9 Januari 2035,'Kamu tertarik gak jadi produser idol?'Perkataan tersebut kembali terngiang pada telinga Rian saat dirinya terbangun dari tidur. Bagaikan mimpi, Rian berkali-kali memastikan bahwa semuanya memang mimpi, tetapi dia telah bangun sepenuhnya. Apa yang dia dengar kemarin adalah kenyataan, pesan pada smartphone yang tengah dipegangnya menjadi fakta konkrit.'Bapak Dirut sudah menyetujui, nanti kamu berangkat seperti biasa saja. Ada utusan dari Bapak Dirut yang bakal bimbing kamu nantinya.' Pesan dikirim pukul 22.00, kemarin."Yang bener aja... jadi produser... idol?"Kilas balik mengenai peristiwa kemarin. Di saat Rian mengira dirinya hendak dipecat sewaktu disuruh menghadap Pak Hendra secepat mungkin. Rupanya, Apolo Production berniat untuk ikut dalam demam idol yang tengah ramai belakangan ini, mengutus seseorang agar menganggung jawabi proyek besar berupa mendirikan grup idol. Kebanyakan petinggi menolak proyek tersebut, termasuk Pak Hendra, maka dari itu... dengan berbagai alasan dia ingin Rian agar mengambil proyeknya."Impianku... jadi kenyataan?"Rian sempat terdiam beberapa menit, tidak menyangka mengenai perubahan nasib dirinya yang begitu naik pesat. Pak Hendra mendesak Rian agar menerimanya, karena ini kesempatan langka dan merasa Rian cocok sebab menggemari idol. Sehingga ya, Rian menerima tawaran itu.Senyum lebar terlihat dari wajahnya, ia tidak lagi enggan untuk bangun sekarang, justru sangat bersemangat untuk menyambut hari. Kini, langkah baru telah dimulai, lembaran kertas terisi pada buku cerita Rian. Keinginannya hanya satu, yaitu untuk segera berangkat ke kantor. Oleh sebab itulah, larinya ketika mengejar bus terasa begitu ringan. Bahkan dia rela memberikan tempat duduk di kereta listrik kepada orang lain, memilih berdiri berdesak-desakan. Kekuatan dari aura positif memang sangat menakutkan bukan."Pagi pak!""Widih, tumben berangkat cepet Rian!"Satpam yang biasa menyapanya saja sampai kaget saat melihat sosok Rian tidak lagi berangkat mepet pada waktu ceklok. Memasuki kantor saja sampai menyapa banyak orang dengan senyum lebar, sampai yang disapa bertanya-tanya sebenarnya kenapa dia."Pak Rian."Seseorang memanggil namanya ketika ia hendak pergi menuju ke lift, Rian memalingkan wajahnya, menemukan seorang wanita berpakaian sangat rapi berdiri membawa sekumpulan dokumen. Di lehernya terdapat tanda pengenal khusus, menandakan bahwa dia orang penting dalam perusahaan."Iya, apa ada yang bisa saya bantu?""Bapak Dirut menugaskan saya untuk menemui anda. Bisa anda ikut bersama saya?"'Ah, jadi dia yang dimaksud.' Pikir Rian dalam hatinya."Oke..."Tanpa berkata lagi, ia segera memencet tombol lift meski kesulitan membawa dokumen. Pintu lift terbuka, Rian menawarkan diri untuk membawa dokumen sang wanita tapi ditolak mentah-mentah. Keadaan di dalam lift begitu canggung sebab Rian tidak berani untuk membuka mulut, selain di sampingnya adalah orang penting, wajahnya sangat serius dan menakutkan."Sebelumnya Pak Rian sudah tahu mengenai proyek idol ini?" tanya sang wanita tiba-tiba."Belum... saya hanya dengar dari Pak Hendra kalau... erm..." Rian bingung hendak memanggil siapa sang gadis karena belum mengetahui namanya."Ah, saya lupa memperkenalkan diri. Saya Dara, sekretaris Dirut. Tapi untuk sekarang sudah dipindah menjadi sekretaris anda. Jadi mohon kerjasamanya, karena saya akan melaporkan setiap keadaan kepada Dirut.""Eh— Ah— Ya, salam kenal Bu Dara."Bukannya tenang karena sudah tahu mengenai namanya, Rian dibuat panik bukan kepalang karena dia adalah tangan kanan dari Dirut langsung. Sekali dia berbuat aneh-aneh, karirnya bisa berakhir dalam sekejap mata.Lift terbuka pada lantai 5, Bu Dara keluar dari lift diikuti oleh Rian di belakangnya. Tidak begitu banyak orang yang terlihat pada lantai 5 dan ini kali pertamanya menginjakkan kaki di lantai tersebut, setelah dia bekerja selama beberapa tahun di kantor. Menggunakan tanda pengenal, Bu Dara membuka pintu otomatis. Rak-rak besi tinggi berjejeran, penuh oleh dokumen-dokumen di dalamnya."Eh—" Rian terkejut ketika pintu di belakangnya kembali tertutup secara otomatis, mengunci mereka berdua di dalam."Lebih baik kita berdua bicara di ruang arsip ini, biar sedikit yang dengar."'Memangnya orang lain gak boleh tau soal proyek grup idolnya kah?' Rian bergumam."Kamu juga diharapkan tidak membicarakan soal proyek idol ini kepada siapapun. Dari awal, proyek idol ditujukan kepada para petinggi saja, mereka sampai diancam agar tidak membocorkannya kepada yang lain. Tapi karena Pak Hendra berhasil bernegosiasi dengan Pak Dirut, sekaligus meyakinkannya, kamulah yang terpilih menjalankan proyek itu.""Ja-Jadi proyek ini itu... rahasia?""Ya. Pak Dirut sendiri bicara, mana sudi dia memberikan proyek sebesar ini pada kamu. Tapi ya... dia ingat kalau kamu hanya karyawan biasa, kalau misal gagal atau terjadi sesuatu, membuang kamu itu sangat gampang."Bu Dara mengatakan hal tersebut dengan begitu datarnya, tiada rasa bersalah atau sungkan sama sekali. Menengguk ludahnya sendiri, mental Rian semakin menciut. Sebenarnya apa kesalahannya selama ini sampai dia dipasangkan dengan wanita semengerikan Bu Dara."Makanya... untuk sementara kamu akan dianggap dipecat dari perusahaan, sebab akan dipindahkan ke produksi yang lain. Proyek ini diberikan kantor serta anggaran tersendiri.""Iya... kah. Saya lega dengar soal itu...""Saya ditugaskan mengawasi anda, maka dari itu."Seusai menaruhkan semua dokumen pada tempatnya, Bu Dara menyodorkan smartphonenya di hadapan Rian. Rian memahami gestur darinya, ikut mengeluarkan ponsel dari saku."Kita bertukar kontak. Selepas ini, segera kemasi barang-barang di meja kerjamu dan pergi ke tempat yang dituju. Saya kirim nanti seusai menyelesaikan semuanya.""Ba-Baik... terima kasih banyak."Bunyi dari kontak yang telah tertukar menjadi akhir dari perbincangan mereka berdua. Bu Dara pergi ke lantai lain sementara Rian harus mengemasi barang yang ada di meja kerja. Masih banyak hal yang ingin ditanyakan kepada Bu Dara, tetapi perawakan bagai robotnya, yang bergerak sesuai perintah... datar... tidak berperasaan membuatnya sulit mencari kesempatan."Rian, katanya lu kemarin dipanggil Pak Hendra, kenapa?" Seseorang menyapa Rian, ternyata dia adalah kolega yang duduk tepat di samping mejanya."Anu... urusan penting.""Penting? Yang lain bilang malah katanya lu dipecat."'Ah iya... lupa jika tadi aku memang dianggap dipecat.' Gumam Rian dalam hatinya. Mau tidak mau dia harus mengasah skill acting yang sedari awal tidak dia miliki, berpura-pura semeyakinkan mungkin."Iya... makanya aku beres-beres meja. Aku dipecat." Rian tidak lupa mengubah raut wajahnya menjadi sedih."Yang bener aja... gua tau lu sering bikin salah, tapi masa sampe dipecat. Kalo emang bener, kenapa gak dari dulu... malah sekarang dipecatnya."'Ni orang—' Mendengar ejekan itu membuat Rian kesal, jika dia bisa, sekarang juga ingin memukul pria di hadapannya ini."Ya udah.. baek-baek ya.""Iya... maaf kalo selama ini aku banyak salah." Rian berpamitan dengannya.Meninggalkan meja kerja yang telah menemaninya selama dua tahun, Rian berjalan ke lift. Di belakang sayup-sayup pembicaraan mengenai dirinya yang dipecat mulai tersebar, mengartikan bahwa akting tingkat rendah miliknya sudah cukup untuk menarik ikan-ikan agar berkumpul. Satu hal yang menurutnya berat adalah untuk berpamitan dengan satpam yang selama ini menyapa dirinya setiap pagi. Dari semua orang di kantor, hanya kepada dia saja yang sulit untuk mengucapkan perpisahan."Dipecat?! Yang bener saja... padahal tadi pagi baru pertama kali liat Rian gak telat loh!""Iya pak... mau gimana lagi. Namanya nasib..." Rian tidak ingin berpisah dengannya, namun dia harus segera pergi karena Bu Dara telah mengirimkan alamat dari kantor barunya."Yang tegar ya Rian... Kerjaan lain masih banyak kok di luar sana. Moga dapet kerjaan lain secepatnya ya.""Iya pak... makasih banyak."Berbohong bukanlah hal yang disukai oleh Rian, mau sebaik apapun alasannya. Berbohong meninggalkan perasaan memuakkan dari dalam dirinya. Dalam pekerjaan yang dia geluti, justru berbohong adalah skill yang paling utama dan sering digunakan. Akan sulit bertahan di pekerjaan apabila tidak pandai berbohong, sudah berapa banyak orang yang Rian bohongi agar dirinya bisa mendapatkan tanda tangan."Terakhir... semoga ini kebohongan terakhir yang bisa kuucapkan. Untuk selanjutnya... aku bakal patahin... kebohongan yang sering kukatakan pada diriku sendiri. Bahwa impianku... memang tidak bisa terwujud.""Alamatnya... gak salah kan... ya?"Rian membandingkan alamat yang diberikan oleh Bu Dara dengan apa yang tengah terlihat di depannya. Di pesan tertulis bahwa lokasinya ada di gedung tersebut... lantai ketiga. Namun yang dilihatnya di lantai satu toko rongsokan... toko kedua reparasi komputer... dan lantai tertinggi gudang penyimpanan. Bisa dibilang, sebuah gedung yang tidak begitu cocok untuk memulai grup idol."Me-mending cek dulu..." Rian menaiki tangga yang berada di kanan bangunan, suara nyaring dari toko rongsokan dan tempat reparasi komputer memekakkan telinganya."Gimana aku bisa fokus kerja kalau dihimpit bising kaya gini..." keluhnya.Sesampainya di lorong lantai tiga, terdapat satu pintu kayu berjendela tunggal. Pada pintu tersebut tergantung tulisan,"RP710" yang ditulis dengan spidol."Bener sih, katanya ada pintu dengan tulisan RP710. Pintunya aja reot begini, didobrak sekali bisa ambruk kayanya." Rian mengetuk-ngetuk pintu tersebut."Oiya, kunci." Merogoh saku celananya, Rian segera menggunakan kunci yang dipercayakan Bu Dara.*cklek*"Permisi..." perlahan, dia mendorong pintu tersebut.Ruangan yang sepi didapati oleh Rian, sepi bukan karena dia sendirian di dalamnya tapi interior dan furniturnya sangatlah sepi. Menaruh sepatu pada rak, Rian segera menaiki lantai dan berkeliling pada kantor barunya. Terdapat sekitar dua ruangan dengan satu kamar mandi di dalamnya. Di bagian terluas kantor telah ditempatkan dua meja kerja lengkap dengan kursi, lemari dokumen, serta penyekat ruangan yang bisa dipindahkan. Tumpukan kardus pun menarik perhatian Rian, ia coba mengintip isi dari kardus tersebut yang ternyata furnitur lain yang belum terpasang. Tampaknya perusahaan hanya menaruh apa yang bisa ditaruh saja dan dibiarkan begitu saja. Bisa diamati dari kotornya lantai, debu yang menempel di kaca, serta penataan ruang yang teramat kacau."Agak bosan kalau nunggu Bu Dara..." Rian membuka ponselnya, mengamati kotak pesan yang kosong melompong."Kantor baru... ya..."Ia melihat ke sekitar... tidak terbayang dalam benaknya bahwa dirinya bisa memiliki kantor tersendiri. Meski terlihat kurang layak, berada di tempat yang kurang meyakinkan, setidaknya di tempat inilah... impiannya mungkin terwujud. Menepuk kedua pahanya, kedua mata Rian berbinar-binar, dia telah menetapkan tekadnya."Oke!!! Waktunya beres-beres!!""Hm? Pintunya gak kekunci..."Bu Dara yang sampai pada depan pintu menyadari hal tersebut ketika ia menggerakkan gagang, artinya Rian sudah sampai di sana terlebih dahulu. Begitu dia masuk ke ruangan, terdapat sosok Rian yang tengah mengelap kaca jendela begitu giatnya. Kardus-kardus yang sebelumnya asal ditaruh kini tiada di pandangannya, tetapi barang-barang yang dia ingat ada di dalam kardus tersebut telah tertata begitu rapi pada seisi ruangan. Seperti pot bunga, papan tulis besar, sampai kipas ruangan yang telah terpasang. Bu Dara terheran-heran pada Rian, dalam waktu 2 jam saja... dia bisa melakukan ini semua."Ah— Bu Dara dah datang rupanya. Maaf saya gak sadar... terlalu fokus ngelap, hehe." Rian menyapanya dengan tawa kecil, kemeja putih yang dikenakannya terdapat kotoran di berbagai tempat, tanda dia memang terlalu fokus."Maaf ya, kamu jadi beresin kantornya. Padahal bisa nyuruh cleaning service...""Gapapa kok... itung-itung hemat uang. Tadi sedang gabut aja, sayanya."Rian menarik kursi kantor, mempersilahkan Bu Dara untuk duduk dahulu. Karena kantor ini tidak ada ac, satu-satunya cara agar angin segar masuk hanya dengan membuka jendela. Maka dari itu, Rian membuka jendela kantor dan menyalakan kipas yang sudah susah payah dia rakit sendiri."Mulai dari sekarang, di kantor inilah kita bakal bekerja. Dirut menamainya sebagai, RP710, seperti yang ditulis di depan pintu. Kepanjangannya yaitu Rumah Produksi Tujuh Sepuluh.""Rumah Produksi Tujuh Sepuluh kah..." Rian duduk di depan Bu Dara."Saya kurang paham soal idol atau sebangsanya... sama persis sama kaya kamu, tiba-tiba ditunjuk begitu saja. Tapi satu hal yang pasti, Pak Dirut ingin grup idol dapat didirikan dan bisa berjalan.""Ahaha... soal itu bisa diusahakan..." bingung hendak menanggapi apa, Rian melepaskan tawa terpaksa."Sebelum bicara soal grup idol... kita perlu cari staff terlebih dulu, Bu Dara.""Panggil Dara aja, risih pakai Bu Dara. Saya memang suka dibilang kaku dan terlalu formal sama yang lainnya, tapi kita sudah satu kapal sekarang. Dan pangkatmu yang jauh lebih tinggi dari saya di sini.""Eh— Gapapa... Bu— Dara... Dara aja gapapa?""Ya, trus, lanjutkan lagi soal staff tadi.""Soal staff... ya, butuh banyak orang seperti pelatih tari yang menangani latihan dance para idol, komposer lagu untuk membuat single, serta kita perlu office staff untuk menangani marketing dan kontrak. Mengenai hal barusan, apa... dari perusahaan sudah disediakan?"Dara memandang Rian dengan wajah datar, tanpa ekspresi sama sekali. Rian merasakan firasat yang sangat tidak enak dari pandangannya itu, sepertinya pertanyaannya sudah terjawab langsung hanya dengan pandangan mata."Ha-Hanya ada kita berdua saja?""Dua. Saja."Rian menepuk jidatnya sendiri, kepalanya tertunduk. Bagaimana bisa mereka membangun grup idol dengan dua orang staff saja. Jadi mereka disuruh mencari sendiri, tanpa bantuan perusahaan sama sekali. Mencari staff sendiri butuh waktu yang sangat lama dan tidak boleh abal-abal pula."Serta, hal terpenting yang harus kusampaikan... grup ini harus bisa didirikan dan siap sebelum bulan Agustus.""Hah?! Agustus?! Januari, Februari, Maret... April, Mei, Juni, Juli... Tujuh bulan lagi?!""Dreamy Festival, ada di bulan Agustus kan. Pak Dirut ingin kita tampil di situ."Bulan Agustus, pertengah tahun menjadi ajang panas bagi setiap grup idol karena Dreamy Festival. Panggung pertama bagi idol yang hendak menjadi besar, sebab disitulah mereka diberikan kesempatan untuk membuktikan semuanya. Ajang bergengsi, bagi idol baru untuk saling beradu dan menjadi yang terbaik. Mereka yang berhasil mencapai puncak tentunya akan menjadi terkenal dan diundang untuk ikut acara tertinggi di akhir tahun."Gimana caranya... staff gak ada... audisi saja belum... dan Agustus harus tampil di acara sekelas Dreamy Festival." Kepala Rian semakin menunduk ke bawah."Kita berdua memang sudah dijebak oleh perusahaan. Mau berhasil atau tidak, kita berdua sudah dibuang. Maka dari itu... saya mohon kerjasamanya... Produser." Dara menarik kursinya menjauh ke meja kerja, meninggalkan Rian yang masih mematung.Beban pada kedua bahu Rian kian bertambah, mungkin dirinya tidak bisa lagi untuk kembali menatap ke atas dengan semua bebannya sekarang. Bagaimana tidak, diberikan waktu 7 bulan untuk mendirikan idol, benar-benar dari 0, tanpa adanya staff dan audisi sama sekali. Dia tidak punya pengalaman apa-apa soal bidang tersebut, pengalamannya menggemari idol sangat berbeda dengan mendirikan idol itu sendiri. Darimana dia harus memulai, apa yang harus dia lakukan, Rian sama sekali tidak mengerti... bagaikan pengembara yang terjebak pada gurun pasir.Ketika dia tengah terdiam termangu, sesuatu jauh dari saku kemejanya. Kertas kecil, selebaran dengan wajah ceria gadis-gadis terpampang di sana.'Tolong datang ya kak!'Dirinya terbayang sosok idol yang membagikan selebaran tersebut padanya, di bawah terik matahari, di tengah orang-orang yang tidak memperdulikannya. Gadis semuda dia saja... berani membagikan kertas yang tidak bernilai seperti ini... dia saja berani menyapa setiap orang demi grup idol yang mungkin tidak terkenalnya itu bisa disaksikan orang. Kenapa justru dia, yang diberi kesempatan untuk mewujudkan impiannya... yang belum saja bermula... malah menyerah?Pungguk saja terus menatap bulan walau dia tidak bisa menggapainya, mengapa dirinya justru tidak berani menatap pada langit... pada tempat bulan berada?"Dara... aku bebas memilih siapapun staffnya kan?""Soal itu, saya serahkan pada Anda. Selama masih dalam anggaran dan menurut Produser sendiri kemampuannya bisa dipakai, saya sepenuhnya mengikuti.""Oke... soalnya, aku baru kepikiran satu orang yang pantas untuk kurekrut."Rian mengambil ponselnya dan segera mencari kontak yang telah tenggelam di antara nomor-nomor client. Begitu dia menemukan seseorang yang dia cari, tanpa adanya keraguan, dia segera menelpon dirinya."Halo? Rian? Tumben nelpon, ada apa? Minta saran lagi?" suara dari balik ponsel menyapa Rian."Bukan... tapi aku pengin nanya satu hal.""Apaan?""Aku pengin nagih janji kita, janji sakral semasa dulu."
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
"Jadi, apa yang ingin kamu tagih, sampe aku repot-repot datang kemari?"Pada panas teriknya matahari, seorang gadis berdiri di depan gerbang stasiun. Setiap orang yang melewatinya tidak bisa melepas pandang, bukan sebab penampilannya yang begitu cantik menawan... melainkan dia sangat tidak nampak seperti gadis pada umumnya. Jaket kulit hitam, dalaman merah gelap bertuliskan kata-kata berbahasa inggris, dan tidak lupa celana pendek berantai miliknya. Sangatlah nyentrik bukan. Rambut coklatnya pun begitu pendek, jika bukan karena dua kaliber yang tersembul dari balik bajunya, mungkin dia sudah disangka seorang cowok rocker."Seperti biasa nyentrik banget bajumu, Lea...""Tentu aja. Trus...""Ah, bicaranya jangan di sini, pindah dulu. Orang-orang pada liatin." Rian merasakan tatapan tidak enak ketika tengah berbicara dengan Lea, mereka jadi perhatian utama di gerbang sekarang.Mereka berdua sampai pada taman terdekat, Rian merasa bila berada di kafe terdapat kemungkinan informasi bocor sebab terdengar orang. Siang hari di taman tidak begitu banyak orang berkeliaran, sembari menikmati minuman yang dibeli, kedua sahabat tersebut dapat kembali berjumpa setelah sekian lama."Gimana kerjaan? Butuh saran lagi? Dah lama kamu gak minta saran loh?""Soal tu... sebenernya aku belum lama ini abis dipecat, haha.""HAH?! Dipecat?! Ko bisa?! Kamu gak minta saran ke aku sih sebelum kena masalah!" Lea terkejut mendengar mengenai informasi tidak terduga tadi.Selama ini, Lea memang telah membantu Rian dalam pekerjaannya. Rian yang awam pada dunia hiburan yang diperlukan banyak kemampuan berbicara, selalu meminta saran pada Lea yang notabene seorang public-speaker yang hebat. Namanya sering terpampang di sosial media, penampilannya memang nyentrik dan membuat orang tidak menyukainya, tetapi ketika dia berbicara... justru kebalikan... mereka akan setuju dengan omongannya yang pandai memanipulasi."Makanya... aku nawarin kamu, mumpung dah dipecat.""Nawarin? Soal janji dulu itu? Kamu yakin mau wujudin?""Ya."Lea memandang sahabatnya tersebut, dari kedua matanya tidak menunjukkan keraguan sama sekali. Ia yang jeli dalam membaca wajah sampai tidak percaya Rian bisa sebegitu yakin dengan jawabannya tersebut. Kembali, ia mengingat mengenai ucapan Rian semasa mereka masih satu SMA. Masa dimana mereka berdua masih labil, terbutakan oleh mimpi semata."Lea, kalo misal aku bikin grup idol. Apa kamu mau ikut bareng aku?"Dua muda mudi tersebut begitu menggemari grup idol, generasi pertama dari Sirius. Pada saat itu mereka yang menyukai idol dianggap sebagai pecundang, karena terlalu menganggungkan gadis muda. Banyak yang berpendapat bahwa idol merusak masa depan bangsa, menghancurkan otak para muda-mudi dengan lagu-lagu cinta dan tarian yang vulgar. Lea dan Rian tidak lepas dari rundungan teman-temannya, meski begitu, rasa cinta mereka pada idol tidak menciut sama sekali."Apa kamu mau, jadi tangan kananku, Lea?" Perkataan dari Rian membangunkan lamunannya, Rian di masa kini kembali mengingatkannya.Selama ini dirinya ragu pada Rian, sebab bergabung pada dunia hiburan. Dia berpikiran bahwa suatu saat Rian akan lupa pada mimpi mereka, sebab dunia tersebut bergelimangan emas, banyak yang lebih menggiurkan dibandingkan mendirikan sebuah grup idol. Tapi... rupanya tidak, Rian masihlah polos dan naif seperti dahulu... seperti Rian muda yang ia kenal. Dia tidak paham mengenai apa yang akan dia hadapi nanti, Lea yang membantunya sampai saat ini paling paham mengenai hal itu. Maka dari itu, yang bisa dia lakukan hanya mencegah Rian agar tidak terjerumus ke jurang yang dalam."Yah~ aku lagi ga banyak job juga... mungkin bisa. Lagipula, kamu ga bisa apa-apa tanpa aku kan? Bakal kutepati kok janjiku." Lea membalas keraguan Rian dengan sebuah senyuman."Oke! Makasih! Makasih banget Lea... aku takut banget loh kalo kamu nolak." Rian terharu."Apa sih yang engga buat bestieku. Yang penting ada bayarannya ya." Dia memukul pundak Rian karena jijik melihat seorang pria dewasa justru tersedu-sedu di hadapannya."Trus, persiapanmu apa aja? Jangan bilang cuma baru ngajak aku doang?!" Lea melanjutkan obrolan mereka berdua."Aduh... sante aja. Soal persiapan udah ada kok. Aku jelasin nanti di kantor.""He— kantor? KAMU PUNYA KANTOR?!"Sesampainya di kantor, bukannya sambutan yang Rian terima justru celotehan antar dua wanita yang saling beradu argumen satu sama lain."Aku capek-capek percaya padamu, tapi malah bawa gadis antah berantah seperti ini?!""Hah?! Gadis antah berantah?! Asal lu tau aja, gua tuh lulusan sosiolog! Jadi influencer sana sini! Enak aja bilang gadis antah berantah!""Sosiolog darimana! Aku yang punya gelar tiga aja gak sesombong kamu!"Rian dengan keras mencoba melerai kedua wanita tersebut tapi malah kena getahnya, dia ikut kena marah karena tidak membicarakan mengenai hal ini kepada mereka berdua. Dara mengira bahwa Rian membawa gadis tidak jelas untuk dijadikan staff karena pakaian Lea sangat tidak mencerminkan orang yang bisa diandalkan. Lea yang baru saja datang dan dibilang seperti itu tentu saja tidak terima, dia sewot dan terjadilah perang dunia ketiga pada kantor kecil ini."Dara... bentar dulu tolong dengerin. Cewek ini, ah iya, kenalin, ini Lea. Lea, ini Dara."Ketika coba memperkenalkan keduanya, pandangan dari kedua gadis yang disebut saling berlawanan. Bagaikan dua kutub magnet yang sama."Lea ini kenalan aku sejak SMA, bisa dibilang sahabatku. Lulusan Sosiolog dan seorang influencer terkenal, dia sudah jadi pembicara dan jadi brand ambassor banyak produk. Aku cukup percaya padanya, dia yang ngajarin aku selama ini di kerjaan.""Dan Lea, Dara ini sekretaris di kantorku dulu. Dia jago ngurusin dokumen dan anggaran. Seperti katanya, gelarnya aja ada tiga... jadi sebisa mungkin kita saling kerjasama satu sama lain... oke?" Lanjut Rian, mencoba bernegosiasi.Menyaksikan Rian yang berusaha keras untuk mencairkan suasana, Lea dan Dara berpikiran bahwa mungkin mereka juga terlalu berlebihan. Mereka nantinya akan saling bekerja dalam waktu cukup lama di bawah atap yang sama, apabila pertemuan pertama berakhir buruk, bagaimana ke depannya. Sehingga mau tidak mau menyisihkan ego masing-masing."Begitu kah... ya, lagipula kita kekurangan orang, setiap bantuan dibutuhkan." Dara menanggapi."Selama kita emang mau diriin grup idol, aku bakal bantu sebisa mungkin. Tenang aja, kemampuanku ga bisa diraguin kok." Lea tidak mau kalah."Iya kah! Kalo gitu Lea bakal jadi manajer. Dara jadi sekretaris dan aku produser. Kita tinggal cari staff lainnya.""Staff lain...? Sebentar, persiapan yang kalian punya apa aja? Aku belum dijelasin loh." Tanya Lea.Dara dan Rian saling memandang satu sama lain, di antara mereka berdua sama-sama tidak ada yang berani menjelaskan kondisi kantor saat ini kepada Lea. Namun tatapan Dara yang begitu tajam, mengatakan pada Rian bahwa dia harus menjelaskannya karena dirinya yang sudah merekrut Lea. Rian pun menjelaskan situasi kepada Lea, sangat rinci, sampai-sampai kedua mata Lea terbelalak lebar selama dijelaskan."Jadi... kalian masih kekurangan staff... tidak punya komposer... tidak punya pelatih tari... tidak memiliki studio... belum mulai mikir soal audisi... dan semuanya harus selesai sebelum bulan Agustus." Lea menghitung satu persatu kesimpulan yang dia dapatkan dari penjelasan Rian.Rian hanya bisa menengguk ludah pahit, tidak berani berkata apa-apa. Dia sangat khawatir Lea bakal meninggalkan mereka apabila sudah tahu keadaan yang tengah dihadapi oleh RP710."Situasi yang sangat gila nan keos... tapi biarlah. Selama impianku bisa jadi nyata, gas saja. Aku gabung kok, jadi apa yang bakal kita lakuin..."Produser Rian ?"