Esok hari tiba, bersamaan dengan kabar mengenai hasil pemotretan. Pada siang hari di kantor, Rian tengah menikmati makan siangnya sembari mengecek lembar demi lembar foto yang tersebar di mejanya. Pagi tadi, dia telah mengambil hasil dari studio foto, dan setiap gambar cukup membuatnya puas sebab diambil dan diedit dengan begitu bagus. Senyum mengembang di wajahnya saat dia melihat beberapa foto lucu dari setiap member yang berhasil diabadikan."Hah... panas banget deh belakangan ini." Seseorang membuka pintu kantor.Lea terlihat dari sana, mengeluh akan cuaca belakangan ini. Ia baru saja keluar untuk mengurusi jadwal baru bagi para member idol. Di meja ia menyaksikan Rian yang makan hanya dengan mie cup instan, Lea langsung mengerutkan alisnya dan memarahinya."Produser! Lagi-lagi mie?! Berapa hari coba kamu makan mie cup terus! Makan yang bernutrisi dikittt!" ucapnya begitu keras, bagaikan seorang ibu yang tengah mengomeli anaknya.Rian mengangkat bahu sambil tersenyum kecil. "Uangku buat bulan ini lagi kritis, mau gimana lagi."Dara, yang duduk di meja seberang, mendengar percakapan itu dan ikut menimbrung."Oh, iya omong-omong sewaktu saya bersih-bersih di pagi hari saya menemukan beberapa kertas kuitansi yang berisi pembelian album CD idol. Kira-kira milik siapa ya kertas itu?""Eh— Ah— Anu... itu...." Rian langsung panik."Jadi gitu... gitu ya... wajar sih, wajar buat Produser." Kerutan di dahi Lea semakin menambah, wajahnya pun makin menakutkan dari sebelumnya."Da-daripada bahas itu, kamu mau lihat hasil foto kemarin tidak?" Rian berusaha untuk mengalihkan pembicaraan.Lea mendekati meja Rian dan menyaksikan jejeran foto yang sedang diamati."Gimana hasilnya? Sesuai harapan?""Ya, studio yang kamu saranin mayan juga.""Baguslah, cewek-cewek itu bakal suka waktu liat hasilnya nanti."Begitu jam menunjukkan setengah empat, satu per satu gadis mulai berdatangan ke kantor agensi. Gadis-gadis tersebut segera menyadari jejeran foto yang tersusun rapi di meja. Dengan antusias, mereka menuju ke sana untuk mengamati hasil pemotretan mereka."Yang bener aja, gadis imut ini aku?" ucap Rain tersipu malu."Cewek macam apa yang ngomong dirinya sendiri imut coba. Mana fotoku..." sewaktu Lily tengah mencari fotonya, Cia mengambil foto tersebut duluan."Kocak banget deh fotomu, Lily, ahaha!"Sadar bahwa Cia merebutnya, mereka langsung terlibat pertengkaran kecil, saling mencari foto memalukan satu sama lain. Sedangkan gadis-gadis lain terus menerus mengagumi fotonya masing-masing.Namun, ada juga yang merasa sedikit tidak puas. "Kok yang ini ikut dicetak? Pose ini agak aneh loh." keluh Valentin, meskipun tetap tersenyum sedikit.Rian, yang telah memperhatikan reaksi mereka sejak tadi, melangkah maju. "Mulai hari ini, agensi RP710 akan menggunakan foto-foto ini sebagai profil resmi kalian. Bisa dikatakan, kalian sekarang sudah jadi seorang idol profesional."Semua gadis langsung terdiam, mencerna apa yang baru saja dikatakan Rian. Senyuman dan tatapan bangga mulai muncul di wajah mereka. Mereka menyadari bahwa usaha mereka selama satu bulan telah membuahkan hasil yang tidak mengecewakan.Ketika yang lain tengah merayakan hal tersebut dengan menyemangati satu sama lain, seseorang justru memilih untuk diam seperti biasa. Rian menghampiri Istar yang tengah duduk di kursi bean bag, matanya begitu serius menatap pada foto di tangannya."Ada apa Istar? Kurang puas sama hasilnya?" ucap Rian pelan.Istar menghela napas, lalu menjawab, "Gue cuma khawatir, Produser. Pengambilan foto tuh langkah awal setiap orang yang mau masuk ke dunia hiburan. Gue ragu... apa yang lain bisa kuat nahan gempuran dunia hiburan yang kompetitif banget. Apalagi, jadi idol profesional, tentu kita bakal saingan sama idol atau artis yang lebih terkenal dari agensi lain kan."Rian berdiri di samping Istar, mendengarkan dengan penuh perhatian. Kekhawatiran yang diungkapkan Istar adalah hal yang sangat valid. Ia tahu betul bahwa dunia hiburan bisa sangat kejam dan tidak adil."Gue gak bakal lagi sudi diremehin sama dipecundangi kaya di studio kemarin. Alasan bisa menang kemarin aja gara-gara bawa ketenaran gue sebagai Jasmin. Gue muak sama hal itu. Gue pengin kita disegani karena usaha kita sendiri, bukan karena alasan lain.""Aku paham perasaanmu, Istar. Aku berterimakasih atas bantuanmu kemarin juga. Namun, kamu gak perlu khawatir soal itu."Ia mendekatkan diri dan berbisik pelan pada Istar, "Aku dulu juga seseorang yang bekerja di dunia hiburan. Jadi, janjiku bukanlah janji palsu belaka. Aku bakal bekerja sekeras mungkin untuk bikin kita menang dan bikin grup kita layak disegani di dunia hiburan."Mendengar hal itu serta melihat senyuman tulus dari Rian, Istar merasa sedikit lebih lega. "Gitu ya, kalo gitu gue bisa dikit lebih tenang. Tapi ingat aja, kalau Produser sampai gagal, gue bakal nuntut ganti rugi of course." katanya setengah bercanda, namun dengan nada serius.Rian tertawa kecil, meskipun sedikit ketar-ketir dengan ancaman lembut Istar. Rian dan Istar kembali bergabung dengan gadis-gadis lainnya. Mereka berdua terkejut melihat setiap gadis tengah sibuk menempelkan foto-foto mereka pada sebuah papan kayu yang telah dipasang di dinding agensi."Ini papan dapat darimana?" tanya Rian kebingungan."Ah, aku nemu ini tergeletak di depan toko rongsok di bawah. Waktu tanya apa boleh kupakai, mereka langsung ngasih gratis." Ucap Wulan begitu bangga."Ide siapa coba ini..." Istar ikut menimpal."Aku dong! Foto-foto yang gak kepake atau pengin kalian tempel bisa taruh aja di sini. Aku dah pisahin foto buat agensi sama milik pribadi kok." Biang keroknya adalah Lea.Setiap foto member RP710 yang diambil saat sesi pemotretan kemarin dipasang dengan hati-hati di papan tersebut. Selain foto-foto resmi dari pemotretan, Rian juga menyelipkan beberapa foto yang diambil diam-diam, termasuk momen-momen candid yang menunjukkan kebersamaan dan semangat mereka di luar jadwal resmi. Papan tersebut menangkap tawa, canda, dan kerja keras mereka, yang suatu saat nanti akan mengingatkan mereka semua mengenai perjalanan yang telah mereka lalui bersama.xxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxx20 April 2035,Matahari yang semakin turun menandakan sore mulai tiba. Suara detik jam terdengar jelas dari jam tangan Rian. Sejak tadi, ia terus-menerus melihat jarum jam yang bergerak dan sesekali mengecek HP-nya, seakan tengah menantikan sesuatu yang penting. Di kursi belakang, setiap gadis tengah asyik mengobrol satu sama lain."Produser, Wulan gimana? Ada kabar?" tanya salah satu dari mereka, menyadari ketidakhadiran salah seorang dari grup."Nah itu, biasanya dia gak pernah telat loh. Mana Wulan gak punya hp atau kontak yang bisa dihubungi lagi..." ucap Rian begitu cemas.Kekhawatiran mulai terlihat di wajah beberapa gadis. Mereka mulai berspekulasi tentang apa yang mungkin terjadi pada Wulan. Namun saat kecemasan tersebut semakin menaik, tiba-tiba, dari ujung jalan, terlihat sosok Wulan yang tengah mengayuh sepeda dengan cepat menuju mereka."Itu si Wulan!"Begitu sampai, Wulan turun dari sepedanya dengan napas yang tersengal-sengal dan segera meminta maaf kepada yang lain."Maaf, aku telat. Ada masalah di tempat kerja tadi, makanya buru-buru ke sini abis kelar." jelasnya dengan wajah penuh penyesalan.Setelah memarkir sepedanya, Wulan segera masuk ke dalam mobil agar mereka bisa segera berangkat ke tempat latihan. Dalam perjalanan, Rian tidak henti-hentinya menasihati Wulan, mengingatkan kembali bahwa ia sudah pernah menyarankan agar Wulan berhenti dari pekerjaan sampingannya."Wulan, aku sudah bilang berkali-kali. Kerja sambilanmu bisa mengganggu kegiatan idol dan bahkan kesehatanmu. Lebih baik berhenti saja sejenak." ujar Rian dengan nada tegas."Iya... akan kupikirkan, Produser." Jawab Wulan lemah.Wulan hanya bisa mengangguk pelan, menundukkan kepala tanpa bisa mengutarakan apapun. Ia tahu Rian benar, tetapi situasi yang tengah ia hadapi tidak semudah itu. Bahkan saat latihan pun Wulan terlihat tidak begitu fokus, berkali-kali salah saat menyanyikan lagu."Untuk latihan hari ini sudah selesai. Seperti biasa, masih banyak di antara kalian yang salah dalam menyanyikan not-nya. Terutama Wulan dan Cia, kalian perlu diasah lebih banyak!"Saat sesi latihan selesai, setiap gadis beristirahat sebentar. Cia mendekati Wulan yang terlihat kelelahan."Wulan, kayanya kamu perlu pikiran lagi saran Produser deh. Kita berdua dari minggu kemarin jelek terus latihannya. Sama, aku denger kamu ga punya hp, itu beneran?" kata Cia dengan penuh perhatian."Aku juga mikir keras soal itu kok, Cia. Dan iya... aku gak punya hp. Niatnya mau beli bulan ini, tapi uangku sudah keburu habis buat bayar keperluan adik-adikku."Keadaan Wulan memang jauh lebih sulit dibanding yang Cia pikirkan. Wulan tinggal bersama dengan kelima adik-adiknya, tapi ia tidak mengira bahwa dia akan melakukan hal sejauh itu untuk adiknya, sampai menggunakan gajinya sendiri untuk mereka. Terlebih lagi, begitu miris mendengar bahwa gadis SMA di zaman sekarang ini sama sekali tidak memiliki alat komunikasi, bagi Cia yang hidupnya tidak bisa terlepas dari gadget ia tidak bisa tinggal diam begitu saja.'Kalo ga salah, hp lamaku masih ada apa ya di laci kamar.'Cia teringat mengenai hp usang yang terbengkalai pada rumahnya. Sudah lama sejak dia menaruh hp tersebut pada marketplace namun tidak laku-laku. Jika semakin ditinggalkan takut akan rusak atau tidak bisa terpakai sama sekali, maka Cia memutuskan untuk memberikan hp itu kepada Wulan saja.Setelah selesai latihan, mereka semua kembali ke kantor agensi, menunggu sesi latihan selanjutnya. Beberapa gadis meminta izin menyelesaikan jadwal terlebih dahulu karena ada keperluan penting. Istar harus mengambil take untuk sinetron dan Dewi pergi untuk checkup kesehatan rutin. Hal ini memang sering terjadi di agensi, sehingga jadwal latihan sering dibagi menjadi dua grup yang terpisah.Saat mereka duduk di sofa, Cia mulai menyarankan idenya untuk memberikan HP lamanya kepada Wulan. Awalnya, Wulan menolak tawaran tersebut dengan tegas."Gak usah, Cia. Lebih baik aku beli sendiri aja. Nggak enak nerima pemberian kayak gitu." ujarnya.Namun, Cia punya argumen lain. "Wulan, kamu mending cobain dulu dah hpku itu. Kalau kamu gak suka atau ada masalah, bisa dikembaliin. Seengaknya kalau pake hpku, kamu punya alat komunikasi sementara." kata Cia dengan meyakinkan.Wulan akhirnya setuju dengan syarat tersebut. Lantas, Cia tiba-tiba menyadari masalah lain."Eh, iya, kamu kan gak punya HP sekarang. Gimana aku ngasih tahu alamatku buat ambil HP ini?""Itu mah gampang, tinggal tulis aja alamatnya di kertas. Aku dah paham seluruh jalan di kota sebab sering ngirim paket kesana kemari. Nemuin rumahmu tentu aja bisa dong.""Yakin nih? Gak bakal nyasar?" ucap Cia penuh ragu sembari menulis alamatnya di kertas."Oke, besok aku bakal ke rumahmu. Besok gak ada latihan kan ya?""Ya, kutunggu."Pada hari Sabtu, Cia menunggu dengan sabar dari pagi hingga menjelang siang. Ia telah berjanji dengan Wulan untuk datang ke rumahnya pada pukul 8, tapi hingga pukul 11 siang, Wulan belum juga tiba. Cia sampai bosan karena telah menyelesaikan semua misi harian dari game online yang ia mainkan ketika menunggu. Saat ia hendak beralih ke game lainnya, tiba-tiba ibunya memberitahu bahwa ada teman yang berkunjung."Intaaan, ini ada temenmu dateng!" teriak ibunya dari lorong.Cia yang tahu ia tidak punya banyak teman, langsung memastikan siapa yang datang menemuinya."Siapa, Bu?""Namanya Wulan! Udah cepet sini!"Cia langsung berdiri dari kursinya dan bergegas ke pintu depan. Benar saja, Wulan ada di sana, tampak lelah dengan bajunya yang basah oleh keringat. Ibu Cia sampai terkejut ketika melihat sosok Wulan yang menenteng sepedanya, berkata ia bersepeda dari jauh ke rumah Cia."Kamu... yang bener aja..." Cia sampai terkagum-kagum menyaksikan Wulan betulan bisa mencari alamat rumahnya hanya berbekal kertas alamat belaka, bahkan sambil bersepeda."Maaf ya agak telat, tadi bapakku nyuruh ini itu dulu.""Gapapa kok, ya udah masuk aja sini."Cia mengajak Wulan masuk ke dalam kamarnya, Wulan langsung disambut oleh dinginnya angin dari AC yang terpasang pada kamar Cia."Maaf ya kalo kamarku agak berantakan. Kamu bisa duduk di mana aja, bebas."Wulan memandang sekeliling kamar dengan mata berbinar, matanya langsung terfokus pada meja di kamar sebab terpasang seperangkat komputer di sana."Wow, komputer kamu keren banget, Cia. Baru kali ini aku liat komputer yang kelap-kelip gitu! Beda ya sama yang ada di warnet!""Tentu beda dong... speknya aja jomplang parah. Kalo mau mainan boleh kok, pake aja."Wulan menggelengkan kepala. "Makasih, Cia. Tapi aku nggak bisa pakai komputer secanggih ini. Aku duduk aja ya.""Oke deh, tak tinggal dulu ya bentar."Wulan duduk pada karpet hangat yang berada di tengah kamar sembari menikmati hembusan AC. Sementara itu, Cia pergi ke kulkas dan mengambil minuman dingin lengkap dengan cangkir. Ibunya yang melihat hal itu datang dengan membawa makanan ringan."Sekalian, buat kalian berdua." kata ibunya sambil menyerahkan beberapa bungkus makanan ringan."Ibu gak pernah bilang kalo punya jajan sebanyak ini loh.""Itu kan buat tamu, kalo buat kamu ya beda!"Cia kembali ke kamar dengan membawa minuman dingin dan makanan ringan."Sori bikin nunggu. Nih Wulan, kamu pasti haus abis sepedaan kan, sama ada jajanan manis juga.""Waduh, jadi ngerepotin gini Cia... padahal ga perlu repot-repot loh." Meski mengatakan hal sesungkan itu, tangan Wulan seakan tidak mau berkompromi dan sudah meraih cangkir berisikan minuman dingin.Cia membiarkan Wulan untuk beristirahat sejenak sembari dirinya mengambil hp lama yang ada di dalam laci. Hp tersebut merupakan hp layar sentuh keluaran 2033, yaitu dua tahun lalu, meski disebut usang tapi keadaannya masih begitu bagus. Alasan Cia tidak lagi memakainya karena tidak dapat lagi memainkan game online keluaran sekarang, sehingga ia melakukan lembiru. Ia mulai mengatur HP tersebut, memastikan semua pengaturan dasar sudah siap agar Wulan bisa menggunakannya dengan mudah. Setelah beberapa menit, Cia mengulurkan HP itu kepada Wulan."Coba pake Wulan, udah ku setting semua, tinggal pake doang."Wulan memegang HP itu dengan hati-hati, terlihat agak canggung. "Makasih, Cia. Tapi aku nggak begitu paham cara pakainya.""Hmm, kuajari sekalian berarti."Cia mengajarkan Wulan cara menghidupkan dan mematikan HP, membuka aplikasi, dan mengirim pesan. Ia menjelaskan dengan sabar setiap langkah, dari cara membuka kunci layar hingga cara mengakses kontak. Bahkan mengajarinya bagaimana cara menggunakan internet serta tidak lupa hal-hal penting lainnya seperti memakai aplikasi media sosial.Wulan mencoba mengikuti instruksi Cia, sesekali tersenyum gugup."Kalo balik ke menu awal gimana, Cia?""Pencet tombol yang bawah ini, gambar rumah.""Oh... iya bener."Cia mengamati Wulan yang terkesima oleh hal-hal sederhana seperti ini. Di satu sisi, ia merasa senang bisa membantu Wulan. Tapi di sisi lain, ia merasa sedih melihat betapa besar perbedaan pengalaman hidup mereka."Gimana? Dah paham? Bisa lah ya, gampang kan pakenya? Tinggal pencet pencet doang.""Paham sih, mayan..."Wulan mencari-cari kehadiran jam pada kamar Cia, begitu menemukannya ternyata jarum jam telah berada di angka cukup sore. Dengan tergesa-gesa, ia mulai berkemas-kemas, tetapi hp baru dari Cia masih tetap berada di tangannya."Buru-buru gitu, dah mau pulang?""Engga, aku mau berangkat kerja sambilan."Cia melihat Wulan dengan cemas. "Apa kamu gak capek, Lan? Kemarin habis latihan, trus naik sepeda ke sini, dan mau kerja sambilan.""Aman kok, ini dah biasa bagiku." Ujarnya dengan senyum tipis.Sebelum pergi, Wulan membuka dompetnya dan mengeluarkan beberapa lembar uang. "Berapa yang harus kubayar buat hpnya?""Eh, gak usah. Kan udah tak bilang kemarin."Wulan menggelengkan kepala dengan tegas. "Nggak bisa begitu, Cia. Aku harus bayar. Kamu dah repot-repot sampai ngajarin aku kok."Cia tetap bersikeras menolak, namun Wulan tidak menyerah. Ia tetap mencoba memberikan uang kepada Cia, namun Cia menggerakkan tangan untuk menolak."Aku serius, sumpah. Pakai dulu saja. Nanti kalau ada rezeki lebih, baru kamu bayar. Anggap saja ini pinjaman tanpa bunga, Katanya kamu lagi nabung buat adekmu kan?" kata Cia sambil tersenyum.Wulan akhirnya menyerah dan mengangguk, rupanya cewek tersebut paham mengenai kesulitan yang tengah dialami olehnya. Meski begitu, Wulan memegang teguh hutangnya kepada Cia, bersumpah untuk membayarnya suatu saat nanti."Makasih, Cia... beneran, aku beneran makasih. Kalo semuanya dah kelar, aku bakal bayar. Dan... mungkin bakal berenti kerja sambilan juga."Ketika Wulan membuka pintu depan, dia langsung disambut oleh hujan deras. Menyaksikan hal tersebut Cia menyarankan Wulan untuk menunggu sebentar, sebab hujan deras seperti ini tipe yang bakal cepat redanya."Nunggu reda aja gak sih. Deres banget loh, ada angin juga...""Dah mepet banget waktunya. Soalnya aku naik sepeda, jadi pasti agak lama buat ke sana." Ucap Wulan sembari menggelengkan kepala.Dengan sigap, Wulan membuka bagasi yang terletak di belakang sepeda dan mengeluarkan jas hujan. Ia memakainya dengan cepat dan memastikan semua barang bawaannya terlindungi dari hujan, termasuk hp baru pemberian dari Cia. Setelah semuanya siap, Wulan menaiki sepedanya."Duluan ya, Cia! Makasih banyak!"Cia berdiri di pintu, mengawasi Wulan yang mulai mengayuh sepedanya di tengah hujan deras. Ketika ia hendak menutup pintu rumahnya, Wulan melambaikan tangan dari jauh seakan ingin sekali lagi mengingatkan betapa ia berterimakasih pada Cia."Dasar cewek keras kepala..." ucapnya lirih, sembari menyaksikan sosok Wulan yang perlahan menghilang dalam guyuran hujan.xxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxEsok hari, suasana kantor agensi RP710 dipenuhi keributan dan kecemasan. Setiap member sudah siap untuk latihan, namun kehadiran Wulan menjadi pertanyaan besar. Ketika jam menunjukkan waktu latihan, Wulan belum juga hadir. Rian tampak cemas, mencoba mencari tahu di mana Wulan berada, namun tidak ada yang memiliki kontaknya."Wulan... kok bisa dia telat lagi, kalo telat tiga kali bakal kena peringatan kan?!" Rian begitu cemas berjalan kesana-kemari saat menunggu."Bakal susah sih kalau gak punya hp... gak bisa dihubungi..."Setiap gadis pun ikut-ikutan bingung untuk mengatasi permasalahan tersebut. Tetapi terdapat satu orang yang tampaknya memiliki solusi, segera Cia mengeluarkan hp. Ia telah bertukar kontak dengan Wulan menggunakan hp lamanya dan mencoba menghubungi gadis tersebut di antara kepanikan yang melanda seisi kantor. Ia mengetik pesan sangat cepat, agar bisa mendapatkan balasan secepat mungkin.Setelah beberapa menit yang terasa seperti seabad, sebuah pesan masuk. Cia membuka pesan tersebut dan membacanya. Ia agak sulit untuk mengenkripsi tulisan yang terpampang di sana, sebab ketikan gadis itu begitu acak-acakan. Wajar bagi seseorang yang baru mendapatkan hp baru, terutama hp layar sentuh.'Cia... maaf... aku sakit... gak bisa datang... tolong bilang. Aku... minta maaf ke produser dan yang lain...' adalah hasil dari pemecahan kode Cia."Produser, aku baru saja dapet pesan dari Wulan. Dia bilang kalau dirinya sakit hari ini dan tidak bisa datang, sama... katanya dia minta maaf." Ucap Cia kepada Rian."Eh? Iya kah? Kamu dapat darimana kabar itu?""Wulan sendiri yang ngirim pesan ke aku... barusan.""Loh? Wulan punya hp?""Ya... dia baru saja dapat kemarin."Rian menghela napas panjang. "Okelah, yang terpenting kita sudah tahu dia kenapa. Nanti biar Manajer yang urus mengenai hal itu, sekarang kita harus cepet-cepet ke tempat latihan nari!"xxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxSeusai latihan, Cia masih terbayang-bayang dengan keadaan Wulan. Diam-diam, rasa bersalah menyelinap di hatinya karena tidak memaksa Wulan agar berteduh dahulu kemarin. Ia yakin Wulan jatuh sakit karena nekat menerobos hujan deras, apalagi hujan kemarin bertahan hingga tengah malam yang mengartikan Wulan bekerja ditengah guyuran hujan sekalipun. Makanya begitu menyelesaikan agenda hari ini, ia memutuskan untuk menjenguk Wulan. Tetapi, saat ia menuruni tangga gedung Rain dan Lily datang menghampirinya."Cia! Balik bareng yuk!""Ah, anu... aku ada keperluan abis ini...""Eh? Gitu kah... kalo gitu jalan bentar aja boleh gak? Pengin ngobrolin soal Wulan." Rupanya Lily juga khawatir mengenai keadaan Wulan."Padahal cewek itu keras loh, gak gampang sakit. Soalnya sering bilang suka kerja di sana sini dan berangkat aja naik sepeda." Rain menambahkan."Makanya, waktu denger dia sakit... aku beneran kaget."Cia menyimpan rahasia Wulan dengan baik, tidak ingin mengungkapkan kebenaran yang membuat Wulan jatuh sakit. Tetapi, ia tidak dapat menyembunyikan niatnya untuk menjenguk Wulan, setelah mendengar kedua cewek di sampingnya begitu peduli maka Cia memutuskan untuk memberitahukan niatnya kepada mereka berdua."Niatnya... aku mau jenguk dia sekarang... mumpung hari minggu, latihannya selesai sore."Lily dan Rain langsung merespons dengan sigap. "Kalau gitu, kita ikut! Aku khawatir banget loh sama dia!""Kalian berdua... yakin mau ikut?""Yakin dong! Ya kali ada temen sakit gak dijenguk, sekalian beli parsel apa ya?""Omong-omong, kamu emang tau lokasi rumahnya Cia?" Lily menanyakan pertanyaan yang begitu penting.Sebelum Cia sempat menjawab pertanyaan tersebut ia tertegun sejenak untuk memikirkan jawaban yang tepat. Karena tindakan yang Cia lakukan untuk bisa mendapatkan alamat Wulan, termasuk cara yang tidak baik, sebab ia menggunakan aplikasi di hpnya sekarang untuk melacak lokasi hp lamanya tersebut yang tentu saja berada di rumah Wulan."Wulan sendiri yang ngasih alamatnya ke aku...""Gitu kah! Aku nanti minta nomer hpnya juga ah!"Mereka pun pergi ke alamat Wulan menggunakan bus kota. Menggunakan lokasi yang tertera dari map di hp Cia, penanda tersebut berhenti tepat di hadapan mereka bertiga sekarang. Cia, Lily, dan Rain merasa canggung di depan rumah kecil yang tampak sangat memprihatinkan. Rumah tersebut terlihat reyot dengan beberapa atap yang bolong dan dinding yang masih terbuat dari kayu. Meskipun begitu, rumah tersebut tetap berdiri kokoh, menunjukkan ketangguhan dari usianya yang telah tua."Kuketuk ya..."Ketika Lily mengetuk pintu dan tidak mendapat jawaban, suasana menjadi lebih tegang. Bahkan ia tidak mendapati ada cahaya satu pun dari dalam sana, seakan rumah tersebut tidak memiliki penghuni atau kosong melompong.Rain yang penasaran mencoba mendorong pintu tersebut perlahan. Betapa terkejutnya mereka ketika pintu terbuka dengan mudah karena ternyata tidak terkunci sama sekali."Kok gak dikunci." gumam Rain."Beneran di sini kan rumahnya, Cia?"Cia agak ragu mengenai kebenaran dari pelacaknya, tetapi memang benar tanda tersebut berhenti di sini. Tidak mungkin ada kesalahan dalam sistem gps."Permisi..."Lily memberanikan diri untuk masuk ke dalam, melangkah begitu pelan. Cia dan Rain segera mengikuti di belakangnya, sembari mengawasi ke sekitar. Di dalam rumah, mereka bisa merasakan udara yang lembap dan sedikit pengap. Mereka melihat ruangan yang sederhana, dengan perabotan yang minim dan beberapa barang berserakan."Aku kok jadi takut..." ujar Rain sembari memegangi seragam Lily dari belakang."Jangan ngomong yang enggak-enggak deh Rain, yang di depan itu aku loh!"Ketika mereka semakin dekat ke sebuah ruangan, tiba-tiba sesuatu bergerak cepat dari arah lain, membuat Lily berteriak begitu keras. Rain dan Cia, terkejut oleh teriakan Lily, melompat ke belakang dan berteriak juga. Sosok tersebut terdiam penuh kebingungan di hadapan Lily, lantas suara yang tak asing terdengar dari sosok tersebut."Loh, Lily? Bahkan Cia sama Rain juga?"Ternyata, sosok itu adalah Wulan yang salah mengira mereka sebagai maling. Ia bermaksud untuk menyergap maling yang hendak masuk ke rumahnya. Ketika sadar bahwa situasinya sudah aman, Wulan segera jatuh lemas di lantai."Wulan!"Lily segera membantu Wulan yang jatuh, merasakan bahwa badannya begitu panas."Panas! Panas banget loh tubuhmu!" seru Lily cemas."Cia, Rain, bantu aku bopong dia ke kasur!!!"Cia dan Rain segera mendekat dan bersama-sama mereka membopong Wulan ke kasur. Setelah memastikan Wulan berbaring dengan nyaman, Lily menyuruh Cia untuk mencari handuk kecil dan merendamnya dalam air dingin. Selepasnya ia meletakkan handuk basah tersebut di dahi Wulan untuk membantu menurunkan demamnya."Makasih... makasih banyak semua." Wulan berusaha mengucapkan terimakasihnya meski begitu suaranya begitu lemah."Kok bisa kamu sepanas ini? Kenapa?" tanya Rain."Kemarin, aku maksain buat terus kerja sambilan... hujan-hujanan. Dan, maaf... beneran... gara-gara aku, jadwal latian kalian jadi kacau kan. Seharusnya aku latian bareng kalian bertiga hari ini. Produser, pasti marah...""Udah ga usah khawatirin soal itu, yang penting kamu istirahat dulu sekarang sama minum obat" kata Lily dengan lembut.Cia melihat wajah Wulan yang begitu pucat, segera menanyakan kepadanya,"Kamu dah makan belum, wajahmu pucat gitu.""Belum..." jawabnya dengan sebuah gelengan.Beruntunglah intuisi dari Lily benar, sebelum datang kemari mereka memang memutuskan untuk membeli parsel berisikan buah-buahan terlebih dahulu. Tetapi Lily berpikiran kalau mungkin saja Wulan belum makan sehingga mampir lagi untuk membeli bahan masakan. Sementara Rain dan Lily tengah meracik masakan di dapur, Cia duduk di samping Wulan untuk menemaninya."Maaf ya... malah ngerepotin kalian begini, kalian pasti capek kan abis latihan, seharusnya pulang saja... malah datang ke sini.""Yah, yang pengin jenguk sebenernya aku sih. Rasanya, agak bersalah karena gak maksa kamu buat neduh kemarin.""Cia... apaan coba, ga perlu sampe kepikiran gitu. Yang salah tuh aku sendiri yang ngeyel. Sama, aku kaget juga waktu kalian bisa tahu rumahku dimana, apa Produser yang ngasih tahu?""Engga... itu juga aku yang ngelakuin. Sori, aku ngelacak pake gps yang masih aktif di hp lamaku. Maaf ya." Ucap Cia sembari mengalihkan muka, merasa begitu menyesal setelah melakukannya."Gapapa, gapapa kok. Aku malah bersyukur kalian datang. Kalau gak ada kalian, mungkin aku dah tergeletak sendirian di sini."Cia hanya dapat terdiam saat Wulan mengatakan hal tersebut, sedikit bersyukur ia dapat jujur pada dirinya sendiri untuk satu kali. Wulan berkata bahwa ia ingin mencoba berangkat latihan tadi namun dirinya tiba-tiba ambruk, lantas adik-adiknya mencegah Wulan untuk pergi dan menyuruhnya istirahat saja. Ia meminta maaf begitu sangatnya kepada mereka, dan merasa sudah mengecewakan produser."Produser gak marah sama sekali, dia justru khawatir sama keadaanmu." Ujar Lily yang datang dari dapur, mencoba menenangkan Wulan.Rain, sembari membawa semangkok bubur ayam, menambahkan, "Berkat Cia juga, kita tahu kalo kamu ternyata sakit."Lily membantu Wulan untuk makan, sambil memberinya segelas susu jahe hangat. Ketika Wulan makan, air mata mulai menitik dari matanya, terharu atas kebaikan mereka bertiga. Rain dan Lily ikut-ikutan sedih dan mewek, sementara Cia hanya dapat tersenyum kecil, merasa lega bahwa mereka bisa ada di sana untuk membantu temannya."Makasih, makasih semua... kalian beneran baik, terlalu baik." ujar Wulan dengan suara yang sedikit bergetar."Udah ah, jangan sentimental gitu, aku jadi ikut nangis ntar.""Padahal kamu dah mewek loh, Lily. Tuh."Begitu Wulan menyelesaikan makanannya, Cia mengeluarkan obat yang tersimpan dari tas yang ia bawa dan memberikannya kepada Wulan. Saat Wulan tengah meminum obat tersebut, suara gaduh terdengar dari arah pintu masuk. Rupanya adik-adik Wulan pulang dan mereka berlari ke arah kamarnya, mendapati kakak mereka baik-baik saja bersama teman-temannya. Mereka langsung melompat ke Wulan."Kak Sofi!!!" teriak salah satu adiknya berkata dengan mata berkaca-kaca."Kita sampai lari dari sekolah buat pulang!"Wulan tersenyum lemah, sembari menenangkan kelima dari mereka. Adik-adik Wulan sebenarnya mengikuti kelas tambahan pada hari minggu demi mengejar ketertinggalan mereka di sekolah, meski awalnya mereka enggan berangkat demi merawat Wulan, bapak mereka memaksa kelima adik tersebut untuk berangkat sebab Wulan berkata bisa mengurusi dirinya sendiri."Kakak baik-baik aja kok. Untung ada temen-temen kakak yang dateng, kenalan dulu sama mereka sana. Cia, Lily, Rain... ini kelima adikku. Yang pertama dan paling tua, Bima. Trus, Yudhi. Dan ketiga kembar yang masih kecil ini si Juna, Pandu, sama Dewa."Cia, Lily, dan Rain tersenyum ramah kepada mereka. "Salam kenal ya, kakak Lily loh." sapa Lily. "Oiya hampir lupa." Lanjut Lily seakan mengingat sesuatu.Mereka hampir saja melupakan parsel buah yang hendak diberikan ke Wulan. Karena waktunya begitu tepat, akhirnya diputuskan untuk membuka parsel tersebut agar bisa dinikmati kelima adik-adik Wulan. Begitu Lily dan Cia mengupas buah-buahan yang ada di sana, Rain menyibukkan diri dengan bermain bersama mereka."Gimana? Enak apelnya?" Tanya Lily."Enak! Enak banget!"Adik-adik Wulan mengangguk dengan senangnya, menikmati buah yang telah dikupas dan kehadiran teman-teman kakaknya. Wulan merasa lebih baik melihat keceriaan di wajah adik-adiknya tersebut. Kemudian ia lantas bercerita mengenai kelima adiknya pada Cia dan Lily, berhubung Rain tengah menyibukkan mereka."Sebetulnya, alasan aku gak berenti kerja sampingan karena mereka berlima. Bentar lagi Bima masuk SMA, terus Yudhi masuk SMP, dan tiga kembar itu naik ke SD. Makanya, aku butuh uang biar bisa beli peralatan sekolah mereka."Cia dan Lily diam mendengar dengan penuh perhatian. Lantas Wulan kembali melanjutkan ceritanya."Bapakku bilang mau ngurus soal itu, mau cari uang lebih. Tapi, waktu aku denger kalau dia mau gadai motor yang biasa dipakai buat kerja, tentu aku gak terima. Motor itu berharga buat bapakku..."Lily lantas mengangguk, memahami keadaan yang Wulan alami sembari membalas, "Begitu ya... kamu emang sayang banget ya sama keluargamu.""Tapi Wulan..." Cia menyerobot kesedihan mereka berdua, menghentikan pembicaraan."Kamu juga harus pikirin soal dirimu sendiri. Kalo sampe jatuh sakit, yang ada justru..."Ia terdiam sejenak ketika mengatakan hal tersebut, menyadari bahwa mereka berdua kini tengah menatapnya dengan begitu serius. Cia sadar bahwa perkataan yang tengah dan yang hendak diucapkan sangat tidak etis untuk diucapkan. Kembali, dirinya terbawa akan kejujuran yang ia miliki tanpa menyadari sekitar."Cia..." Wulan memegang tangan Cia begitu lembut."Maaf, lan. Kata-kataku mungkin agak kasar...""Engga... engga kok. Yang kamu bilang sepenuhnya bener. Kalo aku sampe tumbang, semuanya bakal kerepotan. Makasih Cia... makasih Lily dah ngingetin."Ketiga mereka berdua saling memahami satu sama lain, Rain di seberang tengah bermain dengan adik-adik Wulan. Mereka tertawa riang, sejenak melupakan kesulitan yang mereka hadapi."Jangan maksain diri, oke. Kalo kamu ga ada di latihan nyanyi, nanti aku doang yang dimarahi." Ujar Cia, berusaha untuk mencairkan suasana."Hahaha... oke deh. Sampai lupa kalo kita berdua jelek di latihan nyanyi kemarin!"Sore itu, rumah kecil Wulan yang biasanya sepi menjadi penuh dengan tawa dan kehangatan. Mereka semua berbicara, bercanda, dan berbagi cerita, membuat Wulan merasa tidak sendirian dalam kesakitannya. Dukungan dari teman-teman dan adik-adiknya memberikan kekuatan bagi Wulan untuk segera pulih dan bisa kembali berlatih bersama mereka lagi.xxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxBegitu Wulan sembuh dan datang ke kantor agensi, ia langsung meminta maaf kepada semua orang. Rian menatapnya dengan serius, kemudian mulai memarahinya. Wulan menunduk, penuh rasa bersalah. Namun, sebelum Rian bisa melanjutkan, Lea segera memotong."Produser, harusnya kamu gak marahin dia. Sakit itu gak bisa ditebak loh." Ucap Lea begitu tegas.Rian menghela nafas panjang, terus melanjutkan ocehannya, "Aku gak marah ke Wulan gara-gara dia gak datang latian atau bolos. Aku marah karena kamu, Wulan, gak ngabari sama sekali ke agensi dan ke yang lain kalau kamu sakit. Kesehatan kalian itu jauh lebih penting daripada apapun. Jangan pernah maksain diri!""Maaf, Produser... dan temen-temen semua... aku dah ngerepotin kalian.""Jangan bilang ngerepotin gitu ih. Kerjaan kami emang nangani hal-hal repot begini kok. Yang penting kamu dah sehat sekarang.""Betul kata Manajer. Kita itu tim, kita itu satu grup, jika ada yang jatuh tentu sudah jadi kewajiban bagi yang lain untuk membantunya kembali berdiri. Jadi, jangan pernah ragu untuk minta bantuan."Setiap orang mengangguk setuju dengan perkataan Rian. Mereka memberitahukan kepada Wulan betapa mereka khawatir saat Wulan hilang tanpa kabar."Kita tau dari grup, waktu latihan kemarin kamu ngilang." Ucap Celi."Wulan gak punya hp sih, jadi susah dilacak jadinya." Yuna ikut menambahkan."Soal itu, aku sekarang dah punya! Cia yang ngasih ke aku, bahkan kemarin sampai repot-repot dateng buat jenguk bareng Lily sama Rain!" jawab Wulan sembari memamerkan hp barunya itu kepada yang lain.Gadis-gadis lain terkejut mendengar hal itu. "Beneran?! Baik banget deh kalian!" puji Dewi, memandang Cia, Lily, dan Rain dengan kekaguman.Cia, yang tidak terbiasa dengan sanjungan, bingung harus bagaimana menanggapi pujian itu sehingga hanya diam mengalihkan wajahnya yang merah merona. Rian tersenyum melihat kebersamaan di antara mereka semua."Untunglah gak ada hal buruk terjadi. Ingat, jika ada sesuatu hubungi saja aku atau manajer. Nomernya dah pada punya semua kan? Kalian itu idol berharga bagi RP710." Ucap Rian yang kini tengah memberikan kontaknya kepada hp baru Wulan.Ketika mendengar Rian mengucapkan hal tersebut, Celi kepikiran mengenai suatu hal."Btw, kita selama ini dipanggilnya grup Er Pe Tuju Sepuluh terus kan? Susah banget gak sih ngomong gitu terus?"Sontak setiap idol langsung ikut-ikut memikirkan mengenai omongan Celi, banyak di antara mereka yang setuju pada pendapatnya. Selain sulit, julukan itu terdengar terlalu formal, mengingat mereka adalah grup idol cewek. Ditambah, kini mereka sudah jadi grup idol profesional yang tentunya bisa menentukan nama sendiri layaknya Sirius atau GDS35. Berkat bahasan yang dicetus tiba-tiba oleh Celi itu, sekarang terjadi sebuah perdebatan panjang."Kita mikirin nama buat grup kita nih jadinya?" Istar yang sebelumnya tidak tertarik, kini menarikkan diri ke dalam obrolan."Bagusnya yang catchy gak sih biar gampang diinget." Valentin menyarankan."Ada ide gak?" Rain segera menanyakan kepada mereka semua, sebab dirinya tidak terpikirkan apapun.Wulan, yang baru saja sembuh langsung bersemangat sembari berkata, "Gimana kalo nama yang keren, kaya Ksatria X!""Itu mah kaya nama tayangan di minggu pagi yang isinya hero-hero. Yang lebih imut lah..." Lily langsung membantah saran Wulan."Mungkin sesuatu yang berhubungan dengan bintang atau cahaya, kita ingin bersinar di antara yang lain bukan." jawab Yuna."Luminous, gimana?" Cia yang jago dalam bidang idol memberikan ide terbaiknya."Ko-kok kaya nama merk kosmetik yang kupake ya... gak bakal kena copyright kan?" komentar Dewi."Jangan sampai kena copyright dong! Yang original!"Semua member diam sejenak, merenungkan saran-saran nama lainnya. Tetapi bahasan mereka harus dihentikan sejenak sebab telah mendekati waktu latihan, segera Rian berkata kepada mereka untuk memikirkan hal tersebut untuk nanti, kini mereka harus fokus latihan terlebih dahulu.Saat latihan berlangsung, bahkan hingga selesai, gadis-gadis tersebut masih terus memikirkan dan berdebat mengenai nama grup idol mereka. Selama hampir tiga hari, pembahasan tersebut selalu menjadi topik utama. Tidak jarang, topik itu berakhir dengan keributan kecil akibat perbedaan pendapat. Karena sudah mencapai titik buntu tanpa adanya kesepakatan, Rian akhirnya memutuskan untuk turun tangan demi mendamaikan situasi. Dibantu oleh Lea, kini papan tulis putih di kantor agensi penuh dengan berbagai saran nama dari setiap member idol."Oke, sebab tiga hari penuh topik ini selalu menjadi bahasan trending di antara kalian. Pada hari ini juga, kita bakal tetapin nama apa yang cocok bagi grup dari agensi RP710. Semua saran kalian sudah ditulis di papan tulis di depan ini." Ujar Rian sembari menunjuk papan tulis di sampingnya."Kalo gak ada kesepakatan, kita pakai voting aja ya." Lea menambahkan.Rian mulai membacakan satu per satu nama yang tertulis di papan tulis, mencatat tanggapan dan argumen dari setiap member. "Luminous" masih menjadi salah satu nama yang populer, tetapi ada juga nama-nama lain yang menarik perhatian, seperti "Radiant Girls", "Starlight", "Aurora", dan "10 Gadis"."Bentar, bentar. Kita semua emang udah ngasih ide... tapi dari Produser sendiri gimana? Produser belum ngasih saran loh."Mendengar ucapan Lily, Rian terdiam sejenak, tidak mengira bahwa dirinya juga akan ditanya. Setiap gadis saling mengangguk satu sama lain, setuju pada Lily."Aku gak ada ide loh, kuserahin ke Produser aja..." Lea pun melarikan diri dengan sepenuhnya menyerahkan hal tersebut pada Rian.Setelah berpikir menggunakan sepenuh perasaan hatinya selama sekitar tiga menit, Rian mengucapkan saran namanya kepada setiap orang."Kalau 'Spica' gimana?" katanya pelan.Setiap gadis saling memandang satu sama lain. Sampai seseorang berceletuk,"Simpel banget.""Kok namanya sependek itu? Apa ada alasannya?"Mendengar saran darinya dibantah oleh setiap gadis, ia kemudian menanyakan balik kepada mereka semua."Apa ada yang tau atau kenal nama Spica?"Isla, yang dikenal sebagai siswa pintar di sekolah, mengangkat tangannya sembari menjawab, "Spica adalah bintang paling terang di rasi bintang Virgo."Semua member kaget ketika Isla mampu mengetahui hal se-trivia barusan. Rian mengangguk setuju, kembali melanjutkan."Yang Isla bilang tadi benar. Alasan aku milih nama Spica karena itu adalah bintang paling terang dari Virgo. Meski tidak secerah Sirius, bintang tersebut memiliki peran penting bagi manusia dari dulu hingga sekarang. Walau kecil dan tidak begitu terang, jaraknya begitu dekat dari Bumi. Sehingga bisa dikatakan, ia seperti kita. Bukan yang terbesar atau paling terkenal, tetapi bisa menjadi cahaya yang memberikan semangat serta tujuan bagi setiap orang di dekatnya."Setiap member terkesima mendengarkan penjelasan Rian. Bahkan Lea dan Dara sampai terpukau. Rian, yang agak malu setelah memberikan penjelasan, berkata,"Mungkin nama itu terlalu kecil dan pasaran seperti bintangnya."Tetapi reaksi berlainan ditunjukkan setiap member, mereka membantah dan bahkan saling meyakinkan satu sama lain bahwa nama yang diberikan oleh Rian tersebut cocok bagi grup."Kecil emang, tapi paling deket dan terang. Romantis gak sih." Kata Dewi."Sederhana tapi penuh makna, wow..." Yuna mengangguk-angguk saat mengatakan hal tadi."Selama namanya setingkat ama Sirius, sama-sama bintang, gue setuju.""Setuju nih berarti?" Lea menunggu jawaban dari setiap member.Tanpa menunggu lama, setiap orang menganggukkan kepala, memberikan ucapan setuju mereka mengenai nama baru dari grup agensi RP710. Mulai dari ini, nama grup mereka ialah Spica, bintang kecil yang kini menunjukkan sinarnya di antara bintang-bintang lain."Mulai hari ini, kita adalah Spica!"