Langit pagi hari ini berwarna biru lembut, saat Ayumi melangkahkan kaki ke gerbang Sekolah Negeri Yayaya di negri MoonTales.
Angin sepoi-sepoi menerbangkan rambut hitam panjangnya, namun wajahnya tetap datar tanpa ekspresi. Dia pendiam, sulit untuk diajak mengobrol, dan selalu menjaga jarak dari keramaian. Dibalik sikapnya yang dingin, terdapat kecerdasan yang tajam dan pemikiran yang mendalam. Ayumi lebih suka menghabiskan waktu dengan buku-buku daripada bersosialisasi dengan teman sekelasnya.
Hari pertama masuk kelas 7, ruang kelas dipenuhi suara riuh murid-murid yang saling berkenalan. Namun, Ayumi memilih duduk di pojok belakang dekat jendela, menatap ke luar sambil tenggelam dalam pikirannya sendiri. Guru pun mulai meminta setiap murid untuk memperkenalkan diri.
Saat tiba giliran Ayumi, dia berdiri dengan tenang. "Namaku Ayumi," ucapnya singkat, kemudian duduk kembali. Beberapa teman sekelas saling berpandangan, merasa heran dengan sikapnya yang begitu dingin.
Tiba-tiba, pintu kelas terbuka dengan keras. Seorang anak laki-laki dengan senyum arogan masuk tanpa rasa bersalah. "Maaf terlambat," katanya tanpa sedikit pun nada penyesalan. Wajahnya tampan, dengan mata tajam dan rambut berantakan yang justru menambah karismanya. Dia adalah Rakuza, pemimpin geng yang terkenal tangguh di sekolah itu.
Ayumi menatap Rakuza dengan tatapan tajam. Ada kilatan kebencian yang terpendam dalam matanya. Dia tidak pernah bisa memahami mengapa sosok seperti Rakuza begitu dipuja oleh banyak orang, padahal tingkah lakunya jauh dari kata terpuji.
Saat istirahat, suasana kantin ramai seperti biasa. Ayumi duduk sendirian di sudut, menikmati makan siangnya dengan tenang. Namun ketenangannya terganggu ketika Rakuza dan gengnya melewati mejanya. "Hei, bukankah itu si pendiam dari kelas kita?" kata salah satu anggota geng sambil tertawa.
Rakuza menghentikan langkahnya, menatap Ayumi dengan senyum mengejek. "Kenapa sendirian saja? Tidak ada teman ya?"
Ayumi mengabaikan mereka, tapi dalam hatinya, amarah mulai membara. Dia muak dengan sikap sok kuasa Rakuza. "Lebih baik sendiri daripada bersama orang-orang yang tidak punya tujuan," gumamnya pelan namun cukup terdengar.
Rakuza terkejut mendengar jawaban itu. Jarang ada yang berani melawannya, apalagi dalam kata-kata. "Apa kau bilang?" tanyanya sambil mendekat.
Ayumi menatapnya tajam. "Kau dengar sendiri."
Suasana menegang. Beberapa murid mulai memperhatikan mereka. Namun sebelum situasi bertambah buruk, bel berbunyi menandakan waktu pelajaran berikutnya. Ayumi berdiri dan berjalan pergi tanpa menghiraukan Rakuza.
Sepanjang hari, pikirannya dipenuhi berbagai hal. Bukan hanya tentang kejadian di kantin, tapi juga tentang masa lalunya yang kelam. Ada alasan mengapa dia begitu membenci tipe orang seperti Rakuza. Sebuah kenangan pahit yang selalu menghantuinya.
Sepulang sekolah, Ayumi berjalan melewati taman yang sepi. Angin sore menghembus lembut, membawa aroma bunga yang menenangkan.
Dia berjalan sendirian, menyusuri jalan pulang yang setiap hari dilaluinya, namun hari ini hatinya terasa lebih berat.
"Kenapa harus ada orang seperti dia di sekolah ini..." gumam Ayumi pelan, suaranya nyaris tertelan oleh deru kendaraan yang melintas. Tatapannya kosong menatap ke depan, namun pikirannya dipenuhi oleh sosok Rakuza. Pria itu mengingatkannya pada masa lalu yang berusaha ia kubur dalam-dalam.
Ayumi menggigit bibir bawahnya, mencoba menahan gejolak emosi yang mulai muncul. "Aku pikir, dengan pindah sekolah, aku bisa menghindar dari semua ini," bisiknya sambil mengetatkan genggaman pada tali tasnya. "Tapi ternyata bayangan itu kembali menghantuiku."
Langkah kakinya terhenti sejenak di depan sebuah toko kecil yang menjual pernak-pernik. Pandangannya tertuju pada sebuah hiasan berbentuk burung phoenix, simbol kebangkitan dari keterpurukan. "Andai saja semudah itu untuk bangkit," ujar Ayumi dengan senyum miris.
Dia melanjutkan perjalanannya, melewati taman di mana anak-anak kecil bermain riang tanpa beban. Tawa mereka menggema, kontras dengan kekosongan yang dirasakannya. "Kapan terakhir kali aku bisa tertawa seperti itu ?" tanyanya pada diri sendiri. Kenangan masa kecil yang indah seakan terasa begitu jauh.
Ayumi teringat akan ayahnya, seorang polisi yang selalu pulang dengan senyuman dan membawakannya permen kesukaannya. Hingga malam itu tiba, ketika semuanya berubah. "Jika saja aku bisa menghentikan waktu saat itu," gumamnya. "Jika saja aku lebih kuat..."
Air mata mulai menggenang di pelupuk matanya, namun segera ia usap dengan cepat. "Tidak boleh lemah. Aku harus kuat," kata Ayumi, mencoba meyakinkan dirinya sendiri. "Aku tidak akan membiarkan orang seperti Rakuza menghancurkan kehidupanku lagi."
Langkahnya semakin cepat,, sambil bergumam
"Dia sama saja seperti mereka," desisnya.
"Orang-orang yang hanya tahu menyakiti tanpa peduli dampaknya pada orang lain."
Tanpa disadari, Ayumi sudah berada di depan pintu rumahnya.
Dia menghela napas panjang sebelum membuka pintu dan masuk ke dalam. Suasana rumah yang tenang menyambutnya, namun tidak mampu meredakan kegelisahan di hatinya.
Dia menuju kamarnya dan meletakkan tas dengan sembarangan.
Menjatuhkan diri di atas tempat tidur, Ayumi menatap langit-langit dengan tatapan hampa. "Apa aku harus terus hidup seperti ini ?, Selalu waspada, selalu berusaha menjauh dari orang lain..." pikirnya. "Tapi bagaimana jika suatu saat aku tidak bisa lagi lari?"
Pikirannya kembali pada Rakuza. "Kenapa dia harus ada di sini ?, Kenapa dia harus mengusik ketenanganku ?" Pertanyaan-pertanyaan itu terus berputar di kepalanya, tanpa jawaban yang memuaskan.
Sementara itu, di sudut kota yang lain, Rakuza duduk di atas sepeda motornya, menatap langit yang mulai gelap. "Gadis itu... Ayumi," gumamnya. "Ada sesuatu yang berbeda darinya." Meski terkesan cuek, Rakuza tidak bisa mengabaikan perasaan aneh yang muncul setiap kali melihat Ayumi.
"Kenapa dia begitu membenciku ?, Padahal aku bahkan tidak mengenalnya," pikir Rakuza. "Atau mungkin, aku yang harus memulai mengenalnya lebih dekat."
Kembali ke kamar Ayumi, dia menutup matanya, mencoba menenangkan diri. "Besok akan menjadi hari yang panjang," bisiknya. "Aku harus lebih kuat."
Embun pagi masih menyelimuti dedaunan ketika Ayumi membuka matanya. Sinar matahari menyusup melalui celah tirai kamarnya, membangunkannya dari tidur yang tidak terlalu nyenyak. Dia menatap langit-langit dengan tatapan kosong sebelum akhirnya bangkit dan merapikan tempat tidurnya.
Dengan langkah tenang, Ayumi menuju kamar mandi. Air dingin mengalir, menyegarkan tubuh dan pikirannya. Dia berharap hari ini akan berjalan lebih baik dari sebelumnya. Setelah mandi, dia mengenakan seragam sekolahnya dengan rapi. Rambut hitam panjangnya diikat menjadi kuncir kuda sederhana, menonjolkan wajahnya yang tenang namun penuh keteguhan.
Di meja makan, ibunya sudah menyiapkan sarapan sederhana. "Selamat pagi, Ayumi," sapa ibunya dengan senyum hangat.
"Selamat pagi," jawab Ayumi singkat sambil duduk dan mulai menyantap makanannya. Percakapan di antara mereka selalu minim, namun penuh pengertian tanpa perlu banyak kata.
Setelah selesai, Ayumi berpamitan. "Aku berangkat dulu, Bu."
"Hati-hati di jalan," kata ibunya sambil melambaikan tangan.
Perjalanan ke Sekolah Negeri Yayaya, diwarnai dengan kicauan burung dan hembusan angin pagi yang sejuk. Namun, suasana tenang itu segera berubah ketika Ayumi tiba di gerbang sekolah. Beberapa anak laki-laki dari geng Rakuza sudah menunggunya.
"Hei, Ayumi! Pagi yang indah, ya?" sapa salah satu dari mereka dengan senyum yang terkesan ramah.
Ayumi mengernyit. "Ada apa?" tanyanya dengan nada datar.
"Tidak ada. Kami hanya ingin menyapa gadis paling pintar di kelas," kata yang lain sambil mendekat.
"Kalian butuh sesuatu?" Ayumi mulai merasa tidak nyaman. Pandangan mata mereka terkesan menggoda, dan itu membuatnya gelisah.
"Ah, jangan dingin begitu. Mungkin kita bisa berteman lebih dekat," ujar salah satu dari mereka sambil menyentuh pundaknya.
Dengan cepat Ayumi mundur selangkah. "Tolong, jangan sentuh aku," katanya tegas. Wajahnya menunjukkan ketidaksenangan yang jelas.
Mereka tertawa kecil. "Jangan begitu, kita hanya bercanda."
Sebelum situasi semakin memburuk, Rakuza muncul dari kejauhan. "Apa yang kalian lakukan?" suaranya terdengar tenang namun penuh otoritas.
"Rakuza! Kami hanya mengobrol dengan Ayumi," jawab salah satu temannya dengan cengiran.
Rakuza menatap mereka dengan tajam. "Biarkan dia. Kalian sebaiknya pergi."
Tanpa banyak protes, mereka pun pergi meninggalkan mereka berdua. Ayumi menatap Rakuza dengan curiga. "Apa lagi sekarang?" tanyanya.
Rakuza memasukkan tangannya ke dalam saku jaketnya. "Aku minta maaf atas perilaku mereka. Terkadang mereka suka kelewatan."
Ayumi menghela napas. "Kalau begitu, tolong kendalikan teman-temanmu."
Rakuza tersenyum tipis. "Aku akan usahakan. Tapi aku penasaran, kenapa kau tampaknya sangat membenciku?"
Ayumi terdiam sejenak. "Aku tidak punya alasan untuk menyukaimu," jawabnya akhirnya.
"Kita bahkan belum saling mengenal," kata Rakuza dengan nada lembut. "Mungkin kita bisa mulai dari awal. Aku Rakuza."
"Ayumi," jawabnya singkat.
Rakuza mengangguk. "Senang berkenalan denganmu, Ayumi."
Tanpa kata lagi, Ayumi berjalan melewati Rakuza menuju kelasnya. Perasaan campur aduk menguasai dirinya. Ada sesuatu tentang Rakuza yang membuatnya resah, namun dia tidak bisa memahaminya.
Saat jam istirahat tiba, Ayumi memutuskan untuk duduk sendirian di taman sekolah, berharap bisa menikmati waktu sendirinya. Namun harapannya sirna ketika teman-teman Rakuza kembali menghampirinya.
"Hai Ayumi, sendirian saja?" mereka kembali dengan senyum yang sama.
Ayumi menggenggam buku di tangannya lebih erat. "Apa kalian tidak punya hal lain yang bisa dilakukan?" tanyanya dengan nada kesal.
"Kami hanya ingin menemanimu. Siapa tahu kau butuh teman bicara," ujar salah satu dari mereka sambil duduk di sebelahnya.
"Aku lebih suka sendiri," jawab Ayumi tegas.
Mereka terus menggoda, melontarkan pujian-pujian yang terdengar manis namun terasa palsu. Ayumi semakin tidak nyaman, wajahnya menunjukkan ekspresi muak.
Rakuza yang memperhatikan dari kejauhan akhirnya mendekat. "Sudah cukup," katanya kepada teman-temannya. "Biarkan dia sendiri."
"Ah, Rakuza, kami hanya bercanda," kata mereka sambil tertawa.
"Pergi," perintah Rakuza dengan nada yang lebih serius. Mereka pun akhirnya meninggalkan Ayumi dan Rakuza berdua.
Ayumi menatap Rakuza dengan tatapan tajam. "Apa maksud semua ini? Mengapa mereka terus menggangguku?"
Rakuza duduk di bangku sebelahnya. "Maafkan mereka. Sebenarnya, aku yang meminta mereka untuk mendekatimu."
"Apa?" Ayumi terkejut dan marah. "Untuk apa?"
Rakuza menunduk sejenak sebelum menatapnya langsung. "Aku ingin mengenalmu lebih baik, tapi sepertinya kau selalu menjauh. Jadi aku pikir itu akan membuatmu lebih terbuka."
"Itu bukan cara yang baik," Ayumi berdiri, bersiap untuk pergi.
"Tunggu," kata Rakuza sambil berdiri. "Jangan menilai dari penampilan, tetapi lihatlah seseorang dari perilaku. Walaupun aku seperti ini, aku juga pemilih jika ingin melakukan pembullyan."
Ayumi berhenti. Kata-kata itu terngiang di telinganya. "Apa maksudmu?"
"Aku tahu reputasiku tidak baik. Tapi bukan berarti aku tidak bisa berubah," jawabnya dengan tulus. "Aku hanya ingin kesempatan untuk menunjukkan bahwa aku tidak seperti yang kau pikirkan."
Ayumi menatapnya, mencoba mencari ketulusan di matanya. Ada sesuatu yang berbeda dalam nada suaranya kali ini. "Baiklah. Tapi jangan gunakan teman-temanmu untuk menggodaku lagi."
Rakuza tersenyum kecil. "Deal."
Bel berbunyi, menandakan jam istirahat usai. Namun pengumuman melalui pengeras suara menginformasikan bahwa guru-guru sedang mengadakan rapat mendadak. Seluruh kelas mendapat jam kosong.
Kelas menjadi riuh dengan kegembiraan. Beberapa siswa berkelompok bermain dan bercengkerama. Ayumi kembali ke tempat duduknya, berharap bisa membaca buku dengan tenang. Namun Rakuza kembali mendekatinya.
"Bolehkah aku duduk di sini?" tanyanya sambil menunjuk kursi sebelahnya.
Ayumi mengangguk pelan. "Silakan."
Mereka duduk dalam keheningan sejenak sebelum Rakuza membuka percakapan. "Kau suka membaca?"
"Ya," jawab Ayumi singkat.
"Apa yang kau baca?"
"Buku tentang psikologi manusia."
Rakuza mengangkat alis. "Topik yang berat. Kenapa tertarik dengan itu?"
Ayumi menoleh padanya. "Karena aku ingin memahami mengapa orang melakukan hal-hal tertentu."
Rakuza tersenyum tipis. "Mungkin kau bisa menganalisis aku."
"Mungkin," Ayumi menatapnya dengan pandangan menilai.
"Mengenai apa yang kukatakan tadi," Rakuza melanjutkan dengan nada lebih serius. "Aku benar-benar berharap kau tidak menilaiku hanya dari apa yang terlihat. Ada banyak hal yang tidak orang lain ketahui."
Ayumi terdiam, mempertimbangkan kata-katanya. "Aku juga punya masa lalu yang tidak ingin diketahui orang lain," katanya akhirnya.
"Kalau begitu, mungkin kita punya kesamaan," Rakuza menatapnya dengan lembut. "Mungkin kita bisa saling memahami."
Sebelum Ayumi sempat menjawab, suara bel kembali berbunyi, menandakan waktu pulang. Siswa-siswa mulai berkemas dan meninggalkan kelas.
"Aku akan menemanimu pulang," kata Rakuza tiba-tiba.
Ayumi ragu. "Tidak perlu, aku bisa sendiri."
"Aku tahu. Tapi anggap saja ini sebagai permintaan maaf atas kelakuan teman-temanku."
Setelah beberapa saat, Ayumi akhirnya mengangguk. "Baiklah."
Mereka berjalan beriringan keluar dari sekolah. Jalanan dipenuhi siswa lain yang pulang, namun mereka tenggelam dalam percakapan. Rakuza bercerita tentang hidupnya, keluarga, dan alasannya bergabung dengan geng. Ayumi mendengarkan dengan seksama, merasakan bahwa di balik sikapnya, Rakuza hanyalah seseorang yang mencari tempat untuk diterima.
Ketika mereka tiba di persimpangan jalan, Ayumi berhenti. "Rumahku ke arah sini," katanya sambil menunjuk.
"Baiklah," Rakuza tersenyum. "Senang bisa berbicara denganmu."
"Terima kasih telah menemani," jawab Ayumi.
Saat Rakuza berjalan menjauh, Ayumi merasa ada beban yang sedikit menghilang dari hati.
"Bisakah aku benar-benar mempercayainya?" pikirnya.
Di sisi lain, Rakuza memasukkan tangannya ke dalam saku, tersenyum samar. "Langkah pertama berhasil," gumamnya pada diri sendiri.
Pagi itu, matahari perlahan muncul di ufuk timur, menciptakan semburat oranye yang indah di langit. Ayumi membuka matanya, menatap langit-langit kamar yang familiar. Bunyi alarm di ponselnya masih berdengung pelan sebelum akhirnya dia mematikannya. Dia menarik napas dalam, mencoba mengusir rasa malas yang menggantung.
Dengan langkah ringan, Ayumi menuju kamar mandi.
Air hangat mengalir, membasahi kulitnya, memberikan kenyamanan tersendiri.
Dia membasuh wajahnya, menatap bayangannya di cermin. "Hari baru," gumamnya pelan. Setelah mandi, dia mengenakan seragam sekolahnya dengan rapi.
Kemeja putih dan rok biru tua yang menjadi ciri khas. Rambutnya ia ikat menjadi ponytail sederhana, menambah kesan anggun pada dirinya.
Di meja makan, ibunya sudah menyiapkan sarapan sederhana—sepotong roti panggang dan segelas susu. "Pagi, Ayumi," sapa ibunya dengan senyuman hangat.
"Pagi, Bu," jawab Ayumi sambil duduk. Dia menikmati sarapannya dalam keheningan, sesekali menatap keluar jendela melihat burung-burung yang terbang bebas.
"Semangat ya hari ini," kata ibunya sebelum Ayumi berangkat.
Ayumi mengangguk. "Tentu, Bu. Aku berangkat dulu."
Perjalanan menuju sekolah diiringi oleh hembusan angin pagi yang sejuk. Namun, entah kenapa, hatinya merasa sedikit gelisah. Pikiran tentang Rakuza dan kejadian kemarin masih terngiang di benaknya. "Kenapa aku harus terus memikirkan itu," pikirnya sambil menghela napas.
Setibanya di gerbang sekolah, Ayumi merasakan ada yang aneh. Beberapa murid menatapnya sambil berbisik-bisik. Dia mencoba mengabaikannya dan melanjutkan langkahnya menuju kelas. Namun, tiba-tiba, sekelompok anak laki-laki menghadangnya. Mereka adalah teman-teman Rakuza.
"Hei, Ayumi! Mau ke mana buru-buru?" tanya salah satu dari mereka dengan nada menggoda.
Ayumi menatap mereka dengan dingin. "Tolong minggir. Aku harus ke kelas."
"Ah, jangan dingin begitu," ujar yang lain sambil mendekat. "Kita kan teman sekelas. Bagaimana kalau kita menghabiskan waktu bersama?"
"Aku tidak tertarik," jawab Ayumi tegas, mencoba berjalan melewati mereka.
Namun salah satu dari mereka menahan lengannya. "Jangan sombong begitu. Kami hanya ingin berteman."
Sentuhan itu membuat Ayumi terkejut dan marah. "Lepaskan!" serunya sambil melepaskan diri.
Keributan itu menarik perhatian murid lain. Wajah Ayumi memerah, bukan karena malu, tapi karena marah dan tidak nyaman. Sebelum situasi semakin memburuk, suara berat terdengar dari belakang mereka.
"Apa yang kalian lakukan?" Rakuza muncul dengan ekspresi wajah yang tidak bersahabat.
"Rakuza! Kami hanya bercanda dengan Ayumi," kata salah satu dari mereka sambil tertawa kecil.
"Bercanda?" Rakuza menatap tajam. "Aku tidak ingat memberi izin kepada kalian untuk mengganggunya."
"Hei, tenang saja. Kami kan teman," ujar yang lain sambil menepuk bahu Rakuza.
Dengan cepat, Rakuza menepis tangan temannya. "Jangan sentuh aku. Jika kalian masih ingin berada di gengku, berhentilah mengganggunya."
Wajah mereka berubah. "Kau berubah, Rakuza. Hanya karena seorang gadis?"
"Ini bukan tawar-menawar. Pergi sekarang," perintah Rakuza dengan nada tegas.
Merasa terintimidasi, mereka pun pergi sambil menggerutu. Ayumi menatap Rakuza dengan campuran perasaan antara lega dan bingung.
"Terima kasih," ucapnya pelan.
Rakuza mengangguk. "Maafkan mereka. Mereka memang kadang kelewatan."
Ayumi menghela napas. "Kenapa mereka terus menggangguku?"
Rakuza menatapnya sejenak sebelum menjawab. "Mungkin karena aku."
"Apa maksudmu?"
"Setelah aku mulai mendekatimu, mereka merasa ada sesuatu yang berbeda. Mungkin mereka cemburu atau hanya ingin membuat masalah," jelas Rakuza.
Ayumi menunduk. "Aku tidak ingin menjadi penyebab masalah antara kau dan teman-temanmu."
"Jangan khawatir. Aku yang akan mengurusnya," kata Rakuza sambil tersenyum tipis. "Ayo, kita ke kelas."
Sepanjang jalan menuju kelas, Rakuza berjalan di samping Ayumi. Beberapa murid melihat mereka dengan tatapan heran, namun Rakuza tampak tidak peduli. Di dalam kelas, Rakuza duduk di sebelah Ayumi. Ini mengundang bisikan dari teman-teman sekelas.
"Hei, sejak kapan mereka dekat?" bisik salah satu murid.
"Mungkin Ayumi yang berhasil menjinakkan Rakuza," canda yang lain.
Ayumi merasa sedikit tidak nyaman dengan perhatian ini. "Mungkin kau sebaiknya duduk di tempatmu," sarannya.
"Tidak apa-apa. Aku ingin di sini," jawab Rakuza santai.
Pelajaran berlangsung seperti biasa, namun perhatian Ayumi sedikit terganggu oleh keberadaan Rakuza di sebelahnya. Dia tidak bisa fokus sepenuhnya. Setiap kali dia melirik, Rakuza tampak serius memperhatikan materi pelajaran, sesuatu yang jarang terlihat darinya.
Saat bel istirahat berbunyi, Ayumi bergegas menuju kantin. Dia berharap bisa mendapatkan tempat duduk sebelum kantin penuh. Namun, setibanya di sana, dia melihat teman-teman Rakuza duduk di meja yang biasa ia tempati. Sebelum sempat berbalik, salah satu dari mereka memanggilnya.
"Ayumi! Ke sini sebentar!"
Ayumi ragu sejenak, namun kemudian Rakuza muncul di belakangnya. "Ada apa lagi sekarang?" tanyanya dengan nada waspada.
Teman-teman Rakuza tersenyum sinis. "Tidak ada. Hanya ingin mengenalnya lebih dekat," ujar mereka.
Rakuza maju ke depan Ayumi, berdiri di antara mereka. "Aku sudah bilang, jangan ganggu dia."
"Kenapa kau jadi melindunginya seperti ini, Rakuza? Apa kau sudah melupakan kita?" tantang salah satu dari mereka.
"Aku tidak melupakan siapa pun. Tapi aku tidak akan membiarkan kalian mengganggunya," jawab Rakuza tegas.
Situasi memanas. Beberapa murid lain mulai memperhatikan mereka. Ayumi merasa tidak enak dan menarik lengan jaket Rakuza. "Biarkan saja. Aku bisa pergi ke tempat lain."
Rakuza menoleh padanya. "Tidak. Kau tidak perlu lari dari mereka."
Salah satu temannya berdiri. "Kalau begitu, mungkin kita perlu memberimu pelajaran."
Namun sebelum sesuatu terjadi, guru piket datang. "Ada apa ini? Kenapa ribut-ribut?" tanyanya dengan suara otoritatif.
Semua terdiam. "Tidak ada, Bu. Kami hanya berdiskusi," jawab Rakuza sambil menundukkan kepala.
Guru itu memandang mereka satu per satu. "Baiklah. Jangan buat keributan di kantin."
Setelah guru pergi, teman-teman Rakuza beranjak pergi dengan wajah kesal. "Ini belum selesai," bisik mereka sebelum meninggalkan tempat itu.
Ayumi duduk dengan lemas. "Aku tidak ingin ini terus terjadi."
Rakuza duduk di sebelahnya. "Maafkan aku. Aku akan memastikan mereka tidak mengganggumu lagi."
"Kenapa kau melakukan ini?" tanya Ayumi menatapnya. "Kau bisa saja membiarkan mereka."
Rakuza menatap matanya dalam-dalam. "Karena aku peduli padamu."
Kata-kata itu membuat Ayumi terdiam. Jantungnya berdegup lebih cepat. "Kita bahkan baru saling mengenal."
"Kadang, waktu tidak menentukan seberapa penting seseorang bagi kita," ujar Rakuza dengan senyuman hangat.
Ayumi merasa pipinya memanas. Dia tidak tahu harus menjawab apa. Perasaan aneh mulai merayapi hatinya.
Setelah istirahat usai, mereka kembali ke kelas. Kali ini, suasana lebih tenang. Rakuza tetap duduk di sebelah Ayumi, namun tidak banyak bicara. Hanya sesekali mereka bertukar pandang dan tersenyum kecil.
Saat jam pelajaran berakhir, murid-murid berkemas untuk pulang. Di depan gerbang sekolah, Rakuza menunggu Ayumi.
"Ayo, aku temani pulang," tawarnya.
Ayumi ragu sejenak, namun kemudian mengangguk. "Baiklah."
Mereka berjalan berdampingan menyusuri trotoar. Matahari sore memancarkan sinarnya, menciptakan bayangan panjang di belakang mereka.
"Aku tidak pernah melihat sisi dirimu yang seperti ini," kata Ayumi membuka percakapan.
"Sisi yang mana?" tanya Rakuza sambil menoleh.
"Sisi yang peduli dan... protektif," jawab Ayumi.
Rakuza tertawa kecil. "Mungkin karena aku tidak pernah menunjukkannya sebelum ini."
"Mengapa sekarang?"
Rakuza terdiam sejenak sebelum menjawab. "Karena kau membuatku ingin menjadi orang yang lebih baik."
Ayumi terkejut mendengar jawaban itu. "Aku?"
"Ya. Saat aku melihatmu, aku merasa ada harapan untuk berubah. Kau kuat, meski terlihat rapuh. Kau berbeda dari yang lain."
Ayumi menatap lurus ke depan. "Aku tidak sekuat yang kau pikir."
"Kita semua punya kelemahan. Tapi dengan bersama, mungkin kita bisa saling menguatkan," ujar Rakuza.
Perkataan itu membuat Ayumi merenung. Mungkin selama ini dia terlalu menutup diri. Mungkin Rakuza benar, mereka bisa saling memahami.
Saat mereka tiba di persimpangan jalan menuju rumah Ayumi, matahari mulai tenggelam. Langit berubah warna menjadi jingga keemasan.
"Terima kasih telah menemaniku," ucap Ayumi dengan senyuman tulus.
"Senang bisa menghabiskan waktu denganmu," balas Rakuza.
Sebelum berpisah, Rakuza berkata, "Besok, maukah kau bertemu denganku sebelum sekolah?"
Ayumi berpikir sejenak sebelum mengangguk. "Baiklah."
"Bagus. Sampai jumpa besok."
Mereka pun berpisah. Ayumi berjalan menuju rumahnya dengan perasaan yang campur aduk. Ada rasa hangat yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.
Namun, di balik sudut jalan, teman-teman Rakuza mengamati mereka dengan tatapan penuh dendam. "Kita tidak bisa membiarkan ini terus terjadi," kata salah satu dari mereka.
"Betul. Kita harus melakukan sesuatu."
Pagi ini, matahari perlahan menyinari kamar Ayumi.
Dia terbangun dengan perasaan campur aduk. Setelah pertemuannya dengan Rakuza kemarin, perasaannya jadi lebih sulit didefinisikan. Dia menarik napas dalam, mencoba menenangkan diri sebelum memulai hari.
Ayumi menuju kamar mandi dan mulai membersihkan diri.
Air yang mengalir memberikan kesegaran baru, meskipun pikirannya masih berkecamuk. Dia mengenakan seragam sekolahnya dengan rapi, mengenakan kemeja putih dan rok biru tua. Rambutnya ia ikat menjadi ponytail sederhana, seperti biasanya.
Di meja makan, ibunya sudah menyiapkan sarapan. "Pagi, Ayumi," sapa ibunya dengan senyuman.
"Pagi, Bu," jawab Ayumi dengan senyum tipis. Dia menikmati sarapannya dalam diam, merenungkan kejadian-kejadian sebelumnya.
Setelah berpamitan kepada ibunya, Ayumi berjalan menuju sekolah dengan langkah ringan namun hati yang berat. Dia berharap hari ini akan berjalan lebih baik, meski firasatnya mengatakan sebaliknya.
Setibanya di sekolah, Ayumi segera merasakan aura tidak menyenangkan. Beberapa murid menatapnya dengan tatapan aneh.
Dia mencoba mengabaikannya dan melanjutkan langkahnya menuju kelas. Namun, sebelum dia sampai, teman-teman Rakuza menghalangi jalannya.
"Heii, Ayumi! Pagi yang indah, ya?" ujar salah satu dari mereka dengan nada mengejek.
Ayumi mengernyit. "Apa maumu ?" tanyanya dengan nada datar.
"Tenang saja. Kami hanya ingin bermain sedikit," jawab mereka sambil tertawa sinis.
Tanpa diduga, salah satu dari mereka menarik tas Ayumi dan melemparkannya ke tanah. "Ups, maaf," katanya sambil tertawa lebih keras.
Ayumi menunduk untuk mengambil tasnya, namun tiba-tiba dia merasakan tendangan keras di perutnya. Rasa sakit menjalar, membuatnya terjatuh. Sebelum dia sempat bangkit, salah satu dari mereka mencambak pipinya dengan tangan kasar.
"Kau pikir kau siapa? Berani-beraninya melawan kami," ujar mereka sambil menampar pipi Ayumi dengan keras. Rasa sakit dan air mata bercampur menjadi satu.
Ayumi mencoba bangkit, namun tendangan lain menghantam kakinya. Dia terjatuh lagi, merasakan sakit di sekujur tubuhnya. Dia ingin berteriak, namun suaranya tercekik oleh rasa sakit.
Tiba-tiba, suara berat terdengar dari kejauhan. "Apa yang kalian lakukan?" Rakuza muncul dengan wajah marah.
Mereka berhenti sejenak, namun salah satu dari mereka berkata, "Kau terlambat, Rakuza. Ini urusan kami."
"Tidak, ini urusanku sekarang," kata Rakuza sambil menghampiri mereka. "Lepaskan dia."
Salah satu dari mereka tertawa. "Kau datang terlambat. Guru sudah mencarimu."
Namun Rakuza tidak peduli. Dia segera membantu Ayumi bangkit. "Kau baik-baik saja ?" tanyanya dengan lembut.
Ayumi mengangguk pelan, meski rasa sakit masih terasa. "Aku..., baik-baik saja..."
Saat itulah guru datang, wajahnya menunjukkan kekhawatiran. "Apa yang terjadi di sini?" tanyanya dengan suara tegas.
Rakuza menjelaskan singkat, sementara teman-temannya mencoba menghindari tatapan guru. "Kalian semua ikut saya ke kantor," kata guru itu dengan nada otoritatif.
Setelah menerima hukuman dari guru, Rakuza kembali ke kelas dengan tatapan penuh kemarahan. Namun, saat dia meletakkan tasnya di meja, dia melihat Ayumi duduk dengan wajah pucat dan luka darah yang masih terlihat di pipinya.
Rakuza segera menghampiri Ayumi. "Kau baik-baik saja?" tanyanya dengan khawatir.
Ayumi mencoba tersenyum, meski rasa sakit masih terasa. "Aku baik-baik saja."
Rakuza duduk di sebelahnya dan melihat kapas yang dipegang Ayumi untuk mengusap lukanya. "Biar aku bantu," katanya dengan lembut.
Dengan hati-hati, Rakuza mengambil kapas dan perlahan mengusap luka di pipi Ayumi. Sentuhannya lembut, penuh perhatian. Ayumi merasakan kehangatan yang aneh, meski rasa sakit masih terasa.
"Terima kasih," ucap Ayumi pelan.
Rakuza tersenyum tipis. "Tidak apa-apa. Aku akan selalu ada untukmu."
Saat jam istirahat, Rakuza membawa Ayumi ke kantin dan memastikan dia mendapat tempat duduk yang nyaman.
Mereka duduk berdua, berbicara tentang banyak hal.
Rakuza selalu menunjukkan sikap protektif dan perhatian, membuat Ayumi merasa lebih tenang.
Setelah pulang sekolah, Rakuza mengajak Ayumi ke sebuah taman bunga yang indah. Bunga-bunga bermekaran dengan warna-warni yang memukau. Ayumi merasa lebih rileks di tempat itu.
Namun, ketenangan mereka terpecahkan ketika salah satu teman Rakuza muncul dengan wajah penuh dendam. Dia membawa pisau, matanya menunjukkan niat buruk.
"Rakuza, kau berani mengkhianati kami?" tanyanya dengan suara dingin.
Rakuza segera berdiri, melindungi Ayumi. "Kau tidak akan menyentuhnya."
Mereka saling menatap tajam, ketegangan terasa di udara. Teman-teman Rakuza yang lain mulai mendekat, menunggu perintah.
Ayumi merasa ketakutan, namun Rakuza menggenggam tangannya erat. "Jangan khawatir. Aku akan melindungimu."
"Aku tidak pernah menjadi bagian dari rencana kalian untuk menyakiti orang lain," jawab Rakuza tegas. "Letakkan pisau itu. Kita bisa bicara baik-baik."
"Tidak ada yang perlu dibicarakan!" teriak mereka, mendekat dengan tatapan penuh kebencian.
Ayumi merasakan ketakutan yang mendalam. "Rakuza..."
Rakuza menoleh sebentar ke arahnya. "Jangan khawatir. Aku akan melindungimu."
Ketegangan memuncak. Rakuza dengan sigap menghindari gerakan teman-temannya yang mencoba menyerangnya. Suasana menjadi mencekam, dengan hanya suara angin dan gesekan langkah kaki di atas rumput.
"Berhentilah! Ini tidak perlu terjadi," seru Rakuza sambil menangkis serangan.
"Terlambat untuk itu!" jawab mereka dengan marah.
Ayumi melihat ke sekeliling, mencari bantuan, namun tempat itu terpencil. Hatinya berdebar kencang, merasa tidak berdaya.
Pertarungan itu berlanjut dengan ketegangan yang semakin memuncak. Rakuza berusaha keras untuk melindungi Ayumi, tapi jumlah lawan yang banyak membuatnya kewalahan. Salah satu dari mereka berhasil menyabet tangan Rakuza dengan pisau, membuatnya terjatuh dengan luka berdarah.
Ayumi menjerit, namun suaranya tertelan oleh suara ribut perkelahian. Rakuza mencoba bangkit kembali, namun tendangan keras menghantam perutnya, membuatnya terbaring di tanah dengan rasa sakit yang luar biasa.
Teman-teman Rakuza tertawa sinis. "Lihat dirimu sekarang. Apa yang kau pikirkan dengan melawan kami?"
Ayumi merasa ada sesuatu dalam dirinya yang pecah. Dengan cepat, ia berlari menuju Rakuza yang terluka, menutupi tubuhnya dengan tubuhnya sendiri. "Cukup! Jangan sakiti dia lagi!" teriaknya dengan penuh keberanian.
Teman-teman Rakuza terdiam sejenak, terlihat bingung dengan keberanian Ayumi. Salah satu dari mereka berkata, "Kau benar-benar berani, Ayumi. Tapi ini belum selesai."
Mereka mundur perlahan, meninggalkan Rakuza dan Ayumi yang tergeletak di tanah. Ayumi segera mencari sesuatu untuk mengobati luka Rakuza. Dengan tangan gemetar, ia mengambil sapu tangan bersih dan menekannya pada luka di tangan Rakuza, mencoba menghentikan pendarahan.
Rakuza meringis kesakitan, namun senyumnya tetap terlihat. "Terima kasih, Ayumi. Kau menyelamatkanku."
Ayumi hanya mengangguk tanpa berkata apa-apa. Air mata berlinang di pipinya saat ia merawat Rakuza dengan penuh kasih. Rakuza merasa ada sesuatu yang berubah dalam diri Ayumi, sesuatu yang membuatnya merasa lebih dekat.
Setelah beberapa saat, Ayumi membantu Rakuza duduk.
Angin sore berhembus lembut, menggoyangkan dedaunan dan membawa aroma harum bunga yang bermekaran di taman itu.
Ayumi duduk bersimpuh di samping Rakuza yang terbaring lemah di atas rumput hijau. Wajahnya pucat, keringat dingin membasahi dahinya, dan darah mengalir dari luka di lengan dan bahunya.
Dengan tangan gemetar, Ayumi membuka tas kecilnya, mencari perban dan antiseptik yang kebetulan selalu ia bawa. "Tahan sedikit, aku akan membersihkan lukamu," ucapnya dengan suara lembut, matanya menatap penuh kekhawatiran.
Rakuza menatapnya dengan senyuman tipis. "Kau... selalu siap sedia ya," candanya, meski suara itu terdengar lemah.
Ayumi tidak menjawab, fokusnya tertuju pada luka-luka di tubuh Rakuza. Dengan hati-hati, ia merobek lengan baju Rakuza yang sobek untuk membersihkan luka di bahunya. "Ini mungkin akan sedikit sakit," bisiknya sambil menuangkan antiseptik.
Rakuza meringis, namun tetap diam. Sentuhan lembut Ayumi membuatnya merasa tenang, seolah rasa sakit itu berkurang. Ayumi meniup perlahan luka tersebut, berharap dapat mengurangi perih yang dirasakan Rakuza.
Setelah membersihkan dan membalut luka-lukanya, Ayumi mengusap keringat di dahi Rakuza dengan sapu tangan. "Kau harus lebih berhati-hati," ujarnya sambil menatap mata Rakuza.
"Seharusnya aku yang mengatakan itu padamu," balas Rakuza. "Mereka tidak akan berhenti sampai di sini."
Ayumi menunduk sejenak, kemudian dengan lembut berkata, "Untuk saat ini, mari kita lupakan mereka."
Ia membantu Rakuza duduk bersandar pada bangku kayu yang ada di dekat mereka. Matahari mulai condong ke barat, memancarkan cahaya keemasan yang memantul indah di permukaan danau kecil di depan mereka.
"Indah sekali," gumam Ayumi, matanya menatap langit yang mulai berubah warna.
"Ya," jawab Rakuza sambil menatap wajah Ayumi. "Sangat indah."
Ayumi menyadari tatapan Rakuza dan seketika pipinya merona merah. Ia segera mengalihkan pandangannya ke arah bunga-bunga yang bermekaran. "Aku suka tempat ini. Tenang dan damai."
Rakuza tersenyum. "Aku senang kau menyukainya. Tempat ini memberi ketenangan setiap kali aku merasa gelisah."
Ayumi mengambil napas dalam, mengumpulkan keberanian untuk bertanya. "Kenapa kau begitu baik padaku?"
Rakuza terdiam sejenak. "Mungkin karena aku merasa kita memiliki kesamaan. Kesepian yang sama."
Ayumi menoleh, mata mereka bertemu. "Kesepian?"
Rakuza mengangguk. "Di balik keramaian dan semua orang di sekitarku, aku tetap merasa sendiri. Tapi sejak bertemu denganmu, perasaan itu perlahan berubah."
Ayumi merasakan detak jantungnya semakin cepat. Ia tidak tahu harus berkata apa. Perasaan hangat menjalar di hatinya.
"Kau tahu," lanjut Rakuza, "Saat kau merawat lukaku tadi, aku merasa ada seseorang yang benar-benar peduli padaku, bukan karena takut atau hormat, tapi karena tulus."
Ayumi tersenyum tipis. "Mungkin kita memang tidak begitu berbeda."
Mereka terdiam, menikmati momen kebersamaan itu. Suara alam menjadi latar belakang yang sempurna. Burung-burung berkicau, dedaunan berdesir, dan air danau beriak pelan.
"Terima kasih," ucap Rakuza pelan.
"Untuk apa?" tanya Ayumi.
"Untuk segalanya. Untuk tidak meninggalkanku meski kau dalam bahaya. Untuk merawat lukaku. Dan untuk membuat hari ini begitu berarti."
Ayumi menggeleng pelan. "Aku yang seharusnya berterima kasih. Kau selalu ada untukku, melindungiku."
Rakuza tertawa kecil. "Sepertinya kita saling berterima kasih."
Senja mulai menyelimuti taman, warna oranye dan merah menghiasi langit. Ayumi berdiri. "Kita harus pulang sebelum gelap."
Rakuza mencoba bangkit, namun rasa sakit membuatnya terhuyung. Refleks, Ayumi menangkap lengannya, menopangnya dengan hati-hati. "Pelan-pelan," ujarnya khawatir.
"Maaf merepotkanmu," kata Rakuza dengan senyum malu.
"Tidak apa-apa. Aku akan menemanimu sampai di jalan besar."
Mereka berjalan perlahan menyusuri taman, dengan Ayumi yang setia menopang Rakuza. Suasana hening, namun terasa hangat. Setibanya di dekat gerbang taman, Rakuza berhenti.
"Ayumi," panggilnya lirih.
"Ya?" Ayumi menatapnya.
"Aku senang mengenalmu," ucap Rakuza tulus.
Ayumi tersenyum lembut. "Aku juga."
Mereka saling bertatapan sejenak, sebelum akhirnya Rakuza berkata, "Besok... bisakah kita bertemu lagi?"
Ayumi mengangguk. "Tentu."
"Baiklah. Aku akan menunggumu di sini."
Ayumi melepaskan pegangannya perlahan. "Kalau begitu, sampai besok."
Rakuza mengangguk dan mulai melangkah pergi. Namun sebelum benar-benar menjauh, ia berbalik. "Jaga dirimu."
"Kau juga," balas Ayumi.
Mereka berpisah di persimpangan, masing-masing menuju rumah mereka.
Pagi kembali menyapa dengan sinar matahari yang lembut menembus tirai kamar Ayumi.
Setelah mandi dan bersiap, Ayumi turun ke ruang makan. Ibunya menatapnya dengan senyum hangat. "Pagi, Sayang. Tidurmu nyenyak?" tanya ibunya sambil menyajikan sarapan.
Ayumi mengangguk. "Ya, Bu. Terima kasih."
"Sepertinya ada yang berbeda hari ini. Kamu tampak lebih ceria," ujar ibunya sambil mengamati ekspresi putrinya.
Ayumi tersenyum tipis. "Hanya merasa sedikit lebih baik, Bu."
Setelah sarapan, Ayumi berpamitan dan berjalan menuju sekolah. Udara pagi yang segar dan kicauan burung membuat suasana hatinya sedikit lebih tenang. Namun, ia masih tidak bisa menghilangkan kekhawatiran tentang apa yang mungkin terjadi hari ini.
Setibanya di Sekolah Negeri Yayaya di negri MoonTales, Ayumi melihat kerumunan siswa yang tampak bersemangat di papan pengumuman. "Ada apa ya?" pikirnya. Ia mendekati kerumunan itu dan membaca bahwa akan diadakan festival sekolah minggu depan. Seluruh siswa diharapkan berpartisipasi.
"Hei, Ayumi!" sapa Hana, teman sekelasnya yang ceria. "Kau ikut berpartisipasi di festival nanti?"
Ayumi tersenyum. "Aku belum tahu. Mungkin akan membantu di belakang panggung."
"Baguslah! Kita butuh orang-orang andal sepertimu," kata Hana sambil tersenyum lebar.
Saat masuk ke kelas, Ayumi berharap bisa melihat Rakuza. Namun, bangkunya masih kosong. Pelajaran dimulai, dan Rakuza tidak juga muncul. Ayumi merasa sedikit khawatir.
Di sela-sela pelajaran, Ayumi melihat ke luar jendela. Pikirannya melayang, membayangkan apa yang sedang dilakukan Rakuza. Apakah ia baik-baik saja setelah kejadian kemarin?
Ketika bel istirahat berbunyi, Ayumi memutuskan untuk pergi ke taman belakang sekolah, tempat di mana ia dan Rakuza biasa menghabiskan waktu. Setibanya di sana, ia menemukan Rakuza duduk di bawah pohon sakura yang rindang.
"Rakuza!" panggil Ayumi dengan nada lega.
Rakuza menoleh dan tersenyum. "Ayumi, aku menunggumu."
"Kau tidak masuk kelas tadi pagi. Apa kau baik-baik saja?" tanyanya sambil duduk di sebelahnya.
"Maaf membuatmu khawatir. Aku harus mengurus sesuatu tadi pagi," jawab Rakuza sambil menatap ke arah langit.
Ayumi memperhatikan wajah Rakuza yang tampak sedikit lelah. "Apakah ini tentang teman-temanmu?"
Rakuza mengangguk pelan. "Aku mencoba berbicara dengan mereka, tapi sepertinya mereka tidak mau mendengarkan."
"Kau tidak perlu melakukan itu demi aku," kata Ayumi dengan suara lirih.
Rakuza menoleh menatapnya. "Aku melakukannya karena aku ingin. Mereka perlu mengerti bahwa apa yang mereka lakukan salah."
Ayumi tersenyum tipis. "Terima kasih."
Tiba-tiba, suasana hening mereka terganggu oleh suara langkah kaki. Mika, salah satu teman sekelas mereka yang dikenal sebagai gadis populer, muncul dengan ekspresi wajah yang tidak bersahabat.
"Rakuza, bisa kita bicara?" tanyanya tanpa memedulikan keberadaan Ayumi.
"Apa yang ingin kau bicarakan?" jawab Rakuza dengan nada datar.
Mika melirik tajam ke arah Ayumi. "Sendirian."
Rakuza menghela napas. "Jika kau ingin mengatakan sesuatu, katakan saja di sini."
Mika mendengus kesal. "Baiklah kalau begitu. Kau berubah sejak dekat dengan gadis ini. Teman-temanmu merasa diabaikan."
"Aku tidak berubah. Aku hanya memilih jalan yang berbeda," balas Rakuza tegas.
"Jalan yang berbeda? Apa maksudmu? Meninggalkan teman-temanmu demi dia?" Mika menuding Ayumi.
Ayumi merasa tidak nyaman. "Maaf, mungkin aku sebaiknya pergi."
Rakuza menahan tangannya. "Tidak, tetaplah di sini."
Mika semakin marah. "Lihat? Kau bahkan lebih memilih dia daripada kami. Kau akan menyesal, Rakuza."
Sebelum Rakuza sempat menjawab, Mika berbalik dan pergi dengan langkah cepat. Ayumi menatap Rakuza dengan khawatir. "Aku tidak ingin menjadi penyebab masalah antara kau dan teman-temanmu."
"Ini bukan salahmu, Ayumi. Mereka yang tidak bisa menerima pilihanku," ujar Rakuza sambil tersenyum menenangkan.
Hari itu berlalu dengan banyak bisikan dan tatapan dari siswa lain. Ayumi merasa tekanan sosial semakin kuat, namun kehadiran Rakuza di sisinya membuatnya merasa lebih kuat. Mereka memutuskan untuk fokus pada persiapan festival sekolah, berharap bisa mengalihkan perhatian dari masalah yang ada.
Beberapa hari kemudian, saat latihan untuk festival berlangsung, Ayumi dan Rakuza bekerja sama dalam sebuah pertunjukan drama. Mereka ditunjuk sebagai pemeran utama oleh guru seni karena chemistri mereka yang terlihat natural.
Saat latihan, Ayumi merasa canggung. "Aku tidak yakin bisa melakukannya," ujarnya sambil membaca naskah.
"Kau akan baik-baik saja. Aku akan membantumu," kata Rakuza sambil tersenyum.
Ketika latihan berlangsung, kehadiran Mika dan teman-temannya membuat suasana menjadi tegang. Mereka sering kali mengganggu dan membuat komentar sinis. Namun, Ayumi dan Rakuza tetap fokus.
Suatu sore setelah latihan, saat Ayumi berjalan pulang sendirian, ia dihentikan oleh Mika dan beberapa temannya di sebuah gang sempit. Wajah mereka menunjukkan niat yang tidak baik.
"Kita perlu bicara, Ayumi," kata Mika dengan nada dingin.
"Ada apa?" tanya Ayumi mencoba tetap tenang.
"Kau harus menjauh dari Rakuza. Kau hanya membawa masalah," ujarnya tajam.
"Aku tidak mengerti kenapa kau begitu membenciku," balas Ayumi dengan suara pelan.
Mika mendekat. "Karena sejak kau muncul, semuanya berubah. Rakuza menjauh dari kami, dan itu salahmu."
"Aku tidak memaksanya melakukan apapun. Itu pilihannya sendiri," kata Ayumi sambil mundur selangkah.
"Kau pikir kau siapa? Hanya gadis pendiam yang tiba-tiba merebut perhatian semua orang," Mika menatapnya dengan penuh kebencian.
Situasi semakin tegang ketika salah satu teman Mika mencoba mendorong Ayumi. Namun, sebelum hal lebih buruk terjadi, Rakuza muncul.
"Berhenti!" serunya dengan suara keras.
Semua menoleh. "Rakuza? Bagaimana kau bisa ada di sini?" tanya Mika terkejut.
"Aku mengikuti Ayumi karena khawatir sesuatu seperti ini akan terjadi," jawabnya sambil berjalan mendekat.
"Kau benar-benar berpihak padanya?" tanya Mika dengan nada tak percaya.
"Ya, dan aku tidak akan membiarkan kalian menyakitinya," tegas Rakuza.
Mika menggertakkan gigi. "Kau akan menyesal, Rakuza. Kau memilih jalan yang salah."
Setelah itu, Mika dan teman-temannya pergi dengan penuh kemarahan. Ayumi menghela napas lega. "Terima kasih," ucapnya pelan.
Rakuza menatapnya dengan lembut. "Aku akan selalu melindungimu."
Malam itu, mereka duduk di bangku taman kota yang diterangi lampu-lampu kuning redup. Mereka berbicara tentang impian, ketakutan, dan harapan mereka. Ayumi merasa nyaman membuka diri kepada Rakuza, sesuatu yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.
"Kadang aku merasa takut," kata Ayumi sambil menatap langit malam yang bertabur bintang.
"Takut akan apa?" tanya Rakuza.
"Takut bahwa kebahagiaan ini tidak akan bertahan lama. Bahwa semua ini hanya sementara," jawabnya jujur.
Rakuza menggenggam tangan Ayumi dengan lembut. "Selama kita bersama, kita bisa menghadapi apapun."
Ayumi tersenyum, matanya berkaca-kaca. "Terima kasih. Kau membuatku merasa kuat."
Detik-detik berlalu, dan malam semakin larut. Mereka memutuskan untuk pulang sebelum terlalu malam. "Aku akan mengantarmu," kata Rakuza.
Saat mereka berjalan menyusuri jalanan sepi, Ayumi merasa ada yang mengikutinya. Ia menoleh, namun tidak melihat siapapun. "Ada apa?" tanya Rakuza.
"Aku merasa ada yang mengikuti kita," bisik Ayumi.
Rakuza menjadi waspada. "Ayo, kita percepat langkah."
Namun, tiba-tiba sekelompok orang muncul dari bayangan. Bukan Mika dan teman-temannya, melainkan sekelompok pria dewasa dengan tatapan mencurigakan.
"Nah, kebetulan kita bertemu anak-anak manis di malam hari," kata salah satu dari mereka dengan nada licik.
Rakuza memposisikan dirinya di depan Ayumi. "Apa yang kalian inginkan?"
"Kami hanya ingin sedikit bersenang-senang," jawab pria itu sambil mendekat.
Situasi menjadi genting. Rakuza tahu bahwa mereka dalam bahaya. "Lari, Ayumi!" serunya.
"Aku tidak bisa meninggalkanmu!" balas Ayumi panik.
"Percayalah padaku. Cepat lari dan cari bantuan!" kata Rakuza sambil menatapnya serius.
Dengan berat hati, Ayumi mulai berlari. Namun, salah satu pria mencoba mengejarnya. Rakuza dengan sigap menghadangnya, meski harus menerima pukulan keras.
Ayumi berlari sekuat tenaganya, air mata mengalir di pipinya. "Tolong! Ada yang bisa membantu ?" teriaknya, namun jalanan tampak sepi.