Chereads / Bintang Penyelamat / Chapter 43 - New World

Chapter 43 - New World

Setelah pertempuran dahsyat yang menghancurkan markas Pejuang Cahaya di Sylevan, suasana dipenuhi dengan kepulan asap.

Bangunan yang sebelumnya megah kini hancur, menyisakan puing-puing berserakan di mana-mana

Para pejuang yang selamat bergerak dengan cepat, berusaha menyelamatkan rekan-rekan mereka yang terluka dan mengamankan area tersebut.

Di tengah kekacauan itu, Thaldra dan Flaura ditemukan tergeletak Di Tanah, tubuh mereka dipenuhi luka akibat pertempuran sengit melawan pasukan kegelapan.

Dengan hati-hati, mereka dibawa ke ruang perawatan darurat yang didirikan sementara di salah satu sudut markas yang masih utuh.

Tim medis, yang terdiri dari penyembuh berpengalaman, segera memberikan perhatian khusus kepada Thaldra dan Flaura.

Luka-luka mereka dibersihkan dengan ramuan herbal khusus yang memiliki sifat penyembuhan tinggi.

Setiap goresan dan memar diobati dengan teliti, memastikan tidak ada infeksi yang dapat memperparah kondisi mereka.

Selain perawatan fisik, para penyembuh juga menggunakan sihir penyembuhan untuk mempercepat proses pemulihan.

Tangan mereka memancarkan cahaya lembut yang menenangkan, mengalir ke tubuh Thaldra dan Flaura, memperbaiki jaringan yang rusak dan mengembalikan vitalitas mereka.

Proses ini memerlukan konsentrasi tinggi dan energi yang besar, namun para penyembuh bekerja tanpa lelah demi kesembuhan para pejuang.

Sementara itu, di bagian lain markas, para Pejuang Cahaya yang masih mampu bergerak mulai bekerja sama untuk membersihkan area dan membangun kembali struktur yang hancur.

Mereka mengangkat balok-balok berat, menyusun kembali dinding, dan memperbaiki peralatan yang rusak.

Selama beberapa hari berikutnya, kondisi Thaldra dan Flaura berangsur-angsur membaik. Mereka mulai sadar dan dapat berkomunikasi meskipun masih lemah. Para penyembuh terus memantau perkembangan mereka, memastikan bahwa proses pemulihan berjalan dengan baik. Makanan bergizi dan istirahat yang cukup diberikan untuk mempercepat penyembuhan.

Di luar ruang perawatan, markas Sylevan perlahan kembali pulih.

Bangunan-bangunan yang hancur mulai berdiri kembali, dan area latihan kembali dipenuhi dengan aktivitas.

Setelah memulihkan diri dari pertempuran, Thaldra kembali ke TideAschen bersama Flaura dengan tekad yang kuat untuk memperkuat pasukan mereka.

Flaura merencanakan pelatihan mereka di dalam Istana TideAschen yang megah.

Di dalam sebuah aula besar, para pejuang berkumpul.

Pelatihan ini mencakup berbagai aspek, mulai dari dasar-dasar sihir hingga teknik tingkat lanjut.

Para pejuang diajarkan cara memanggil elemen-elemen alam, seperti api, air, udara, dan tanah, serta cara menggabungkannya dalam serangan yang menghancurkan.

Mereka juga belajar cara melindungi diri dengan perisai magis dan memulihkan energi mereka dengan cepat setelah pertempuran yang melelahkan.

Salah satu latihan khusus yang diajarkan oleh Flaura adalah "Ritual Pemanggilan Cahaya". Ini adalah teknik kuno yang memerlukan konsentrasi tinggi dan keseimbangan antara pikiran dan jiwa. Dengan menggunakan ritual ini, para pejuang bisa memanggil kekuatan cahaya yang bisa menghancurkan kegelapan dan menyembuhkan luka.

Flaura mengajarkan ritual ini dengan sabar, memastikan setiap pejuang memahami setiap langkah dan makna di baliknya.

Sementara itu, Thaldra fokus pada pelatihan fisik dan ketahanan.

Ia mengajak para pejuang berlatih di lapangan terbuka, berlari di sepanjang hutan dan melewati rintangan yang menantang.

Ia juga mengajarkan seni bertarung dengan pedang dan senjata lainnya, memastikan para pejuang tidak hanya bergantung pada kekuatan magis mereka, tetapi juga memiliki keterampilan tempur yang kuat.

Selama pelatihan, Flaura dan Thaldra selalu memberikan semangat dan dorongan kepada para pejuang.

Mereka memahami betapa pentingnya menjaga semangat dan motivasi, terutama dalam menghadapi tantangan besar.

Setiap kali seorang pejuang merasa kesulitan atau putus asa, Flaura dan Thaldra selalu ada untuk memberikan bimbingan dan dukungan.

Dengan kombinasi pelatihan magis dan fisik yang intens, para pejuang di Istana TideAschen semakin kuat dan siap menghadapi ancaman apa pun yang mungkin datang.

Setelah berbulan-bulan pelatihan intensif di Istana TideAschen, pasukan yang dipimpin oleh Thaldra mulai menunjukkan kemajuan pesat. Istana yang dulunya hanya dipenuhi dengan aktivitas administratif kini berubah menjadi pusat pendidikan magis yang dinamis. Flaura, dengan pengetahuan mendalamnya tentang sihir kuno, mengambil peran sebagai guru utama, sementara Thaldra memimpin dari sisi strategis dan praktis.

Suatu pagi, saat matahari baru saja menyinari puncak menara Istana, suara lonceng terdengar sebagai tanda dimulainya sesi pelatihan. Di halaman luas yang dikelilingi oleh taman-taman indah, para prajurit berkumpul dalam barisan rapi. Wajah mereka mencerminkan semangat dan tekad yang kuat.

Flaura melangkah maju, gaunnya yang elegan berayun lembut tertiup angin. Matanya yang tajam memandang satu per satu prajurit di depannya. "Hari ini, kita akan mempelajari 'Mantra Proteksi Astra', sebuah sihir pelindung yang akan menjadi tameng kalian di medan perang," ujarnya dengan suara yang tegas namun hangat.

Dia mengangkat tangannya, dan seketika cahaya kebiruan membentuk perisai transparan di sekelilingnya. "Fokuskan energi kalian ke dalam inti jiwa. Rasakan aliran sihir mengalir melalui nadi, lalu lepaskan dengan niat untuk melindungi."

Para prajurit memejamkan mata, mencoba merasakan apa yang dijelaskan Flaura. Beberapa dari mereka berhasil memunculkan percikan cahaya, sementara yang lain masih berjuang untuk memusatkan konsentrasi. Thaldra berjalan di antara mereka, memberikan koreksi dan dorongan. "Jangan terlalu tegang. Biarkan sihir itu mengalir alami. Percaya pada diri kalian sendiri," katanya sambil menepuk bahu seorang prajurit muda.

Di sore harinya, pelatihan berlanjut ke sesi taktikal bersama Thaldra. Mereka berpindah ke ruang strategi, sebuah ruangan besar dengan meja kayu panjang yang dipenuhi peta dan miniatur. "Kekuatan tanpa strategi adalah hal yang sia-sia," ujar Thaldra sambil menunjuk peta wilayah perbatasan. "Kita harus memahami medan dan lawan kita."

Dia menjelaskan rencana pertahanan baru untuk menghadapi kemungkinan serangan dari pasukan kegelapan yang mulai bergerak di utara. Para prajurit diajarkan cara membaca tanda-tanda alam sebagai peringatan dini, teknik penyergapan, dan bagaimana memanfaatkan lingkungan sekitar sebagai keuntungan.

Selama istirahat, para prajurit berdiskusi dengan antusias. "Aku tak pernah membayangkan bahwa angin bisa menjadi perantara pesan," kata seorang prajurit perempuan dengan mata berbinar. "Itu benar," sahut temannya. "Dengan sihir komunikasi yang diajarkan Flaura, kita bisa berkoordinasi tanpa terdeteksi musuh."

Malam harinya, Flaura mengundang Thaldra untuk berbincang di balkon istana. Bintang-bintang berkelip di langit, memberikan suasana tenang setelah hari yang melelahkan. "Aku bangga melihat perkembangan mereka," kata Flaura sambil menatap kejauhan. "Namun, aku tak bisa menghilangkan kekhawatiran tentang pergerakan musuh."

Thaldra mengangguk pelan. "Informasi dari mata-mata kita menunjukkan aktivitas yang tidak biasa. Kita harus bersiap untuk segala kemungkinan." Dia lalu menoleh ke arah Flaura. "Kita telah melakukan yang terbaik untuk mempersiapkan mereka. Sekarang, saatnya kita percaya pada kemampuan mereka."

Hari-hari berikutnya diisi dengan simulasi pertempuran. Flaura dan Thaldra menciptakan skenario yang menantang, memaksa para prajurit untuk berpikir cepat dan bekerja sama. Ada kalanya mereka gagal, namun dari kegagalan itu, mereka belajar dan bangkit lebih kuat.

Suatu ketika, selama simulasi di hutan buatan istana, sekelompok prajurit terjebak dalam 'serangan' mendadak. Dengan panik, mereka hampir menyerah, tetapi teringat ajaran Thaldra tentang ketenangan di tengah kekacauan. Salah satu dari mereka, seorang pria bernama Alaric, mengambil alih komando. "Ingat latihan kita! Bentuk formasi perlindungan dan gunakan sihir penghilang jejak!" teriaknya.

Dengan cepat, mereka berhasil meloloskan diri dan bahkan 'mengalahkan' unit lawan. Setelah simulasi berakhir, Thaldra memuji mereka. "Inilah yang saya maksud dengan inisiatif dan kerjasama. Kalian mulai memahami esensi sebenarnya dari seorang prajurit."

Sementara itu, di sudut lain istana, Flaura mulai menyelidiki teks-teks kuno yang ditemukan di perpustakaan kerajaan. Dia menemukan petunjuk tentang artefak legendaris yang diyakini dapat memberikan kekuatan besar untuk mengalahkan kegelapan. "Thaldra, kita mungkin memiliki harapan baru," katanya dengan antusiasme yang jarang terlihat.

Thaldra memeriksa gulungan yang disodorkan Flaura. "Artefak Cahaya Abadi... Tapi lokasinya tersembunyi dan dilindungi oleh berbagai rintangan." Flaura tersenyum tipis. "Oleh karena itu, kita harus mempersiapkan ekspedisi. Ini bukan hanya tentang kekuatan, tapi juga tentang harapan bagi rakyat kita."

Dengan keputusan itu, mereka mulai merencanakan perjalanan berbahaya untuk mencari artefak tersebut. Beberapa prajurit terbaik, termasuk Alaric, dipilih untuk bergabung dalam tim kecil yang akan berangkat dalam waktu dekat. Pelatihan pun disesuaikan, fokus pada keterampilan yang dibutuhkan untuk menghadapi tantangan di perjalanan.

Di tengah persiapan, hubungan antara Flaura dan Thaldra semakin erat. Mereka saling berbagi beban dan harapan, menyadari bahwa takdir negeri mereka ada di tangan mereka. Meski tantangan di depan begitu besar, tekad mereka tak goyah.

Malam sebelum keberangkatan, sebuah upacara diadakan. Flaura memberikan pidato yang menginspirasi. "Kita bukan hanya berjuang untuk diri kita sendiri, tetapi untuk generasi mendatang. Keberanian dan pengorbanan kita hari ini akan menentukan masa depan TideAschen."

Dengan semangat yang membara, tim ekspedisi bersiap memulai petualangan mereka. Rakyat TideAschen memberikan doa dan harapan terbaik, sementara bayangan perang semakin mendekat. Di tepian hutan, Flaura menoleh ke belakang, melihat istana dan kotanya sekali lagi. "Kita akan kembali dengan harapan baru," bisiknya.

Thaldra menepuk pundaknya. "Bersama-sama, kita bisa menghadapi apa pun."

Setelah Thaldra mengutarakan niatnya untuk segera memasuki hutan, Flaura menatapnya dengan mata penuh kekhawatiran. Senja mulai merambat di langit, mewarnai Istana TideAschen dengan cahaya keemasan. Burung-burung kembali ke sarang, dan angin sepoi-sepoi membawa aroma khas laut yang menenangkan.

"Thaldra," panggil Flaura dengan lembut, menghentikan langkahnya. "Sebelum kau pergi, ada sesuatu yang penting yang harus kau pelajari."

Thaldra berbalik, melihat Flaura dengan alis terangkat. "Apa itu?"

"Teknik 'Lightning Void'," jawab Flaura. "Ini adalah kekuatan yang luar biasa, mampu menciptakan ledakan beradius hingga 900 meter. Namun, teknik ini hanya boleh digunakan terhadap monster-monster, bukan makhluk hidup lainnya."

Thaldra terdiam sejenak, mencerna informasi tersebut. "Aku pernah mendengar desas-desus tentang teknik itu, tapi aku tidak tahu bahwa itu benar-benar ada. Mengapa aku harus mempelajarinya sekarang?"

Flaura melangkah mendekat, meletakkan tangan lembutnya di bahu Thaldra. "Ancaman yang kita hadapi semakin besar. Pasukan musuh bukan hanya terdiri dari prajurit biasa, tetapi juga makhluk-makhluk kegelapan yang tidak bisa dikalahkan dengan cara konvensional. Dengan mempelajari Lightning Void, kau bisa melindungi pasukan kita dan meminimalkan korban jiwa. Tapi ingat," ia memperingatkan, "jangan gegabah. Kita masih memiliki waktu untuk berlatih dan memperkuat diri. Penting bagi kita untuk menjaga pasukan agar tidak terbunuh terlalu banyak."

Thaldra mengangguk perlahan. "Kau benar. Aku tidak ingin mengorbankan nyawa lebih banyak lagi. Baiklah, aku akan mempelajarinya. Maukah kau mengajarkannya padaku?"

Flaura tersenyum tipis. "Tentu saja. Mari kita mulai sekarang. Waktu kita berharga."

***

Mereka berdua menuju ke Ruang Latihan Tertinggi di Istana TideAschen. Ruangan ini khusus dirancang untuk pelatihan teknik-teknik tingkat tinggi, dengan dinding-dinding tebal yang diperkuat sihir penahan dan lantai berlapis batu obsidian yang tahan terhadap panas dan ledakan.

Flaura memulai pelatihan dengan penjelasan mendalam tentang asal-usul Lightning Void. "Teknik ini berasal dari zaman kuno, diciptakan oleh para penyihir leluhur untuk mengalahkan makhluk-makhluk raksasa yang mengancam dunia. Kuncinya adalah menggabungkan elemen petir dengan kekosongan absolut, menciptakan ledakan yang masif namun terfokus."

Thaldra mendengarkan dengan seksama, matanya menunjukkan keseriusan. "Bagaimana cara mengendalikan kekuatan sebesar itu tanpa membahayakan diri sendiri atau teman-teman kita?"

"Itulah tantangannya," jawab Flaura. "Kau harus memiliki kendali penuh atas emosimu dan fokus pikiran yang tajam. Sedikit saja lengah, energi itu bisa berbalik menyerangmu atau menyebar tanpa arah."

Mereka memulai dengan meditasi mendalam untuk menyeimbangkan energi dalam tubuh Thaldra. Flaura memandu dia melalui visualisasi aliran listrik yang mengalir dalam nadinya. "Rasakan percikan energi itu," bisiknya. "Biarkan ia mengalir namun jangan lepaskan kendali."

Setelah beberapa jam, Thaldra mulai merasakan denyut energi petir dalam dirinya. Kulitnya bergetar ringan, dan rambutnya sedikit berdiri karena muatan listrik. Flaura memperhatikan dengan kagum. "Bagus, kau memiliki bakat alami."

Selanjutnya, mereka berlatih menggabungkan energi petir dengan konsep kekosongan. Flaura menjelaskan, "Kekosongan bukanlah ketiadaan, tetapi potensi tanpa batas. Kau harus mampu memvisualisasikan ruang di mana energi petirmu bisa berkembang tanpa hambatan, namun tetap dalam batasan yang kau tentukan."

Thaldra menutup matanya, membayangkan ruang gelap tanpa ujung. Dalam ruang itu, ia melepaskan percikan petirnya, membiarkannya berkembang namun tetap terikat oleh kehendaknya. Tiba-tiba, kilatan cahaya muncul di sekelilingnya, tetapi segera mereda saat ia membuka mata.

"Fantastis!" seru Flaura dengan mata berbinar. "Kau berhasil melakukan tahap awal dengan cepat."

Namun, latihan itu tidak selalu mulus. Pada hari ketiga, saat mencoba meningkatkan intensitas energi, Thaldra kehilangan fokus sejenak. Energi petirnya melonjak tak terkendali, menghantam dinding dan membuat retakan besar. Alarm sihir berbunyi, dan beberapa penjaga berlari masuk.

Flaura segera mengambil alih, menenangkan energi di sekitar mereka dengan mantra penstabil. "Tenang, tarik napas dalam-dalam," ujarnya kepada Thaldra yang terlihat shock.

Thaldra menggertakkan giginya. "Maafkan aku. Aku terlalu terbawa."

"Tidak apa-apa. Ini bagian dari proses. Yang penting adalah bagaimana kau belajar dari kesalahan ini," kata Flaura sambil menepuk pundaknya. "Istirahatlah sejenak. Kita bisa melanjutkan nanti."

***

Sementara itu, kabar tentang pelatihan khusus Thaldra tersebar di kalangan pasukan. Beberapa prajurit mendekati Flaura, meminta izin untuk ikut serta dalam pelatihan tersebut. Namun, Flaura dengan bijak menolak.

"Kekuatan ini bukan untuk semua orang. Risiko dan tanggung jawabnya terlalu besar. Biarkan Thaldra yang menguasainya dahulu, kemudian kita bisa mempertimbangkan langkah selanjutnya," jelasnya.

Pada malam kelima, Thaldra akhirnya mencapai titik di mana ia merasa siap untuk mencoba Lightning Void secara penuh. Mereka memilih lokasi di luar istana, di lapangan luas yang jauh dari pemukiman. Langit malam cerah, bintang-bintang bersinar seolah menyaksikan momen penting ini.

"Ini dia," kata Flaura sambil berdiri agak jauh untuk mengamati. "Ingat semua yang telah kita latih. Fokus, kendali, dan keyakinan."

Thaldra mengangguk mantap. Ia menutup mata, menarik napas dalam-dalam. Energi petir mulai mengalir deras dalam tubuhnya, terasa seperti arus sungai yang kuat namun menenangkan. Ia kemudian membayangkan kekosongan luas, tempat energi itu bisa berkembang.

Saat membuka mata, kilatan petir menyelubungi tubuhnya, berpendar dalam warna biru terang. Tanah di bawah kakinya bergetar. Dengan gerakan tangan yang terarah, ia mengumpulkan seluruh energi itu ke depan.

"Lightning Void!" teriaknya, melepaskan energi dahsyat tersebut.

Seketika, ledakan besar terjadi. Cahaya menyilaukan menerangi area sekitarnya, dan angin kencang menerbangkan debu dan dedaunan. Pohon-pohon di radius 900 meter bergoyang hebat, beberapa bahkan tumbang. Namun, seperti yang dilatih, energi itu terfokus hanya ke arah yang ditentukan, tidak menyebar liar.

Ketika debu mereda, Flaura berlari menghampiri Thaldra yang berlutut kelelahan. "Kau berhasil! Itu luar biasa!"

Thaldra tersenyum lemah, napasnya terengah. "Ini... lebih berat dari yang kukira. Tapi aku merasa bisa mengendalikannya."

"Semakin sering kau berlatih, semakin mudah. Namun, jangan terlalu memaksakan diri," ujar Flaura sambil membantunya berdiri. "Aku bangga padamu."

***

Keesokan harinya, Thaldra mengumpulkan para pemimpin pasukan. Ia menjelaskan kepada mereka tentang teknik baru yang dikuasainya dan bagaimana hal itu dapat membantu dalam pertempuran mendatang. Namun, ia juga menekankan pentingnya kehati-hatian.

"Kekuatan ini bukan solusi ajaib," katanya dengan tegas. "Ini adalah alat yang harus digunakan dengan bijak. Kita tetap harus mengandalkan kerjasama dan strategi. Jangan pernah menganggap remeh musuh kita."

Para pemimpin pasukan menghargai keterusterangan Thaldra. Salah satu dari mereka, Kapten Elandor, angkat bicara. "Kami akan memastikan pasukan dilatih lebih baik lagi. Kami berterima kasih atas dedikasimu."

Flaura juga mengambil peran penting dalam pertemuan tersebut. "Selain itu, kita harus fokus pada perlindungan dan keselamatan. Ingatlah, tujuan kita bukan hanya memenangkan pertempuran, tetapi juga menjaga nyawa sebanyak mungkin."

Dengan semangat baru, mereka menyusun strategi yang lebih komprehensif. Pelatihan pasukan ditingkatkan, termasuk latihan menghadapi makhluk-makhluk kegelapan yang lebih kuat. Mereka juga memperkuat pertahanan Istana dan kota TideAschen, memasang barikade sihir dan pos pengamatan.

Thaldra dan Flaura bekerja tanpa kenal lelah, memastikan segala sesuatunya siap sebelum ekspedisi ke hutan dimulai. Mereka memahami bahwa waktu adalah esensi, namun mereka juga menyadari bahwa persiapan matang adalah kunci keberhasilan.

Pada suatu sore, Thaldra menemui Flaura di ruang kerjanya. "Aku ingin berterima kasih padamu," katanya tulus. "Tanpa bimbinganmu, aku tidak akan bisa mencapai titik ini."

Flaura menatapnya dengan mata hangat. "Kita adalah tim. Keberhasilanmu adalah keberhasilan kita bersama. Dan ingat, perjalanan kita masih panjang."

"Benar," Thaldra mengangguk. "Tapi dengan keyakinan dan persiapan ini, aku percaya kita bisa menghadapi apa pun yang menanti."

Flaura tersenyum. "Aku juga percaya. Mari kita jaga semangat ini, dan bersama-sama kita akan membawa TideAschen menuju masa depan yang lebih cerah."

Keesokan paginya, suasana perkemahan masih diselimuti kabut tipis. Thaldra duduk terdiam di atas batu besar di tepi sungai, pandangannya kosong menatap air yang mengalir tenang. Pikirannya kacau, bayangan kekalahan dan kehancuran terus menghantuinya. Suara gemuruh pertempuran, jeritan prajurit, dan runtuhnya istana Flaura berputar tanpa henti dalam benaknya.

Flaura mendekatinya dengan langkah pelan. Ia merasakan beban yang dirasakan Thaldra, karena hatinya pun dipenuhi kerinduan dan kesedihan. "Thaldra," panggilnya lembut. "Apakah kau baik-baik saja?"

Thaldra tersentak dari lamunannya. "Aku... aku tidak tahu," jawabnya lirih. "Segalanya terasa begitu berat. Pikiran ini tak mau tenang."

Flaura duduk di sampingnya, memandang aliran sungai yang jernih. "Aku juga merasakan hal yang sama," ujarnya. "Setiap malam, aku merindukan Gurfeda, Luna, Isholdyenca, Peals, dan Veni. Ke mana mereka? Bagaimana nasib mereka?"

Thaldra mengangguk pelan. "Mereka menghilang begitu saja. Magister kegelapan dengan jubah hitam itu... Mengapa kita tak bisa menyelamatkan mereka?"

Air mata menetes di pipi Flaura. "Aku terus memikirkan saat terakhir kita bersama. Andai saja kita bisa melakukan sesuatu."

Keheningan menyelimuti mereka. Hanya suara gemericik air dan kicau burung yang terdengar. Thaldra mengepalkan tangannya. "Setiap kali mencoba memikirkan cara untuk menemukan mereka, aku menjadi semakin terjebak dalam kekacauan pikiran ini."

Flaura menatapnya dengan mata sendu. "Mungkin kita perlu waktu untuk menerima semuanya. Untuk berdamai dengan diri kita sendiri."

"Tapi bagaimana jika mereka membutuhkan kita?" Thaldra menoleh, menatap dalam mata Flaura. "Bagaimana jika mereka menunggu kita untuk menyelamatkan mereka?"

Flaura menghela napas panjang. "Kita bahkan tidak tahu di mana mereka. Dunia baru itu... Terlalu banyak yang tidak kita ketahui."

Thaldra bangkit berdiri, wajahnya menunjukkan frustrasi. "Aku tak bisa hanya duduk dan merenung tanpa melakukan apa-apa!"

"Thaldra, tenanglah," Flaura mencoba menenangkan. "Ketidaktahuan ini juga menyiksaku, tapi kita harus berpikir jernih. Kita tak bisa gegabah."

Thaldra menatap langit yang mulai memerah oleh sinar matahari terbit. "Mungkin kau benar. Tapi semakin lama kita menunggu, semakin jauh mereka dari jangkauan kita."

Flaura berdiri di sampingnya. "Aku percaya suatu hari nanti kita akan menemukan jalan. Tapi sekarang, kita harus menjaga diri kita dan pasukan yang tersisa."

Thaldra mengangguk perlahan. "Aku hanya berharap bisa menemukan secercah petunjuk."

***

Hari-hari berlalu dengan lambat. Thaldra dan Flaura berusaha membangun kembali semangat pasukan, namun kekhawatiran dan ketidakpastian terus membayangi mereka. Setiap malam, Thaldra duduk sendirian, mencoba mencari jawaban dalam lamunannya, namun selalu berakhir dalam kekosongan.

Sementara itu, Flaura sering terlihat memandangi cakrawala, berharap melihat tanda-tanda kembalinya sahabat-sahabatnya. Namun harapan itu selalu pupus oleh kenyataan. Mereka benar-benar terputus tanpa jejak.

Suatu malam, saat bulan purnama menerangi hutan, Thaldra mendatangi Flaura yang tengah duduk di atas bukit kecil. "Masih belum bisa tidur?" tanyanya.

Flaura tersenyum tipis. "Sepertinya begitu. Pikiran ini tak henti-hentinya memikirkan mereka."

"Aku juga merasakannya," jawab Thaldra. "Semakin kita mencoba melupakan, semakin kuat kerinduan itu."

Flaura menatap langit berbintang. "Terkadang aku bertanya-tanya, apa yang sebenarnya terjadi pada mereka? Apakah mereka selamat? Apakah mereka juga memikirkan kita?"

Thaldra terdiam. "Mungkin mereka berusaha mencari jalan kembali. Seperti kita yang berusaha menemukan mereka."

"Ya," gumam Flaura. "Aku hanya berharap mereka baik-baik saja."

Angin malam berhembus pelan, membawa keheningan yang mendalam. Keduanya terjebak dalam pikiran masing-masing, tenggelam dalam perasaan tak berdaya yang menyesakkan.

***

Keesokan harinya, Thaldra mencoba memfokuskan diri dengan melatih prajurit yang tersisa. Pedang beradu, keringat bercucuran, namun semangat mereka tak lagi sama. Setiap gerakan terasa hampa, seolah hanya melakukan rutinitas tanpa tujuan jelas.

Seorang prajurit mendekati Thaldra. "Maaf, Tuan, tapi apa yang sebenarnya kita tuju sekarang? Tanpa istana, tanpa rencana, ke mana kita akan pergi?"

Thaldra terdiam, tidak tahu harus menjawab apa. Pertanyaan itu menghantamnya tepat di hati. Ia sendiri tak yakin apa yang harus dilakukan selanjutnya.

Flaura yang melihat kejadian itu segera menghampiri. "Kita akan terus bertahan. Meskipun jalan di depan tidak jelas, kita tidak akan menyerah," ujarnya dengan tegas.

Prajurit itu menunduk. "Kami akan mengikuti Anda, Nona Flaura. Kami hanya berharap ada harapan di depan."

Setelah prajurit itu pergi, Thaldra menatap Flaura. "Kita tidak bisa terus seperti ini. Mereka butuh kepastian."

"Aku tahu," jawab Flaura pelan. "Tapi aku juga tak tahu harus bagaimana."

"Kita harus membuat keputusan," kata Thaldra. "Entah itu mencari tempat baru untuk membangun kembali atau... entahlah."

Flaura menghela napas. "Mungkin kita perlu waktu untuk merenung lebih dalam."

Thaldra mengangguk. "Mungkin."

***

Malam itu, mereka berkumpul di sekitar api unggun. Wajah-wajah lelah menatap nyala api, berharap menemukan jawaban di balik tarian lidah-lidahnya. Suasana hening, hanya suara kresek kayu terbakar dan gemerisik dedaunan yang terdengar.

Seorang prajurit tua berkata pelan, "Dulu, saat saya masih muda, saya pernah mengalami masa kelam seperti ini. Kami kehilangan segalanya, dan tak ada yang tahu apa yang harus dilakukan."

"Apa yang terjadi kemudian?" tanya seorang prajurit muda.

"Kami terus berjalan. Meski tanpa tujuan, kami tetap bergerak. Dan pada akhirnya, jalan itu membawa kami ke tempat yang lebih baik," jawabnya dengan senyum samar.

Kata-kata itu menggantung di udara, memberikan sedikit harapan bagi yang mendengarnya.

***

Waktu terus berjalan, hari berganti minggu. Thaldra dan Flaura masih terjebak dalam keraguan dan ketidakpastian. Mereka sering menghabiskan waktu berdua, mencoba mencari jalan keluar, namun selalu kembali ke titik awal.

"Bagaimana jika kita tak pernah menemukan mereka?" tanya Thaldra suatu hari.

Flaura menatapnya dengan mata yang lelah. "Aku tak tahu. Mungkin kita harus belajar menerima."

"Tapi bagaimana caranya? Mereka adalah bagian dari kita."

"Aku pun merasakan hal yang sama," kata Flaura. "Namun mungkin, inilah saatnya kita melanjutkan hidup, meski tanpa mereka."

Thaldra mengepalkan tangan. "Sulit rasanya."

"Ya, sulit. Tapi hidup terus berjalan. Kita tak bisa terus terjebak di masa lalu."

Keheningan kembali menyelimuti mereka. Kata-kata Flaura menggantung tanpa jawaban.

***

Suatu malam, saat Thaldra duduk sendirian di tepi jurang, ia mendongak menatap bulan yang bersinar terang. "Apakah ini akhir dari perjalanan kita?" bisiknya.

Angin berhembus kencang.

Malam itu, keheningan menyelimuti hutan tempat para penyintas berlindung. Di bawah sinar remang-remang bulan sabit, Flaura duduk sendirian di tepi danau kecil yang airnya memantulkan cahaya bintang. Angin malam berhembus lembut, membawa aroma dedaunan basah dan tanah yang menyegarkan. Namun, hati Flaura tetap terasa hampa, dipenuhi kerinduan yang mendalam.

Ia menggenggam erat liontin berbentuk bintang yang tergantung di lehernya—sebuah kenang-kenangan dari Veni, sahabatnya yang ceria dan penuh semangat. Veni selalu mampu membuatnya tertawa, bahkan di saat-saat tersulit. Flaura teringat saat mereka berdua berlarian di ladang bunga, tertawa lepas saat Veni menceritakan lelucon-leluconnya yang khas.

Pikirannya melayang pada Isholdyenca, gadis cerdas yang selalu membawa buku ke manapun ia pergi. Isholdyenca sering mengajaknya berdiskusi tentang misteri alam semesta dan sihir kuno. Mereka bisa menghabiskan berjam-jam di perpustakaan istana, tenggelam dalam dunia ilmu pengetahuan dan sihir.

Gurfeda, sosok yang selalu melindungi mereka, Pria kuat dengan senyum hangat yang tak pernah ragu untuk mengorbankan dirinya demi teman-temannya.

Flaura ingat bagaimana Gurfeda mengajarinya memanah, sabar membimbingnya hingga ia berhasil mengenai sasaran dengan tepat.

Lalu ada Luna, gadis pemalu dengan suara merdu selayaknya malaikat. Suara nyanyiannya selalu membawa kedamaian dan ketenangan bagi siapa saja yang mendengarnya. Flaura teringat malam-malam di mana mereka duduk bersama di bawah langit berbintang, mendengarkan Luna menyanyikan lagu-lagu tentang harapan dan mimpi.

Peals si petualang pemberani Ia selalu membawa cerita-cerita menarik dari tempat-tempat yang jauh. Flaura tersenyum tipis mengingat bagaimana Peals mengajaknya menjelajahi hutan terlarang, mencari harta karun tersembunyi dan menghadapi tantangan bersama.

Air mata mulai menggenang di pelupuk mata Flaura. Kenangan-kenangan indah itu kini terasa begitu jauh.

Mereka berlima menghilang secara tiba-tiba, dibawa oleh magister kegelapan yang mengenakan jubah hitam.

Terjebak di dunia baru yang misterius, tanpa jejak atau petunjuk tentang keberadaan mereka.

"Dunia terasa begitu sepi tanpa kalian," bisiknya pelan, suaranya hampir tenggelam dalam desiran angin malam.

Thaldra mendekat dengan langkah tenang, menyadari kesedihan yang terpancar dari sahabatnya. "Flaura, malam semakin larut. Kau sebaiknya beristirahat," ujarnya lembut.

Flaura tidak beranjak, matanya tetap terpaku pada permukaan danau yang tenang. "Apakah kau pernah merasa dunia ini begitu asing, Thaldra ? Seperti ada bagian dari dirimu yang hilang dan tak mungkin kembali?"

Thaldra menghela napas, duduk di sampingnya. "Setiap hari. Kehilangan mereka adalah luka yang dalam bagi kita semua."

"Kita telah mencari, berharap, namun tetap saja tak ada jawaban," suara Flaura bergetar. "Bagaimana jika kita tak pernah menemukan mereka? Bagaimana jika mereka hilang selamanya?"

Thaldra menatap langit, mencari kata-kata yang tepat. "Kita tidak tahu apa yang akan terjadi esok. Tapi aku percaya, selama kita menjaga harapan itu tetap hidup, peluang selalu ada."

Flaura menunduk, membiarkan air matanya jatuh. "Sulit rasanya terus berharap saat setiap jalan tampak buntu."

"Kita masih memiliki satu sama lain," Thaldra mencoba menguatkan. "Dan mungkin, dengan bersama, kita bisa menemukan cara untuk melewati semua ini."

Namun, Flaura hanya terdiam. Hatinya terasa berat, seolah dibebani oleh ribuan kenangan dan penyesalan. Ia merasakan kesepian yang mendalam, meski Thaldra dan yang lainnya ada di sisinya.

Dari kejauhan, burung hantu melontarkan suara nyaring, seakan menandakan kesunyian malam yang semakin pekat. Api unggun di perkemahan mulai meredup, memancarkan cahaya redup yang menambah kesan muram.

Thaldra bangkit, menepuk pundak Flaura dengan lembut. "Aku akan kembali ke perkemahan. Jika kau butuh sesuatu, panggil saja."

Flaura mengangguk pelan tanpa menoleh. Setelah Thaldra pergi, ia kembali terhanyut dalam lamunannya. Sekilas, ia melihat bayangan dirinya dan sahabat-sahabatnya berlarian di tepi danau, tawa mereka menggema di antara pepohonan. Namun bayangan itu segera memudar, digantikan oleh realita yang dingin dan sunyi.

"Mungkin inilah takdir kita," pikirnya. "Terjebak dalam kenangan tanpa mampu melangkah maju."

Malam semakin larut, dan udara menjadi semakin dingin. Flaura memeluk dirinya sendiri, berusaha mencari kehangatan. Namun yang ia rasakan hanyalah kehampaan.

Di atas sana, bintang jatuh melintas cepat, meninggalkan jejak cahaya yang singkat. Flaura menutup mata, membuat permohonan dalam hati.

"Semoga suatu hari, kita bisa bertemu lagi. Di suatu tempat, di suatu waktu."

Namun dalam lubuk hatinya, Flaura tak yakin apakah permohonannya akan terkabul. Kesedihan dan kerinduan terus menggerogoti semangatnya, meninggalkan pertanyaan tanpa jawaban.

Angin malam berbisik di telinganya, membawa pesan yang sulit dimengerti. Flaura membuka mata, menatap kegelapan di depannya. Masa depan tampak samar, tertutup oleh bayangan masa lalu yang enggan pergi.

Dengan langkah lambat, ia akhirnya bangkit dan berjalan kembali ke perkemahan. Setiap langkah terasa sangat berat

Malam itu, angin berhembus pelan, membawa aroma tanah basah setelah hujan. Di atas bukit tertinggi di Negeri Aerith, Dewi Visper berdiri tegak, siluetnya diterangi cahaya rembulan yang pucat. Gaun putihnya berkilauan seperti bintang, rambutnya yang panjang melambai lembut tertiup angin malam. Matanya yang tajam menatap lurus ke arah hamparan dataran di depannya, tempat bayangan gelap mulai bergerak mendekat.

Dari kejauhan, barisan Pejuang Terlarang tampak seperti gelombang hitam yang mengerikan. Mereka adalah prajurit yang telah menyerahkan jiwa mereka kepada kegelapan, dikendalikan oleh kekuatan jahat yang tak kenal belas kasihan. Di antara mereka, monster-monster raksasa dengan bentuk yang menyeramkan menggeram, taring dan cakar mereka siap menerkam siapa saja yang menghalangi.

Visper menghela napas pelan, merasakan beban tanggung jawab yang terpikul di pundaknya. Ia tahu bahwa nasib dunia bergantung pada pertarungan ini. Dengan lembut, ia menyentuh kalung berliontin kristal di dadanya, sumber kekuatan suci yang diwariskan oleh para leluhur.

"Sudah saatnya," bisiknya pada diri sendiri. "Aku harus melindungi mereka yang tak berdosa."

Tanpa menunggu lebih lama, Visper mengangkat tangan kanannya ke langit. Cahaya putih keemasan memancar dari telapak tangannya, membentuk bola energi yang berdenyut dengan kekuatan luar biasa. Dengan gerakan cepat, ia melepaskan bola energi itu ke arah pasukan musuh. Ledakan besar terjadi, menerangi malam yang gelap gulita. Beberapa Pejuang Terlarang tumbang, namun yang lain terus maju tanpa rasa takut.

Monster-monster itu melompat dengan lincah, mencakar dan mengayunkan ekor berduri mereka. Visper bergerak gesit, menghindari serangan-serangan itu dengan keanggunan yang menakjubkan. Sambil melompat mundur, ia mengumpulkan energi alam di sekitarnya, memanggil angin kencang yang berputar menjadi tornado kecil. Tornado itu melibas musuh-musuhnya, melempar mereka ke segala arah.

Namun pasukan kegelapan tampaknya tak ada habisnya. Dari balik bayangan, muncul lebih banyak Pejuang Terlarang yang siap mengorbankan diri. Visper mulai merasa lelah, keringat dingin mengalir di pelipisnya. "Aku tak bisa menyerah sekarang," pikirnya. "Tidak ketika begitu banyak yang bergantung padaku."

Tiba-tiba, salah satu monster terbesar, dengan kulit bersisik hitam dan mata menyala merah, meluncurkan serangan bola api ke arahnya. Visper membentuk perisai energi tepat waktu, namun dampaknya membuatnya terdorong mundur beberapa langkah. Tanah di sekitarnya retak akibat besarnya kekuatan tersebut.

Merasa terdesak, Visper memutuskan untuk menggunakan teknik terlarang yang jarang ia gunakan. Ia menutup mata, memusatkan seluruh sisa energinya ke dalam inti jiwanya. Sayap cahaya terbentang di punggungnya, memancarkan sinar terang yang membuat musuh-musuhnya menutupi mata mereka.

"Dengan kekuatan cahaya dan cinta, aku akan mengusir kegelapan dari dunia ini!" teriaknya dengan suara lantang yang bergema di seluruh lembah.

Sebuah lingkaran sihir raksasa terbentuk di bawah kakinya, simbol-simbol kuno berputar mengelilinginya. Dari langit, pilar cahaya turun menghantam tanah, menyelimuti area pertempuran dengan energi suci. Pejuang Terlarang dan monster-monster itu berteriak kesakitan, tubuh mereka perlahan menghilang menjadi butiran debu yang tertiup angin.

Ketika cahaya mereda, keheningan menyelimuti. Tidak ada lagi tanda-tanda keberadaan musuh. Visper berlutut, kehabisan energi. Napasnya tersengal, pandangannya sedikit kabur. "Aku berhasil..." gumamnya pelan.

Namun sebelum ia sempat beristirahat, suara tepuk tangan terdengar dari balik kegelapan. Entitas Tidak Diketahui muncul, wajahnya tertutup dengan senyum misterius. Matanya berkilau dengan aura yang tidak menyenangkan.

"Luar biasa, Dewi Visper. Pertunjukan yang sangat mengesankan," ucapnya dengan nada mengejek.

"Siapa kau?" tanya Visper sambil berusaha berdiri kembali.

"Aku adalah Renvurega, pemimpin sejati dari kegelapan, Pasukan tadi hanyalah sebagian kecil dari kekuatanku."

Visper menggigit bibirnya dan berkata dengan nada tegas "Apa maumu?"

Renvurega tertawa kecil. "Aku hanya ingin menawarkanmu pilih, Bergabunglah denganku, dan bersama kita akan menciptakan dunia baru tanpa penderitaan."

"Visi dunia tanpa penderitaan yang kau bawa hanyalah ilusi yang dipenuhi kegelapan dan penindasan !" balas Visper tegas.

"Kalau begitu, kau memilih jalan sulit." Renvurega mengangkat tangannya, dan bayangan-bayangan di sekeliling mulai bergerak, membentuk sosok-sosok mengerikan yang siap menyerang.

Visper menyadari bahwa energinya belum pulih sepenuhnya. Dengan sisa kekuatan yang ada, ia bersiap menghadapi serangan berikutnya. "Aku tidak akan mundur."

Pertempuran kembali berkobar. Meski lelah, Visper berjuang sekuat tenaga. Setiap serangan terasa semakin berat, dan luka mulai muncul di tubuhnya. Sementara itu, Renvurega tampak tak terpengaruh, senyum sinisnya semakin lebar.

Di tengah kepungan musuh, Visper mulai merasakan keraguan. "Apakah ini akhirnya?" pikirnya. "Apakah pengorbananku akan sia-sia?"

Saat harapan hampir padam, suara lembut terdengar di telinganya. "Visper, jangan menyerah. Kami bersamamu." Itu adalah suara dari roh-roh alam yang selalu melindunginya.

Visper kembali bangkit. "Dengan cinta dan harapan semua manusia, kegelapan tidak akan pernah menang !"

Namun tiba-tiba, semuanya gelap. Tanah di bawahnya retak, dan Visper merasa jatuh ke dalam kehampaan. Suara tawa Renvurega menggema di sekelilingnya. "Selamat datang di akhir perjalananmu, Dewi Visper."

Visper berusaha memanggil kekuatannya, namun tidak ada yang terjadi. "Apa yang kau lakukan padaku?"

"Aku telah memisahkanmu dari sumber kekuatanmu. Di sini, kau tidak lebih dari manusia biasa."

Kegelapan semakin menekan, membuat Visper sulit bernapas. "Tidak... ini tidak mungkin..."

Dalam kegelapan pekat yang tanpa ujung, Dewi Visper terperangkap dalam dimensi ilusi ciptaan Renvurega. Ruang itu begitu sunyi.

"Menyerahlah, Visper," suara Renvurega menggema, penuh ejekan. "Di sini, kekuatanmu tak berarti apa-apa."

Visper mengepalkan tangan, merasakan denyut kekuatan terakhir yang masih tersisa dalam dirinya. "Aku tidak akan tunduk pada kegelapanmu," gumamnya tegas.

Dengan mata terpejam, ia memusatkan pikiran, mencari celah di antara lapisan-lapisan ilusi. Kenangan akan senyum orang-orang yang dicintainya memberinya kekuatan. Ia teringat akan Thaldra Soulbone, keturunannya, yang darahnya mengalir dalam nadinya. "Aku harus keluar, demi masa depan," batinnya.

Perlahan, cahaya lembut mulai memancar dari tubuhnya, menerangi kegelapan di sekitarnya. Visper mengangkat tangannya, membentuk bola energi yang semakin membesar. Dengan teriakan penuh semangat, ia melepaskan energi tersebut, menghantam dinding-dinding dimensi ilusi.

Retakan kecil mulai muncul, namun Renvurega tidak tinggal diam. "Kau pikir bisa lolos semudah itu ?" serunya, memperkuat ilusi dengan sihirnya.

Bayangan-bayangan menakutkan menyerbu Visper, mencoba menghalangi usahanya.

Meski lelah, Visper tetap berusaha. Ia menggabungkan seluruh kekuatan jiwa dan raganya, mendorong batas kemampuannya.

Cahaya dari tubuhnya semakin terang, memaksa bayangan-bayangan itu mundur. Retakan di dinding ilusi semakin membesar, memperlihatkan secercah cahaya dari dunia nyata.

Dengan satu dorongan terakhir, Visper menghantam dinding tersebut.

Suara pecahan seperti kaca terdengar, dan ilusi itu runtuh seketika. Ia terlempar keluar, terjatuh di tanah bebatuan dengan napas tersengal. Langit malam terbentang di atasnya, dipenuhi bintang-bintang yang berkelip.

Namun, kegembiraannya tak berlangsung lama.

Tubuhnya mulai memudar, berubah menjadi partikel-partikel cahaya yang beterbangan. Energi yang ia gunakan untuk keluar dari dimensi kegelapan telah mengorbankan keberadaannya sendiri.

Renvurega muncul di depannya, wajahnya menunjukkan campuran antara kemarahan dan kekagetan. "Kau berhasil keluar, tapi lihat dirimu sekarang. Tidak ada lagi yang bisa kau lakukan."

Visper tersenyum lembut, matanya memancarkan ketenangan. "Kau salah, Renvurega. Meski aku hancur, harapan tidak pernah mati." Suaranya tenang, namun penuh keyakinan.

Renvurega mendengus. "Omong kosong apa lagi ini?"

Dengan sisa-sisa kekuatannya, Visper berdiri tegak.

Kepingan cahaya mulai terlepas dari ujung-ujung rambut dan ujung jarinya. Ia menatap Renvurega dengan tatapan tajam namun penuh kasih. "Aku yakin, anak keturunanku bernama Thaldra Soulbone akan mengalahkanmu."

Kata-kata itu menggema di udara, meninggalkan jejak yang tak terlupakan.

Renvurega terpaku.

Sebelum ia sempat merespon, tubuh Visper sepenuhnya berubah menjadi cahaya murni, melesat ke langit malam dan menyatu dengan bintang-bintang.

Keheningan menyelimuti tempat itu.

Angin berhembus pelan, membawa bisikan terakhir dari Dewi Visper.