Chereads / Bintang Penyelamat / Chapter 40 - Meredupnya sang cahaya

Chapter 40 - Meredupnya sang cahaya

Isholdyenca terbangun di tengah hutan yang seolah tidak memiliki ujung.

Pepohonan menjulang tinggi dengan dedaunan lebat yang memblokir cahaya matahari.

Kegelapan itu tidak sepenuhnya asing, tetapi kini terasa mencekik.

Di tubuhnya, tato-tato bercahaya yang membentuk pola api berdenyut seperti napas kedua, menandakan keberadaan kekuatan yang tidak dia inginkan.

Langkah Isholdyenca terseok.

Tatapan matanya kosong, seolah mencari jawaban di tempat yang jelas tidak akan memberikannya.

Tapi sebelum dia bisa bergerak lebih jauh, sebuah cambuk tiba-tiba melilit lehernya. Jerat itu kuat, penuh duri, dan dingin seperti es.

Tubuh Isholdyenca tersentak, terhuyung ke tanah.

Udara dingin masuk ke paru-parunya dengan paksa ketika cambuk itu ditarik kasar, mencabut seluruh tenaganya.

Sosok seorang wanita muncul di hadapannya, wajahnya tersembunyi di balik topeng logam yang berkilau seperti darah yang baru mengering.

"Bangunlah," perintah wanita itu, suaranya tajam seperti bilah pisau.

Isholdyenca hanya bisa memandang wanita itu tanpa daya.

Sebelum dia sempat mengucapkan sepatah kata, wanita itu mengangkat tangannya, memberi isyarat.

Dalam sekejap, suara langkah kaki terdengar, menggema seperti drum perang. Sekelompok penduduk mendekat, wajah mereka kaku seperti batu. Mata mereka penuh kebencian.

"Kau pikir kami akan membiarkanmu berkeliaran begitu saja?" seorang pria besar di antara mereka berbicara, nadanya dipenuhi kemarahan yang mendidih. "Kekuatanmu adalah malapetaka."

Mereka tidak memberinya kesempatan untuk menjawab. Isholdyenca diseret seperti binatang liar yang hendak disembelih.

Tangannya diikat dengan rantai yang tajam, setiap gerakan membuat logam itu menggigit dagingnya. Ketika mereka sampai di tengah sebuah lapangan luas, dia dilemparkan ke tanah seperti sampah.

Tiang kayu tinggi sudah menanti, kasar dan berlumur darah kering dari mereka yang pernah ada di posisinya.

"Ikut aku," salah seorang wanita muda yang berada di kerumunan berbisik pada pria di sebelahnya.

Mereka tampak ragu, meski tak satupun mencoba menghentikan penyiksaan itu.

Namun, Isholdyenca tidak seberuntung itu. Tubuhnya diangkat dengan kasar, diikat kuat ke tiang kayu.

Setiap simpul tali mempertegas posisinya sebagai sasaran. Dan seperti sebuah pertunjukan, siksaan itu dimulai.

---

Cambuk pertama menghantam punggungnya dengan suara yang membuat bulu kuduk siapa pun berdiri. Aku, yang menyaksikan dari kejauhan, ingin menoleh. Namun, tidak ada seorang pun di kerumunan ini yang berani melawan takdir ini. Kulit Isholdyenca terbelah, darah mengalir, bercampur dengan tanah yang haus.

Pria bertubuh besar itu membawa obor, mengarahkannya ke tato di tubuh Isholdyenca. Tidak ada api yang membakar, tetapi rasa sakit yang ia rasakan jauh lebih dalam dari itu. Tato bercahaya itu bereaksi, seperti terbakar dari dalam. Isholdyenca menggigit bibirnya, mencoba menahan jeritan, namun tubuhnya tak mampu melawan.

"Mengapa dia tidak mati saja ?" tanya seorang perempuan muda di dekatku. Suaranya terdengar getir, tetapi matanya tetap terpaku pada Isholdyenca.

"Itu bukan tujuan kami," jawab pria besar itu. "Kami tidak akan memberinya kebebasan semudah itu. Kekuatan seperti miliknya harus dihancurkan perlahan."

---

Luka-luka Isholdyenca semakin parah seiring malam tiba.

Cambuk terus menghantam, rantai panas meninggalkan bekas luka bakar di tubuhnya, dan bilah pisau kecil mengiris jari-jarinya.

Tapi setiap kali tubuhnya terlihat kritis, wanita bertopeng itu datang. Dia mendekat, mengeluarkan botol kecil berisi cairan hijau, lalu menuangkannya ke luka Isholdyenca.

Aku, yang berdiri di kerumunan, tidak bisa mengalihkan pandangan.

Aku melihat luka-luka itu perlahan menutup, tetapi tidak sepenuhnya.

Hanya cukup untuk membuat Isholdyenca bertahan hingga siksa berikutnya.

"Kenapa kau tidak mati saja, Isholdyenca ?" tanya pria besar itu, suaranya penuh ejekan.

"Apimu tidak berguna di sini. Kau tidak bisa melawan kami."

Tapi Isholdyenca tidak menjawab.

Tatapan matanya kosong, tetapi di balik kehampaan itu, ada sesuatu yang tak bisa mereka lihat. Sesuatu yang ia sembunyikan.

---

Malam itu, Isholdyenca ditinggalkan di tiang, tubuhnya terkulai lemas.

Angin malam menusuk, namun aku mendekat.

Bersembunyi dari tatapan orang-orang, aku berjongkok di dekatnya.

Dia tidak memandangku, hanya menatap bintang-bintang di atas.

"Kau tidak sendirian," bisikku. Kata-kataku terdengar kecil, hampir tertelan oleh keheningan malam.

"Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan, tapi... bertahanlah. Ini belum selesai."

Dia tidak menjawab. Tapi entah kenapa, aku merasa dia mendengar. Mata itu, yang sebelumnya kosong, memancarkan sesuatu yang baru. Bukan harapan, tetapi tekad.

Aku pergi sebelum orang lain menyadari keberadaanku. Namun, ketika aku menoleh untuk terakhir kalinya, aku tahu satu hal: Isholdyenca tidak akan menyerah.

Setelah malam yang panjang

Wanita bertopeng itu menghilang bersama penduduk kota, meninggalkan Isholdyenca yang masih terikat di tiang. Tubuhnya nyaris tak berbentuk. Kulitnya penuh luka bakar, bekas cambukan, dan torehan yang menganga. Tapi seperti biasanya, napasnya tidak berhenti. Dia tidak mati. Tidak bisa mati.

Ketika semua kembali sunyi, sosok itu muncul dari kegelapan.

Aku, yang menyebut diriku demikian, melangkah mendekati Isholdyenca dengan hati-hati.

Suara langkahku hampir tidak terdengar di atas tanah berpasir.

"Ini aku lagi," bisikku pelan, mencoba menghindari tatapan kosong yang mungkin dilemparkan Isholdyenca padaku. Aku tahu dia mendengar, meskipun matanya nyaris tidak fokus.

Setiap malam, aku datang seperti ini. Bukan untuk menyelamatkannya, bukan untuk membebaskannya, karena aku tahu itu mustahil. Aku hanya bisa membawa sedikit ketenangan, meskipun itu seringkali terasa sia-sia.

Aku merogoh kantong kecil di pinggangku, mengambil sehelai kain bersih yang sudah basah dengan air dingin. "Kamu pasti sudah lelah," gumamku. Kata-kata itu menggantung di udara, tidak ada jawaban, hanya napas berat Isholdyenca yang memecah keheningan.

Aku membersihkan darah di wajahnya, perlahan-lahan, meski tahu itu tidak banyak membantu. Luka-lukanya terlalu dalam, terlalu banyak, tapi aku tetap melakukannya. Sebuah kebiasaan, mungkin. Atau bentuk pengakuan bahwa setidaknya ada satu orang di tempat ini yang masih peduli, meski sekecil apapun.

---

"Kenapa kamu terus datang?" suara Isholdyenca tiba-tiba keluar, serak dan nyaris tak terdengar. Itu pertama kalinya dia berbicara padaku setelah sekian lama.

Aku tertegun, lalu tersenyum kecil meski tahu dia tidak bisa melihatnya. "Mungkin aku bodoh. Tapi aku rasa seseorang harus ada di sini untukmu, meskipun aku tidak bisa berbuat banyak."

Dia tidak menjawab. Aku tahu dia tidak mengharapkan jawaban yang lebih baik. Aku melanjutkan membersihkan lukanya, membalut beberapa yang masih bisa diselamatkan dengan kain seadanya.

"Mereka akan kembali besok," kataku akhirnya, memberinya peringatan yang aku tahu dia sudah tahu. "Wanita itu… dia selalu datang lebih awal. Dia akan mulai dengan sesuatu yang baru."

Mata Isholdyenca berkedip lemah. Aku tahu dia tidak takut, tetapi aku juga tahu dia lelah. Sangat lelah.

"Apa yang sebenarnya mereka inginkan darimu?" tanyaku pelan.

Isholdyenca memandangku sekilas, lalu menatap ke langit yang gelap. "Mungkin mereka ingin aku kehilangan diriku sendiri. Kehilangan apa pun yang masih tersisa."

---

Pagi datang tanpa matahari. Seperti biasanya, waktu di tempat ini berjalan dengan logika aneh yang tunduk pada Isholdyenca.

Wanita bertopeng muncul tepat saat aku selesai menghilang ke bayang-bayang. Aku selalu memastikan mereka tidak tahu aku ada di sini.

Dia membawa sesuatu kali ini—sebuah rantai panjang yang ujungnya menyala merah seperti bara api.

"Isholdyenca," panggilnya, nada suaranya dingin namun penuh ironi. "Hari ini, kita mencoba sesuatu yang baru. Aku ingin melihat apakah apimu bisa melawan api ini."

Dia mendekat, lalu melilitkan rantai itu ke lengan Isholdyenca yang masih tergantung di tiang. Panasnya langsung menembus kulit, meninggalkan bekas luka yang menggeliat seperti ular yang terbakar.

Isholdyenca menggigit bibirnya, mencoba menahan jeritan, tapi aku yang mengamati dari jauh bisa melihat tubuhnya gemetar.

Wanita itu menarik rantai, membuat Isholdyenca terhuyung, tubuhnya seolah tidak lagi miliknya.

"Kamu pikir aku akan membiarkanmu istirahat ?" tanya wanita itu sambil melilitkan rantai lebih erat ke tubuh Isholdyenca. "Kekuatan apimu hanya berarti jika aku bisa menghancurkannya."

---

Saat hari mulai gelap lagi, penduduk kota berdatangan seperti biasa. Mereka membawa cambuk, pisau, dan tongkat.

Siksaan berlanjut, lebih brutal dari sebelumnya. Aku hanya bisa menyaksikan dari tempatku bersembunyi, mencoba mencari arti dari semua ini.

Setelah mereka selesai, seperti ritual, wanita bertopeng itu mengobati luka Isholdyenca, memastikan dia tidak mati. Kemudian, mereka meninggalkannya lagi di tiang.

Aku mendekat ketika semua sudah sunyi.

"Kamu… baik-baik saja?" tanyaku bodoh, meski aku tahu jawabannya.

Isholdyenca menatapku. Mata itu sudah tidak memiliki kilau, tetapi aku melihat sesuatu di sana—tekad, mungkin. Sesuatu yang menolak tunduk meskipun tubuhnya hancur.

"Apa kamu membawa sesuatu ?" dia bertanya, suara seraknya penuh beban.

Aku mengangguk, mengambil sebuah gulungan kertas dari kantongku. "Ini… ini peta. Tapi aku tidak tahu apakah ini bisa membantumu."

Dia menerima peta itu dengan tangan gemetarnya, membuka gulungan itu perlahan. "Ini tidak ada gunanya," katanya setelah beberapa saat, suaranya datar.

Aku tersenyum pahit. "Aku tahu. Tapi aku pikir kamu harus memiliki sesuatu. Apa pun yang membuatmu terus bertahan."

Hari itu dimulai dengan cara yang berbeda.

Wanita bertopeng muncul lebih awal, membawa puluhan wanita yang anggun, cantik, namun tatapan mereka dingin dan tidak manusiawi.

Mereka bergerak dengan langkah ringan, seperti sebuah parade yang sudah direncanakan dengan sempurna.

Mereka mengelilingi Isholdyenca yang masih tergantung di tiang.

Tidak ada cambukan. Tidak ada rantai. Tetapi keheningan yang datang bersama mereka terasa jauh lebih menakutkan daripada suara gemeretak besi.

Isholdyenca, dengan tubuhnya yang sudah terlalu lemah untuk melawan, hanya bisa menatap mereka dengan tatapan kosong.

Wanita-wanita itu mendekat, satu per satu. Mereka menyentuh kulitnya, merasakan tekstur tato bercahaya yang membalut tubuhnya, dan mereka mulai berbicara, berbisik dengan kata-kata yang lembut namun penuh ejekan. "Cahaya ini seharusnya menjadi milik kami," salah satu dari mereka berkata. "Kau tidak pantas memilikinya."

Sentuhan mereka berubah menjadi sesuatu yang lebih.

Mereka memaksakan kehadiran mereka pada Isholdyenca, menodai setiap jengkal tubuh dan jiwanya dengan tatapan dan tindakan yang membuatnya semakin hancur.

Namun, mereka melakukannya dengan kesan anggun yang membuat semuanya terasa seperti permainan. Tidak ada kebrutalan yang jelas, tetapi kehancuran itu terasa dalam. Isholdyenca hanya berpasrah, karena tidak ada yang bisa dia lakukan.

---

Malam tiba, dan penduduk kota datang seperti biasa. Kali ini, mereka membawa lebih banyak alat untuk menyiksa. Tongkat logam yang dipanaskan, bilah-bilah kecil yang diasah hingga tajam, dan tali-tali yang dilumuri duri.

Wanita bertopeng muncul lagi, berdiri di belakang mereka, seperti seorang pemimpin yang mengawasi ritual malam itu. Dia tidak mengatakan apa-apa, tetapi kehadirannya cukup untuk membuat semua orang bergerak lebih kejam daripada sebelumnya.

---

Seseorang dari kerumunan itu memulai dengan tongkat logam.

Dia menghantamkan tongkat itu ke kaki Isholdyenca, mematahkan tulangnya dengan bunyi yang mengerikan. Tetapi Isholdyenca tidak menjerit. Bukan karena dia tidak merasakan sakit, tetapi karena tubuhnya sudah terbiasa dengan penderitaan ini.

Pisau-pisau kecil digunakan untuk menusuk setiap ruas jarinya, perlahan, satu per satu. Darah mengalir deras, tetapi tubuh Isholdyenca, yang terikat pada logika aneh dunia ini, menolak mati. Penduduk itu tertawa, menikmati apa yang mereka sebut sebagai keabadian yang menyiksa.

Wanita bertopeng mendekat setelah beberapa saat, membawa sebuah paku besar yang ujungnya berkilau seperti perak. "Ini adalah hadiah dari kami untukmu," katanya. Dia menusukkan paku itu ke dada Isholdyenca, tepat di antara tulang rusuknya. Rasa sakitnya luar biasa, seperti racun yang merayap ke seluruh tubuhnya. Namun, lagi-lagi, Isholdyenca tidak mati.

"Aku pikir kau akan lebih kuat," wanita itu berkata, suaranya datar. "Tapi rupanya kau hanya sekadar alat yang belum sempurna."

---

Aku datang saat semuanya selesai, ketika penduduk kota pergi meninggalkan Isholdyenca di tiang, tubuhnya tak lebih dari sekumpulan luka yang masih berdarah. Aku mendekat perlahan, memastikan tidak ada seorang pun yang melihatku.

"Kamu masih hidup," bisikku, mencoba menyentuh tangannya yang terkulai.

Dia tidak bergerak, tetapi aku tahu dia mendengar. Aku membuka kantong kecilku, mengeluarkan beberapa potongan kain bersih dan ramuan yang kuambil dari hutan. Aku tahu itu tidak akan cukup untuk menyembuhkan semuanya, tetapi aku melakukannya tetap.

"Apa gunanya ini?" dia bertanya dengan suara yang hampir tidak terdengar.

Aku terdiam sejenak, lalu menjawab, "Mungkin tidak ada gunanya. Tapi aku tidak ingin membiarkan mereka mengambil segalanya darimu."

Dia tidak mengatakan apa-apa lagi. Aku tahu dia terlalu lelah untuk membantah. Aku terus membersihkan luka-lukanya, mengganti balutan yang sudah penuh darah dengan yang baru.

"Wanita bertopeng itu… apa yang dia inginkan darimu?" tanyaku akhirnya.

Isholdyenca menatapku, matanya penuh dengan sesuatu yang sulit kuartikan—kemarahan, kelelahan, atau mungkin keduanya. "Dia tidak ingin apa-apa. Dia hanya ingin memastikan aku tidak pernah melupakan ini."

Hari itu berbeda lagi. Ketika wanita bertopeng mendekat, seperti biasa dengan langkah tenang dan tatapan penuh kontrol, ada sesuatu yang berubah. Dia berhenti tepat di depan Isholdyenca yang masih terikat di tiang, tubuhnya lunglai namun tidak hancur. Tangan rampingnya terangkat, perlahan-lahan melepas topeng yang selalu menyembunyikan wajahnya.

Di balik topeng itu, wajahnya ternyata sangat cantik, begitu sempurna hingga terasa menakutkan. Mata tajamnya menatap Isholdyenca dengan penuh rasa ingin tahu, bibirnya melengkung menjadi senyum kecil yang ambigu, entah penuh penghinaan atau kekaguman. Dia mendekatkan wajahnya ke wajah Isholdyenca, hingga jarak di antara mereka hanya beberapa inci.

"Aku menyukai tubuh laki-laki seperti ini," katanya pelan, suaranya dingin, seperti belati. "Tato ini… bercahaya indah. Tapi kau tahu, bukan ? Cahaya ini seharusnya milikku. Hak abadi milikku."

Tangannya bergerak menyusuri tato yang membalut tubuh Isholdyenca, seolah menelusuri peta yang tak kasatmata.

"Tapi kehendak berkata lain," lanjutnya. "Sekarang aku harus mengambilnya dengan cara ini."

---

Isholdyenca tidak mengatakan apa-apa. Dia hanya terdiam, merasakan sentuhan itu seperti racun yang menyusup ke tulangnya.

Wanita itu tersenyum lebih lebar, seolah menikmati keheningan Isholdyenca. Lalu dia berbisik, "Aku ingin melihat cahaya itu keluar, sepenuhnya."

Dan seperti isyarat yang tak terlihat, wanita-wanita lain yang kemarin muncul satu per satu dari kegelapan.

Mereka tampak lebih ganas kali ini, namun tetap mempertahankan anggunan mereka yang dingin dan mengancam.

Dengan tatapan kosong namun penuh maksud, mereka mendekati Isholdyenca dan mulai menyentuhnya, menodai setiap bagian tubuhnya tanpa ampun.

Tidak ada jeritan, tidak ada perlawanan. Isholdyenca hanya diam, tubuhnya kaku seperti patung, tetapi gemetar kecil tidak bisa dia sembunyikan.

---

Ketika malam tiba, penduduk kota datang lagi, tetapi kali ini mereka semua adalah gadis.

Penampilan mereka lebih halus, bahkan elegan, tetapi di balik anggunnya mereka membawa alat-alat baru yang lebih mengerikan. Pisau kecil dengan ukiran rumit, jarum panjang yang berkilau tajam, dan rantai berlapis permata yang tampak indah namun mematikan.

"Aku ingin mencoba sesuatu," salah satu dari mereka berkata, sambil memegang sebuah alat seperti penjepit yang dihias dengan emas. Dia mendekati Isholdyenca, menatap wajahnya yang sudah memucat. Dengan gerakan perlahan namun penuh maksud, dia menjepit salah satu jarinya, memutar alat itu hingga kuku Isholdyenca terangkat perlahan.

Yang lain tertawa kecil, seperti menikmati tontonan yang disediakan untuk mereka. "Dia tidak akan mati," salah satu dari mereka berkata sambil menusukkan jarum panjang itu ke kulit Isholdyenca, tepat di dekat tato bercahayanya. "Tapi mungkin kita bisa membuatnya merasa seperti itu."

---

Siksaan itu berlangsung hingga larut malam.

Setiap gerakan mereka penuh presisi, seolah ini adalah seni, bukan kekerasan.

Rantai dengan permata dililitkan ke tubuh Isholdyenca, kulitnya terluka setiap kali mereka menariknya dengan anggun.

Pisau-pisau kecil digunakan untuk membuat goresan tipis, cukup untuk menghasilkan darah, tetapi tidak cukup untuk membuatnya kehilangan kesadaran.

Wanita bertopeng muncul kembali di tengah siksaan itu, membawa sesuatu yang berkilauan di tangannya—sebuah lonceng kecil. Dia menggoyangkan lonceng itu pelan, dan suara nyaringnya menggema di udara.

"Lihatlah dia," katanya sambil menunjuk Isholdyenca yang hampir tidak bisa berdiri lagi. "Keindahan ini. Keabadian ini. Kita harus merayakannya."

Mereka semua tertawa, tetapi tawanya penuh kebencian yang samar. Lalu, satu per satu, mereka pergi, meninggalkan Isholdyenca dalam kesendirian

---

Aku datang seperti biasa, ketika semuanya selesai.

Langit di atas tidak pernah berubah, selalu gelap dan tak berujung. Aku mendekat, membawa kain bersih dan sedikit ramuan untuk merawat luka-lukanya.

"Kamu masih di sini," kataku, setengah bertanya, setengah meyakinkan diri sendiri. Aku tahu dia tidak bisa pergi, tapi setiap kali aku melihatnya dalam kondisi seperti ini, aku selalu merasa takut dia mungkin menyerah.

Dia tidak menjawab. Aku membersihkan luka-lukanya dengan hati-hati, meskipun aku tahu tidak ada yang benar-benar bisa menyembuhkan rasa sakit yang dia alami.

"Mereka akan datang lagi besok," kataku akhirnya, mencoba mengisi keheningan. "Dan aku akan tetap di sini, seperti biasa."

Dia membuka matanya sedikit, menatapku dengan tatapan yang sulit dijelaskan. Ada sesuatu di sana—bukan harapan, tetapi sesuatu yang lebih kuat.

"Apapun yang mereka lakukan," katanya pelan, suaranya hampir hilang, "mereka tidak akan pernah mengambil semuanya dariku."

Pagi itu datang dengan nuansa berbeda. Udara terasa berat, seperti seluruh dunia menahan napas.

Wanita bertopeng akhirnya muncul tanpa topeng, memperlihatkan wajah cantiknya yang dingin dan mematikan. Bersama para wanita lain yang mengikutinya, langkahnya mantap menuju Isholdyenca yang masih terikat di tiang kayu di tengah lapangan. Tubuh Isholdyenca sudah penuh luka dari hari sebelumnya, tetapi hari ini tampaknya mereka berencana untuk membuat semuanya lebih buruk.

"Kamu tahu, Isholdyenca," katanya sambil memandangi tubuh tak berdaya itu, "aku mulai bosan. Jadi, mari kita buat ini lebih menyenangkan."

Dengan isyarat sederhana, wanita-wanita lain mulai bergerak. Mereka membawa alat-alat baru—tombak kecil dengan ujung yang berkilau, palu yang tampak terlalu besar untuk diangkat, dan bilah yang terlihat seperti diciptakan khusus untuk memotong dengan presisi kejam.

---

Siksaan dimulai tanpa peringatan. Seorang wanita mengayunkan palu besar itu ke perut Isholdyenca, menghantamnya dengan kekuatan luar biasa hingga terdengar suara tulang retak. Isholdyenca terlempar ke belakang, tetapi rantai yang mengikat tangannya menahannya, membuat tubuhnya kembali terayun ke depan seperti boneka rusak. Namun, tidak ada teriakan. Tidak ada permohonan. Hanya keheningan yang penuh penderitaan.

"Aku menyukai ketenangan ini," ujar wanita bertopeng sambil menyeringai. Dia berjalan mendekat, mencengkeram rahang Isholdyenca dengan tangannya yang ramping tetapi kuat. "Kamu pikir kamu bisa bertahan selamanya? Tidak ada yang bertahan. Bahkan makhluk abadi seperti kamu akan hancur pada akhirnya."

Dia mengayunkan tombaknya, menusukkannya tepat ke dada Isholdyenca. Cahaya dari tato itu berdenyut lemah, seperti lilin yang hampir padam. Tombak itu tidak membunuh, tetapi membuat rasa sakit menjalar ke seluruh tubuh Isholdyenca, seolah setiap uratnya terbakar dari dalam.

---

Satu per satu, wanita-wanita itu mulai bergiliran. Mereka memperlakukan tubuh Isholdyenca seperti boneka dalam permainan kekerasan, seperti monster yang terus diserang di dalam dunia game roguelike tanpa akhir. Salah satu dari mereka menggunakan bilah kecil untuk memotong telapak tangan Isholdyenca, meninggalkan luka yang terlalu dalam untuk sembuh dengan cepat. Yang lain memukulinya dengan tongkat besi hingga tiang kayu itu mulai retak.

Ketika tiang akhirnya terbelah menjadi dua, Isholdyenca jatuh ke tanah, tubuhnya menabrak keras seperti boneka kain yang dilemparkan. Tetapi itu tidak menghentikan mereka. Mereka menyeret tubuhnya, melemparkannya ke tengah lapangan, lalu melanjutkan permainan mereka.

Wanita bertopeng berdiri di tepi, mengawasi semuanya dengan senyuman kecil di wajahnya. "Kamu masih hidup," katanya sambil mendekat, menendang tubuh Isholdyenca yang sudah tergeletak di tanah. "Kamu tidak bisa mati, bukan? Itu membuat semuanya lebih menarik."

Dia mengangkat salah satu bilah kecil yang tergeletak di tanah dan menancapkannya ke leher Isholdyenca, memutar-mutar bilah itu dengan gerakan lambat yang disengaja. Darah mengalir deras, tetapi Isholdyenca tetap tidak mati.

"Aku ingin tahu," bisiknya, mendekatkan wajahnya ke telinga Isholdyenca. "Apa yang sebenarnya kamu pikirkan? Apakah kamu masih berharap sesuatu akan berubah?"

---

Penyiksaan berlangsung sepanjang malam. Tidak ada jeda, tidak ada belas kasihan. Mereka memukul, menusuk, dan memutilasi tubuh Isholdyenca dengan keanggunan yang menyeramkan, seolah mereka adalah penari dalam sebuah tarian yang kejam.

Namun, ketika pagi tiba, semuanya berakhir. Wanita bertopeng dan pengikutnya pergi, meninggalkan Isholdyenca tergeletak di tanah. Tubuhnya tidak lagi terlihat seperti tubuh manusia. Luka-luka dalam yang menganga, darah yang mengalir membasahi tanah, dan tulang-tulang yang hampir keluar dari kulitnya menciptakan pemandangan yang sulit dilupakan.

---

Aku tidak muncul hari itu. Aku, yang selalu datang untuk merawat dan memberikan sedikit ketenangan, tidak bisa mendekat.

Ketika hari berganti malam, Isholdyenca masih terbaring di tanah. Matanya tertutup, tetapi masih bernafas.

Dia tidak mati, karena dunia ini tidak mengizinkan dia untuk mati.

Jiwanya tetap terperangkap dalam tubuh yang hancur, seperti lilin yang tidak bisa padam meskipun angin terus-menerus meniupnya.

Hari itu, gadis bertopeng kembali dengan langkah tegar seperti biasa, diikuti oleh para wanita anggun yang menjadi rekannya.

Namun kali ini berbeda. Ada sesuatu yang lebih personal dalam cara dia mendekati Isholdyenca. Wajah tanpa topengnya menunjukkan senyum tipis, tetapi tidak ada kehangatan di sana. Hanya rasa puas yang mengintai di balik tatapan tajamnya.

Dia berhenti tepat di depan Isholdyenca yang masih terikat, tubuhnya penuh luka dari malam sebelumnya. Dengan satu gerakan cepat, dia mencengkeram dagu Isholdyenca, memaksa wajahnya untuk menghadap ke atas. Cengkeraman itu kuat, jari-jari yang ramping menekan tulang rahang dengan tekanan yang menyakitkan.

"Kamu hebat," katanya dengan suara rendah, hampir seperti bisikan yang menyelinap masuk ke telinga. "Tubuhmu bisa pulih dengan sendirinya tanpa bantuan apa pun. Mungkin ini karena cahaya dari tato di lenganmu. Atau mungkin, kamu hanyalah alat sempurna yang diberikan kepada kami."

---

Isholdyenca tidak merespons. Tatapannya kosong, seperti cermin yang tidak memantulkan apa-apa. Tetapi itu tidak menghentikan gadis bertopeng itu. Dia menatap tato bercahaya di lengan Isholdyenca dengan penuh rasa ingin tahu, jemarinya yang dingin menyentuh permukaan kulit di sekitar pola bercahaya itu. Tato itu masih berdenyut lemah, seolah memiliki nyawa sendiri.

Dia melepaskan dagu Isholdyenca dengan gerakan yang tiba-tiba, membuat kepala Isholdyenca terkulai lemas. "Tapi itu bukan alasan untuk beristirahat. Kita masih punya banyak hal yang harus dilakukan."

Isyarat kecil dari tangannya membuat salah satu wanita di belakangnya bergerak maju. Wanita itu membawa cambuk yang lebih panjang dan berat dari biasanya. Ujungnya dipenuhi dengan duri-duri kecil yang tajam, siap untuk menyiksa.

---

Cambukan pertama menghantam leher Isholdyenca dengan suara yang memecah udara. Kulitnya langsung robek, meninggalkan garis merah dalam yang mulai mengeluarkan darah. Tapi wanita itu tidak berhenti. Dengan satu gerakan penuh kekuatan, dia menarik cambuk itu kembali, lalu mengayunkannya lagi, kali ini ke bahu Isholdyenca.

Tubuh Isholdyenca terhuyung, tetapi rantai yang mengikat tangannya menahannya di tempat. Cambukan berikutnya datang dengan lebih keras, mengenai punggungnya hingga terdengar bunyi tulang yang retak. Namun, tidak ada jeritan. Isholdyenca tetap diam, meskipun rasa sakit itu terasa seperti menembus hingga ke tulang.

"Kamu masih bertahan?" tanya gadis bertopeng itu dengan nada mengejek. "Bagus. Karena ini belum selesai."

---

Wanita dengan cambuk itu menggulung ujung cambuknya ke leher Isholdyenca, lalu menariknya dengan keras. Tubuh Isholdyenca terlempar ke depan, jatuh ke tanah dengan suara berat. Sebelum dia bisa mencoba bergerak, wanita itu menarik cambuknya kembali, memutar tubuh Isholdyenca seperti boneka kain, lalu membantingnya ke tanah sekali lagi.

Tujuh kali dia melakukan itu. Setiap bantingan membuat debu di tanah beterbangan, meninggalkan tubuh Isholdyenca dalam kondisi yang semakin mengenaskan. Tetapi, meskipun tubuh itu terlihat tidak lagi memiliki kekuatan, nyawa Isholdyenca tetap ada.

"Dia tidak akan mati," salah satu dari mereka berkata sambil tertawa kecil, nada suaranya penuh ejekan. "Tidak peduli seberapa keras kita mencoba, tubuh itu akan selalu kembali. Itulah yang membuatnya sangat menarik."

---

Ketika mereka selesai, gadis bertopeng itu mendekat lagi. Dia berjongkok di samping tubuh Isholdyenca yang tergeletak di tanah, darah mengalir dari luka-lukanya. Dengan santai, dia menepuk-nepuk pipi Isholdyenca, seolah mencoba membangunkannya.

"Bangun," katanya dengan nada lembut yang palsu. "Kamu tidak diizinkan tidur terlalu lama. Kami punya banyak waktu untuk menguji batas tubuhmu."

Isholdyenca membuka matanya sedikit, tetapi tidak mengatakan apa-apa. Dia tahu, tidak ada kata yang akan mengubah apapun. Gadis itu tersenyum puas, lalu berdiri dan memberi isyarat kepada wanita-wanita lainnya untuk pergi.

"Besok kita coba sesuatu yang berbeda," katanya sebelum berbalik. "Aku ingin melihat sampai sejauh mana cahaya di dalam dirimu bisa bertahan."

---

Ketika semuanya sudah sunyi, aku mendekat dari bayang-bayang, seperti biasa. Tapi kali ini, aku terlambat. Tubuh Isholdyenca terlalu lemah, terlalu hancur, bahkan untuk aku sentuh. Luka-luka itu tampak lebih dalam dari sebelumnya, dan darah yang mengalir membentuk genangan kecil di sekitarnya.

Aku berlutut di sampingnya, mencoba memeriksa apakah dia masih bernapas.

"Kamu masih hidup," gumamku, setengah lega, setengah putus asa. Tetapi aku tahu dia tidak bisa menjawab. Aku hanya bisa duduk di sana, mengawasinya dalam keheningan.

Pagi datang dengan atmosfer yang lebih gelap daripada biasanya.

Wanita bertopeng itu muncul lagi, seperti biasa dengan langkah percaya diri, diikuti oleh rekannya yang membawa alat-alat baru untuk menyiksa. Alat-alat itu tampak aneh, lebih menyerupai hasil eksperimen daripada senjata. Beberapa berbentuk jarum panjang dengan ujung bercabang, ada yang seperti klem berlapis duri, dan yang paling mencolok adalah roda besi besar dengan bilah-bilah tajam yang berputar pelan di bawah sorotan cahaya matahari yang pucat.

"Aku membawa hadiah baru hari ini, Isholdyenca," katanya dengan nada penuh kemenangan, berhenti tepat di depan tubuh Isholdyenca yang masih terikat lemah di tiang. Tubuh itu sudah penuh luka dari hari sebelumnya, tetapi tidak ada waktu untuk pulih sepenuhnya. Wanita bertopeng itu berjongkok, memandang Isholdyenca dengan tatapan yang bercampur rasa ingin tahu dan penghinaan.

"Kamu tahu, setiap kali aku melihatmu, aku bertanya-tanya: kapan tubuhmu akhirnya akan menyerah?" Dia menyentuh tato bercahaya di lengan Isholdyenca, jemarinya yang dingin bergerak pelan di atas permukaan kulit yang kasar. "Tapi nyatanya, kamu tidak pernah menyerah. Jadi mari kita lihat, apa yang bisa kulakukan hari ini."

---

Rekannya maju, membawa alat berbentuk seperti klem besar. Mereka membuka alat itu dengan perlahan, memperlihatkan duri-duri tajam di dalamnya. Dengan gerakan yang hati-hati, mereka menjepit alat itu di tangan Isholdyenca, membuat duri-duri itu menembus kulit hingga menyentuh tulang.

"Ini hanya pemanasan," kata wanita bertopeng itu sambil tersenyum kecil. "Aku ingin melihat bagaimana tato itu bereaksi terhadap tekanan ini."

Isholdyenca tidak mengatakan apa-apa. Tidak ada jeritan atau rintihan, hanya napas yang terdengar semakin berat. Tetapi itu tidak menghentikan mereka. Klem itu diputar perlahan, duri-duri yang menancap semakin dalam, menciptakan rasa sakit yang menusuk hingga ke saraf.

"Kamu diam saja ?" tanya salah satu wanita lain dengan nada mengejek. Dia memutar alat itu lebih cepat, membuat darah mengalir dari luka-luka baru yang terbuka di sekitar klem.

---

Wanita bertopeng kemudian memberi isyarat, dan roda besi besar yang berputar pelan dibawa ke tengah lapangan. Roda itu dipenuhi bilah tajam yang bergerak seperti gergaji, menciptakan suara gemeretak yang membuat udara terasa semakin berat.

"Kamu tahu apa ini, bukan?" tanyanya sambil menatap Isholdyenca. "Ini untuk menguji seberapa jauh tubuhmu bisa bertahan."

Dengan gerakan cepat, rantai yang mengikat Isholdyenca dilepas. Tubuhnya yang lemah jatuh ke tanah, tetapi sebelum dia sempat bergerak, mereka menyeretnya ke roda besi itu. Wanita bertopeng sendiri yang mengikat kaki Isholdyenca ke roda, memastikan bilah-bilah tajam itu akan mengenai kulitnya setiap kali roda itu berputar.

Dan roda itu mulai bergerak.

Bilah pertama menyentuh punggung Isholdyenca, menciptakan luka panjang yang dalam. Darah muncrat, membasahi bilah-bilah berikutnya yang terus berputar. Setiap putaran membawa rasa sakit baru, tetapi tubuh Isholdyenca, seperti biasanya, tetap bertahan.

"Kamu terlalu keras kepala," ujar wanita bertopeng itu, matanya menyala dengan kekejaman. "Tapi itu yang membuat semuanya menyenangkan."

---

Setelah roda itu berhenti, mereka membawa Isholdyenca kembali ke tiang kayu yang baru, menggantikan yang telah hancur sebelumnya. Namun, kali ini, mereka menggunakan rantai berduri untuk mengikatnya, membiarkan duri-duri itu menggigit kulitnya setiap kali dia bergerak sedikit saja.

Wanita bertopeng mendekat, membawa jarum panjang dengan ujung bercabang. Dia menatap Isholdyenca dengan senyum puas sebelum menusukkan jarum itu ke lengannya, tepat di atas tato bercahaya. Jarum itu mulai menghisap darah, membuat cahaya tato itu perlahan memudar.

"Lihat ini," katanya, memperlihatkan tabung kecil di ujung jarum yang sekarang penuh dengan cairan merah yang bercahaya lemah. "Mungkin ini adalah bagian dari kekuatanmu. Tapi aku masih harus memastikan."

Dia menusukkan jarum itu lagi, kali ini ke dada Isholdyenca, membuat tubuhnya bergetar lemah. Darah bercahaya itu terus mengalir, tetapi tidak pernah habis.

---

Ketika malam tiba, mereka akhirnya pergi, meninggalkan tubuh Isholdyenca yang tergantung lemah di tiang baru itu. Aku datang seperti biasa, meskipun kali ini dengan rasa gentar yang lebih besar dari sebelumnya.

Aku berlutut di sampingnya, mencoba menyeka darah dari wajahnya. "Kamu masih hidup," bisikku, mencoba menenangkan diriku sendiri.

Dia membuka matanya sedikit, menatapku dengan tatapan yang kosong tetapi penuh tekad yang sulit dijelaskan. "Mereka tidak akan pernah berhenti," katanya pelan, suaranya hampir tidak terdengar.

Aku mengangguk, meskipun aku tidak tahu harus mengatakan apa.

Hari itu dimulai dengan langkah yang lebih berat dari biasanya.

Wanita bertopeng tiba di lapangan dengan wajah yang menyiratkan kesenangan kejam yang tidak lagi bisa disembunyikan.

Di belakangnya, para rekannya membawa alat besar yang mengeluarkan uap. Alat itu berbentuk seperti kolam besar dengan permukaan air yang tampak tenang, tetapi dasar kolam memancarkan cahaya merah menyala, seperti lava, Udara di sekitar alat itu terasa panas, membuat setiap napas menjadi sulit.

"Kali ini, aku ingin mencoba sesuatu yang baru," katanya sambil berjalan mendekati Isholdyenca yang masih terikat di tiang. Tatapannya tajam, penuh kepuasan yang dingin.

Dia mengambil cambuk panjang yang terbuat dari logam tipis dan berduri, lalu melilitkannya ke leher Isholdyenca. Cambuk itu menjerat seperti ular, menekan kuat hingga Isholdyenca kesulitan bernapas. Dengan satu tarikan keras, tubuh Isholdyenca terhempas dari tiang, jatuh ke tanah dengan bunyi berat.

"Kamu tahu apa yang membuatku kagum?" tanyanya sambil menarik Isholdyenca ke arah alat itu. "Fakta bahwa tidak peduli seberapa keras aku mencoba, tubuhmu selalu kembali seperti semula. Tapi hari ini, aku ingin melihat apakah api bisa melawan api."

---

Dengan satu gerakan cepat, dia melemparkan tubuh Isholdyenca ke dalam kolam itu. Air yang membara langsung menyelimuti tubuhnya, menghasilkan suara desisan tajam yang menusuk telinga. Uap panas naik dari kolam, membentuk kabut tebal yang membuat pandangan hampir tertutup.

Tubuh Isholdyenca tenggelam sebagian, tetapi wajahnya masih terlihat di permukaan. Kulitnya memerah, seolah sedang dimasak, tetapi dia tetap tidak bersuara. Hanya napasnya yang berat dan terputus-putus yang menandakan bahwa dia masih hidup.

"Kau tidak akan mati, bukan?" ujar wanita bertopeng sambil berdiri di tepi kolam. Dia menatap Isholdyenca seperti seorang ilmuwan yang sedang mengamati eksperimennya. "Tapi aku ingin tahu, berapa lama tubuhmu bisa bertahan di sini?"

Dia tertawa kecil, lalu berbalik ke arah rekan-rekannya. "Kita biarkan dia di sini. Malam masih panjang."

Mereka pergi, meninggalkan Isholdyenca terjebak dalam kolam yang membara itu.

---

Malam datang dengan perlahan, membawa keheningan yang hampir menyesakkan. Aku muncul dari bayang-bayang seperti biasa, tetapi kali ini dengan langkah yang lebih ragu. Pemandangan di depanku membuat perutku mual—tubuh Isholdyenca masih terendam di kolam itu, uap panas terus naik, dan bau logam serta daging yang terbakar terasa di udara.

Aku mendekati alat itu dengan hati-hati, mencari cara untuk membukanya. Panas dari kolam itu terasa seperti membakar kulitku meskipun aku belum menyentuhnya. Tetapi aku tidak peduli. Aku harus mengeluarkannya.

Dengan usaha keras, aku menemukan tuas kecil di sisi alat itu. Aku menariknya, dan air membara mulai mengalir keluar, meninggalkan tubuh Isholdyenca yang lemas di dasar kolam. Aku memanjat masuk, meskipun panasnya masih terasa menyakitkan, lalu mengangkat tubuhnya keluar dengan susah payah.

---

"Masih hidup?" tanyaku pelan, setengah berharap dia akan menjawab. Tetapi Isholdyenca tidak membuka matanya. Kulitnya yang terbakar mulai pulih perlahan, tato bercahaya di tubuhnya tampak berdenyut lemah seperti api kecil yang hampir padam.

Aku memindahkannya ke tempat yang lebih aman, jauh dari alat itu, lalu mulai membersihkan sisa-sisa luka di tubuhnya dengan kain basah yang kubawa. "Kamu terlalu keras kepala," gumamku sambil terus bekerja. "Tapi mungkin itu yang membuatmu masih bertahan."

Akhirnya, dia membuka matanya sedikit, menatapku dengan tatapan yang penuh kelelahan tetapi tetap hidup. "Mereka… tidak akan berhenti," katanya dengan suara serak.

Aku mengangguk. Aku tahu itu benar.

---

Malam berlalu dalam keheningan, hanya diisi oleh napas berat Isholdyenca dan pikiranku yang penuh dengan pertanyaan.

Hari itu berbeda. Tidak ada langkah anggun wanita bertopeng, tidak ada cambuk, tiang, atau roda berbilah yang biasa menanti Isholdyenca. Dia terbaring lemas di tanah, tidak terikat, tetapi tetap tidak memiliki kekuatan untuk bergerak.

Udara di sekitarnya terasa lebih dingin dari biasanya, kabut tebal yang tiba-tiba muncul, menyelimuti seluruh lapangan.

Kabut itu lebih pekat daripada bayangan, lebih gelap daripada malam.

Aku berdiri dari kejauhan, seperti biasa, tetapi kali ini tubuhku gemetar tanpa alasan yang jelas.

Kabut itu bukan milikku, bukan sesuatu yang pernah kulihat sebelumnya.

Dari dalam kabut, sosok itu muncul.

Sosok seorang gadis, tetapi berbeda dari siapapun yang pernah kulihat di dunia ini.

Dia lebih tinggi dari manusia biasa, matanya bersinar dengan warna yang terus berubah, dan dia membawa senjata besar yang tampak seperti trisula bercabang yang berdenyut dengan cahaya biru kehitaman.

---

Aku ingin mundur, tetapi kakiku terasa terpasung di tempat.

Entitas itu melangkah mendekati Isholdyenca yang masih terbaring, tidak menunjukkan rasa tergesa-gesa, seolah-olah waktu tunduk padanya.

Dia berjongkok di depan Isholdyenca, tangannya yang ramping namun kuat mencengkeram dagu Isholdyenca, memaksa wajahnya untuk menghadap ke atas.

"Manusia pejuang cahaya seperti mu," katanya, suaranya bergaung dalam udara, seolah-olah berasal dari segala arah sekaligus,

"tidak akan bertahan lama di dunia magis ini."

Aku memandang dari kejauhan, seluruh tubuhku terasa kaku karena ketakutan.

Suaranya membuat tanah di bawahku bergetar, seperti kehadirannya mengguncang realitas itu sendiri.

"Lihatlah dirimu," lanjutnya, matanya menatap Isholdyenca dengan rasa jijik yang dingin.

"Kamu Sangat lemah, Kamu Fikir keberadaanmu di sini berarti ? Tidak, Kamu dan yang lainnya hanyalah mainanku, sebenarnya kamu Sangat beruntung, karena di sini, kamu dapat merasakan penyiksaan abadi yang tidak pernah terbayangkan olehmu sebelumnya."

---

Isholdyenca hanya menatapnya, matanya yang kosong tidak memancarkan emosi apa pun. Entitas itu tersenyum tipis, sebuah senyum yang terasa lebih seperti ancaman daripada kegembiraan.

"Dunia magis ini," katanya sambil berdiri, memutar pedang trisula nya dengan satu tangan, "adalah ciptaanku, Ruang dimensi ini adalah labirin tak berujung yang aku buat khusus untukmu dan mereka yang sepertimu, Sementara di dunia asli…"

Dia berhenti sejenak, suaranya berubah menjadi sesuatu yang lebih tajam.

"Teman-Teman Mu…, Thaldra SoulBone, Flaura, Sepuluh dewi-dewi lainnya, Circ, dan seluruh pejuang cahaya sedang melawan RENVUREGA..., perjuangan mereka semua sia-sia karena mereka kalah di dalam kegelapan..."

Suaranya bergema, menyelimuti seluruh ruang itu.

Aku merasa dadaku sesak, seolah udara di sekitarku telah direnggut.

Fakta yang dia katakan terasa seperti belati yang menusuk tanpa ampun.

"Begitulah kebenarannya," katanya dengan nada puas.

"Kamu ada di sini karena kehendakku di dunia magis pada saat kejadian itu, sementara dunia aslimu dihancurkan oleh sesuatu yang tidak bisa mereka kalahkan, Kamu fikir dirimu penting untuk dunia magis yang luas ?, Tidak. Kamu hanyalah bagian kecil dari permainan ku yang jauh lebih kejam setelah boneka ku bernama Luna."

---

Entitas itu berbalik, matanya menyapu sekeliling, dan aku merasa pandangannya sempat berhenti di tempatku berdiri.

Tubuhku membeku, napasku terhenti, tetapi dia tidak mendekat.

Dia hanya tersenyum tipis, senyum yang membuat darahku terasa dingin.

"Kamu akan terus berada di sini, wahai bayangan mimpi buruk gurfeda" katanya sambil melangkah kembali ke dalam kabut.

"Sampai kamu benar-benar memahami bahwa cahaya tidak akan melenyapkan kegelapan."

Kabut itu menelannya perlahan, meninggalkan keheningan yang memekakkan telinga.

Hari itu, seperti biasa, gadis bertopeng muncul lagi, membawa langkah anggun dan aura mengintimidasi.

Namun, sesuatu di sekeliling terasa berbeda.

Udara lebih tegang, seolah ada jejak peristiwa yang tidak bisa di jelaskan.

Dia berhenti sejenak di depan Isholdyenca, menatap sisa-sisa suasana yang tampak tidak seperti sebelumnya.

"Menarik," gumamnya sambil tersenyum. Tetapi senyuman itu bukan tanda keraguan, melainkan antusiasme yang aneh.

"Aku tidak tahu apa yang terjadi di sini kemarin, tetapi ini membuat segalanya menjadi lebih menyenangkan."

Dia melangkah lebih dekat, mengangkat cambuknya tinggi-tinggi.

Suara cambuk itu mendesing di udara, mengarah langsung ke leher Isholdyenca, seperti akan melilit, Namun, tepat ketika cambuk itu hampir menyentuh leher, segala sesuatu berhenti seketika.

---

Aku melangkah keluar dari bayang-bayang kabut, dengan tenang dan pasti.

Dunia di sekelilingku seperti berhenti bernafas.

Waktu sendiri tunduk pada kehadiranku, membeku dalam keheningan mutlak.

Aku berjalan mendekati gadis bertopeng yang diam dalam pose menyerangnya.

Cambuk yang masih melayang di udara ku ambil dengan mudah, lalu ku lempar ke tanah dan seketika cambuk itu hancur menjadi debu.

Aku berkeliling, mengambil setiap alat penyiksaan yang ada di sekelilingnya—pisau, rantai, roda berduri, semua benda kejam yang biasa mereka gunakan untuk menyiksa Isholdyenca.

Alat-alat itu tampak begitu kecil dan tidak berarti di tanganku.

Dengan gerakan sederhana, aku menghancurkan semua senjata satu per satu.

Pisau-pisau itu patah, rantai hancur menjadi debu, dan roda-berbilah terpecah menjadi serpihan kecil yang tidak berguna.

Suara kehancuran mereka menggema seperti peringatan dalam keheningan dunia ini.

---

Aku menatap Isholdyenca yang masih membeku dalam waktu, tubuhnya lemah tetapi napasnya masih ada.

Aku tidak mendekat lebih jauh, hanya berdiri di tempatku dan berbicara, suaraku bergema ke segala arah.

"Dunia bisa damai jika manusia lebih pintar memanfaatkan kedamaian," kataku, suaraku tenang namun penuh makna.

"Akan tetapi, lebih banyak manusia yang penasaran bagaimana mereka bisa menyaksikan pertunjukan keputusasaan dari orang lain, Mereka menyebutnya hiburan, mereka menyebutnya kesenangan dan kekuasaan, Tetapi itu hanyalah topeng dari takdir dunia."

Aku berbalik, menatap gadis bertopeng yang masih membeku di hadapanku.

Wajahnya, yang biasanya penuh rasa puas, kini tidak bisa mengekspresikan apapun.

"Namun, tetaplah ingat satu hal, dunia hanyalah tempat sandiwara yang fana, Tidak ada arti dari keburukan, tetapi kamu bisa mempelajari keburukan itu untuk menjadi lebih baik."

Aku berjalan kembali ke dalam kabutku, meninggalkan mereka dalam keheningan abadi.

Kabut yang memancar dari tubuhku mulai memenuhi ruang, menyelimuti segala sesuatu dengan cahaya samar.

---

Aku tidak tahu apakah mereka akan menyadarinya, tetapi kehadiranku telah meninggalkan jejak yang tidak bisa dihapus.

Isholdyenca tetap berada di dunia yang sekarang tidak lagi bergerak.

Tubuhnya tidak akan lagi merasakan cambuk, tusukan, atau luka baru.

Dia tidak bisa bebas, tetapi dia juga tidak akan lagi menderita.

Aku melihatnya dari kejauhan untuk terakhir kali, lalu menghilang ke dalam kabutku sendiri.

Aku meninggalkan dunia itu untuk menemukan makna yang lebih besar, meskipun aku tahu, di dalam hatiku, Isholdyenca tidak akan pernah melupakan apa yang terjadi di dunia ini.