahu bahwa lagu ini harus segera selesai direkam, dan waktu yang semakin mendesak membuat mereka mempertimbangkan opsi lain."Kita gak bisa nunda-nunda terus begini. Kalo emang perlu, ganti personil saja yang bisa nyanyi lagunya. Waktunya dah mepet." Ucap salah satu staff dengan nada serius.Yuna yang mendengar pembicaraan tersebut meskipun masih terisak, segera berdiri dari sofa dengan sempoyongan. Dengan wajah yang dipenuhi ketakutan, dia memohon pada Rian."Produser... kumohon, jangan... jangan ganti aku. Aku bisa nyanyiin, kumohon, aku bisa." Ia berkata sembari berusaha keras menahan tangisnya, membuktikan bahwa mungkin saja masih bisa mencoba sekali lagi.Rian terdiam sejenak, melihat keadaan Yuna yang begitu rapuh. Dia tahu bahwa Yuna sedang berjuang keras dengan dirinya sendiri dan memutuskan bahwa memaksa untuk melanjutkan hanya akan memperburuk keadaan. Ia tidak tega jika harus mengorbankan Yuna demi bisa menyelesaikan lagu tersebut."Perekaman untuk hari ini kita sudahi saja. Saya akan pikirkan mengenai solusi lain, terimakasih banyak." Kata Rian kepada setiap staff, ia lantas mengisyaratkan pada Yuna untuk segera pergi.Di dalam bus yang hampir kosong, Yuna dan Rian duduk saling bersebelahan satu sama lain. Sore itu, kota Jakarta terlihat meremang di luar jendela dengan langit berwarna oranye kemerahan menandakan matahari hendak terbenam. Kendaraan-kendaraan di luar bergerak lambat, terjebak dalam kemacetan yang sudah menjadi pemandangan sehari-hari.Demi memecah keheningan di antara mereka berdua, Rian memutuskan untuk berbicara."Yuna, aku ingin kamu berkata jujur padaku. Aku bisa menangguhkan untuk menggantikan peranmu sebagai lead singer, tapi aku juga perlu tahu mengenai apa yang sebenarnya terjadi. Apa yang terjadi padamu?"Gadis tersebut tertunduk sembari menggigit bibirnya begitu keras, berusaha untuk menahan segala perasaan yang terasa hendak membludak pada saat itu juga. Setelah beberapa detik yang terasa lama, ia memutuskan untuk membuka diri dan mulai berbicara dengan suara yang bergetar."Maaf... Produser. Aku, benar-benar tidak paham apa yang tengah terjadi pada diriku. Hanya... hanya saja, aku tidak ingin digantikan. Aku takut... takut kalau aku ditinggalkan sendiri lagi. Setiap kali aku merasa tidak cukup baik, aku takut orang-orang akan meninggalkanku. Seperti yang dilakukan setiap orang..."Dia menutup wajahnya dengan tangan, berusaha menutupi air mata yang kian menggenangi matanya. Rian mendengarkan dengan penuh perhatian, menyadari betapa mendalamnya ketakutan yang Yuna rasakan sekarang."Aku gak bakal ninggalin dirimu kok. Aku gak bakal ninggalin siapapun." Ucap Rian dengan suara begitu lembut, berusaha menenangkan Yuna.Saat bus berhenti sejenak pada pemberhentian di dekat sebuah taman, Yuna memandang ke luar jendela dengan ragu sebelum akhirnya berbicara kepada Rian."Produser... apa kita punya waktu luang? Ada sesuatu yang ingin aku bicarakan."Rian mengingat sebentar mengenai agenda mereka pada seharian ini, lantas teringat bahwa masih ada sedikit waktu yang bisa diluangkan sebelum ke kegiatan selanjutnya sehingga ia pun mengangguk pada Yuna.Mereka berdua turun dari bus dan berjalan menuju taman yang tenang. Sore hari itu terasa sejuk, dengan angin lembut yang menerpa dedaunan dan langit yang perlahan-lahan berubah warna menjadi oranye keemasan. Setelah berjalan sebentar, mereka menemukan sebuah bangku kosong di dekat air mancur kecil. Sembari membiarkan Yuna untuk menenangkan diri Rian berjalan menuju ke stan es krim, membeli es krim tersebut untuk mereka berdua."Makasih, Produser."Yuna menerima es krim itu dengan senyuman keci, merasakan manisnya es krim tersebut. Mereka diam sejenak, menikmati suasana damai yang jarang mereka temui di tengah kesibukan dunia hiburan. Lantas gadis di sebelahnya mulai berbicara, begitu lirih."Sebenarnya... ini mengenai seseorang. Seseorang yang dulu pernah dekat sekali denganku. Dia adalah sahabatku, kami dulu adalah sahabat baik." Ucap Yuna, matanya menatap lurus ke depan seolah mencoba mengumpulkan keberanian untuk melanjutkan ceritanya."Dulu? Kenapa kamu bilang 'dulu'? Apa ada sesuatu yang terjadi di antara kalian?" balas Rian.Yuna menghela napas panjang, menatap lama es krim yang mulai meleleh di tangannya seakan mencari kata-kata yang tepat."Kami... bertemu saat SMP. Saling terhubung satu sama lain karena menyukai kesukaan yang sama, yaitu menyanyi. Pada saat itu, rasanya seperti telah menemukan seseorang yang benar-benar mengerti aku, memahami dunia yang kusukai."Dia berhenti sejenak, mengambil napas dalam-dalam sebelum melanjutkan, "Tapi... sejak masuk ke SMA, kami dihadapi oleh sekelompok geng sekolah. Pada awalnya tiada hal buruk terjadi, kami berusaha tetap melakukan hobi kami seperti biasa, yaitu menyanyi. Sampai suatu hari, mereka mulai mengincar sahabatku, menghinanya dengan berkata suara yang ia miliki begitu jelek. Berkata bahwa ia hanya dimanfaatkan olehku agar diriku bisa terlihat jauh lebih bagus darinya...""Apa-apaan itu..." Rian seakan tidak percaya mengenai kejadian yang diceritakan oleh Yuna.Yuna menggenggam erat es krim pada tangannya hingga krim tersebut mulai berceceran, matanya terlihat penuh oleh perasaan amarah tiada tara."Dan yang paling menyakitkan... dia justru percaya, mendengarkan ucapan geng itu. Ia pun mulai menjauh dariku, berpikir kalau aku tidak pantas disebut sahabat olehnya. Aku sudah berusaha untuk meyakinkan dirinya, kalau semua itu tidaklah benar... tetapi semakin aku mendekat, ia justru terasa semakin menjauh dariku.""Yuna..." Pria tersebut tidak tahu apa yang harus dilakukannya saat ini, ketika menyaksikan Yuna yang penuh kesakitan."Puncaknya adalah ketika aku terpilih menjadi wakil sekolah untuk lomba menyanyi. Sahabatku sudah tidak lagi hadir di klub menyanyi sejak geng itu mulai mengganggunya. Dia bilang padaku bahwa aku mengkhianatinya... berkata bahwa aku justru lebih memilih musik dibanding dirinya. Dia merasa aku terus berlatih tanpa henti seolah-olah aku tidak peduli padanya lagi. Sampai akhirnya memutuskan gabung bersama ke geng yang selalu membully kami, berganti membully diriku. Dia... dia bilang aku telah merebut segalanya darinya ketika aku menjadi idol. Katanya, aku telah merenggut kesukaannya terhadap musik."Rian terdiam membisu, meresapi kata-kata Yuna. Situasinya jauh lebih rumit dan menyakitkan daripada yang ia bayangkan. Mendapati kebenaran tersebut, sangat wajar apabila Yuna tidak bisa melanjutkan perekaman tadi, bukti bahwa ia bahkan masih bisa terus menyanyi hingga pertengahan lagu saja sangat mencengangkan. Gadis itu, bisa bertahan pada kesukaannya di antara dunia keras yang mengelilinginya."Yuna, semuanya bukan salahmu. Kamu gak seharusnya merasa bahwa semuanya adalah kesalahanmu. Apa yang mereka lakukan—"Yuna menggelengkan kepalanya, memotong perkataan Rian."Tapi itulah yang aku rasakan, Produser. Aku tidak bisa berhenti menyalahkan diriku sendiri, walau tahu sekalipun bahwa dunialah yang berlaku salah padaku. Aku... gadis egois yang hanya mementingkan kesukaanku dibandingkan orang lain."Rian menatap Yuna dengan penuh keyakinan, mencoba mengatasi keraguan yang tengah memenuhi hatinya."Yuna, kamu tidak salah. Bukti kamu masih terus menyanyi, adalah bukan karena kamu egois, tapi karena kamu menyayangi sahabatmu. Musik adalah caramu mengekspresikan segalanya, dengan terus bernyanyi, kamu menunjukkan betapa kamu menganggap dirinya berharga."Yuna memandang Rian dengan mata yang berair, merasakan kata-katanya meresap perlahan-lahan. "Tapi bagaimana caranya aku bisa menunjukkan itu padanya?""Dengan lagu kedua ini, Yuna. Sampaikan seluruh perasaan di hatimu dalam setiap nyanyian. Lantunkan ke sahabatmu bahwa kamu menyayanginya sama seperti kamu menyayangi musik. Tunjukkan bahwa kamu tidak akan menyerah, bahwa kamu tidak pernah membenci dia, meski dia telah pergi sekalipun." Ujar Rian dengan senyuman lembut.Sesampainya pada rumah, Yuna kembali melatih kemampuan bernyanyi yang ia miliki. Dia harus menghadapi pikiran-pikiran di kepalanya sekarang, jika tidak maka ia tidak bisa melangkah ke depan, dan dirinya bisa diganti kapan saja. Ketika menyanyi, setiap nada dan lirik yang keluar dari bibirnya membawa bayangan masa lalu yang terus menghantuinya—masa lalu yang penuh dengan konflik dan pengkhianatan dari sahabat yang dulunya sangat dekat dengannya. Perasaan bersalah dan pertanyaan apakah dia melakukan hal yang benar dengan terus menyanyi menggerogoti pikirannya."Anggap saja nyanyian itu demi sahabatmu, bukan demi dirimu sendiri."Perkataan Produser terulang kembali pada benak Yuna, menggerus sedikit demi sedikit benteng yang telah terbangun dalam otaknya. Ia terus menerus meluapkan setiap emosinya pada nyanyian, berusaha sangat keras untuk menghapus segala pemikiran negatif tersebut. Hingga lambat laun ia menyadari bahwa setiap kali dia berpikir nyanyiannya itu adalah bentuk kasih sayang untuk sahabatnya, hati Yuna perlahan menjadi tenang."Begitukah... jadi begitu..." ucap Yuna sambil terengah-tengah, kelelahan seusai bernyanyi."Selama ini aku memang terlalu fokus pada tujuanku, sampai lupa mengenai alasan kenapa aku bisa terus berdiri sampai sekarang. Terimakasih, Produser." Ia pun tersenyum seakan memahami bahwa dirinya selama ini memang salah.Keesokan hari saat kembali memasuki studio, Yuna disambut dengan aroma segar dari alat musik dan peralatan rekaman. Berada di studio sama yang telah ia gunakan beberapa hari ini, Yuna telah cukup hapal suasana studio tersebut dengan dinding-dinding yang dipenuhi poster album dan foto-foto band legendaris. Di ruangan yang telah ditentukan, tim produksi yang terdiri dari produser musik, teknisi suara, dan beberapa musisi, sudah siap di posisinya masing-masing. Salah seorang staff studio yaitu pimpinan untuk perekaman ini, seorang pria berusia empat puluh tahunan mendekat pada Yuna."Sudah siap buat rekaman lagi hari ini?""Ah— Ya, sebelumnya... saya benar-benar minta maaf." Ujar Yuna sembari menunduk."Soal itu gak usah dipikirin, namanya juga musibah. Btw, Produsermu mana?""Produser sedang keluar sebentar, katanya jawab telepon.""Oh gitu, ya udah kamu siap-siap aja di ruang rekaman."Setelah beberapa persiapan, Yuna masuk ke ruang rekaman. Suasana di dalam studio terasa menenangkan dirinya. Dengan ruangan yang sepenuhnya kedap suara, serta mikrofon tergantung di hadapannya, Ia mengambil napas dalam-dalam menunggu lagu untuk terputar."Sebentar—"Dari balik pintu Produser masuk ke dalam ruangan, beserta segerombolan gadis-gadis yang membuat kedua mata Yuna terbuka lebar. Mereka semua lantas segera masuk ke dalam ruangan, menyambut gadis itu sementara Produser berbincang sejenak dengan setiap staff di hadapannya."Jadi ini maksudmu kemarin, soal perubahannya." Ujar staff kepada Rian."Iya, jadi kami memutuskan untuk mengubah sedikit lagunya."Ia sama sekali tidak menyangka bahwa seluruh personil Spica akan datang ke studio musik tersebut. Ruang rekaman yang sebelumnya luas nan lengang kini dipenuhi oleh kebisingan antar setiap gadis yang mengutarakan perasaan mereka."Aku gak nyangka kalian semua bakal dateng.""Dikira aku gak kaget juga? Produser tiba-tiba aja bilang ke kita yang lagi latihan di kantor buat dateng ke sini. Manajer aja sampai kaget." Balas Lily kepada Yuna.Dari balik kaca Produser dan tim produksi memberikan intruksi kepada setiap member untuk segera bersiap. Mereka melakukan sedikit tes vokal untuk menyesuaikan harmonisasi nada. Dalam satu keselarasan, setiap gadis yang memiliki keunikan satu sama lain memberikan warna tersendiri dalam irama."Kita mulai rekaman dalam, tiga... dua... satu."Saat itu juga Yuna berdiri di depan mikrofon diikuti teman-teman yang lain. Suara mereka semua bergabung bersama dalam suara Yuna, membentuk sebuah harmoni yang indah. Musik mengalir dengan lembut dan penuh rasa, dan suasana di studio terasa seperti seperti live kecil yang penuh oleh kebahagiaan serta semangat. Meski sesekali membuat kesalahan seperti telat nada atau lupa lirik, setiap take yang diambil memberikan pengalaman berbeda."Benar kan, wajahmu betul-betul berbeda waktu nyanyi bareng yang lain." Kata Rian begitu lirih, saat menyaksikan senyum kecil merekah dari bibir Yuna.Gadis itu mungkin tidak menyadarinya, bahwa kini ia tengah merasakan rasa senang saat bisa meluapkan segalanya pada hal yang ia sukai. Setiap kali dia melirik teman-temannya, dia melihat ekspresi wajah yang cerah dan penuh antusiasme. Momen ini seolah menghapus segala mimpi buruk dan kecemasan yang pernah mengganggu pikirannya.Saat memasuki bagian lagu di mana suara Yuna menjadi fokus utama, mereka yang ada di balik kaca tertegun. Setiap orang seakan terkena serangan kejut pada saat itu juga, terkesima oleh apa yang baru saja mereka dengar. Suara Yuna yang dipenuhi perasaan meledak pada penjuru ruangan, membuat semua mata tertuju padanya. Dalam nada yang ia lantunkan menyentuh hati para pendengarnya. Mereka saling bertukar pandang penuh kekaguman dengan beberapa dari mereka bisik-bisik, mengomentari betapa menawannya performa Yuna."Cewek itu kayanya punya bakat hebat deh. Kalau semisal nyanyi solo, bisa langsung terkenal tuh."Rian yang mengawasi dari belakang, tersenyum kecil sebab salah satu idolnya berhasil menarik minat satu studio. Dia mendekati staf yang sedang berdiskusi sembari berkata."Justru, kekuatan gadis itu bukan dari menyanyi solo. Suara bagusnya tersebut muncul dari dukungan setiap orang di sampingnya. Dia menyanyi bukan demi dirinya sendiri, tapi setiap orang di sekelilingnya." Ucap Rian dengan penuh keyakinan.Ketika sesi perekaman berakhir, suasana di studio penuh dengan rasa syukur dan kebahagiaan. Setiap member Spica merayakan dengan pelukan dan tawa, merasa sangat senang bahwa mereka berhasil menyelesaikan lagu kedua mereka. Sedangkan Yuna sendiri, dengan mata yang berair penuh kebahagiaan, memeluk setiap orang, berterima kasih atas dukungan dan keberadaan mereka di samping Yuna saat bernyanyi."Begitu... begitukah... ini yang kuinginkan sebenarnya..." Yuna mengatakan hal tersebut dengan terisak-isak.Di tengah ruang studio yang bergetar dengan alunan musik, Yuna berdiri di depan mikrofon, dikelilingi oleh teman-teman dekatnya. Saat suara mereka menyatu dalam harmoni, Yuna merasakan sesuatu yang jauh lebih mendalam daripada sekadar melodi. Pada pengambilan rekaman tadi, ia tidak benar-benar terlepas dari belenggu akan masa lalunya. Masih teringat akan saat-saat ketika ia sering bernyanyi sendirian, merasakan kesepian dan kehilangan yang mendalam setiap kali teman-temannya meninggalkannya. Masa-masa itu penuh dengan keraguan dan kesendirian, di mana musik menjadi satu-satunya pelarian yang dapat menenangkan hatinya. Setiap melodi, setiap lirik, selalu terasa sepi tanpa kehadiran orang lain."Yuna!"Tetapi ketika ia mengalihkan pandangannya ke penjuru arah, segalanya berubah. Ia melihat kehadiran teman-teman Spica yang menemaninya, hadir dengan senyum lebar dan semangat yang mendalam, mendukung dan menyanyikan bagian mereka dengan sepenuh hati. Para teman-temannya tidak hanya ikut menyanyi, tetapi mereka juga memberi Yuna dorongan yang luar biasa dalam lantunan nadanya, seolah-olah mereka semua tengah mengingatkan Yuna bahwa ia adalah bagian dari satu kesatuan yang utuh."Duh, kok kamu malah nangis gitu sih, cup cup cup..." mengelus-elus rambut Yuna, Dewi selalu menjadi tempat bagi setiap member Spica untuk meluapkan tangisannya, entah mengapa.Yuna merasa terharu hingga air mata mulai mengalir di pipinya. Melihat semua orang di sekelilingnya, dia merasa seolah-olah masa lalu yang penuh kesepian itu telah mulai tersingkir. Dia menyadari bahwa perasaannya terhadap musik jauh lebih dari sekadar kemampuan vokal atau teknik bernyanyi. Musik telah menjadi jembatan yang menghubungkannya dengan orang-orang yang dicintainya, dengan mereka yang selalu ada untuknya.Dengan setiap nada yang mereka nyanyikan, ia bisa merasakan cinta dan dukungan yang melingkupinya, dan itu menguatkan keyakinannya bahwa musik adalah tentang berbagi dan menikmati kebersamaan."Aku... memang tidak bisa berhenti menyanyi." Kata Yuna sembari meringis, seakan menantang tengah dunia yang selama ini menentangnya.

--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Selesainya lagu kedua bagi Spica menjadi sebuah angin segar, ditambah lagi fans yang semakin bertambah berkat kehadiran mereka di event KoMIKal membuat jalan mereka menuju ke Dreamy Festival semakin mulus. Tetapi hal tersebut tampak tidak terpancar dari wajah setiap member Spica, mereka semua kembali ke kantor agensi setelah mengalami hari penuh latihan yang begitu intens. Mereka merasa lelah dan tertekan karena harus menguasai koreografi tarian kedua yang cukup rumit.Sesampainya di kantor sebagian besar langsung berlari menuju ke sofa untuk merebahkan diri, beberapa mengambil minuman dingin, dan ada pula yang langsung terbaring lemas pada karpet. Wulan yang biasanya penuh enerji saja sampai tidak bisa bergerak, terkulai lemas sembari memulai perbincangan."Apa-apaan lagu kedua tu... aku yang ada di barisan ketiga aja sampai capek begini.""Gerakannya emang lebih cepet dari yang pertama, bahkan bagian nyanyi barengnya makin banyak." Cia menambahkan komentar."Be... nar... aku... setuju..." nafas Isla saja sampai tersengal-sengal, tidak kuat untuk duduk tegak.Lea datang menghampiri mereka semua, memberikan sedikit dorongan, "Andai kita punya banyak waktu, mungkin kalian gabakal secapek ini. Tapi sayang, Dreamy Festival makin deket... dan tubuh kalian juga harus tetap fit. Jadi tahan aja ya, sampai event nanti."Mereka hanya dapat mengangguk satu sama lain. Beberapa gadis ada yang merasakan nyeri pada tubuhnya dan dibantu satu sama lain untuk mengatasi lelah pada tubuh mereka sebab porsi latihan yang banyak tersebut. Sembari menunggu setiap member untuk memulihkan tenaga, Rian berbisik pada Dara untuk menyiapkan sesuatu dari gudang."Ekhem, semuanya... aku tahu kalau kalian semua tengah kelelahan sekarang. Tapi, aku ingin mengabarkan sebuah kabar baik." Ucap Rian dengan suara tinggi, menjadikan setiap gadis mengalihkan pandangan pada produser mereka seketika."Jangan bilang..."Respon dari para gadis berubah menjadi masam, kata-kata terlontar dari Istar seketika."Jangan ada kerjaan lagi plis, gue udah capek. Yang lain juga capek nih..." katanya dengan nada penuh ketus, mewakili perasaan setiap orang di ruangan itu.Rian hanya tertawa kecil dan menggeleng. "Tenang, bukan soal itu kok." jawabnya dengan misterius."Yang ingin kutunjukkan itu, ini..."Dari ruangan lain Dara muncul sembari mendorong sebuah rak yang penuh oleh kostum tergantung rapi di sana. Seluruh member Spica langsung bersemangat, rasa lelah mereka seolah-olah hilang seketika. Mereka menghampiri rak tersebut, memandangi kostum yang begitu cantik dengan kombinasi warna hitam dan biru terang yang berkilauan seperti bintang di langit malam. Suasana ruangan berubah menjadi penuh kegembiraan saat mereka membayangkan bagaimana penampilan mereka nanti di panggung Dreamy Festival dengan kostum-kostum tersebut."Kostumnya jadi hari ini, makanya mungkin aja ini bisa sedikit bikin kalian senang." Kata Rian dengan penuh senyum."Wuah, gak nyangka kalo kita bakal dapet kostum!" Lily segera mengungkapkan kegembiraannya."Desainnya bagus juga, lumayan." Ujar Valentin ketika diberikan kostum miliknya."Ukurannya bakal pas gak ya...""Iya, aku khawatir juga soal itu... boleh langsung dicoba gak sih?" Celi dan Dewi saling bergumam satu sama lain."Desainnya benar-benar unik. Aku suka bagaimana setiap kostum kita dibuat berbeda, sesuai dengan diri masing-masing.""Loh, iya loh bener kata Isla. Kupikir semuanya bakal sama." Yuna terkejut saat menyaksikan kostum miliknya dengan Isla yang sangat berbeda.Sementara setiap gadis tengah bersemangat pada kostum tersebut, di sudut lain, Rian dan Lea berbincang dengan Dara."Makasih banyak, Dara. Berkat perhitungan cermatmu, kita bisa kesampaian juga punya kostum.""Iya... makasih banget. Walau keuangan kita langsung sekarat pun... aku tetep makasih." kata Lea dengan penuh rasa syukur."Tenang saja mengenai hal tersebut. Lagipula saya paham beberapa penjahit yang mampu membuat kostum seperti itu."Selepasnya Rian memberitahukan pada setiap gadis bahwa mereka boleh langsung mencoba kostum baru mereka. Mendengar itu, para member Spica langsung mengambil kostum masing-masing dan menuju ruang ganti. Tak lama kemudian, mereka keluar dengan kostum baru mereka yang memukau. Setiap kostum dirancang khusus untuk menonjolkan kepribadian unik dari setiap member Spica. Seperti kostum Yuna yang memiliki potongan lurus dengan garis-garis geometris, mencerminkan kepribadiannya yang kuat dan tak goyah sebagai lead singer. Kostum Cia yang berkilauan dengan hiasan payet dan pita ceria yang mencerminkan kepribadiannya yang penuh keimutan dan selalu membawa keceriaan. Kostum Isla yang begitu lembut serta anggun, ditambah siluet biru yang mengalir ke bawah mencerminkan sifatnya yang penuh tenang nan imajinatif. Dewi dengan kostum yang mengedepankan kesederhanaan namun tetap elegan, dengan potongan yang klasik dan simetris. Istar yang kostumnya sedikit lebih berani dan penuh detail, dengan hiasan metalik dan pola yang kompleks mencerminkan kepribadiannya yang ingin menonjol dari yang lain. Kostum Valentin dengan desain minimalis yang dihiasi sedikit motif bintang-bintang kecil. Ini mencerminkan kepribadiannya yang misterius, namun selalu memiliki kehadiran yang kuat. Wulan dengan kostum yang dirancang penuh oleh celah dan mempermudah gerakan sebab betapa enerjiknya gadis tersebut. Kostum Lily penuh dengan struktur dan potongan yang tegas, dengan kombinasi warna hitam yang dominan dan aksen biru terang mencerminkan diri penuh kemandirian. Kostum Rain yang didesain dengan kesan muda dan ceria, menggunakan bahan yang berkilauan dan potongan yang playful memberitahukan sifatnya yang polos nan penuh antusias. Dan Celi dengan kostum berdesain modern nan ketat menggambarkan betapa meliuknya tubuh yang ia miliki, menonjolkan keluwesannya dalam menari."Eh... ah... aduh, kok sempit ya.""Punyaku... juga kelonggaran sepertinya..."Ketika para member Spica mencoba kostum mereka, suasana dipenuhi dengan kegembiraan dan antusiasme, beberapa menyadari bahwa kostum Dewi terlalu sempit, sementara kostum Isla terlihat longgar. Keduanya merasa tidak nyaman, dan ini menjadi masalah yang tidak bisa diabaikan."Aduh, bener, kayanya ada kesalahan waktu pengukuran deh. Tapi kalo dikirim balik buat diperbaiki, bakal makan waktu lama..." ujar Lea sambil berpikir begitu keras."Coba biar saya periksa."Tiba-tiba saja Dara mengulurkan bantuan, setiap orang terlihat tidak percaya mengenai hal tersebut. Ia dengan Dewi dan Isla masuk ke dalam ruang ganti untuk beberapa menit dan selepasnya Dara berkata kepada mereka semua."Kostum ini akan saya bawa sementara, mungkin bisa diselesaikan secepat mungkin.""Eh? Maksudnya...?" Rian bingung dengan apa yang baru saja terjadi."Biar saya yang urus mengenai masalah kostum ini."Keesokan harinya, Dara datang ke kantor dengan membawa peralatan jahit lengkap. Ia langsung bekerja memperbaiki kostum Dewi dan Isla di agensi. Para member Spica tidak bisa menyembunyikan rasa heran mereka. Deru suara mesin jahit seakan menjadi ketertarikan sendiri bagi setiap orang, menyaksikan pekerjaan yang Dara lakukan tanpa adanya suara atau pertanyaan sama sekali. Ia begitu lihai memakai setiap peralatan tersebut seakan dirinya seorang penjahit yang profesional."Aku gak tahu kalau Kak Sekretaris bisa jahit..." ujar Lily tidak percaya."Aku juga gak nyangka." Rian membalas."Loh? Produser juga gak tau kah?""Aku baru kali ini tahu, gak nyangka juga, sama kaya kalian semua."Saat melihat tatapan takjub dari setiap orang, Dara berkata dengan suara begitu datar,"Saya sudah belajar menjahit sedari kecil. Mendiang ibu saya seorang penjahit yang sering mendapat pesanan, sehingga saya sendiri sering membantunya. Oke, sudah selesai."Setelah beberapa jam, kostum Dewi dan Isla telah selesai diperbaiki. Ketika mereka mencobanya kembali, kedua kostum itu pas dengan sempurna. Mendapati masalah tersebut selesai dengan begitu cepat sorak sorai pujian memenuhi ruangan, semua member Spica berterima kasih kepada Dara. Karena berkatnya, kini seluruh member Spica telah resmi mendapatkan kostum mereka untuk Dreamy Festival.Saat teriakan penuh bahagia masih terdengar ke penjuru ruangan, ketukan pintu yang sama sekali tidak terdengar oleh setiap orang kini menjadi perhatian Rian yang kebetulan ada di dekatnya. Ia berjalan ke sana sembari mengecek siapa gerangan yang mendatangi kantor agensi mereka pada malam hari, waktu pintu terbuka ia disambut oleh tukang pos dengan surat di tangannya, ditujukan untuk RP710."Dari siapa ya kira-kira—"Begitu Rian membalikkan surat, terlihat tanda resmi dari Dreamy Festival terpampang di sana. Hatinya kini penuh berdebar, ia segera mengumpulkan setiap orang di tengah ruangan untuk mengumumkan hasil dari pendaftaran Spica ke Dreamy Festival. Lantas, dibukanya surat tersebut dengan setiap orang memandanginya dengan penuh serius."Bagaimana, Produser?""Gimana hasilnya?""Bacain dong, Produser!"Dengan hati-hati, Rian membuka surat itu dan mulai membacanya. "Ini... kabar baik!" katanya dengan senyum lebar."Spica diundang secara resmi ke Dreamy Festival! Kita lolos!"Ruangan itu seketika meledak dengan sorakan kegembiraan. Para member Spica melompat-lompat, berpelukan satu sama lain, bahkan setiap staff pun tidak bisa menahan senyum lebar mereka. Helaan nafas penuh lega terpancar dari wajah Rian, Lea, dan Dara saat menyadari bahwa kerja keras selama berbulan-bulan, memulai dari nol, bisa membuat mereka berhasil masuk ke Dreamy Festival.Rian kemudian membalik lembaran kertas tersebut yang ternyata masih ada sesuatu di baliknya, kembali membacanya dengan lantang."Di surat pun ada daftar dari grup idol lain yang lolos, sekitar 10 grup idol dengan Spica di antaranya. Biar kubacakan—"Saat Produser membacakan nama-nama grup yang lolos ke Dreamy Festival, suasana di ruangan penuh dengan ketegangan. Setiap nama yang disebutkan membuat jantung para member Spica berdebar, menunggu dengan cemas untuk mengetahui siapa saja yang akan menjadi pesaing mereka di event tersebut. Lea pun sesekali menjelaskan sedikit mengenai setiap grup yang disebutkan oleh Rian, memberitahukan ciri khas mereka. Ketika mendekati akhir suasana tetap penuh debar, tibalah pada satu nama yang langsung membuat Rian dan Celi terdiam."— Kawaii Sekai." ucap Rian dengan nada yang sedikit berbeda dari sebelumnya.Seketika mereka berdua terdiam membatu, seolah tidak percaya dengan apa yang baru saja mereka dengar. Kawaii Sekai merupakan grup dance cover yang telah berdiri bertahun-tahun, bahkan Celi dan Rian pun paham akan fakta tersebut, tetapi secara mengejutkan nama mereka muncul dalam Dreamy Festival sebagai sebuah grup idol seutuhnya. Mereka sama-sama dilanda kebingungan, banyak pertanyaan muncul pada saat itu juga."Produser, kamu gapapa? Kok diem gitu?" Lea mencoba mengembalikan Rian dalam lamunannya."Ah— Ya. Oh lupa, aku lagi coba ngecerna kalimat yang ada di bawahnya. Panitia Dreamy Festival mengundang kita juga, yaitu Spica untuk menghadiri briefing mengenai acara tersebut bersamaan dengan grup idol lainnya. Yaitu pada hari Sabtu, 21 Juli 2035."

--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

21 Juli 2035,Pada hari Sabtu, Spica tiba di aula besar tempat pertemuan dengan panitia Dreamy Festival. Saat memasuki aula tersebut ruangan telah riuh dipenuhi oleh para grup idol yang juga berhasil lolos, menciptakan suasana yang penuh antisipasi dan persaingan. Semua orang hadir dengan semangat tinggi, termasuk Spica. Mereka melirik ke sekeliling, memperhatikan grup-grup lain yang akan menjadi pesaing mereka. Para member saling berbisik satu sama lain, beberapa ada yang merasa tertantang dan tidak sedikit juga yang merasa minder ketika dihadapkan langsung oleh rival di depan mata.Begitu berjalan melewati kursi, pandangan mata Celi langsung tertuju pada sebuah grup yang berdiri tidak jauh dari mereka. Ia merasakan jantungnya berhenti sejenak ketika menyadari bahwa gerombolan grup tersebut ialah Kawaii Sekai dan lebih mengejutkan lagi, para anggota yang berdiri di sana adalah mereka yang dulu satu angkatan dengannya."Bagaimana... bisa..."Celi merasakan serangan panik yang tiba-tiba saat melihat Kawaii Sekai. Langkahnya terhenti, pikirannya dipenuhi dengan kebingungan dan ketakutan. Lily, yang berada di belakang Celi, tak sengaja menabraknya."Adu— ada apa Celi?"Celi mencoba menutupi kegelisahannya dengan senyuman yang dipaksakan."Maap, ngantuk tadi." jawabnya, meskipun hatinya terasa sangat sakit. Dia memaksa dirinya untuk melangkah lagi, namun pikirannya tetap kacau."Untuk sesi pertama, kami akan mengumumkan grup-grup idol yang diundang pada Dreamy Festival 2035. Berikut ialah grup idol bersama agensinya—"Lantas layar besar di depan mereka menyala, begitu informasi mengenai setiap idol dibacakan setiap orang pada ruangan tersebut mendengarkan penuh seksama. Dalam sesi tersebut, diketahui bahwa Kawaii Sekai kini dipimpin oleh agensi baru bernama 42P yang semakin memperbanyak pertanyaan dibenak Celi dan Rian."Selanjutnya ialah pengambilan giliran untuk tampil. Setiap grup idol akan diwakilkan baik oleh Produser atau Perwakilan dari agensinya. Pengambilan pertama—"Ketika tiba saatnya untuk mengambil giliran tampil di event, setiap produser maju ke depan untuk memilih urutan penampilan grup mereka. Rian dengan percaya diri maju dan berhasil mengambil urutan ketujuh untuk Spica. Waktu tiba giliran produser dari Kawaii Sekai maju, Valentin tiba-tiba merasa ada yang tidak beres."Pantas... pantas ada yang aneh. Rupanya begitu..." ucap Valentin begitu lirih.Pria dengan wajah serius yang tengah berdiri di depan tersebut ialah petinggi dari perusahaan ayahnya. Seketika Valentin memahami teka-teki yang selama ini membingungkannya. Ternyata, ayahnya telah mengatur agar Kawaii Sekai, yang sebelumnya hanya grup dance cover, bisa menjadi grup idol untuk satu tujuan: mengganggu Spica di Dreamy Festival. Perasaan kesal dan marah memenuhi hati Valentin, ia tidak menyangka bahwa ayahnya sampai turun tangan demi bisa mencapai keinginannya. Menyadari bahwa dengan Valentin saja tidak cukup.Sepulang dari acara briefing, Celi mulai menunjukkan perilaku yang berbeda dari biasanya. Saat latihan, dia tampak sangat bersemangat, selalu berusaha untuk mengulangi gerakan-gerakan yang dirasanya masih salah. Dia bahkan selalu membantu teman-temannya menghapal gerakan yang sulit, melakukan kegiatan yang sangat jarang ia lakukan sebelumnya kecuali diminta. Sosok yang biasanya tenang dan penuh oleh malas kini terlihat penuh oleh gelisah serta kepanikan."Celi, mending kamu istirahat dulu deh... daritadi ngulangi gerakan terus, capek kan?" Valentin berusaha membujuk."Betul kata Valentin, aku juga dah agak mendingan kok soal gerakan itu... kamu bisa istirahat deh.""Engga... engga... yang tadi itu masih kurang, bagian sini agak telat Cia.""Isla pun kelihatan lelah... sebaiknya istirahat sejenak, Celi." Dewi yang berada satu barisan dengan mereka berempat memiliki pendapat yang sama.Melihat perubahan ini, member Spica yang lain merasa khawatir. Mereka mencoba menasihati Celi agar lebih tenang dan menanyakan apakah ada sesuatu yang mengganggunya. Namun, Celi selalu menjawab bahwa tidak ada apa-apa, mencoba menutupi perasaan yang sebenarnya."Ada apa sebenarnya sama dia... kok makin sini makin aneh." Lea yang mengamati dari kejauhan langsung menyadari keanehan yang terjadi pada idolnya.Kegelisahan Celi semakin terlihat ketika dia diam-diam meminta kepada Rian dan Ruri untuk menambahkan porsi latihan khusus untuknya. Rian dan Ruri, yang juga memperhatikan perubahan ini, dengan tegas menolak permintaannya. Mereka khawatir jika latihan Celi ditambah lagi, dia bisa kelelahan sebelum gladi Dreamy Festival dimulai."Aku paham kamu pengin latihan lebih karena kita masih belum sempurna... tapi ini dah lebih dari ambang batas.""Betul kata Produsermu, kalo maksain, kamu bisa cidera Celi. Kamu sendiri paham soal itu kan?""Segini masih kurang... Produser juga ngasih latihan khusus buat member lain kan? Kenapa aku gak bisa dikasih hal yang sama!" tiba-tiba saja suara Celi meninggi dari biasanya."Celi, dengerin kata Produsermu. Kamu gak boleh begitu!" Ruri berusaha untuk menenangkan gadis tersebut.Rian, yang sangat mengenal Celi, segera menyadari alasan di balik keinginan kuatnya untuk diberikan latihan khusus yang jauh lebih berat dari biasanya. Celi merasa takut dengan kualitas Spica saat ini, terutama setelah melihat betapa hebatnya Kawaii Sekai yang sekarang di bawah naungan 42P. Ia telah menyaksikan penampilan grup tersebut dan bisa berkata bahwa memang apabila dibandingkan dengan Spica, maka mereka masih sangat jauh. Semua itu disebabkan oleh membernya yang berisikan anggota dari generasi emas Kawaii Sekai terdahulu, di mana Celi adalah center dari generasi tersebut."Kamu takut bukan, Celi... kalau Spica yang sekarang masih belum cukup apabila bersanding dengan Kawaii Sekai?"Celi terdiam sejenak saat mendengar perkataan yang terlontar dari mulut Rian, menggigit bibirnya seakan Rian berhasil menebak penuh apa yang menjadi alasannya melakukan ini semua."Kawaii Sekai... ikut di Dreamy Festival?" Ruri yang tidak tahu menahu mengenai hal itu pun tercengang."Dengarkan aku, Celi... dengarkan aku soal satu ini saja. Percayalah, percayalah padaku... percayalah pada setiap orang... dan percayalah pada dirimu sendiri."Rian tahu bahwa jika Celi terus memaksakan dirinya, dia bisa merusak dirinya sendiri. Maka, dengan tenang, dia meyakinkan Celi bahwa kekhawatirannya adalah perasaan yang sangat wajar. Meyakinkan gadis tersebut bahwa ia perlu bersabar serta percaya kepada kemampuan Spica yang telah dilatih hingga saat ini. Celi hanya dapat mengangguk lemas mendengarkan bujukan dari Produsernya, memutuskan untuk mundur.'Jika semuanya semudah itu... aku tidak akan merasakan semua rasa sakit ini... Rian.'