Chereads / Bintang Penyelamat / Chapter 44 - Anti ∞ Hero

Chapter 44 - Anti ∞ Hero

Setelah memgalahkan Dewi Visper, Renvurega menghilang menjadi partikel-partikel kegelapan yang menyebar di udara malam.

Partikel-partikel itu berkumpul kembali di istana megahnya yang terletak di Overdow.

Di dalam aula utama yang luas dan dingin, Renvurega muncul dengan wajah penuh amarah.

Matanya memancarkan kilatan kebencian, rahangnya mengeras menahan gejolak emosi yang membara di dalam dirinya. "----" gumamnya dengan suara parau. "visper menyebut keturunannya akan mengalahkanku... Thaldra Soulbone ! , HAH, Omong kosong !"

Ia berjalan mondar-mandir di atas lantai marmer hitam yang memantulkan bayangan suramnya.

Pikirannya berkecamuk, mencoba merancang rencana baru untuk memastikan dominasinya atas segala yang ada.

"Mungkin sudah saatnya aku menghapus semua yang terkait dengannya," pikirnya. Matanya tertuju pada pintu besar di ujung aula.

Di balik pintu itu, Luna, Isholdyenca, Gurfeda, Veni, dan Peals dikurung dalam ruangan gelap tanpa cahaya. Mereka berlutut di lantai dingin.

Renvurega mempertimbangkan untuk mengakhiri hidup mereka. "Jika mereka lenyap, tak ada lagi penghalang bagiku," bisiknya.

Namun sebuah keraguan muncul di benaknya. Menyaksikan penderitaan mereka selama ini memberinya kepuasan tersendiri. "Mungkin lebih menyenangkan jika aku terus menyiksa mereka, membiarkan mereka merasakan keputusasaan yang tiada akhir."

Ia kembali merenung, namun amarahnya semakin memuncak. Ingatan tentang ----. "Tidak ada yang boleh meremehkanku !" teriaknya tiba-tiba, suaranya menggema memenuhi setiap sudut istana. Dinding-dinding bergetar, debu-debu halus jatuh dari langit-langit tinggi.

Tidak mampu lagi mengendalikan emosinya, Renvurega mengerahkan seluruh kekuatan kegelapan yang ia miliki. Energi hitam pekat mengalir dari tubuhnya, berputar-putar membentuk badai di dalam aula. Angin kencang berhembus, lilin-lilin padam seketika, Hingga kegelapan benar benar sangat pekat.

Di dalam ruangan, Cahaya hitam menyilaukan memenuhi ruangan,

membuat mereka lebih tak berdaya.

Renvurega berdiri di ambang pintu, aura kegelapan memancar dari seluruh tubuhnya.

"Waktunya sudah tiba," ucapnya dingin. "Kalian tidak lagi berguna bagiku."

Renvurega mengangkat tangannya tinggi-tinggi. Energi kegelapan berkumpul di telapak tangannya, berdenyut penuh kekuatan destruktif. "Selamat tinggal," katanya singkat.

Seketika, ia melepaskan ledakan energi langsung ke arah mereka. Waktu seolah melambat saat cahaya gelap itu mendekat. Luna, Isholdyenca, Gurfeda, Veni, dan Peals, menerima nasib yang tak terelakkan. Tubuh mereka dihantam kekuatan dahsyat, meledak dalam kilatan kegelapan.

Renvurega memiliki rencana lebih licik untuk menebar kegelapan ke seluruh penjuru negeri.

Dengan kekuatan sihir gelapnya, ia menciptakan bayangan ilusi dari Luna, Isholdyenca, Peals, dan Gurfeda. Bayangan-bayangan ini tampak persis seperti aslinya—wajah yang ramah, senyum yang menenangkan, dan aura kepahlawanan yang kental. Namun, di balik semua itu, tersembunyi niat jahat yang dikendalikan sepenuhnya oleh Renvurega.

Ia memerintahkan bayangan ilusi ini untuk berpura-pura menjadi pahlawan yang kembali dari petualangan panjang. Mereka ditugaskan untuk mendekati penduduk, memenangkan kepercayaan mereka, dan kemudian menebar teror saat malam tiba. Renvurega mengirim mereka ke tempat-tempat berbeda agar pengaruh kegelapannya dapat menyebar lebih luas dan cepat.

---

Luna saat berada di Negeri Mytheria, Penduduk ini menyambutnya dengan sukacita. Perayaan diadakan, musik dan tarian memeriahkan alun-alun kota. Anak-anak berlari riang, sementara orang dewasa merasa lega atas kehadiran sang pahlawan. Luna ilusi berkeliling negeri, membantu membangun kembali desa-desa yang hancur, mengobati yang terluka, dan memberikan semangat kepada yang putus asa.

Namun, saat malam tiba, wajah Luna berubah dingin. Di bawah cahaya rembulan, ia melancarkan aksinya. Dengan ilmu sihir yang dikuasai, ia menyusup ke rumah-rumah penduduk, menghilangkan nyawa mereka tanpa suara. Setiap pagi, ditemukan lebih banyak korban tanpa tanda-tanda kekerasan. Kematian misterius ini membuat penduduk ketakutan, namun mereka tidak pernah mencurigai Luna.

"Ini pasti ulah makhluk kegelapan yang bersembunyi," kata salah satu penduduk. "Kita beruntung memiliki Luna di sini."

Luna ilusi hanya tersenyum mendengar itu, menikmati ironi yang terjadi.

---

Ketika Isholdyenca tiba, ia disambut seperti seorang guru besar.

Dengan kecerdasannya, ia memukau para cendekiawan dengan teori-teori baru dan penemuan menakjubkan.

Seminar dan diskusi diadakan setiap hari, di mana Isholdyenca ilusi berbicara tentang kemajuan dan pencerahan.

Namun, di balik semua itu, ia menyusun rencana jahat. Saat menjelang malam, Isholdyenca memasuki ruang arsip tersembunyi di perpustakaan.

Di sana, ia mengubah isi teks-teks kuno, menambahkan mantra-mantra kegelapan yang halus namun merusak. Pengetahuan yang seharusnya menjadi cahaya bagi umat manusia perlahan berubah menjadi racun yang melumpuhkan pikiran.

Para sarjana mulai berselisih, perdebatan kecil berubah menjadi konflik besar. Kepercayaan runtuh, dan persatuan Veridya mulai retak. Isholdyenca ilusi menyaksikan semuanya dengan tatapan dingin, puas melihat benih perpecahan yang ditanamnya tumbuh subur.

---

Kedatangan Peals membawa kegembiraan tersendiri. Dikenal sebagai petualang yang penuh cerita, Peals ilusi dengan cepat menjadi favorit di kalangan penduduk, terutama anak-anak.

Setiap sore, ia berkumpul di alun-alun desa, menceritakan kisah-kisah menarik tentang tempat jauh dan makhluk ajaib. Tawa dan keriangan memenuhi udara. Peals membantu penduduk dalam pekerjaan sehari-hari, dari bertani hingga membangun rumah.

Namun, ketika malam tiba, wajah aslinya muncul. Ia menyelinap ke lumbung dan gudang, merusak persediaan makanan. Sumber air diracuni, tanaman layu secara misterius. Wabah penyakit mulai menyebar, membuat penduduk sakit dan tak berdaya. Peals ilusi berpura-pura prihatin, namun diam-diam memperparah situasi dengan sihir gelapnya.

Desa MoonTales yang tadinya ceria berubah menjadi tempat yang sunyi dan menakutkan.

Penduduknya mulai berkurang, dan harapan perlahan memudar.

---

Sementara itu, Gurfeda ilusi dikirim ke Kerajaan Elaria, benteng pertahanan terakhir melawan kegelapan. Dikenal sebagai pejuang tangguh, kehadiran Gurfeda memberikan semangat baru bagi pasukan kerajaan. Ia melatih prajurit dengan teknik bertarung yang luar biasa, mempersiapkan mereka menghadapi ancaman yang semakin dekat.

Namun, di balik latihan keras itu, Gurfeda ilusi menanamkan rasa takut dan keraguan. Ia memanipulasi strategi perang, membuat pasukan melakukan kesalahan fatal. Dalam beberapa pertempuran, Elaria mengalami kekalahan telak, kehilangan banyak prajurit dan wilayah penting.

Kekacauan internal mulai muncul. Para komandan saling menyalahkan, dan kepercayaan terhadap kepemimpinan runtuh. Gurfeda ilusi mengambil kesempatan ini untuk memperparah situasi, mendorong terjadinya pemberontakan di dalam kerajaan.

---

Di istananya, Renvurega menyaksikan semua ini melalui cermin sihir yang memantulkan setiap kejadian. Senyum lebar terukir di wajahnya, matanya bersinar dengan kepuasan.

"Manusia begitu mudah dipermainkan," katanya sambil tertawa kecil. "Dengan bayangan ilusi, aku bisa menghancurkan mereka dari dalam tanpa harus turun tangan sendiri."

Setiap tempat yang disentuh oleh bayangan ilusinya tenggelam dalam kegelapan. Harapan berubah menjadi ketakutan, kepercayaan menjadi pengkhianatan. Penduduk yang tadinya mengidolakan para pahlawan kini hidup dalam mimpi buruk yang tak berkesudahan.

Kedatangan Luna disambut dengan sorak sorai penduduk yang merindukan sosok pahlawan. Senyumnya yang menawan dan aura kelembutan yang terpancar membuat semua orang terpikat.

Di siang hari, Luna ilusi berkeliling desa, menyembuhkan yang sakit dengan sentuhan ajaibnya, mendongeng kepada anak-anak tentang petualangan dan keberanian, serta membantu para petani di ladang. Harapan kembali tumbuh di hati rakyat Mytheria. Mereka percaya era kegelapan telah usai.

Namun, saat malam menjelang, sisi kelam Luna muncul. Dengan langkah tanpa suara, ia menyusup ke rumah-rumah penduduk, menebar mimpi buruk yang mengerikan. Beberapa penduduk ditemukan tidak sadarkan diri dengan ekspresi ketakutan luar biasa, sementara yang lain hilang tanpa jejak. Desas-desus tentang makhluk jahat mulai beredar, tetapi tak seorang pun mencurigai Luna, sang pahlawan yang mereka kagumi.

Keanehan terus berlanjut. Tumbuhan layu secara misterius, hewan ternak mati mendadak, dan cuaca menjadi tidak menentu. Luna ilusi berpura-pura prihatin, menghibur penduduk dengan janji akan menyelesaikan masalah tersebut. Padahal, dialah dalang di balik semua kehancuran itu.

Kedatangan Isholdyenca disambut antusias oleh para cendekiawan dan penyihir. Kecerdasannya memukau banyak orang, dan diskusi dengannya dianggap sebagai kehormatan besar.

Di siang hari, Isholdyenca ilusi memberikan kuliah tentang sihir dan filosofi, membagikan pengetahuan yang tampaknya tak terbatas. Ia membantu memperbaiki mantra pelindung kota dan merumuskan ramuan baru yang diyakini dapat meningkatkan kesejahteraan penduduk.

Namun, saat malam tiba, ia diam-diam menyusup ke ruang arsip terlarang. Dengan gemulai, ia mengubah teks-teks penting, memasukkan mantra-mantra kegelapan yang halus namun mematikan. Perlahan, fondasi sihir Veridya terkorupsi. Penyihir yang mencoba melakukan ritual mendapati sihir mereka berbalik menyerang.

Kegelisahan melanda Veridya. Percikan ketidakpercayaan muncul di antara para penyihir senior. Konflik internal tak terhindarkan, dan Isholdyenca ilusi menyaksikan semuanya dengan senyuman tipis, menikmati kekacauan yang diciptakannya.

Peals kembali ke desa MoonTales, Siang hari diisi dengan tawa dan kegembiraan.

Peals ilusi mengajarkan anak-anak cara membuat alat musik sederhana, membantu para nelayan memperbaiki jala, dan ikut serta dalam festival desa. Kehadirannya membawa warna baru bagi MoonTales.

Namun, di balik keramahan itu, ia menanam benih kehancuran. Saat malam turun, Peals meracuni sumur-sumur desa dengan ramuan tak terlihat. Tanaman subur layu dalam semalam, dan penyakit misterius mulai menyebar. Penduduk panik, tetapi Peals selalu ada untuk "membantu", memberikan obat palsu yang justru memperparah keadaan.

Ketergantungan penduduk terhadapnya meningkat, dan tanpa mereka sadari, desa itu perlahan menuju kehancuran total. Peals ilusi menikmati setiap detik permainannya, melihat harapan penduduk memudar.

Gurfeda ilusi Dikenal sebagai ksatria tanpa tanding, kehadirannya dianggap sebagai berkah. Raja Elaria sendiri menyambutnya dengan hangat, memberikan kepercayaan penuh padanya untuk memimpin pasukan kerajaan.

Di siang hari, Gurfeda melatih prajurit dengan disiplin keras namun adil. Ia memperkenalkan taktik baru yang revolusioner, menjanjikan kemenangan dalam setiap pertempuran. Semangat prajurit membara, dan keyakinan akan kejayaan Elaria mencapai puncaknya.

Tetapi malam membawa wajah lain dari Gurfeda ilusi. Ia mengirim informasi palsu kepada musuh, membuka celah dalam pertahanan kerajaan. Beberapa pasukan dikirim ke misi berbahaya tanpa dasar yang jelas, berakhir dengan hilangnya banyak nyawa. Kecurigaan mulai muncul di antara para jenderal, dan perpecahan internal tak terhindarkan.

Elaria, yang tadinya kokoh, mulai rapuh dari dalam. Gurfeda ilusi terus mengadu domba, memastikan kehancuran kerajaan hanyalah masalah waktu.

---

Keempat bayangan ilusi itu terus menjalankan peran mereka dengan sempurna. Rakyat di berbagai negeri mulai kehilangan kepercayaan pada para pahlawan. Kisah tentang Luna, Isholdyenca, Peals, dan Gurfeda yang berkhianat tersebar luas, menambah kepanikan dan keputusasaan.

Di istananya, Renvurega tertawa terbahak-bahak. "Manusia mudah tertipu oleh penampilan. Dengan sedikit dorongan, mereka saling menghancurkan," ujarnya puas. Rencananya berjalan lancar. Dunia tenggelam dalam kegelapan tanpa ia harus mengotori tangannya lebih jauh.

Namun, di sela-sela kehancuran, bisikan tentang Thaldra Soulbone semakin menggema. Beberapa orang percaya munculnya kegelapan ini adalah pertanda bahwa sang pewaris cahaya akan segera bangkit. Harapan kecil itu menyala di hati mereka yang masih bertahan, meski redup dan rapuh.

Bayangan ilusi mulai merasakan adanya perlawanan halus. Beberapa penduduk memilih melawan nasib buruk, berusaha mencari kebenaran di balik keanehan yang terjadi. Misteri semakin tebal, dan ketegangan meningkat.

Di Mytheria, seorang gadis muda dengan keberanian luar biasa mulai mempertanyakan tindakan Luna. Di Veridya, seorang penyihir tua menemukan kejanggalan dalam teks-teks yang diubah Isholdyenca. Di MoonTales, sekelompok pemuda nekat mencari sumber penyakit yang melanda desa mereka. Di Elaria, seorang prajurit rendah pangkat mulai menyadari pengkhianatan di balik perintah Gurfeda.

Renvurega merasa kemenangan sudah di depan mata. "Tanpa Visper dan sahabat-sahabatnya, tak ada lagi yang bisa menghalangiku. Dunia ini akan jatuh ke dalam genggamanku sepenuhnya."

Setelah berhasil menancapkan akar kegelapan di berbagai negeri, keempat bayangan ilusi—Luna, Isholdyenca, Peals, dan Gurfeda—bersiap untuk tahap akhir dari rencana Renvurega. Mereka akan menghancurkan sisa-sisa perlawanan dan memastikan bahwa kegelapan menguasai sepenuhnya.

Di MytheriaLuna ilusi mengumpulkan penduduk Mytheria di alun-alun utama dengan dalih memberikan pengumuman penting. Wajahnya tetap menawan, memancarkan kepercayaan diri yang menipu. Penduduk berkumpul dengan harapan mendengar kabar baik.

"Saudara-saudaraku," ujar Luna dengan suara lembut, "telah tiba saatnya bagi kita untuk mengambil langkah besar menuju kedamaian abadi."

Tiba-tiba, langit yang cerah berubah gelap. Awan hitam bergulung, petir menyambar tanpa suara. Wajah Luna berubah dingin, matanya berkilat dengan kekejaman. Tanpa peringatan, ia melepaskan gelombang energi kegelapan yang menyapu kerumunan. Jeritan ketakutan dan kesakitan memenuhi udara.

Beberapa penduduk yang menyadari pengkhianatan ini mencoba melawan, namun kekuatan mereka tidak sebanding. Dalam hitungan menit, Mytheria berubah menjadi negeri sunyi. Bunga-bunga layu, dan tanah yang subur menjadi tandus. Luna ilusi berdiri di tengah kehancuran, senyum tipis terlukis di wajahnya.

Di Veridya Isholdyenca ilusi memanfaatkan kekacauan yang telah diciptakannya di antara para penyihir dan cendekiawan. Pertempuran internal pecah, sihir beradu sihir, menghancurkan menara-menara pengetahuan yang telah berdiri selama berabad-abad.

Dalam kekacauan itu, Isholdyenca mengungkapkan wujud aslinya. "Kalian telah tertipu oleh kebodohan kalian sendiri," ejeknya. Dengan satu gerakan tangan, ia memanggil makhluk-makhluk kegelapan dari dimensi lain. Makhluk-makhluk itu menyerang tanpa ampun, menelan siapa saja yang ada di hadapan mereka.

Beberapa penyihir mencoba melawan, menggabungkan kekuatan sihir mereka. Namun, efek korupsi sihir yang telah ditanam Isholdyenca membuat upaya mereka sia-sia. Mantra-mantra mereka justru berbalik menyakiti diri sendiri.

Perpustakaan megah Veridya terbakar, gulungan-gulungan naskah berharga hangus menjadi abu. Tanah ilmu pengetahuan itu kini menjadi puing-puing yang tak berharga. Isholdyenca ilusi meninggalkan tempat itu dengan puas, sementara Veridya tenggelam dalam kegelapan abadi.

Di MoonTales Penduduk MoonTales yang tersisa berkumpul di pusat desa, mencari jawaban atas mala petaka yang menimpa mereka. Peals ilusi berdiri di atas panggung darurat, berpura-pura memberikan solusi.

"Kita harus melakukan ritual pemurnian untuk membersihkan desa ini dari kutukan," serunya. Penduduk, yang putus asa, mengikuti instruksinya tanpa curiga.

Mereka dikumpulkan di sekitar lingkaran besar yang digambar di tanah. Saat ritual dimulai, Peals mengucapkan mantra dalam bahasa kuno yang tak dipahami penduduk. Tiba-tiba, lingkaran itu bersinar dengan cahaya gelap. Tanah terbelah, dan api hitam menyembur keluar.

Penduduk berteriak panik, namun terlambat. Satu per satu, mereka terhisap ke dalam jurang yang terbentuk. Suara tangis dan jeritan perlahan menghilang. Desa MoonTales lenyap tanpa bekas, hanya menyisakan tanah tandus yang retak.

Peals ilusi berdiri di tepi jurang, matanya memandang kehampaan. "Tugas selesai," bisiknya sebelum menghilang dalam bayangan.

Di Elaria Gurfeda ilusi memimpin pasukan Elaria ke dalam pertempuran terakhir. Dengan informasi palsu, ia membimbing mereka ke lembah sempit yang diklaim sebagai markas musuh. Tanpa disadari, mereka masuk ke dalam perangkap.

Saat pasukan telah sepenuhnya masuk ke lembah, jalan keluar tertutup oleh longsoran batu yang sengaja dijatuhkan. Dari atas tebing, pasukan kegelapan muncul, dipimpin oleh Renvurega sendiri yang memutuskan untuk menyaksikan kekalahan Elaria secara langsung.

Para prajurit Elaria berusaha bertahan, namun mereka terkepung tanpa jalan keluar. Gurfeda ilusi berdiri di samping Renvurega, wajahnya tanpa ekspresi. "Kau telah melakukan pekerjaan dengan baik," puji Renvurega.

Pertempuran berlangsung sengit, namun hasilnya sudah dapat ditebak. Satu per satu prajurit Elaria tumbang. Bendera kerajaan jatuh ke tanah, ternoda darah. Lembah itu berubah menjadi tempat sunyi yang dipenuhi kesedihan dan kehilangan.

Setelah semuanya berakhir, Renvurega memandang tanah Elaria yang luas. "Kini, tak ada lagi yang bisa menantang kekuasaanku."

Dengan kehancuran keempat negeri tersebut, rencana Renvurega mencapai puncaknya. Keempat bayangan ilusi kembali ke istana Overdow, melaporkan keberhasilan mereka. Renvurega menyambut mereka dengan senyum lebar.

"Kerja yang sempurna," ucapnya puas.

Namun, sesuatu yang tak terduga terjadi.

Tanah tempat keempat negeri itu berdiri mulai berubah, Gempa bumi mengguncang, retakan besar muncul di permukaan, Dari dalam retakan, asap hitam pekat keluar, menutupi langit. Tanah yang subur berubah menjadi tandus, tak ada kehidupan yang tersisa.

Penduduk yang berhasil selamat dari kehancuran sebelumnya menyaksikan dengan putus asa saat tanah air mereka hancur. Harapan terakhir mereka hilang, tergantikan oleh keputusasaan yang mendalam.

Di istana Overdow, Renvurega tertawa terbahak-bahak. "Inilah akhir dari perlawanan kalian! Kegelapan akan abadi!"

Setelah kehancuran yang melanda keempat negeri, Lina, Thalia, dan Elara kembali ke istana megah di Overdow. Langit di atas istana diselimuti awan gelap, petir menyambar sesekali, menerangi menara-menara menjulang yang menusuk cakrawala. Ketiganya memasuki aula utama yang dipenuhi bayangan, lantai marmer hitam berkilau memantulkan langkah mereka yang anggun.

Di ujung aula, Renvurega duduk di singgasananya yang terbuat dari tulang dan logam gelap, matanya berkilat tajam seperti bara api dalam kegelapan. Tatapan dinginnya menembus jiwa, membuat siapa pun yang melihatnya merasakan ketakutan mendalam.

Lina, Thalia, dan Elara berlutut di hadapannya, kepala mereka tertunduk rendah. Tanpa ragu, mereka bersujud, menjilati kuku Renvurega yang tajam bak belati, sebagai tanda pengabdian mutlak. Rasa dingin dan logam menggigit lidah mereka, namun mereka tidak memperlihatkan keraguan.

"Tuan Renvurega," ucap Lina dengan suara lembut namun penuh penghormatan, "kami membawa kabar tentang kehancuran total yang telah Anda perintahkan."

Renvurega mengangkat alisnya, matanya menyiratkan minat. "Berbicara."

Thalia melanjutkan, suaranya sedikit bergetar oleh antisipasi. "Tanah tempat keempat negeri itu berdiri telah berubah menjadi tandus. Gempa bumi mengguncang tak terkendali, retakan besar membelah permukaan tanah. Dari dalam retakan, asap hitam pekat mengepul, menutupi langit dan menelan cahaya. Tempat-tempat yang subur kini mati tanpa kehidupan."

Elara menambahkan dengan nada puas, "Tak ada yang tersisa, Tuan. Segala harapan telah lenyap dari hati manusia."

Renvurega terdiam sejenak, membiarkan kabar itu meresap. Bibirnya perlahan melengkung membentuk senyuman licik. "Kalian telah melakukan tugas kalian dengan baik," katanya dengan suara dalam yang menggema di seluruh ruangan.

Namun, di balik kebahagiaannya, ada kilatan ambisi yang lebih besar. "Kini saatnya melangkah ke tahap berikutnya," gumamnya. Ia berdiri dari singgasananya, tubuhnya yang tinggi menjulang memberikan aura intimidasi yang luar biasa.

Dengan gerakan tangan yang anggun namun penuh kekuatan, Renvurega mulai mengucapkan mantra kuno. Cahaya gelap berpendar dari telapak tangannya, menciptakan simbol-simbol misterius di udara. Lina, Thalia, dan Elara merasakan energi yang luar biasa mengelilingi mereka.

"Tuan, apa yang akan Anda lakukan?" tanya Lina dengan nada tercampur antara takut dan kagum.

Renvurega menatap mereka dengan mata berkilau. "Aku akan menyatukan jiwa kalian menjadi entitas yang lebih kuat. Kekuatan yang tak tertandingi, untuk mencapai tujuan akhir kita."

Sebelum mereka sempat merespon, cahaya gelap tersebut menyelubungi tubuh mereka. Rasa hangat dan dingin sekaligus mengalir melalui nadi mereka. Tubuh Lina, Thalia, dan Elara mulai melayang, berputar perlahan di udara. Garis-garis cahaya menghubungkan mereka, menyatu menjadi satu bentuk energi murni.

Proses itu menggabungkan kekuatan, pikiran, dan esensi mereka menjadi satu entitas baru. Sosok itu berwujud bayangan berwajah samar namun dengan mata bersinar tajam. Kekuatan yang terpancar darinya begitu dahsyat, membuat udara di sekitarnya bergetar.

Renvurega menatap ciptaannya dengan kekaguman yang hanya diketahui oleh dirinya sendiri. "Sempurna," bisiknya. "Dengan ini, tidak ada lagi yang dapat menghalangi rencana kita."

Namun, ambisi Renvurega belum berakhir. Senyum di wajahnya berubah menjadi seringai yang menakutkan. "Sekarang, kekuatan ini akan menjadi milikku sepenuhnya."

Sebelum entitas itu menyadari maksudnya, Renvurega membuka telapak tangannya ke arahnya. Energi gelap yang lebih kuat mengalir keluar, membentuk pusaran yang mengelilingi entitas tersebut. "Magis Penyerapan Jiwa!"

Entitas itu bergetar, mencoba melawan tarikan yang kuat, namun sia-sia. Perlahan-lahan, ia terserap ke dalam tubuh Renvurega, menyatu dengan jiwanya. Seluruh kekuatan dan esensi yang dikumpulkan dari Lina, Thalia, dan Elara kini menjadi bagian dari dirinya.

Renvurega menghela napas panjang, merasakan lonjakan kekuatan yang luar biasa dalam dirinya. "Inilah puncak kekuasaan," katanya dengan suara penuh kepuasan. "Dunia akan berlutut di hadapanku."

Ia menoleh ke jendela besar di samping aula, menatap ke luar di mana langit tertutup asap dan tanah menjadi tandus sejauh mata memandang. Namun, di kejauhan, kilatan cahaya samar terlihat, nyaris tak terdeteksi.

Renvurega menyipitkan mata, merasakan sesuatu yang aneh. "Apa itu?" gumamnya, sedikit terganggu.

Tetapi ia segera menepis perasaan itu. "Tak ada yang perlu dikhawatirkan. Dengan kekuatan ini, aku tak terkalahkan."

! BEFORE THE INCIDENT OF LINA THALIA, HER SOUL WAS SEPARATED FROM RENVUREGA'S BODY !

Renvurega menyeringai, mata berkilat penuh kebencian. "Sial, aku tidak bisa berdiam dan melihat dunia ini dikacaukan hanya oleh monster. Aku harus memisahkan jiwa Lina dan Thalia dari tubuhku agar bisa mengacaukan dunia ini lebih dalam."

Ia mengepalkan tangannya dengan kuat, mulai membacakan mantra kegelapan yang memekikkan telinga. Tubuhnya bereaksi dengan keras terhadap magis yang ia ciptakan, getaran kuat merambat melalui otot dan tulang. Lima belas menit berlalu, tubuh Renvurega bergetar semakin hebat, dan akhirnya meledak menjadi butiran-butiran kegelapan yang beterbangan di udara, lalu mulai membentuk dua sosok baru—tubuh Lina dan Thalia.

Renvurega yang telah memisahkan jiwa-jiwa ini sekarang masih berupa debu. Ketika jiwa Thalia dan Lina berhasil menyatu menjadi wujudnya masing-masing, mereka terdiam sejenak. Tiba-tiba, debu-debu itu berterbangan dan menyatu kembali, membentuk tubuh Renvurega.

Renvurega mengangkat tangannya, mengarahkan pandangannya yang menakutkan kepada Lina dan Thalia. "Sekarang, saatnya kalian menjalankan tugas kalian," katanya dengan suara dalam yang bergema.

Lina dan Thalia mengangguk patuh. "Apa yang harus kami lakukan, Tuan?" tanya Thalia dengan nada tegas.

"Kalian harus mencari Thaldra Soulbone dan Flaura yang masih lemah di hutan dan terluka parah," perintah Renvurega. "Mereka harus dihentikan sebelum mereka mendapatkan kembali kekuatan mereka. Pergilah, dan jangan kembali tanpa hasil."

Dengan itu, Lina dan Thalia segera berangkat, meninggalkan Renvurega dalam aula gelap yang kini lebih sepi.

---

Di tengah hutan yang lebat, Thaldra dan Flaura berbaring di antara pepohonan, tubuh mereka dipenuhi luka dan keletihan. Mereka berusaha bertahan dari serangan makhluk kegelapan yang tak henti-hentinya.

"Flaura, kita harus bangkit," bisik Thaldra dengan suara lemah. "Kita tidak bisa menyerah sekarang."

Flaura mengangguk pelan, mencoba meraih kekuatan yang tersisa. "Aku tahu, Thaldra. Kita harus terus berjuang."

Tiba-tiba, dari arah kejauhan, terdengar suara langkah kaki yang berat. Pasukan bala bantuan dari Kerajaan Elaria datang melindungi mereka. Di depan pasukan tersebut, berdiri Amara—gadis tangguh dari Kerajaan Elaria, putri dari raja Elaria yang belum memiliki nama.

"Siapkan formasi defensif!" seru Amara dengan suara lantang, memimpin pasukan dengan keberanian yang luar biasa. "Kita harus melindungi Thaldra dan Flaura."

Pasukan Elaria dengan cepat membentuk barisan defensif, pedang dan tameng mereka siap menghadapi serangan.

---

Lina dan Thalia tiba di lokasi, mata mereka bersinar penuh dendam. "Mereka tidak akan selamat," kata Lina dengan dingin.

Amara berdiri tegak di depan pasukannya. "Kalian tidak akan menyentuh mereka," ucapnya dengan tegas, matanya penuh keyakinan.

Pasukan Elaria dan Lina serta Thalia bertarung dengan seluruh kekuatan fisik dan magis yang mereka miliki. Sihir beradu, pedang berderak, dan jeritan perang memenuhi udara. Amara memimpin serangan dengan strategi yang brilian, mengarahkan pasukan dengan ketepatan yang luar biasa.

Di tengah pertempuran, strategi dan taktik Amara mengemuka. Ia mengatur pasukan Elaria dalam formasi khusus, memisahkan barisan untuk menghindari serangan sihir Lina dan Thalia yang mematikan. Amara memberi perintah dengan ketenangan luar biasa, memastikan bahwa setiap langkah dan gerakan pasukannya tepat dan efisien.

Lina melancarkan serangan mematikan ke arah Amara, namun Amara sudah menyiapkan rencana untuk menghadapi ancaman ini. Dengan gerakan cepat, Amara melompat ke samping, menangkis serangan Lina dengan tamengnya. Sihir hitam Lina menghantam tameng itu, menciptakan ledakan energi yang mengguncang tanah di sekitarnya.

Dengan sigap, Amara menangkis serangan itu, namun tidak sepenuhnya. Sihir hitam Lina menghantam bahunya, membuatnya terluka parah.

**Meski terluka, Amara tidak menyerah. Ia mengerahkan seluruh kekuatannya untuk tetap berdiri dan terus memimpin pasukannya. Rasa sakit di bahunya semakin memburuk, namun semangat juang Amara tidak padam.**

**Pasukan Elaria, terinspirasi oleh keberanian Amara, bertarung dengan semangat yang membara. Dengan serangan balik yang ganas, mereka mendesak Lina dan Thalia ke sudut, membuat kedua penyihir kegelapan itu terpojok. Setiap serangan pasukan Elaria, baik fisik maupun magis, semakin melemahkan kekuatan Lina dan Thalia.**

Melihat pemimpinnya terluka, pasukan Elaria berjuang lebih keras. Dengan semangat yang membara, mereka menyerang balik dengan kekuatan yang tak tertandingi. **Di momen terakhir, Amara dengan sisa kekuatannya, menciptakan gelombang magis yang dahsyat.**

Lina dan Thalia tidak mampu menahan serangan itu. Tubuh mereka bergetar hebat sebelum akhirnya meledak menjadi kepingan debu, hancur oleh kekuatan Amara.

---

Malam harinya, setelah pertempuran berakhir, Flaura duduk di samping Amara yang terluka. Mereka membahas strategi untuk menghadapi ancaman Renvurega yang masih ada di depan mata.

"Kita harus menemukan cara untuk mengalahkannya," kata Flaura dengan suara serius. "Dia terlalu kuat jika kita tidak bersatu."

Amara mengangguk pelan, menahan rasa sakit. "Aku setuju. Kita perlu menyusun strategi yang lebih baik, melibatkan semua sekutu yang kita miliki."

"Besok, kita akan mulai merencanakan," ucap Flaura. "Kita tidak boleh membuang waktu lagi."

Keesokan harinya, Malam ini, Amara menatap peta yang terbentang di depan mereka, menunjukkan lokasi istana di wilayah negeri Overdow. "Kita harus menyerang dari tiga arah berbeda," ujarnya tegas. "Aku akan memimpin pasukan utama dari depan, sementara Flaura dan Thaldra memimpin pasukan dari sisi kiri dan kanan."

"Bagaimana kita bisa memastikan bahwa Renvurega tidak melarikan diri?" tanya Flaura dengan serius.

Amara menjawab, "Kita akan menggunakan sihir pengikat yang sudah kita pelajari. Jika kita bekerja sama, kita bisa membatasi gerakannya dan memaksanya bertarung sampai akhir."

Thaldra mengangguk setuju. "Baiklah. Kita harus bersiap dengan segala kemungkinan. Renvurega pasti tidak akan menyerah begitu saja."

---

Keesokan harinya, pasukan Elaria bergerak menuju istana di wilayah negeri Overdow dengan hati-hati.

Setiap langkah mereka penuh dengan kehati-hatian, memastikan tidak ada tanda-tanda pengkhianatan. Setelah berjam-jam perjalanan, mereka akhirnya sampai di lokasi yang ditunjukkan dalam peta.

Amara memberi isyarat kepada pasukannya untuk berdiam sejenak. "Ini saatnya," katanya dengan suara rendah namun penuh semangat. "Ingat, kita tidak boleh gentar. Kita harus bertarung dengan seluruh kekuatan kita."

Pertempuran pun dimulai. Pasukan Elaria menyerbu istana Renvurega dengan formasi yang sudah direncanakan. Amara memimpin serangan dari depan dengan keganasan yang luar biasa, sementara Flaura dan Thaldra menyerang dari sisi lain. Mereka berhasilga, yang terlihat marah dan kebingungan.

Renvurega memekikkan mantra kegelapan, berusaha menghancurkan pasukan Elaria dengan sihirnya. Namun, Amara, Flaura, dan Thaldra tetap tegar, menangkis setiap serangan dengan kekuatan magis mereka sendiri.

Renvurega menyadari bahwa kekuatannya tidak cukup untuk mengalahkan mereka. Dengan marah, ia mulai melafalkan mantra pemisahan yang lebih kuat, tubuhnya bergetar hebat. Amara, Flaura, dan Thaldra bekerja sama untuk mengikat gerakannya dengan sihir pengikat, memaksanya berlutut.

Tubuh Renvurega mulai terpecah, melepaskan delapan jiwa penguasa kegelapan: Acydoria, Calypsco, Reverd, Ectirdu, Oblivion, Helnevius, Ereubytes, Xantas dan Voidbringflay.

Jiwa-jiwa ini terbang keluar dari tubuh Renvurega, membentuk sosok-sosok mengerikan di udara.

Dengan tawa yang menggema, para penguasa kegelapan saling menatap Flaura, Amara, dan Thaldra. Mata mereka berkilat dengan kebencian dan dendam yang dalam. Flaura, Amara, dan Thaldra merasakan hawa dingin yang menyelimuti mereka.

Saat kedelapan penguasa kegelapan—Acydoria, Calypsco, Reverd, Ectirdu, Oblivion, Helnevius, Ereubytes, Xantas dan Voidbringflay—menyatukan jiwa mereka kembali, tubuh Renvurega terbentuk dengan kokoh di tengah kegelapan.

Senjatanya, Emdenika, yang berwujud sebagai cambuk, pedang, dan trisula, muncul kembali di tangannya. Aura kegelapan yang kuat memancar dari tubuhnya, menandakan kembalinya kekuatan penuh Renvurega.

Renvurega berdiri tegak, matanya memancarkan kebencian yang mendalam. Di saat yang sama, monster Soulvens mendekatinya dengan langkah berat. "Tuan, aku telah berhasil membunuh banyak jiwa seperti yang Anda perintahkan," lapornya dengan suara serak.

Renvurega tersenyum tipis, kejahatan terpancar dari raut wajahnya. "Kerja yang bagus, Soulvens," ujarnya dengan suara dalam yang menggetarkan udara. "Sekarang, saatnya kita melangkah lebih jauh. Kita akan menginvasi negeri-negeri asing dan menaklukkan dunia ini dengan kekuatan kita."

Dengan perintah itu, Renvurega melangkah keluar dari istana di wilayah negeri Overdow, diikuti oleh pasukan kegelapan yang tak terhitung jumlahnya. Setiap langkahnya meninggalkan jejak kehancuran, bumi bergetar di bawah kaki mereka. Desa-desa dihancurkan, hutan terbakar, dan langit menjadi kelam oleh asap dan kegelapan.

---

Sementara itu, ilusi bayangan Gurfeda Luna, Isholdyenca, Peals, dan Veni menyebar ke seluruh penjuru negeri.

Gurfeda dan Luna menebarkan ilusi ketakutan, membuat rakyat melihat monster di bayangan mereka sendiri.

Isholdyenca dan Peals memanipulasi emosi, menanamkan kebencian dan paranoia di hati manusia.

Veni mengubah realitas, menciptakan distorsi yang membuat orang kehilangan akal sehat.

Di istana-istana megah, para raja dan ratu mulai meragukan sekutu mereka.

Pertemuan diplomatik berubah menjadi ajang saling tuduh dan perpecahan.

Prajurit di medan perang kehilangan keberanian, melihat bayangan musuh di antara rekan mereka sendiri.

Rakyat jelata panik, berbondong-bondong meninggalkan rumah mereka tanpa arah tujuan.

Renvurega memimpin pasukannya dengan tekad yang tak tergoyahkan, senjata Emdenika di tangannya bersinar dengan aura kegelapan. Monster Soulvens mengikuti di belakangnya, langkah berat mereka mengguncang tanah di bawahnya. Hari itu, langit di negeri-negeri asing menjadi kelam, menandai dimulainya invasi yang mengerikan.

Di desa pertama yang mereka serang, suara teriakan rakyat jelata memenuhi udara. Para prajurit yang berusaha melawan dihancurkan tanpa ampun oleh Renvurega dan pasukannya. Monster Soulvens, dengan cakar tajam dan kekuatan luar biasa, merobek-robek pertahanan musuh dengan mudah. Setiap ayunan senjata mereka meninggalkan jejak darah dan kehancuran.

Renvurega melangkah maju, menggunakan Emdenika untuk mencambuk musuh-musuhnya. Cambuk itu berkelebat seperti kilat, membelah tubuh-tubuh yang malang menjadi serpihan. Dengan setiap langkahnya, Renvurega membawa kegelapan lebih dalam ke dalam hati musuh-musuhnya, membunuh semangat juang mereka.

---

Di medan perang berikutnya, para prajurit mencoba bertahan dengan segala yang mereka miliki. Mereka membentuk barisan defensif, mengangkat tameng dan pedang mereka dengan tekad yang berapi-api. Namun, kedatangan Renvurega dan Soulvens membawa teror yang tak tertandingi.

Dalam pertempuran yang brutal, Renvurega menggunakan trisulanya untuk menembus barisan pertahanan musuh. Trisula itu menembus baju besi, merobek daging, dan menghancurkan tulang. Setiap kali trisula berkelebat, teriakan kesakitan mengisi udara. Renvurega menyeringai puas saat melihat mayat-mayat bergelimpangan di sekitarnya.

Monster Soulvens, dengan kekuatan fisik dan magis yang luar biasa, menghancurkan segala yang menghalangi jalan mereka. Mereka merobek-robek tameng dan pedang, melibas prajurit yang berusaha melawan. Kekuatan mereka seperti badai yang mengamuk, meluluhlantakkan segalanya dalam sekejap.

---

Di kota-kota besar, Renvurega dan pasukannya terus mengamuk. Mereka membakar bangunan, menghancurkan monumen, dan menebar kegelapan di setiap sudut. Rakyat berlarian ketakutan, mencari perlindungan yang tak pernah datang. Pasukan pertahanan mencoba melawan dengan sekuat tenaga, namun kekuatan Renvurega dan Soulvens terlalu besar.

Dalam satu pertempuran epik, seorang ksatria pemberani berdiri menghadapi Renvurega. Dengan pedang terhunus, ia mencoba menahan serangan trisula Renvurega. Pertarungan mereka memukau, gerakan mereka seperti tarian maut yang penuh keindahan tragis. Namun, ksatria itu akhirnya jatuh, tubuhnya terhempas ke tanah, sementara Renvurega berdiri tanpa luka.

Di tempat lain, sekelompok penyihir mencoba menggunakan kekuatan mereka untuk melawan Soulvens. Mereka melafalkan mantra-mantra kuat, menciptakan ledakan cahaya yang menghancurkan. Namun, Soulvens menangkis serangan itu dengan kekuatan magis mereka sendiri, membalas dengan ledakan energi kegelapan yang menghancurkan para penyihir.

---

Kekacauan terus berlanjut, setiap langkah Renvurega membawa lebih banyak kehancuran. Ia tidak mengenal belas kasihan, menghancurkan setiap harapan yang muncul. Monster Soulvens terus meneror, mencabik-cabik dan menghabisi musuh-musuh mereka tanpa ampun.

Di negeri-negeri yang masih tersisa, para pemimpin negeri mulai merasakan putus asa.

Ilusi bayangan Gurfeda Luna, Isholdyenca Peals, dan Veni semakin memperkeruh keadaan.

Mereka menciptakan kekacauan mental, membuat para pemimpin meragukan sekutu mereka dan memilih untuk bertarung sendirian.

---

Gurfeda Luna, Isholdyenca Peals, dan Veni berkeliaran di antara bayangan, menyusup ke setiap sudut negeri dengan keheningan yang mematikan. Ilusi-ilusi mereka begitu halus namun sangat menghancurkan, menciptakan ketakutan, kebingungan, dan kekacauan di mana-mana.

Gurfeda dan Luna dengan kemampuan ilusi ketakutannya, menjelma menjadi bayangan yang mengerikan.

Di setiap desa yang ia lewati, rakyatnya mulai melihat monster dalam kegelapan, bayangan-bayangan menakutkan yang mengikuti mereka di setiap sudut.

Anak-anak menangis ketakutan, sementara orang dewasa mulai kehilangan kewarasan mereka. Tidak ada tempat yang aman dari ilusi Gurfeda, dan setiap malam menjadi mimpi buruk yang hidup bagi semua orang.

Di ibukota, Isholdyenca dan Peals memainkan perannya dengan sempurna.

Dengan kemampuan untuk memanipulasi emosi, ia memasuki pikiran para pemimpin negeri, menanamkan kebencian dan paranoia yang mendalam. Para raja dan ratu yang dulu bersatu dalam aliansi kuat, kini saling mencurigai satu sama lain. Rapat diplomatik berubah menjadi ajang perdebatan sengit, dengan tuduhan pengkhianatan yang dilemparkan tanpa dasar. Peals tersenyum puas dari bayangannya, menikmati keretakan yang ia ciptakan.

Sementara itu, Veni dengan keahlian ilusi realitasnya, menciptakan distorsi yang mengacaukan kehidupan sehari-hari. Ia mengubah jalan-jalan yang dikenal menjadi labirin yang membingungkan, membuat rakyat tersesat di kota mereka sendiri.

Di pasar, pedagang melihat barang dagangan mereka menghilang dan muncul kembali di tempat yang salah, menyebabkan kerusuhan dan ketidakpercayaan. Veni tertawa di balik ilusi yang ia ciptakan, melihat dunia terbalik oleh tangannya.

---

Di satu kota besar, penduduk mulai kehilangan harapan. Setiap hari terasa seperti pertempuran untuk bertahan hidup dari ilusi-ilusi yang mengerikan. Seorang prajurit pemberani, dengan pedang di tangannya, berusaha melawan bayangan yang mengejarnya. Namun, setiap ayunan pedangnya hanya mengenai udara kosong, sementara tawa Gurfeda Luna menggema di telinganya. Prajurit itu jatuh berlutut, kelelahan dan putus asa, matanya berair melihat dunia yang dihancurkan di sekitarnya.

Di istana, raja mulai meragukan kepercayaan menteri-menterinya. "Kalian semua pengkhianat!" teriaknya, dengan tangan gemetar memegang pedang.

Peals, yang bersembunyi di balik tirai ilusi, mengendalikan suasana dengan tangan dinginnya. Setiap kata yang keluar dari mulut raja hanyalah hasil dari manipulasi emosi Peals. Para menteri, yang dulunya setia, kini saling mencurigai satu sama lain, takut akan ancaman yang tidak pernah ada.

Di pasar, seorang ibu mencari anaknya yang hilang dalam kerumunan.

Veni dengan senyum licik menciptakan ilusi anak itu di tempat yang jauh, membuat sang ibu berlari ke arah yang salah. Tangisan ibu itu memenuhi udara, sementara Veni menikmati rasa sakit yang ia ciptakan.

Pasar yang dulu damai kini menjadi tempat penuh kerusuhan dan kekacauan, dengan pedagang dan pembeli yang saling berteriak dalam keputusasaan.