'Kamu itu gadis SMA biasa!'Biasa, sebutan yang dapat berarti sanjungan atau justru ketidak pedulian. Biasa, mengartikan bahwa seseorang sama seperti yang lainnya, tiada keunikan khusus, tidak menonjol, begitu monoton hitam dan putih belaka. Kehidupan seperti itulah yang pantas menggambarkan gadis tersebut."Aku duluan ya, Kirana!""Ah— Ya! Ati-ati di jalan!"Lambaian tangan ia berikan kepada gadis yang melewatinya. Kirana, ialah nama dari gadis tersebut yang kini tengah terdiam pada lorong kelas. Kini jam telah menunjukkan pukul empat sore, sebetulnya mereka telah pulang sekitar jam tiga tadi, tetapi ia menghabiskan waktu sejenak untuk mengobrol dengan teman sekelasnya. Hanya itulah kegiatan yang sering dilakukannya, sebab dirinya tidak memiliki kegiatan lain sepulang sekolah.Suasana di sekolahnya pada sore hari tersebut dipenuhi oleh keriuhan siswa-siswi dengan kegiatan ekstrakulikuler mereka. Sesekali di lorong ia bisa mendengar suara yang merembes keluar dari lantai lain, berisikan lantunan gitar serta hendakan drum oleh klub musik. Pada lapangan, anggota klub atletik berlari dengan semangat, mengitari halaman sekolah yang luas. Sementara itu, di sudut lain sekelompok cowok sibuk bermain sepak bola, bola yang mereka tendang berputar dan melesat dengan cepat lengkap dengan teriakan penuh antusias mereka.Kirana bukanlah seorang siswi yang sepulang sekolah selalu memutuskan pulang begitu saja, layaknya klub pulang sekolah. Setahun sebelumnya, dirinya telah mencoba berbagai klub ekstrakurikuler di sekolahnya. Ia pernah bergabung dengan klub menggambar, klub musik, dan klub voli, namun tidak ada satupun yang bisa mengisi kekosongan di hatinya. Kemampuannya di setiap klub tersebut tidak menonjol, sama saja seperti anggota lainnya. Di kelas pun, termasuk sama, nilainya tergolong rata-rata, tidak di bawah dan tidak ada yang istimewa.Di tahun keduanya ini, yang hampir habis setengah tahun, Kirana masih merasakan hal yang sama. Tidak ada perubahan signifikan dalam hidupnya. Hari-harinya terasa berjalan monoton tanpa gejolak atau kejutan yang berarti. Ia merasa seperti berjalan di tempat, tanpa arah yang jelas, terombang-ambing dalam samudra nan luas. Ketakutan besar kian merayap, ketakutan akan tenggelam dalam gelapnya laut hitam putih, hanyut bersamaan dengan orang-orang lainnya... yang tahu-tahu sudah menua tanpa dapat merasakan apapun dalam hidupnya.Berdiam diri pada tempat pemberhentian bus, Kirana mengeluarkan ponsel dari sakunya dan mulai memeriksanya. Namun begitu layar terbuka, kekecewaan yang mendatanginya sebab tidak ada satupun pesan atau notifikasi yang masuk. Akun sosial media yang ia jalankan saja tak ada satu pun yang peduli dengan apa yang ia posting atau sukai. Sementara itu, teman-temannya yang ia ikuti memiliki banyak like dan komentar di setiap postingan mereka. Perasaan terasing pun semakin menggelayuti hatinya. Padahal dirinya rajin mengomentari serta bahkan menanggapi postingan mereka, mengapa tiada yang peduli sama sekali dengannya."Eh eh, kemarin tuh si itu, tau gak... si itu loh—"Saat menunggu kedatangan bus, sekelompok gadis menghampiri tempat duduk, dari pakaiannya mereka seperti masih kelas satu SMA. Mereka berbicara dengan riang tentang masa muda mereka yang penuh warna, membahas tentang pacar, momen-momen kebersamaan, dan pengalaman-pengalaman yang penuh dengan naik turun. Berbanding terbalik dengan dirinya, hidupnya terasa begitu lurus dan datar, seperti jalan di depannya yang membentang tanpa belokan. Tidak ada momen-momen penuh warna yang bisa dia ceritakan, hanya rutinitas yang monoton dan perasaan sepi."Terimakasih telah menggunakan layanan kami. Pemberhentian selanjut—"Pintu bus tertutup begitu Kirana turun di tempat pemberhentian yang ia tuju. Kini Kirana hanya perlu berjalan beberapa menit dari perhentian bus ini menuju ke komplek perumahan tempat rumahnya berada. Ia melangkah pelan, menyusuri jalan yang sudah begitu akrab baginya.'Bahkan Reina aja gak balas pesanku.'Sepanjang jalan dia memikirkan mengenai teman akrabnya, yaitu Reina. Mereka tetangga semenjak kecil dan masuk pada sekolah menengah atas yang sama. Bisa dikatakan, Reina sangat sering bergantung kepadanya selama ini, baik sering curhat bahkan sampai minta bantuan PR. Ketika Kirana memutuskan untuk berhenti mengikuti klub-klub di saat menginjak kelas dua, Reina memutuskan untuk terus menetap, ia melanjutkan kiprahnya di klub menggambar, klub pertama yang dulu diikuti oleh Kirana.'Mungkin aja dia lagi sibuk di klub gambar... aku ga boleh berpikiran buruk gitu...'Langit mulai berwarna jingga saat matahari perlahan tenggelam di ufuk barat, menambah kesan melankolis dalam hati Kirana. Ia merasakan hembusan angin sore yang sejuk, perasaan berkecamuk terus menerus terkumpul. Meski hanya beberapa menit berjalan, rasanya seperti perjalanan yang panjang karena beratnya beban pikiran yang ia bawa."Di hati yang kupunya ini, perasaanmu tetap tak pernah terganti~"Suara lantunan lagu yang samar-samar terdengar oleh telinga Kirana, mengalihkan perhatiannya dari lamunan. Langkahnya terhenti sejenak, mencoba mengidentifikasi sumber suara tersebut. Seiring dengan langkah yang kembali diambilnya, suara itu semakin jelas, diiringi oleh instrumen musik yang harmonis. Kirana merasa bingung, karena sepanjang ia berjalan pulang di daerah sini, belum pernah ia mendapati kejadian semacam ini. Rasa penasaran mulai menguasai dirinya. Dengan hati-hati, ia mengikuti arah suara yang semakin menguat."Loh, daerah sini bukannya ada konstruksi ya... kok..."Kirana merasa semakin yakin bahwa jalan yang sedang ia tempuh kali ini penuh dengan keanehan. Biasanya, ia sering melihat peralatan berat seperti truk konstruksi dan bulldozer lalu lalang di sepanjang jalan ini. Namun, kali ini semua itu tidak ada, seolah-olah digantikan oleh suara musik yang semakin jelas terdengar di telinganya. Perasaan penasaran dan sedikit cemas bercampur dalam hatinya. Ia terus melangkah maju, mengikuti alunan musik yang memanggilnya."Dirimu... satu-satunya... yang berada dalam hatiku~"Di depan sebuah distrik pertokoan, Kirana melihat sekelompok gadis yang tengah menari dengan cerianya. Mereka bernyanyi dengan penuh semangat dan energi, senyum merekah di wajah. Meski hanya sedikit orang yang datang menyaksikan, gadis-gadis itu tampak tidak peduli pada jumlah penonton, meneriakkan semangat mereka pada panggung kecil tersebut.Kirana pernah mendengar mengenai sosok yang ada di depannya, sekelompok gadis yang menyanyi serta bernyanyi bersama penuh ceria, dengan berbagai aliran musik. Mereka dikenal dengan sebutan 'idol', sering ia menyaksikan idol tampil di televisi maupun internet. Namun baru pertama kali Kirana menyaksikan penampilan mereka secara langsung.Walau dibilang pertama kali, Kirana takjub dan sekaligus sedikit dikecewakan ekspetasinya, idol secara langsung memiliki kualitas yang jauh berbeda. Terkadang mereka salah menyanyikan lirik, gerakan tariannya tidak selalu sinkron, dan penampilan mereka secara keseluruhan jauh dari sempurna. Kirana bisa melihat bahwa gadis-gadis di depannya ini bukanlah idol yang bisa dibilang bagus, mungkin saja mereka kelompok amatiran."Emangnya idol itu begini ya..." ucapnya.Tanpa sadar, kaki Kirana bergerak sendiri mengikuti antusiasme penampilan gadis-gadis itu sehingga telah berada di barisan terdepan."Memang beginilah idol, pada mulanya."Seseorang menjawab pertanyaan yang padahal diperuntukkan bagi diri Kirana sendiri. Ia menoleh ke samping kirinya, mendapati terdapat seseorang dengan jas rapinya berdiri tepat di samping Kirana. Gadis SMA itu sempat ragu bahwa pria itu tengah mengobrol dengannya, tapi setelah menengok ke berbagai arah, kini memang hanya ada mereka berdua saja di depan panggung."Mereka begitu kikuk, begitu canggung, dan penuh oleh kekurangan. Tapi walau begitu, mereka sama sekali gak takut dan gak ragu bukan. Liat, tetep bisa PD walau banyak salah."Kirana menoleh kembali ke panggung, melihat bagaimana para idol itu saling mendukung satu sama lain, tersenyum dan tertawa meskipun melakukan kesalahan. Ada kehangatan dan rasa kebersamaan yang tulus saling menopang satu sama lain. Yang paling dapat Kirana rasakan ialah, gadis-gadis tersebut entah mengapa terlihat begitu bersinar di atas panggung. Entah mungkin itu karena keringat yang terkena sinar matahari, ataukah efek dari cahaya yang ada di panggung, Kirana tidak tahu jawaban pastinya. Di tengah-tengah penampilan itu, di tengah ketidaksempurnaan itu, Kirana menemukan sebuah keindahan yang sederhana namun murni."Makasih dah pada nonton penampilan Girlish ya! Oiya, jangan lupa dateng ke pusat perbelanjaan. Silahkan!"Seusai penampilan, gadis tersebut memberikan selebaran kepada setiap pengunjung yang menyaksikan dan mereka yang tengah berjalan di sekitar lokasi. Kirana dan pria yang disampingnya tersebut tidak luput, diberikan selebaran promosi pusat perbelanjaan baru. Ternyata idol tersebut disewa untuk mempromosikannya. Ia melihat ke sekitar, tidak sedikit orang yang menolak atau bahkan lewat jalan sini, penampilan yang mereka tunjukan itu... hanya sekedar dipakai untuk promosi semata, tanpa ada pengunjung yang pasti menyaksikan penampilan mereka itu."Datang ya kak!"Kirana menerima selebaran dari salah satu idol tersebut, padahal mereka baru saja tampil, tubuh lelah serta keringat yang membasahi pakaian dapat terlihat jelas pada mata Kirana. Tetapi keringat serta lelah itu tidak menghapus senyuman dari wajah-wajah gadis itu, tiada penyesalan atau rasa kecewa yang terlihat, hanya senyum dan perasaan manis yang mereka bagikan kepada setiap orang.Saat kedua mata mereka bertemu, ia menyadari bahwa mereka sebenarnya hanyalah gadis-gadis biasa, dengan wajah dan penampilan yang biasa saja. Namun, ada sesuatu yang membuat mereka terlihat begitu bersinar. Ia bertanya-tanya dalam hati, apa yang membuat mereka begitu berbeda darinya?"Gimana caranya mereka tetap bisa gitu. Padahal semuanya biasa aja... tapi kok rasanya, berbeda...?"Kedua mata Kirana terbelalak lebar begitu mendengar kata-kata barusan terlontar begitu saja. Ia mengira bahwa isi hatinya telah keluar tanpa dapat disadari. Tetapi saat melihat ke sekitar, pria dengan jas hitam di sampingnya justru menunjukkan wajah penuh senyum. Ternyata suara barusan datang darinya."Pasti tadi itu yang kamu pikirin kan, keliatan banget di wajahmu.""Eh— Ah—"Kirana terkejut dan panik saat seorang pria yang tidak dikenal tiba-tiba menyatakan sesuatu yang tepat mengenai isi hatinya. Tebakan pria itu benar-benar akurat, seolah-olah dia bisa membaca pikiran Kirana. Pikiran buruk mengisi kepalanya— bagaimana pria itu bisa tahu? Apa dia seorang esper yang bisa membaca pikiran, atau justru orang aneh yang berbahaya?Dengan cepat, Kirana memutuskan untuk mengambil langkah mundur perlahan. Ia mengangkat tasnya dan memposisikannya di depan tubuhnya sebagai perlindungan, berjaga-jaga kalau-kalau pria itu memang berniat buruk. Hati-hati dan waspada, ia memandang pria itu dengan sorot mata penuh kewaspadaan."Ah maaf— maaf! Aku gak bermaksud nakut-nakutin atau berbuat buruk ke kamu kok!""Itu kata-kata yang bakal diucapin orang dengan niat buruk. Orang biasa mana bisa baca pikiran, pasti kamu itu pria berbahaya!""Soal itu sih, karna aku lulusan sosiolog, itu hal mudah sih. Cukup dengan liat raut wajah sama gerakan tubuh, bisa ngasih tau apa yang orang lagi pikirin."Kirana merinding, bulu kuduknya berdiri. Pria itu memang tampak aneh dan situasi ini membuatnya semakin tidak nyaman. Tanpa berpikir panjang lagi, Kirana segera mengambil langkah lebih jauh, berusaha menjauh dari pria tersebut."Tuh kan emang orang aneh! Jijik, kriminal, orang cabul yang suka liatin cewek SMA!" teriaknya dengan suara tegas, gemetaran ia memeluk tasnya erat-erat."Bentar bentar, aku gak bakal nyangkal soal itu tapi... dengerin bentar. Aku bisa jawab pertanyaan yang sedang memenuhi kepalamu itu.""Hah?" Sebelum Kirana sempat menggunakan jurus kaki seribunya, ia tertegun mendengar tawaran sang pria."Kamu penasaran kan, bagaimana caranya mereka yang biasa-biasa saja, bisa bersinar kaya begitu?"Sang pria aneh itu merogoh sesuatu dari balik koper yang dibawanya, membuat Kirana semakin waspada. Jantungnya berdegup kencang, bersiap-siap kalau pria itu ternyata seorang pelaku kriminal. Namun, ketika pria itu mengeluarkan dan menunjukkan selembar kertas, Kirana melihat sesuatu yang tidak ia duga sama sekali.Pada kertas yang ditunjukkan oleh sang pria, tertulis informasi mengenai perekrutan idol. Mata Kirana membesar saat membaca tulisan di selebaran tersebut. Pria itu memperhatikan reaksi Kirana dan dengan lembut berkata,"Agensi yang kujalankan tengah mengadakan audisi untuk grup idol. Kalo kamu tertarik, kamu bisa mencoba mendaftar di sana."Kirana, dengan sedikit enggan, meraihkan tangannya pada kertas tersebut. Ia masih merasa waspada, namun melihat senyuman tulus yang diberikan oleh pria itu, perasaannya mulai melunak. Akhirnya, Kirana mengambil selebaran itu dan membacanya dengan lebih cermat. Tertulis di sana informasi lengkap mengenai perekrutan idol, termasuk tanggal, waktu, dan tempat audisi, serta persyaratan dasar yang harus dipenuhi."Aku percaya bahwa setiap orang bisa bersinar seperti para idol, sebab itulah impianku. Yaitu membuat mereka bersinar selayaknya bintang di langit malam."Setelah mengucapkan kata-kata barusan yang terdengar sangat keren, pria itu pergi meninggalkan Kirana. Gadis tersebut terdiam di tempat, heran bagaimana bisa ada orang mengucapkan hal sememalukan itu dengan wajah yang biasa-biasa saja tanpa sedikit pun raut malu. Dengan selembar kertas di tangannya, Kirana memikirkan kembali mengenai para idol yang baru saja ia saksikan.Selama ini, Kirana selalu merasa bahwa dirinya hanyalah orang biasa, tidak memiliki keistimewaan yang dapat membuatnya bersinar. Namun, penampilan para idol tadi memberikan perspektif baru. Mereka juga adalah gadis-gadis biasa yang, dengan usaha dan semangat, berhasil menarik perhatian dan membagikan kebahagiaan kepada orang lain. Akankah hidupnya akan jauh lebih berwarna apabila mengikuti jalan yang terbentang lebar di depannya ini? Dengan perasaan campur aduk Kirana memasukkan kertas tersebut pada tasnya, kembali melangkah pulang menuju kehidupannya seperti biasa.
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
'Dasar cewek aneh!'Kata-kata kasar terlontar dari sekelompok gadis SMA sembari mereka meninggalkan seseorang yang tengah jatuh tersungkur di tanah. Gadis yang terjatuh tersebut, dengan tatapan kosong dan ekspresi datar, berdiri perlahan setelah para pengganggu pergi. . Kotoran yang menempel di baju sekolahnya ditepuk perlahan, seakan itu adalah tindakan otomatis yang dilakukan tanpa benar-benar dipikirkan. Ketika didorong jatuh oleh mereka, pada lengan kanannya terdapat luka gores dengan darah segar mengalir dari sana. Meski terdapat luka yang terlihat sakit itu, wajahnya tidak berubah sama sekali, kosong bagaikan tidak merasakan rasa pedih dari luka.Dia melangkah pelan, meninggalkan tempat kejadian, menuju ke suatu tempat di mana dia bisa merasa aman, meski hanya untuk sesaat. Jam sekarang merupakan jam istirahat makan siang dimana setiap siswa akan menghabiskan waktunya untuk makan atau mengobrol satu sama lain. Tetapi bagi gadis tersebut, tempat paling cocok baginya adalah taman kecil yang ada di belakang sekolah. Di sana ia bisa menghabiskan waktu sendirian tanpa gangguan manusia, sembari mengamati makhluk-makhluk kecil yang menghuni taman.Gadis itu, meski sering diabaikan dan dihina oleh orang-orang di sekitarnya, menemukan pelipur lara dalam kecintaannya terhadap serangga. Serangga-serangga itu, meskipun kecil dan tampak tak berdaya, selalu berhasil bertahan dalam situasi yang sulit. Mereka bergerak dengan tekun, tanpa mengenal lelah, mencari makan, membangun sarang, dan melindungi diri dari ancaman. Gadis itu melihat mereka sebagai simbol ketahanan dan keuletan, sesuatu yang ia harapkan bisa ia temukan dalam dirinya sendiri.Pada kamar kecilnya, ia mengoleksi banyak sekali akuarium kecil, berisikan serangga-serangga yang telah mati. Hobinya ialah taxidermis serangga, meski dianggap aneh atau kejam sebab mengumpulkan serangga yang sudah mati, ia memperlakukan mereka dengan penuh perhatian dan kasih sayang. Baginya, ini bukan hanya sekedar hobi, melainkan sebuah cara untuk menghormati kehidupan yang dulu pernah ada. Setiap kerangka yang ia susun seakan bercerita tentang perjuangan dan ketahanan, memberikan inspirasi yang tak terucapkan namun mendalam. Akuarium-akuarium kecil tersebut dihias dengan indah, menggambarkan habitat alami serangga-serangga tersebut. Setiap detail, dari dedaunan mini hingga bunga-bunga kecil yang terbuat dari kertas, dibuat dengan teliti. Gadis itu merasa bahwa dengan melakukan ini, ia memberikan penghormatan terakhir kepada makhluk-makhluk kecil itu, mengabadikan keindahan dan ketahanan mereka dalam bentuk seni."Sandra! Ibu panggil daritadi tidak nyaut. Makan malamnya dah siap!" Teriakan ibunya dapat didengar saat pintu kamarnya terbuka.Ibunya, dengan perasaan campur aduk antara kekhawatiran dan iba, berdiri di ambang pintu kamar Sandra. Saat pintu terbuka, Sandra berbalik menghadapnya dengan tatapan yang kosong dan wajah tanpa ekspresi. Meski pintu dibuka tiba-tiba, tidak ada reaksi kaget atau terkejut yang muncul dari putrinya itu. Sandra selalu menjadi teka-teki bagi ibunya. Sejak kecil, ia kesulitan mengekspresikan perasaannya. Tidak pernah ada tawa yang lepas atau tangisan yang tersedu-sedu. Hanya tatapan datar dan sikap tenang yang kadang terasa begitu menyesakkan. Ia telah berusaha mencari tahu mengenai anaknya dengan mencoba bertanya atau memahaminya, tapi hasilnya selalu nihil.Sandra, dengan perasaannya yang tumpul dan kebingungan yang mendalam tentang emosi, merasa bahwa kecintaannya pada serangga hanyalah pelarian dari dunia yang tidak bisa ia pahami sepenuhnya. Meski ia merasa nyaman di antara koleksi serangganya, Sandra selalu merasa ada sesuatu yang hilang, sesuatu yang tidak bisa ia pahami. Namun tidak ada yang bisa membantunya, atau mengajarkan bagaimana cara memahaminya.Suatu hari, saat sedang mengejar kumbang tanduk langka di taman, ia tidak sengaja menabrak sebuah papan pengumuman. Kumbang tersebut terbang menjauh, meninggalkan Sandra yang fokus menatap pada sebuah poster berwarna di sana. Terdapat sebuah gambar seorang gadis yang bersinar dengan kostum imutnya, menyampaikan pesan tentang perekrutan idol. Pamflet tersebut mengatakan bahwa menjadi idol memungkinkan seseorang untuk mengekspresikan dirinya dengan bebas."Idol..."Sandra terpaku, memandangi poster tersebut. Ada sesuatu dalam kata-kata itu yang menarik perhatiannya. Ekspresi diri dengan bebas—sebuah konsep yang begitu asing baginya, namun terdengar begitu menjanjikan. Sandra mulai berpikir bahwa mungkin, dengan menjadi seorang idol, ia bisa menemukan cara untuk memahami dan mengekspresikan perasaannya. Mungkin, melalui proses itu, ia bisa berkembang menjadi sesuatu yang lebih besar dan lebih indah, bagaikan ulat yang berubah menjadi kupu-kupu.--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
'Ikuti saja perkataan ayah, sebagai anak kamu harus patuh!'"Citra, kamu ikut kan party besok? Ikut yah, plis. Soalnya kalo kamu gak ikut ga bakal rame!""Erm, gimana ya. Kupikir dulu deh. Soalnya banyak banget yang ngajak aku.""Widih, cewek populer emang beda ya! Yaudah, kabari aja ya nanti!"Suara gelak tawa terngiang-ngiang di telinga Citra saat menatap gadis dengan baju penuh gayanya tersebut pergi bersama teman-temannya. Kedudukanya di kampus memang bisa dikatakan bagai primadona, seseorang yang menjadi pusat segalanya. Setiap orang akan selalu berlomba-lomba mendekati bahkan ingin mendapatkan Citra demi banyak alasan. Seperti agar bisa dekat dengan banyak teman ceweknya, demi bisa dipamerkan ke teman-teman cowoknya, atau demi mendapatkan relasi ke berbagai orang terkenal lainnya.Citra sadar betul bahwa mereka ingin bersamanya sebab title yang ia miliki, bukan karena mereka peduli kepadanya sebagai individu, sebagai seorang Citra sendiri. Apabila tujuan telah dicapai oleh mereka, maka Citra akan langsung ditinggalkan begitu saja. Atau bila ekspetasi mereka tidak bisa dipenuhi, maka cemoohan yang akan Citra dapatkan. Terkadang, itu membuatnya merasa kesepian, terperangkap dalam citra yang diciptakan oleh orang lain.'Yang terkuat, yang terkenal, dan yang memiliki karisma yang memenangkan segalanya. Orang lemah hanya bisa mengikuti yang kuat, ingat itu.'Ucapan ayahnya kembali menghantui pikiran Citra. Selama ini Citra selalu berusaha agar dirinya bisa mendapatkan perhatian setiap orang, agar dirinya dapat berada di puncak tertinggi. Ia rela melakukan apapun yang bisa dilakukannya, seperti memanipulasi orang lain agar saling bertengkar satu sama lain, menjatuhkan orang lain tanpa mengotori tangan sendiri, memanfaatkan balas budi orang ketika berhasil dia bantu, dan berbagai cara kotor lainnya. Apabila dia terkenal, apabila dia populer, tentu banyak orang yang akan mengikuti di belakangnya dan tak ada yang bisa mempermasalahkan apapun yang dia lakukan. Setidaknya itulah yang Citra pikirkan, beruntunglah ia hanya memakai itu sebagai batu loncatan agar bisa di puncak, sampai saat ini ia tidak memakai kemampuannya untuk hal yang jauh lebih kotor seperti ayahnya.Ya, awal dari segalanya adalah dari didikan ayah Citra. Sikap dan perilaku Citra tampaknya dipengaruhi oleh nilai-nilai yang ditanamkan oleh ayahnya, seorang CEO yang menekankan pentingnya kemenangan dan keberhasilan di atas segalanya. Ia adalah CEO perusahaan besar yang ada pada Jakarta, membawahi banyak perusahaan-perusahaan kecil lain, mendominasi mereka dalam genggaman tangan besi. Kegagalan... kelemahan, adalah hal yang tidak bisa diterima oleh ayahnya sehingga Citra dipaksa agar menjadi pemenang sejati.Berada di puncak tertinggi memanglah menyenangkan, tiada yang bisa menjatuhkanmu, dan segalanya dapat terlihat begitu jelas di atas. Tapi rasanya seakan keberhasilan dan kepopulerannya hanya membawa lebih banyak kesepian daripada kebahagiaan. Ketenangan di puncak seringkali datang dengan harga yang mahal, terutama ketika tidak ada orang yang benar-benar memahami atau mendukungnya sebagai dirinya sendiri. Mereka yang ada di belakang Citra hanya mengikutinya sebab pangkat yang ia miliki, sebab ketenarannya, bukan dengan tulus mendukungnya. Segalanya terasa begitu palsu, itulah yang Citra rasakan.Telepon berdering ketika Citra tengah duduk sendiri pada sebuah kafe. Nomor yang meneleponnya tersebut berasal dari sang ayah, beribu pertanyaan muncul dalam benak gadis itu sebab ayahnya sangat jarang menelepon dirinya kecuali ada sesuatu yang penting hendak dibicarakan. Maka dari itulah tanpa menunggu lama, ia segera mengangkatnya."Selamat siang, ayah.""Citra. Sedang dimana kamu.""Saya, tengah berada di kampus. Apa ada sesuatu, ayah?" Ia terpaksa berbohong, karena ayahnya tidak akan diam saja jika mengetahui Citra berada di tempat tidak berguna seperti kafe."Apollo Production, yang selama ini menolak merger dengan ayah tengah membuat gerakan. Mereka berpikir itu bisa mencegah perusahaan lemah mereka itu dari kebangkrutan. Maka dari itu, mulai besok kamu akan ayah suruh untuk menyusup ke mereka.""Menyusup? Tetapi ayah, saya masih ada kul—""Tidak ada tapi. Kamu harus ikuti perintah ayah. Mulai dari besok kamu akan kumasukkan ke agensi mereka."Tanpa ada perkataan lain maupun ucapan yang bisa Citra lontarkan ayahnya langsung menutup panggilan. Citra hanya dapat terdiam seribu kata, menggigit bibirnya sendiri dengan penuh amarah. Ia geram karena ketidak berdayaannya, saat dia telah berada di puncak, melakukan apa yang ayahnya inginkan, tapi tidak dihargai sama sekali. Ayahnya tidak lain dan tidak bukan hanya memandang Citra sebagai sebuah alat, yang hanya dapat diam dan menurut. Tiada kata tapi, bagi seorang Citra.--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
'Liat tu cewe, badannya semok banget!'Puspa baru saja lulus dari universitas dengan gelar sarjana di bidang ekonomi. Dengan penuh semangat, ia mulai mencari pekerjaan yang sesuai dengan bidang studinya. Namun, perjalanan ini ternyata tidak mudah. Sudah beberapa kali ia mengirim lamaran kerja ke berbagai perusahaan, tetapi selalu berakhir dengan penolakan atau tidak ada kabar sama sekali. Pada zaman sekarang, mencari pekerjaan memang membutuhkan banyak hal lain selain secarik kertas bernama ijazah yang dipegangnya. Kebanyakan butuh pengalaman, butuh skill, bagi Puspa yang selama ini hanya tahu bagaimana lulus cepat tanpa melakukan hal-hal lain seperti hobi sebangsanya menyebabkan dirinya kesulitan sekarang."Wih, liat tuh, gede banget itunya!"Setiap kali Puspa berjalan di sepanjang trotoar atau menunggu di halte bus, kepalanya selalu menunduk. Bukan karena ia malu dengan dirinya sendiri, tetapi lebih karena perasaan tidak nyaman yang selalu menghantuinya. Puspa memiliki tubuh yang diberkahi lebih daripada wanita lainnya, menyebabkan lawan jenis selalu terpikat dan sering kali menarik perhatian yang tidak dia inginkan. Puspa sering kali menjadi sasaran tatapan kurang sopan, godaan, dan komentar yang tidak diinginkan dari pria-pria yang tidak dikenalnya."Ssst... Cantik banget sih, Mbak! Mau ke mana?" seru seorang pria dari seberang jalan. Puspa hanya menunduk lebih dalam, mempercepat langkahnya untuk segera pergi dari situasi tersebut.Kali ini dirinya harus bergegas sebab hendak menghadiri wawancara pada suatu perusahaan dimana dirinya mendaftar kerja. Dengan berpakaian rapi dan berkas-berkas lamaran di tangan, ia bertekad untuk memberikan yang terbaik pada wawancara kali ini. Namun, sepanjang perjalanan menuju kantor perusahaan tersebut, Puspa sering kali menghentikan langkahnya demi melakukan hal-hal lain yang menurutnya lebih penting pada saat itu.Di persimpangan jalan, ia melihat seorang nenek tua yang kesulitan menyeberang. Tanpa ragu, Puspa segera menghampiri dan membantu nenek tersebut menyeberang jalan dengan aman. Tidak jauh dari sana, ia mendengar tangisan seorang anak kecil yang tersesat. Puspa menghabiskan waktu beberapa menit untuk menenangkan anak itu dan membantunya menemukan ibunya. Ketika melihat seorang pria tua yang berjuang membawa barang dagangannya, Puspa dengan sigap menawarkan bantuan dan membawakan barang-barang itu hingga ke lapak si pak tua.Gadis tersebut memang dikenal sebagai seseorang yang sangat suka membantu orang lain. Sejak dulu, ia selalu merasa senang ketika bisa meringankan beban orang lain, meskipun hal itu sering kali membuat dirinya terlambat atau kesulitan dalam urusan pribadinya. Tidak jarang pula, kebaikannya ini dimanfaatkan oleh orang-orang yang kurang bertanggung jawab. Mereka sering meminta bantuan dari Puspa untuk berbagai hal tanpa pernah memikirkan balasan atau penghargaan, dan Puspa pun tidak pernah meminta imbalan atas kebaikannya.Hari itu, ketika akhirnya sampai di tempat wawancara, Puspa terlambat hampir satu jam dari waktu yang telah ditentukan. Dengan napas terengah-engah, ia menjelaskan kepada petugas resepsionis alasan keterlambatannya, tetapi pihak perusahaan tidak bisa menunggu lebih lama lagi. Ia ditolak sebelum sempat masuk ke ruang wawancara. Dengan hati yang berat, Puspa keluar dari gedung kantor tersebut, merasa kecewa dan lemas. Matahari siang yang terik menambah rasa penat di tubuhnya yang sudah kelelahan.Sembari berjalan pada trotoar yang panas, Puspa memikirkan langkah apa yang harus diambil selanjutnya. Bidang pekerjaan yang sesuai dengan ijazahnya semakin sedikit, dan peluang untuk mendapatkan pekerjaan semakin menipis. Kegagalan demi kegagalan membuatnya semakin cemas. Jika tidak segera menemukan pekerjaan, Puspa tahu bahwa hidupnya akan semakin sulit, usianya hendak menginjak ke umur 25 tahun.Ketika Puspa hendak berbelok di sudut jalan, pikirannya masih melayang-layang memikirkan kegagalan demi kegagalan yang ia alami dalam mencari pekerjaan. Karena kurang fokus, ia tidak melihat seseorang yang berjalan dari arah berlawanan dan mereka pun bertabrakan. Keduanya jatuh tersungkur, barang-barang yang dibawa pria itu berserakan di trotoar.Puspa terkejut dan buru-buru ingin meminta maaf. Namun, sebelum ia sempat mengucapkan kata-kata, pria yang ditabraknya sudah bangkit berdiri. Wajahnya tampak sangat cemas dan khawatir."Anda tidak apa-apa kan? Saya benar-benar minta maaf..." Alih-alih marah, pria itu meminta maaf dengan sangat tulus dan segera membantu Puspa berdiri.Puspa tertegun. Pria itu tinggi, dengan rambut hitam yang agak acak-acakan, kontras dengan pakaian rapi yang dikenakannya. Sepertinya dia seorang karyawan suatu perusahaan. Kedua mata hitamnya menatap langsung ke mata Puspa, penuh perhatian dan ketulusan. Kebanyakan lawan jenis mungkin akan fokus pada tubuh yang ia miliki ketika berbicara dengannya, tetapi pria yang berada di depannya ini tampaknya sama sekali tidak meliriknya."Syukurlah anda tidak terluka, saya sedang buru-buru jadi tidak fokus." Seusai memastikan Puspa tidak terluka, dia segera mengambil kertas yang berserakan di tanah, dimasukannya kembali pada tas koper kecil yang dibawa.Puspa masih terdiam, terkejut oleh ketulusan dan perhatian yang ditunjukkan pria itu. Mulutnya terbuka, tetapi tidak ada kata-kata yang keluar. Ia hanya bisa menatap pria itu yang dengan sigap mengumpulkan barang-barang bawaannya yang jatuh."Saya permisi dahulu." pria itu memberikan senyuman kecil sebelum berlari pergi, ia memang sedang terburu-buru.Pipinya sedikit memerah sebab mendapati pertemuan yang tidak terduga seperti barusan. Baru pertama kali ia menemukan seorang pria yang sangat gentleman sepertinya, meminta maaf terlebih dahulu, membantunya berdiri, bahkan sampai memastikan dirinya tidak terluka. Ia kembali lagi dari lamunannya, menemukan sesuatu tergeletak di tanah, pada tempat pria tersebut jatuh."Apa ini? Kertas?"Puspa mengamati kertas kecil yang ia temukan di tanah, yang ternyata adalah kartu nama. Tertera di sana: "RP710, Rumah Produksi 710." Pikirannya langsung terarah pada pria yang tadi ia tabrak. Barangkali ini adalah salah satu barang yang jatuh dari tasnya. Tanpa ragu, Puspa memutuskan untuk mengembalikan kartu nama tersebut kepada pemiliknya. Kini fokusnya bukan lagi mencari pekerjaan, tetapi mengembalikan barang yang tertinggal dan memenuhi rasa terima kasih atas tindakan baik pria tadi. Beruntunglah alamat dari perusahaan tersebut tertulis lengkap di belakangnya, yang rupanya masih berada pada kota tempatnya tinggal.Dan dengan begitulah, perjalanan Puspa bermula. Untuk menemukan RP710, Rumah Produksi 710 tempat pria gentleman itu berada.