Langkah kaki Raye, Vilsa, Ariq, Gelya, dan Izyi bergema di jalan setapak berkerikil saat mereka mendekati hutan perak. Cahaya matahari menyelinap di antara dedaunan perak, menciptakan pola cahaya yang indah di tanah. Angin lembut menghembus, membawa aroma manis dari bunga-bunga liar yang tumbuh di sepanjang tepi jalan. Meskipun suasana di sekitar mereka begitu indah, hati mereka dipenuhi dengan kegelisahan. Semakin jauh mereka melangkah, semakin mereka merasa seperti melangkah ke dunia yang benar-benar asing.
"Menurut peta Eldor, kita sudah dekat dengan gerbang," kata Vilsa, matanya terpaku pada peta sederhana di tangannya. "Seharusnya tidak jauh lagi."
"Aku tidak sabar untuk melihat kerajaan Elf," tambah Gelya, matanya berbinar. "Bayangkan, sebuah tempat di mana sihir benar-benar ada dan digunakan sehari-hari!"
Ariq mengangguk. "Tapi ingat, kita di sini bukan untuk jalan-jalan. Kita harus mencari cara kembali ke dunia kita."
Raye tertawa kecil, mencoba meredakan ketegangan. "Ayo, kita harus tetap berpikir positif. Lagipula, siapa yang tahu kapan lagi kita bisa mengalami petualangan seperti ini?"
Izyi tetap diam, namun di dalam hatinya, dia merasa senang bisa bersama teman-temannya. Petualangan ini, meski berbahaya, memberinya perasaan hidup yang belum pernah dia rasakan sebelumnya. Mereka terus berjalan, mengikuti jalan setapak yang semakin jelas menuju gerbang kerajaan Elf. Di kejauhan, mereka mulai melihat bayangan gerbang besar yang menjulang tinggi, terbuat dari kayu pohon oak dan dihiasi dengan ukiran rumit yang menggambarkan sejarah Elf.
Setelah beberapa menit, mereka akhirnya tiba di depan gerbang yang besar itu. Gerbang tersebut dijaga oleh dua penjaga Elf yang tinggi dan ramping, mengenakan baju zirah perak yang bersinar di bawah cahaya matahari. Pedang mereka tergantung di pinggang, dan busur serta anak panah siap di punggung mereka. Wajah mereka tampak dingin dan tak berperasaan, dengan mata yang tajam mengamati setiap gerakan.
"Siapa kalian dan apa tujuan kalian di Neraido Vasileio?" salah satu penjaga bertanya dengan suara tegas.
Raye, yang berdiri di depan, mengambil langkah maju. "Kami... kami berasal dari dunia lain. Kami tersesat di sini dan mencari bantuan. Eldor, tetua desa Aetheria, mengatakan mungkin para Elf di sini bisa membantu kami menemukan jalan pulang."
Penjaga itu mengangkat alisnya, tampak ragu. "Dunia lain, katamu? Kisahmu mungkin terdengar menarik, tapi kami tidak bisa membiarkan siapa pun masuk tanpa izin yang resmi. Di mana surat izin kalian?"
"Surat izin?" tanya Ariq bingung. "Kami bahkan tidak tahu bahwa kami membutuhkan surat izin. Kami baru tiba di sini, dan kami hanya mencari jawaban."
Penjaga lainnya, yang lebih tua, melangkah maju. "Aturan adalah aturan. Neraido Vasileio adalah tempat yang terlindungi, terutama dari ancaman luar. Tanpa surat izin dari otoritas yang sah, kalian tidak bisa masuk. Kalian sebaiknya kembali."
Vilsa mendesah pelan, merasa frustrasi. "Kami tidak tahu tentang surat izin itu. Kami benar-benar butuh bantuan. Tidak adakah cara lain kami bisa masuk?"
Penjaga tua itu menggeleng. "Maaf, anak muda. Aturan ini ada untuk melindungi semua orang, termasuk kalian. Kalian bisa mencari surat izin dari pemimpin desa atau perwakilan kerajaan lain yang bisa menjamin keamanan kalian."
Raye menoleh ke teman-temannya, merasa tak berdaya. "Jadi, kita tidak bisa masuk?"
Gelya menggigit bibirnya, berpikir keras. "Mungkin kita bisa mencari cara lain untuk mendapatkan surat izin itu. Mungkin Eldor tahu seseorang yang bisa membantu kita."
Izyi, yang sejak tadi diam, akhirnya angkat bicara. "Bagaimana kalau kita coba bicara dengan seseorang di desa lain? Mungkin mereka bisa memberikan rekomendasi atau bantuan."
Ariq mengangguk setuju. "Itu ide yang bagus. Kita bisa kembali ke Aetheria dulu dan bertanya pada Eldor apakah dia tahu cara mendapatkan surat izin."
Penjaga pertama, yang masih berdiri di dekat gerbang, memperhatikan percakapan mereka. "Jika kalian benar-benar ingin mencoba, cobalah ke Magiko Vasileio. Para penyihir di sana mungkin bisa membantu, terutama jika kalian memiliki niat baik dan tidak membawa ancaman."
Vilsa melirik penjaga itu, mencatat informasi tersebut dalam pikirannya. "Terima kasih atas sarannya. Kami akan mempertimbangkan itu."
Raye menatap gerbang besar itu sekali lagi, merasa kecewa karena mereka harus berbalik. Namun, dia tahu mereka tidak punya pilihan lain. "Ayo, kita kembali ke Aetheria dulu. Mungkin kita bisa merencanakan langkah berikutnya dari sana."
Dengan perasaan campur aduk, mereka berlima mulai berjalan menjauh dari gerbang. Mereka tidak tahu apa yang menunggu mereka, tetapi mereka tahu bahwa perjalanan ini tidak akan mudah. Dunia Oneiro penuh dengan misteri dan bahaya, dan mereka harus menemukan cara untuk bertahan hidup dan menemukan jalan pulang.
Saat mereka berjalan kembali ke arah desa Aetheria, matahari mulai terbenam, mewarnai langit dengan warna jingga dan ungu yang indah. Meskipun hari itu berakhir dengan penolakan, mereka tetap merasa bersyukur bisa bersama-sama dan berbagi beban perjalanan ini.
Di desa Aetheria, Eldor menyambut mereka dengan kehangatan. "Apa yang terjadi di gerbang?" tanyanya, melihat wajah-wajah lelah mereka.
"Kami tidak diizinkan masuk," kata Raye dengan lesu. "Mereka bilang kami butuh surat izin resmi."
Eldor mengangguk, seolah sudah menduga. "Aku mengerti. Jangan khawatir, anak-anak. Ada banyak cara untuk mendapatkan izin itu. Besok, kita akan berdiskusi lebih lanjut tentang apa yang bisa kalian lakukan. Istirahatlah malam ini, kalian akan membutuhkan tenaga untuk hari-hari yang akan datang."
Dengan perasaan lega, mereka menerima tawaran Eldor untuk tinggal satu malam lagi di desa. Setelah makan malam sederhana, mereka berbincang dengan penduduk desa, mencari tahu lebih banyak tentang dunia Oneiro dan berbagai kerajaan di dalamnya. Mereka mendengarkan cerita tentang Neraido Vasileio, Magiko Vasileio, dan kerajaan-kerajaan lainnya, belajar tentang politik, sihir, dan ancaman yang mungkin mereka hadapi.
Di bawah langit malam yang dipenuhi bintang, kelima sahabat itu berbagi pikiran dan perasaan mereka tentang perjalanan ini. Meskipun ada ketakutan dan keraguan, mereka bertekad untuk tetap bersama dan menemukan jalan pulang, apa pun yang terjadi.
"Besok kita akan mulai mencari cara untuk mendapatkan surat izin itu," kata Ariq dengan keyakinan. "Kita sudah berhasil sejauh ini, dan kita akan terus maju."
"Ya, bersama-sama kita pasti bisa," tambah Gelya dengan senyum kecil. "Kita adalah tim, dan tim yang kuat tidak pernah menyerah."
Vilsa mengangguk setuju, dan Izyi tersenyum pada mereka. Raye melihat teman-temannya dan merasa ada harapan. Meskipun dunia ini penuh dengan ketidakpastian, mereka memiliki satu sama lain, dan itu sudah cukup untuk malam ini.