Pagi yang cerah menghiasi kota kecil di mana Raye tinggal. Sinar matahari yang hangat menyusup melalui jendela kamar tidurnya, membuat mata Raye yang setengah tertutup perlahan terbuka. Hari ini adalah hari yang spesial-hari kemah bersama teman-teman sekelasnya. Ia sudah menantikannya sejak lama.
Raye bergegas bangun, merapikan tempat tidur seadanya, lalu berlari ke dapur. Di sana, ayahnya, Kai, sedang membaca koran, dan ibunya, Rina, tengah memasak sarapan.
"Pagi, Ma! Pagi, Pa!" sapa Raye dengan semangat, seraya menarik kursi dan duduk di meja makan.
"Pagi, Raye," jawab Rina sambil tersenyum. "Kamu sudah siap untuk berangkat?"
"Sudah siap sejak kemarin, Ma!" jawab Raye antusias. "Aku sudah mengepak semua barang, termasuk senter, baju hangat, dan... oh, iya! Snek favoritku juga!"
Kai meletakkan korannya, memandang putranya dengan tatapan tegas namun penuh kasih sayang. "Ingat, Raye, di hutan nanti jangan sampai terpisah dari teman-temanmu. Kalau ada masalah, segera lapor ke guru pendamping."
Raye mengangguk dengan serius, meskipun ada sedikit kegugupan di balik senyumnya. "Tenang saja, Pa. Aku pasti hati-hati."
"Dan satu lagi," tambah Rina sambil membawa piring berisi telur dan roti panggang ke meja, "jangan lupa menikmati waktu bersama teman-temanmu. Kemah ini bukan hanya soal petualangan, tapi juga soal kebersamaan."
Raye tersenyum lebar. "Aku tahu, Ma. Aku akan menikmati setiap momennya."
Setelah berpamitan dengan kedua orang tuanya, Raye bergegas menuju sekolah dengan ransel besar di punggungnya. Ia tidak ingin terlambat pada hari sepenting ini. Setibanya di gerbang sekolah, ia melihat teman-teman sekelasnya sudah berkumpul, termasuk Vilsa, Ariq, Gelya, dan Izyi.
Vilsa, yang sedang duduk di bangku taman sambil membaca buku tebal, menoleh sekilas ketika Raye datang. Tatapannya dingin seperti biasa, tetapi bibirnya melengkung tipis, hampir tidak terlihat, menjadi senyuman. "Kamu tidak terlambat, Raye. Bagus. Aku tidak ingin menghabiskan waktu menunggumu."
"Hei, aku selalu tepat waktu," kata Raye, meskipun dalam hati ia tahu Vilsa benar. Raye sering terlambat, tapi tidak kali ini.
Ariq, dengan kemeja kasual dan rambut acak-acakan, tertawa mendengar percakapan mereka. "Vilsa, kau selalu saja serius. Raye, santai saja, ya. Ini kan liburan. Jangan tegang."
"Bukan soal tegang atau tidak," balas Vilsa dingin. "Kedisiplinan itu penting. Lagi pula, aku ingin kita memanfaatkan waktu di hutan untuk mengeksplorasi dan mempelajari hal-hal baru."
Gelya, yang berdiri di sebelah Ariq, menyikut lengan Vilsa dengan santai. "Hei, hei, ini bukan ekspedisi ilmiah, kok. Ini cuma kemah sekolah. Kita harus lebih santai. Dan siapa tahu, mungkin kita bisa menemukan sesuatu yang menarik di hutan. Aku dengar ada beberapa legenda lokal tentang tempat ini."
Izyi, yang lebih pendiam, hanya tersenyum kecil. Dia memandang ke arah hutan di kejauhan dengan mata yang sedikit berbinar, seolah sedang membayangkan petualangan yang akan mereka hadapi. Meskipun ia pemalu, tapi jauh di dalam dirinya, ada rasa penasaran yang besar terhadap hal-hal yang tidak biasa.
"Kalau ada sesuatu yang aneh, aku ingin melihatnya," gumam Izyi pelan, tapi cukup terdengar oleh teman-temannya.
"Aku juga!" Raye menambahkan dengan semangat. "Ini petualangan pertama kita bersama. Ayo buat ini jadi momen yang tidak terlupakan!"
Setelah semua siswa berkumpul, bus sekolah akhirnya tiba, dan mereka naik dengan penuh semangat. Sepanjang perjalanan, bus dipenuhi dengan obrolan riang, tawa, dan beberapa candaan dari Ariq yang selalu berhasil membuat suasana menjadi lebih hidup. Vilsa, meskipun sering terlihat serius, tidak bisa menahan senyum kecil ketika Ariq melontarkan lelucon tentang guru yang terkenal galak.
Dua jam perjalanan pun berlalu dengan cepat, dan akhirnya mereka tiba di tempat perkemahan yang sudah ditentukan. Lokasi itu berada di tengah hutan pinus yang lebat, jauh dari keramaian kota. Suasana sejuk dan udara segar membuat mereka merasa bersemangat. Para siswa segera diminta oleh para guru untuk mendirikan tenda di area yang sudah disiapkan.
"Tempat ini sempurna!" seru Gelya sambil menghirup udara dalam-dalam. "Aku suka bau pinusnya. Segar sekali!"
"Ayo, kita dirikan tenda dulu," usul Ariq sambil menepuk punggung Raye. "Semakin cepat kita selesai, semakin banyak waktu untuk eksplorasi."
Setelah tenda berdiri kokoh, mereka berlima mulai menjelajahi area sekitar perkemahan. Hutan pinus yang rindang memberi mereka ketenangan, sementara suara gemerisik dedaunan dan kicauan burung menjadi latar belakang yang menyenangkan. Namun, tidak lama kemudian, mereka mulai mendengar suara aneh-seperti bisikan yang berasal dari arah tertentu di dalam hutan.
"Kalian dengar itu?" tanya Raye, menghentikan langkahnya.
"Aku dengar," jawab Vilsa, matanya memicing seolah mencoba memahami sumber suara. "Sepertinya datang dari arah sana."
Tanpa pikir panjang, mereka berlima mengikuti suara itu, melangkah lebih dalam ke dalam hutan. Langkah mereka berhenti ketika menemukan sebuah gua gelap dengan mulut yang tertutup tanaman merambat. Suara bisikan itu menjadi semakin jelas, seolah memanggil mereka masuk.
"Ini pasti tempatnya," bisik Gelya dengan mata berbinar. "Aku yakin ada sesuatu yang menarik di dalam gua ini."
"Apa kita benar-benar harus masuk?" tanya Izyi, suaranya sedikit gemetar meski ada rasa penasaran yang kuat di wajahnya.
"Kita tidak akan tahu kalau tidak mencoba," kata Raye, mencoba terdengar berani meski hatinya sedikit berdebar. "Lagi pula, ini kan petualangan."
Dengan cahaya senter dari ponsel mereka, mereka melangkah masuk ke dalam gua. Semakin jauh mereka melangkah, suasana semakin aneh, seolah-olah mereka sedang memasuki dunia lain. Tiba-tiba, cahaya terang yang menyilaukan memenuhi gua, memaksa mereka menutup mata.
Ketika mereka membuka mata kembali, mereka tidak lagi berada di dalam gua, melainkan di sebuah tempat yang asing. Pohon-pohon raksasa yang menjulang, sungai dengan air jernih berkilauan, dan langit dengan matahari yang bersinar.
"Di mana kita?" gumam Raye, suaranya penuh keheranan.
"Ini... bukan hutan kita," kata Vilsa pelan, mencoba mencerna apa yang dilihatnya.
Gelya tersenyum lebar, merasa antusias. "Teman-teman, kurasa kita baru saja menemukan dunia baru."
"Selamat datang di petualangan baru kita," tambah Ariq, meski ada nada serius di balik kata-katanya.
Dengan rasa penasaran yang semakin besar, mereka berlima memulai langkah pertama mereka di dunia yang penuh misteri, sihir, dan kemungkinan yang tak terbatas-dunia yang akan mengubah hidup mereka selamanya.