Idol, apa yang terlintas dibenakmu ketika mendengar kata tersebut? Seseorang yang memiliki banyak penggemar, sosok yang menjadi model bagi lainnya, pujaan, ataukah mereka yang telah berada di puncak? Setiap orang memiliki definisi tersendiri, setiap orang pun memiliki pendapat yang benar bagi diri mereka sendiri. Namun, bagiku, idol... adalah bintang di langit nan malam.Mereka begitu banyak, begitu terang, menemanimu di saat malam yang gelap gulita... di saat dirimu takut akan kegelapan yang hendak menelanmu utuh-utuh. Bintang bak lautan tersebut, menerangi langit, walaupun begitu... banyak di antara kita yang tidak begitu mempedulikannya. Ya, sebab setiap dari mereka yang bersinar satu sama lain, kehadiran mereka tidak akan dianggap kecuali sinarnya melebihi ribuan bintang lainnya. Hanya sedikit bintang yang mampu terlihat bersinar sedemikian terangnya. Oleh sebab itulah, mereka saling bersinar beriringan, berdampingan... membentuk konstelasi... menciptakan sebuah kesatuan yang begitu indah. Konstelasi itu, tidak terbentuk dengan sendirinya, dengan imajinasi manusia... keindahan itu mampu tercipta.Dan impianku, tidak lain dan tidak bukan, adalah untuk menciptakan konstelasi... layaknya Orion... yang dikenang oleh umat manusia. Bukan berupa bintang, namun idol... yang bersinar satu sama lain pada panggung angkasa, memukau setiap orang dengan cahaya terang, menerangi langit gelap mereka."Apakah impian tersebut telah terwujud, wahai diriku?"Sekejap setelah perkataan tersebut terlontar, keheningan kamar sirna oleh dering alarm. Nyala yang begitu keras diiringi getaran mengganggu tidur pria yang tengah terlelap pada tidurnya. Matanya berkedut, seakan tidak ingin terbangun dari dunia mimpi... tetapi perkataan yang menyayat hati serta alarm yang terus berdering seakan menjadi pukulan telak. Sehingga mau tidak mau dia meraihkan tangan kepada smartphone di meja."Err—" erangnya, meluapkan kekesalan begitu alarmnya berhenti.Pria tersebut memandang kosong pada langit-langit kamar yang gelap, otaknya yang setengah bangun itu mulai memikirkan mengenai banyak hal, satu persatu. Apa saja yang harus dia lakukan setelah ini, bagaimanakah dia menghadapi dunia di luar pintu sana, bagaimana menyapa koleganya sewaktu sampai di kantor, menahan diri dari amarah atasan— dan begitu banyak hal lain yang membuatknya pusing. Rambut tidur yang telah acak tersebut kian acakadut ketika dirinya menggaruk begitu kencang kepalanya, mencoba menghapus pikiran-pikiran tadi.Menyingkap selimut, kakinya ia tapakkan ke lantai, bersiap menghadapi langkah pertamanya pada hari ini. Sebelum itu, diperiksalah smartphone pada meja yang menujukkan hari dan jam.Senin, 8 Januari 2035. Pukul 06.00."Padahal baru kemarin hari minggu, tidak terasa... Kembali hari senin."Minggu, hari libur bagi setiap orang yang biasa digunakan untuk menghibur diri telah usai. Kini sang pria hanya dapat menghela nafas panjang, melangkahkan kakinya untuk menuju ke kamar mandi. Rutinitas berjalan seperti sedia kala, kembali pada realita. Ia perlu bersiap-siap selayaknya 'masyarakat yang fungsional'. Berbeda dari kalangan-kalangan lain seperti pelajar, pensiunan dan pengangguran. Menjadi masyarakat nan fungsional adalah tahapan terakhir manusia, sebelum mencapai akhir dari garis yaitu menjadi pensiunan. Diharuskan melewati roda tiada akhir, rutinitas tiada ganti, dan kewajiban yang harus di taati.Seusai membersihkan dirinya, pria itu telah mengenakan kemeja putih lengkap dengan dasi dan celana hitam formalnya. Menyalakan api pada kompor, ia menghangatkan makanan semalam untuk dijadikan sarapan. Rasa dari makanan yang didiamkan semalaman memang tidak begitu enak, tetapi cukup untuk mengenyangkan perut. Karena, hey, sarapan adalah hal yang sangat penting di pagi hari... atau apapun itu yang dikatakan oleh iklan masyarakat."Sial dah jam segini aja." Mengecek jam tangan, ia tidak sadar bahwa waktu hendak mencapai ke angka 12. Sebentar lagi jam 7 siang.Ia harus segera pergi atau tidak akan sempat mengejar waktu. Ditinggalkanlah makanan yang tengah ia makan begitu saja di meja, segera berlari mengambil tas kotak berisi dokumen untuk setelahnya menggenggam gagang pintu. Dalam sekali tarikan, dunia luar telah menantinya, hari baru, diri yang baru... kini menantinya. Atau justru, roda yang sama akan terus berputar baginya."Hah... hah... hah..."Suara bising dari kendaraan yang saling bertukar klakson satu sama lain, orang-orang yang berlalu-lalang menjalankan rutinitas mereka, disertai lari dan nafas yang tak beraturan darinya menjadi temannya. Halte bus yang berjarak beberapa menit dari apartemennya terasa begitu jauh ketika waktu semakin menipis, padahal biasanya tidak sejauh ini. Beruntunglah, tepat ketika dia berhenti di halte, bus belum memberangkatkan diri dan dirinya menjadi penumpang terakhir."U... untung masih sempet..." ucap syukur sang pria selepas berhasil masuk di bus.Meski tidak mendapatkan tempat duduk dan diharuskan berdiri, setidaknya dia tidak perlu menunggu lagi untuk bus selanjutnya yang datang setiap 15 menit."Pemberhentian selanjutnya, Stasiun KRL."Lokasi tempat sang pria bekerja tidak bisa dicapai hanya dengan bus saja, sebab itulah dia perlu berhenti pada stasiun kereta listrik. Menuruni bus, menyatu pada kumpulan orang yang berkerumun di depan pintu masuk, ia mengambil smartphone pada saku celana. Dalam sekali sentuh pada layar loket tiket, gerbang besi yang terbuka dengan sendirinya."Kereta menuju Senayan akan berhenti di Peron 5, harap berdiri di belakang garis kuning."Diantara kumpulan lautan manusia yang memiliki kesibukan masing-masing, pemberitahuan dari pengeras suara kalah telak kerasnya. Beruntunglah pria tersebut telah hapal sebab sudah tinggal beberapa tahun pada kota Jakarta ini, jadi dirinya tidak perlu berlama-lama dan segera menuju ke peron yang tepat.Tidak lama kemudian, kereta listri melintas, menghembuskan angin melewatinya. Berhenti tepat pada pintu masuk, penumpang yang hendak keluar didahulukan terlebih dahulu untuk setelahnya pria bisa memasuki kereta yang sudah penuh oleh penumpang lain. Kursi telah penuh terisi, sehingga hanya bisa berdiri di antara desakan penumpang lain. Jam-jam sekarang memang jam sibuk bagi para pekerja dan pelajar untuk memulai hari menggunakan transportasi massal ini.Perjalanan sekitar setengah jam sepenuhnya berdiri dihabiskan oleh sang pria, sesampainya di stasiun tujuan pun dia diharuskan untuk kembali berlari karena kantornya berjarak 5 menit dari Stasiun KRL Senayan. Terus menerus ia menengok jam tangan, berdoa semoga ia masih sempat untuk ceklok."Met pagi!""Met pagi juga, lagi-lagi mepet banget ya kamu, Rian."Satpam yang tengah berjaga di depan gerbang membalas sapaan sang pria, namanya ialah Rian. Pada pintu masuk gedung bertingkat 20 ini terpahat tulisan Apolo Production, tempat dari Rian bekerja. Pintu kaca otomatis terbuka, menyambut Rian pada lobi gedung, setiap orang berpakaian begitu rapi lengkap dengan jas-jas mereka, mengerjakan kepentingan mereka. Resepsionis yang menangani tamu penting, staff yang berusaha bernegosiasi dengan perusahaan lain, dan pesuruh yang tengah membawa dokumen menggunung di tangan mereka. Setiap orang memiliki tingkatan masing-masing, dari sekedar office boy sampai eksekutif. Dan posisi Rian? Ya—"Permisi..." Rian mengetuk pelan pintu kayu di depannya."Masuk." Suara tegas membalas ketukan pintu Rian, mempersilahkan dirinya untuk membuka pintu.Segera Rian memasuki ruangan dan dibukalah tas yang selama ini dia bawa, beberapa dokumen dipilah olehnya."Saya ingin menyerahkan dokumen yang diminta bapak.""Taruh saja di sana."Tanpa melihat ke arah Rian atau menunjuk sekalipun, pria di belakang meja itu menggerakkan matanya mengarahkan Rian agar menaruh kumpulan kertas yang dia bawa ke meja lain."Oh ya, sekalian, bisa kamu kerjakan hasil dari meeting sponsoshipmu sebelumnya? Saya ada kerjaan lain.""Ah, ya pak, baik.""Kalau sudah, kamu boleh keluar.""Baik, terimakasih pak."Dengan dialog nan singkat tersebut Rian menyelesaikan satu dari sekian pekerjaannya hari ini. Selepas pintu tertutup rapat, sembari melangkahkan kaki, perasaan menggebu-gebu yang ditahannya di dalam ruangan semakin tidak dapat terbendung.'Sialan, begitu doang? Dia gak liat sama sekali? Setelah nyuruh aku ngerjain di hari minggu, DI HARI LIBUR?!' gerutunya di dalam hati."Nyuruh ngerjain hasil sponsorship lagi, trus kerja lu apaan?!" Menunggu di dalam lift seorang diri, Rian mengucapkan amarahnya itu, tanpa takut terdengar oleh siapapun.Ya— Pekerjaan Rian tidak lain dan tidak bukan adalah seorang pesuruh. Meski terdengar begitu kasar, itulah kenyataannya. Dia merupakan salah satu pekerja di Apolo Production, satu dari sekian banyak agensi hiburan yang ada di Jakarta. Berfokus pada pengembangan talent di dunia hiburan, mereka bekerjasama di berbagai bidang seperti televisi, radio, sampai music. Tidak sedikit talenta terkenal lahir dari sini seperti contohnya Mahardika Yuda, artis sinetron percintaan yang tengah booming di salah satu stasiun local belakangan ini.Bagi Rian, yang merupakan pesuruh, tugasnya adalah bepergian dari satu tempat ke tempat lain untuk sekedar mengikuti meeting, memberikan dokumen, hingga mati-matian bernegosiasi kepada pihak sponsor agar mereka mau menggelontorkan uang bagi mereka. Diberikan tugas yang tidak sesuai, diminta hal tidak masuk akal, adalah makanan sehari-sehari baginya."Kerjaan doang banyak, gajinya dikit." Lanjut Rian ketika tengah menyalakan komputer kerjanya.Dengan enggan ia gerakkan tetikus pada aplikasi pengolah yang ada di sana. Ketika tengah mengetik pada keyboard, seseorang mendatangi meja kerjanya. Rian menyadari hal itu dan menghentikan apa yang tengah dia lakukan, pria berambut cepak itu adalah atasannya."Pak Hendra, ada yang bisa saya bantu pak?""Kamu jam 10an ada waktu gak?""Err... ada sih pak.""Buat presentasi ya, yang simpel aja buat percetakan. Soalnya perlu banget buat promosi talent kita.""Ta-tapi pak... jam 12an nanti saya juga harus meeting, agak mepet sepertinya...""Jam 12 kan. Ke percetakan paling gak lama kok, saya gak mau ke tempat panas dan brisik kek gitu. Tolong ya."Tanpa sempat membalas perkataan Pak Hendra, dia langsung berjalan pergi dari Rian yang masih terdiam tidak percaya. Kembali, dia diberikan tugas yang begitu mendadak padahal masih banyak pekerjaan yang menumpuk. Tetapi apa yang bisa dia lakukan? Ia tidak bisa menolak sama sekali, menggerutu juga tidak mengubah situasi, mau tidak mau dia hanya bisa mengelus dada dan menerima sahaja."Bikin presentasi, jam 10 ke percetakan, jam 12 meeting... jam 3 harus kelarin dokumen... kalau sempet ngurusin iklan , baru bisa balik jam 5 sore... itupun kalo gak lembur. Semangatlah wahai diriku..."--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------Pada sebuah ruangan tertutup, tiga petinggi tengah menikmati waktu luangnya. Dengan sebatang rokok menyala di tangan, mereka tengah bertukar cerita dan nasib satu sama lain. Meski jam belum menunjukkan waktu istirahat, pangkat mereka sebagai petinggi seakan bisa menulis ulang aturan tersebut."Daripada soal itu, kalian semua harus tau berita penting ini. Soal bapak Dirut." Pria dengan rambut botak tengah menyela pembicaraan."Ada apa memangnya?" sementara petinggi lain yang mengenakan kacamata bundar membalas."Belakangan ini, fenomena demam idol lagi ramai kan. Gara-gara satu grup idol terkenal, si Sirius, jadi makin banyak muncul grup-grup lain.""Ya, apa hubungannya sama perusahaan kita yang gak ada sangkut pautnya soal itu?""Di rapat Direktur kemarin, bareng seluruh Direktur perusahaan, bapak Direktur Utama pengin kita tidak ketinggalan fenomena itu.""Hah?! Berarti dia pengin—""Ya, bapak Dirut minta kita buat grup idol juga.""Apa-apaan! Dikira bikin idol segampang cari duit di pinggir jalan apa?! Grup idol itu biang masalah doang!" Pria berkacamata itu marah bukan kepalang begitu mendengar hal tersebut."Aku ya mikir gitu juga. Kemarin aja belum lama, grup idol gede si Fairy One sampe bubar gara-gara ada satu anggotanya yang ketangkep skandal. Cuma gara-gara satu orang aja, semuanya sampe bubar loh. Rugi berapa coba." Pria berambut cepak ikut masuk dalam pembicaraan setelah selama ini hanya mendengarkan."Betul kata Hendra, kebanyakan grup idol itu isinya anak muda semua, labil. Dikit-dikit bikin masalah, dikit-dikit urusannya sama hukum ama komnas perlindungan anak. Repot." Selepas melontarkan kata tersebut, pria dengan botak tengahnya itu menghisap rokok di tangan.Semburan demi semburan mereka lontarkan, kepulan asap putih tersebut membawa gundah gulana mereka pergi bersamaan angin. Saling berpikir bagaimana cara mengatasi permintaan nekat si Direktur Utama."Terus, Pak Pambudi yang disuruh ngerjain proyeknya kan?" Pria berkacamata memecah keheningan."Mana mau aku, urusanku sudah terlalu banyak. Bapak Mada aja yang ngambil, aku ikhlas kok, lagipula bayarannya pasti gede.""Saya dah sibuk megang banyak artis, kalo gak diurus gak bakal gede nama mereka. Gimana Hendra aja, lagipula Hendra cuma ngurusin iklan doang kan."Ketika mendengar dirinya begitu diremehkan, Hendra hendak menyangkal pendapat Mada. Tetapi sebelum sempat membuka mulut, Pambudi segera melontarkan ucapan yang menyegel kesepakatan."Pekerjaan ini cocoknya dikasih ke yang masih muda. Makanya Hendra aja yang ngambil, mayan buat cari pengalaman, iya kan."Mulutnya terasa begitu masam seketika, padahal dia tengah merokok. Hendra mematikan rokok baru setengah habis tersebut, karena tidak bisa berkata-kata lagi. Ia tidak mau mengambil proyek tersebut dan tidak bisa mengiyakan juga, sehingga pilihan terbaik tersisa satu saja."Saya... pikir-pikir dulu ya pak. Nanti saya kabari lagi." dan langsung meninggalkan ruangan tersebut.Presentasi telah selesai dikerjakan, sehingga yang harus dilakukan setelahnya adalah meyakinkan perusahaan percetakan terkait agar mau bekerjasama dengan perusahaan tempat Rian bekerja. Pada jam 10 pagi, yang padahal masih termasuk pagi entah kenapa terasa begitu panas baginya. Mungkin ini yang dikatakan pemanasan global atau semacamnya, Jakarta sudah penuh oleh banyak gedung tinggi serta mobil motor memenuhi jalanan. Suhu ketika matahari telah mencapai puncak saja bisa mencapai 40 derajat celcius."Sebenernya kerjaanku di sini apaan sih. Disuruh sana sini mulu..."Rian teringat kembali ketika ia pertama kali memasuki Apolo Production. Pada hari itu dia membawa kertas putih berisikan impiannya, yaitu menjadi seorang produser grup idol. Sudah sekitar 3 tahun dia bekerja di sini, di usianya yang ke 27, impiannya masih terasa begitu jauh. Ketika tengah muncul fenomena 'demam idol', dimana grup idol dipandang sebagai salah satu entertainment tingkat tinggi yang menyamai artis dan musisi, menjadikan setiap perusahaan hiburan berlomba menciptakan grup idol terbaik mereka."Idol... ya..."Dirinya memandangi layar besar yang terpampang pada sebuah gedung. Terdapat figure-figur gadis mengenai pakaian berenda warna-warninya, menyanyikan lagu begitu ceria. Tayangan tersebut adalah promosi untuk lagu terbaru mereka, yang hendak dipasarkan pada minggu depan. Grup idol besar, Sirius, nomor satu untuk saat ini. Mereka menduduk peringkat satu pada kategori music beberapa bulan terakhir, mengalahkan musisi veteran. Saking besarnya, Sirius yang sekarang adalah generasi ketiga.Berjalan melewati penyeberangan, mata Rian beralih pada seorang gadis yang tengah membagikan selebaran."Jangan lupa datang ke penampilan kami ya kak! Kami tunggu kalian nanti!"Setiap orang melewatinya begitu saja, tidak begitu tertarik. Sebenarnya gadis tersebut dapat terbilang cukup cantik dipandang, pakaian yang dia kenakan mungkin saja kostum panggung mereka. Tapi apa yang membuat setiap orang acuh tak acuh pada gadis itu?"Terlalu banyak..."Mainstream, sesuatu yang sebelumnya unik kian pudar karena telah lumrah dan banyak diterima. Idol, telah menjadi media mainstream, sehingga banyak orang ingin menjadi salah satunya. Di berbagai tempat, di berbagai acara, di berbagai sudut mata... semakin banyak di jumpai. Sehingga mau tidak mau, orang tidak lagi peduli."Tolong datang ya kak!" gadis tersebut tersenyum kepada Rian ketika dia mengambil selebarannya."Ya... kalau ada waktu." Jawabnya ringan dan kembali berjalan.Ia mengamati selebaran yang diterimanya. Dari segi desain, pewarnaan, dan penempatan point of focus grup idol mereka... terkesan biasa. Tidak ada yang bisa disebut unik dari mereka. Sulit untuk bersaing di ranah idol jika memakai sesuatu se-mainstream ini.Tidak sedikit segelintir orang memanfaatkan demam idol untuk keuntungan. Memanfaatkan gadis-gadis malang tersebut demi ketenaran dan uang belaka, betapa menyedihkan, tapi kenyataannya seperti itu."Sebenarnya apa... idol itu sebenarnya." Rian bertanya-tanya pada dirinya sendiri.'Apa aku bisa mengejar impianku di antara bintang-bintang di atas langit, sedangkan diriku hanya bisa memandang dari bawah sini.'--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------"Jangan ngadi-ngadi kamu! Mana bisa ini semua selese cuma seminggu! Dipikir kami robot apa gimana hah?!" Teriakan keras terdengar hingga ke trotoar, mengagetkan setiap orang yang melewati area tersebut.Rian berdiri di hadapan petinggi percetakan, menunduk. Ia telah menyelesaikan tugasnya untuk bernegosiasi dengan perusahaan percetakan terkait, yaitu untuk mencetak brosur serta poster dalam waktu yang bisa terbilang sangat tidak mungkin. Rian sudah tahu bahwa hasil akhirnya akan seperti ini ketika melihat rancangan dari Pak Hendra, dia memang dijadikan umpan belaka, dikirim ke kandang macan."Saya mohon dengan sangat pak... perusahaan kami hanya bisa bergantung ke bapak. Untuk pembayaran dan lain-lain akan kami ajukan, dijamin sesuai." Rian mencoba bernego."Ini bukan soal duit! Kalian pake kami karna percetakan yang biasa kalian pake gak mau kan?! Makanya ngincer percetakan kecil kaya kami!""Bukan begitu pak...""Halah tai! Kalo emang masih ngotot, bilang ke atasanmu. Selesenya dua minggu! Sebanyak ini minta selese seminggu, gila!"Petinggi tersebut langsung masuk lagi ke dalam percetakan dan menutup pintu dengan kerasnya, meninggalkan Rian terdiam. Ia memang gagal meyakinkan percetakan, tetapi setidaknya dia menjanjikan sesuatu sebelum pergi. Jadi bisa dibilang aman, selama bukan penolakan yang dia terima, dia tidak akan kena amarah lagi di kantor.*klontang*Bunyi nyaring kaleng terdengar, dari mesin penjual otomatis sekaleng kopi dingin diambil Rian. Menyandarkan diri pada kursi taman, dibukanya kaleng tersebut sembari menyeruputnya. Taman yang begitu sepi... angin sepoi-sepoi melewati rambut, sedikit menyegarkan pikirannya. Masih terdapat sedikit waktu sebelum dia pergi ke meeting, waktu yang cukup untuk sekedar duduk dan meminum kopi dingin."Habis ini kudu naik kereta ke Depok ya... jam-jam makan siang gini lagi, pasti desek-desekan lagi." Keluhnya.Matanya mengarah pada sekumpulan gadis-gadis yang tengah berlatih tarian di tengah hari terik seperti ini. Pada tanah luang yang tersedia di taman, mereka mencoba menyelaraskan gerakan dengan musik pada speaker kecil. Beberapa ada yang tidak kompak, beberapa ada yang hampir jatuh, dan saling menyalahkan satu sama lain. Tapi meski begitu, mereka tidak menyerah dan terus-menerus mencoba."Mereka... grup idol kah? Gak ada studio kayanya... Sampe rela latihan di tempat gini, panas-panasan."Biasanya setiap grup idol memiliki studio sendiri, bangunan khusus berisikan aula latihan tari, studio musik, sampai kantor khusus. Namun bagi idol yang berdiri sendiri, permasalahan utama mereka adalah tempat-tempat tadi... tidak memiliki uang yang cukup mengharuskan mereka harus mencari tempat latihan sendiri. Seperti yang dilakukan grup di depan Rian ini, memakai taman untuk melatih gerakan tari."Seengaknya mereka gak nyerah, rela ngelakuin apa aja biar bisa jadi idol. Gak kaya om-om di sini, malah jadi kacung." Dia menyindir dirinya sendiri sembari tersenyum sinis.*drrttt*Tiba-tiba saja getaran terasa pada sakunya, dering smartphone dapat dia dengar sehingga Rian mengeluarkan dari saku. Sontak melihat nama dari penelpon, tanpa berlama-lama dia segera menjawab telepon tersebut."Halo Pak Hendra, apa ada yang bisa saya bantu?""Gimana kerjaannya? Aman?" Suara dari balik telepon menanyakan mengenai hasil pertemuan dengan percetakan."Ada masalah sedikit tadi pak, tapi aman kok.""Oh... okelah. Trus abis ini mau kemana?""Rencananya ke Depok pak... ada meeting di sana.""Soal itu batalin aja. Kamu segera ke kantor abis ini."Mendengar perkataan barusan, Rian terdiam seribu kata. Dia tidak memahami maksud seutuhnya kalimat tadi. Kok bisa dirinya disuruh untuk tidak menghadiri meeting, bukankah itu pekerjaan paling penting Rian. Jika sampai kerjaan sepenting itu dibatalkan oleh petinggi seperti Pak Hendra, artinya ada urusan mendesak yang sangat teramat penting dari meeting. Yang artinya... keadaan genting perusahaan... tau keadaan genting bagi karirnya, seperti membuat kesalahan fatal contohnya."Ta... tapi pak, meeting di Depok itu... lumayan penting pak, betulan tidak apa-apa?" Rian mencoba untuk bernegosiasi."Aku dah ngutus orang lain ke sana. Yang penting kamu segera ke kantor, cepetan.""Pak Hen-"Sebelum sempat Rian membalas teleponnya telah ditutup dari lawan bicara, meninggalkan keheningan belaka. Tubuhnya terasa begitu lemas, jiwanya bagai hendak melayang ke atas angkasa, menyisakan cangkang kosong jauh di bawah sana. Padahal dia baru saja dihadapi masalah, kali ini harus menghadapi masalah lain. Otaknya berputar keras, memikirkan kemungkinan, persentase, dan solusi untuk apa yang akan dia hadapi setelah ini."Masa aku bakal dipecat?! Kalo dibilang kaya tadi, tandanya bakal dipecat kan?! Masalah apa coba yang bisa bikin aku dipecat. Apa bulan kemarin, gara-gara gagal nandatangani kontrak sama sponsor rokok?! Apa waktu gak sengaja ngomong kurang sopan sama artis?! Atau barang-barang bau idol yang tak taruh di meja, tapi kata si Alvin gapapa sih... trus apa dong?!"Semakin dia berpikir, semakin tidak karuan pula kemungkinan-kemungkinan yang terpikir. Oleh karena itu, dia hanya bisa beranjak dari tempat duduk dan melangkahkan kaki menuju ke stasiun. Daripada menambah masalah lagi karena melarikan diri, berjalan maju menghadapi masalah adalah pilihan yang tepat. Setidaknya dengan itu, masalahmu berkurang satu, ujar Rian dalam hatinya.Sesampainya di kantor, pesan yang terpampang pada smartphonenya tertulis Pak Hendra ingin menemui Rian di ruangannya. Dengan beban berat di kedua bahu... jantung yang berdetak tidak karuan, Rian mengetuk pintu ruangan. Dia terus-terusan berdoa agar tidak ada kemungkinan buruk yang menjadi nyata."Masuk." Suara terdengar dari balik pintu.Langsung Rian memasuki ruangan dan menemui Pak Hendra yang tengah duduk menghadap tepat padanya, pandangannya begitu serius, seakan tidak membiarkan Rian untuk pergi dari hadapannya. Perlahan, dia mendekati kursi di depan Pak Hendra dan diam di sana."Duduk.""Baik, pak." Seperti robot Rian menyanggupi perintah itu tanpa babibu."Kamu suka sama idol kan. Saya liat banyak banget di mejamu."'Aduh, jadi bener kan ini soal mejaku... masa gara-gara itu doang sampe mau dipecat?!' Jeritan bisu Rian teriakkan dari dalam hatinya."I-Iya pak..." jawab Rian gemetaran.Pak Hendra sama sekali tidak mengatakan apapun, ia memutarkan kursinya sebentar ke samping kanan seakan berpikir keras. Rian yang melihat perubahan sikap Pak Hendra semakin dibuat gemetar, berkali-kali dia memainkan jari untuk membuat dirinya tenang. Ada berselang 2 menit Pak Hendra terdiam, ia kembali menghadap Rian. Rian yang sudah dipenuhi pikiran negatif tidak dapat menahan lagi, dia ingin segera meminta maaf dan memohon agar tidak dipecat, sehingga mulutnya terbuka."Anu, Pak—""Rian." Sebelum sempat Rian mengucapkan kelanjutan kalimatnya, Pak Hendra memotong pembicaraan.Rian berpikir bahwa karirnya sudah usai pada saat itu juga, detak jantung terasa berhenti dan waktu terasa sangat lambat. Kata yang setelah ini terlontar dari mulut Pak Hendra akan menentukan seluruh nasib hidupnya... dia tidak bisa melakukan apapun, seperti yang dilakukannya sampai ini, hanya bisa menerima begitu saja."Kamu tertarik gak jadi produser idol?"