Chereads / Bintang Penyelamat / Chapter 45 - Cinta dalam bayangan

Chapter 45 - Cinta dalam bayangan

Malam menyelimuti hutan dengan keheningan yang dalam, hanya diselingi oleh suara angin yang berbisik melalui dedaunan.

Thaldra Soulbone berjalan perlahan, kepalanya tertunduk, beban dunia terasa semakin berat di hatinya.

Keputusasaan menyelimutinya setelah melihat kehancuran yang ditimbulkan oleh Renvurega dan pasukan kegelapan.

Langkahnya terpaut, seolah-olah setiap langkah memerlukan usaha yang luar biasa.

Tiba-tiba, dari kejauhan, terdengar alunan suara merdu yang menghentikan langkahnya.

Suara itu bagaikan melody, sangat memikat dan membuat thaldra penasaran.

Thaldra mengangkat kepalanya, matanya mencari sumber suara di antara pepohonan yang gelap. Di bawah sinar rembulan yang temaram, muncul sosok wanita anggun yang memancarkan aura misterius.

Wanita itu mengenakan gaun panjang berwarna perak yang berkilau di bawah cahaya bulan.

Rambut hitamnya tergerai hingga pinggang, berkilau seperti sutra. Matanya berwarna biru laut, memancarkan kedalaman yang tak terukur. Senyumnya lembut namun menyimpan rahasia yang tak terungkap.

"Selamat malam, pengelana," sapanya dengan suara lembut yang mengalun bagai melodi. "Apa yang membawamu ke hutan sunyi ini di malam seindah ini?"

Thaldra terpana, hatinya merasa tertarik tanpa bisa dijelaskan. "Aku... mencari jalan untuk menyelamatkan dunia dari kegelapan," jawabnya pelan, masih terpesona oleh kehadirannya.

Wanita itu mendekat, langkahnya ringan seolah-olah melayang di atas tanah. "Di tengah kegelapan, seringkali kita lupa akan keindahan malam," ujarnya. "Namaku Paveina. Maukah kamu berbagi cerita denganku?"

Thaldra merasakan kehangatan yang jarang ia rasakan. "Aku Thaldra. Kehormatan bagiku bisa bertemu denganmu di tempat seperti ini."

Paveina tersenyum manis, matanya menatap dalam ke mata Thaldra. "Thaldra, nama yang indah," katanya lembut. "Aku melihat kesedihan di matamu. Mungkin sebuah pantun bisa menghibur hatimu yang gelisah."

Tanpa menunggu jawaban, Paveina mulai melantunkan pantunnya dengan suara merdu:

"Di tepi danau ku petik melati,

Harumnya semerbak menawan hati.

Di balik duka tersembunyi cahaya,

Hadirmu kini membawa bahagia."

Thaldra merasakan detak jantungnya berdetak lebih cepat. Setiap kata yang diucapkan Paveina seolah menembus relung terdalam hatinya. "Pantunmu sangat indah," ujarnya dengan kagum. "Sudah lama aku tidak mendengar kata-kata seindah itu."

Paveina tertawa kecil, suaranya bagaikan lonceng perak. "Kata-kata memiliki kekuatan untuk menyembuhkan luka yang tak terlihat," katanya. "Bolehkah aku membacakan sebuah puisi untukmu?"

Thaldra mengangguk, sepenuhnya terpesona oleh pesonanya. "Aku akan sangat senang mendengarnya."

Paveina menutup matanya sejenak, kemudian membuka kembali dengan sorot mata yang lembut. Ia mulai membawakan puisinya dengan intonasi yang mendalam:

"Dalam sunyi aku menanti,

Bayangmu hadir di setiap mimpi.

Meski gelap menyelimuti hari,

Cinta kita takkan pernah mati.

Langit malam jadi saksi,

Ketika dua hati saling mengisi.

Biarkan dunia terbakar api,

Asal kamu di sini menemani."

Thaldra merasa seolah dunia di sekitarnya menghilang, hanya ada dirinya dan Paveina. Perasaan hangat menjalar di seluruh tubuhnya, mengusir dingin dan keletihan yang ia rasakan sebelumnya. "Paveina, kau membawa kedamaian yang tak pernah kurasakan sebelumnya," ucapnya dengan suara hampir berbisik.

Paveina mendekat lebih dekat, jarak di antara mereka hampir tiada. "Kadang, di tengah kekacauan, kita menemukan ketenangan di tempat yang tak terduga," bisiknya. "Mungkin takdir yang mempertemukan kita malam ini."

Thaldra menatap wajah Paveina yang begitu dekat, matanya memancarkan kesungguhan. "Aku merasa seperti terbangun dari mimpi buruk yang panjang. Kehadiranmu menyadarkanku bahwa masih ada keindahan di dunia ini."

Paveina mengulurkan tangannya, menyentuh lembut pipi Thaldra. Sentuhannya lembut bagaikan sentuhan embun pagi. "Ikutlah denganku, Thaldra. Aku akan membawamu ke tempat di mana kau bisa menemukan kembali dirimu."

"Ke mana?" tanya Thaldra, namun hatinya tak meragukan niat untuk mengikutinya.

"Ke rumahku. Sebuah tempat yang jauh dari kegelapan, di mana cahaya cinta selalu bersinar," jawab Paveina dengan senyum yang menenangkan.

Mereka mulai berjalan beriringan, menyusuri jalan setapak yang diterangi cahaya rembulan. Pohon-pohon di sekitar mereka seolah membentuk koridor alami yang memandu langkah mereka. Suara hutan yang tadinya menakutkan berubah menjadi simfoni alam yang menenangkan.

Sepanjang perjalanan, mereka berbincang tentang banyak hal. Paveina menceritakan kisah-kisah tentang bintang dan legenda kuno, sementara Thaldra berbagi pengalamannya dalam pertempuran dan perjalanan panjangnya. Setiap kata yang terucap semakin mendekatkan hati mereka.

"Apakah kau tidak takut berjalan sendirian di hutan ini?" tanya Thaldra dengan rasa ingin tahu.

Paveina tersenyum kecil. "Hutan ini adalah rumah keduaku. Di sini aku menemukan kedamaian dan inspirasi." Ia menoleh ke arah Thaldra. "Dan malam ini, aku menemukan sesuatu yang lebih berharga."

"Apa itu?" Thaldra menatapnya dengan tatapan lembut.

Paveina berhenti sejenak, matanya menatap dalam ke mata Thaldra. "Dirimu," jawabnya singkat namun penuh makna.

Thaldra merasa pipinya memanas, perasaan yang jarang ia rasakan. "Kau terlalu memuji," ujarnya merendah.

"Tidak, aku hanya mengatakan apa yang kurasakan," balas Paveina dengan tulus.

Akhirnya, mereka tiba di sebuah rumah kecil yang indah, tersembunyi di antara pepohonan rindang. Cahaya hangat terpancar dari jendela-jendelanya, memberikan kesan ramah dan mengundang.

"Inilah rumahku," kata Paveina sambil membuka pintu kayu yang dihiasi ukiran-ukiran indah. "Masuklah, anggap saja seperti rumahmu sendiri."

Thaldra melangkah masuk, disambut oleh aroma harum bunga dan rempah. Ruangan dalam rumah itu dipenuhi oleh perabotan sederhana namun elegan. Lukisan-lukisan cantik menghiasi dinding, dan ada rak buku penuh dengan kitab-kitab kuno.

"Tempat ini sungguh menakjubkan," ungkap Thaldra kagum.

Paveina menutup pintu, lalu menghampiri Thaldra. "Aku senang kau menyukainya." Ia memegang tangan Thaldra, menggenggamnya erat. "Di sini, kau bisa beristirahat dan melupakan sejenak beban yang kau pikul."

Thaldra merasakan ketenangan merasuk ke dalam dirinya. "Terima kasih, Paveina, Aku merasa beruntung bertemu denganmu."

Paveina tersenyum hangat. "Istirahatlah malam ini. Besok, mungkin dunia akan terlihat berbeda."

Malam semakin larut, namun di dalam rumah Paveina, suasana hangat dan damai seolah menghentikan waktu. Thaldra duduk di dekat perapian yang menyala lembut, api kecil menari-nari memancarkan cahaya keemasan yang memantul di wajahnya. Aroma kayu manis dan rempah memenuhi ruangan, menenangkan pikiran yang sebelumnya penuh dengan kekhawatiran.

Paveina datang membawa dua cangkir teh herbal, uap hangat naik perlahan dari permukaannya. "Ini, minumlah. Teh ini terbuat dari bunga nocturna, terkenal bisa menenangkan jiwa yang gelisah," katanya sambil menyerahkan cangkir kepada Thaldra.

"Terima kasih," ucap Thaldra dengan senyum tulus. Ia menyesap teh itu perlahan, rasa hangatnya menjalar hingga ke dalam hati. "Rasanya lembut dan menenangkan."

Paveina duduk di sampingnya, matanya menatap ke arah api. "Kau tampak lelah. Beban apa yang kau pikul hingga membuatmu terlihat begitu terbebani?"

Thaldra menghela napas panjang. "Dunia dilanda kekacauan. Kegelapan menyebar, harapan memudar. Aku telah kehilangan teman-temanku, dan sekarang aku merasa sendirian dalam perjuangan ini."

Paveina menoleh, wajahnya memancarkan empati yang dalam. "Kadang, di tengah kegelapan terdalam, kita menemukan cahaya yang paling terang. Mungkin kau hanya butuh waktu untuk menemukan kembali dirimu."

Tatapan mereka bertemu, dan sejenak keheningan menyelimuti. Mata Paveina yang berwarna zamrud memancarkan kehangatan yang menenangkan. "Kehadiranmu saja sudah membuatku merasa lebih baik," ungkap Thaldra tanpa sadar.

Paveina tersenyum lembut. "Aku senang bisa membantu." Ia kemudian berdiri, mengulurkan tangannya. "Ayo, ada sesuatu yang ingin kutunjukkan padamu."

Dengan rasa ingin tahu, Thaldra menggenggam tangan Paveina. Sentuhan lembutnya memberi sensasi hangat yang menenangkan. Mereka berjalan menuju pintu belakang, menuju taman kecil yang tersembunyi di balik rumah.

Taman itu tampak memukau di bawah sinar rembulan. Bunga-bunga malam bermekaran, memancarkan cahaya lembut yang berkilauan. Air dari kolam kecil memantulkan cahaya bintang, menciptakan suasana magis yang sulit dilukiskan dengan kata-kata.

"Tempat ini indah sekali," bisik Thaldra, terpesona oleh pemandangan di depannya.

Paveina memandangnya dengan tatapan lembut. "Ini tempat favoritku. Di sini, aku merasa bisa melupakan semua masalah."

Mereka berjalan pelan di antara bunga-bunga, angin malam membawa aroma harum yang menenangkan. Paveina berhenti di dekat kolam, menatap bayangan bintang di permukaan air. "Tahukah kau," katanya pelan, "dalam mitos kuno, dikatakan bahwa jika kita membuat permohonan di bawah sinar rembulan, harapan kita akan terkabul."

Thaldra tersenyum tipis. "Apa yang ingin kau harapkan ?"

Paveina menoleh, wajah mereka hanya berjarak beberapa inci. "Aku harap bisa menemukan seseorang yang memahami hatiku, yang bisa berbagi beban dan kebahagiaan bersama."

Detak jantung Thaldra terasa semakin cepat. "Aku juga berharap hal yang sama."

Perlahan, Paveina mengangkat tangannya, jemarinya menyentuh lembut wajah Thaldra. "Mungkin harapan kita telah terkabul," bisiknya.

Tanpa kata, mereka terhanyut dalam momen itu.

Paveina mendekatkan wajahnya, dan bibir mereka bertemu dalam ciuman yang lembut dan penuh kehangatan. Waktu seolah berhenti, hanya ada mereka berdua di dunia yang seakan terisolasi dari segala kekhawatiran.

Setelah beberapa saat, mereka melepaskan diri, namun mata mereka masih saling bertautan. Wajah Paveina memerah samar, senyumnya mengembang. "Maaf, aku tidak bisa menahan diri."

Thaldra menggeleng pelan. "Tidak perlu minta maaf. Aku juga merasakannya."

Paveina menggenggam tangannya erat. "Aku senang kita bertemu, Thaldra. Kau membawa kebahagiaan dalam hidupku."

"Dan kau telah menghilangkan rasa sepi dalam diriku," balas Thaldra tulus.

Mereka duduk di bangku taman, berbagi cerita hingga larut malam. Paveina menceritakan kisah-kisah masa kecilnya, bagaimana ia tumbuh di tempat ini, dan mimpi-mimpi yang ingin ia wujudkan. Thaldra mendengarkan dengan saksama, merasa setiap kata yang terucap mengisi kekosongan dalam hatinya.

"Pernahkah kau berpikir untuk meninggalkan semua ini dan memulai hidup baru?" tanya Paveina tiba-tiba.

Thaldra terdiam sejenak. "Tanggung jawabku masih banyak. Ada kegelapan yang harus kuhentikan."

Paveina menundukkan kepala, suaranya lirih. "Aku mengerti. Tapi ingatlah, kau juga berhak untuk bahagia."

Thaldra menyentuh dagu Paveina, mengangkatnya perlahan sehingga mata mereka bertemu kembali. "Kebahagiaan itu kini ada di depan mataku."

Paveina tersenyum, matanya berkilau. "Kalau begitu, biarkan aku membantumu mengusir kegelapan itu."

"Bagaimana caranya?" tanya Thaldra, penasaran.

"Dengan bersama-sama, kita bisa menemukan jalan," jawab Paveina penuh keyakinan. "Aku mungkin tidak sekuat dirimu, tapi aku akan menjadi cahaya saat kau merasa gelap."

Thaldra merasa harapan baru tumbuh dalam dirinya. "Kau adalah anugerah yang tak pernah kuduga."

Malam semakin larut, angin membawa kesejukan yang menenangkan. Mereka masuk kembali ke dalam rumah, menuju ruang utama yang hangat. Paveina menyalakan beberapa lilin, cahayanya menambah keintiman suasana.

"Apakah kau ingin mendengar sebuah lagu?" tawar Paveina sambil mengambil alat musik petiknya.

"Tentu," jawab Thaldra dengan antusias.

Paveina mulai memetik senar, melodi indah mengalun memenuhi ruangan. Suaranya mengiringi musik dengan lembut:

"Dalam gelap aku mencari,

Cahaya yang tersembunyi.

Saat ku temukan dirimu di sini,

Hatiku pun berseri.

Biarkan waktu berhenti,

Di momen ini kita miliki.

Tak perlu kata terucap lagi,

Karena kau dan aku menyatu dalam hati."

Thaldra terpukau, merasakan setiap kata menyentuh jiwanya. "Suaramu luar biasa. Lagu itu... sangat indah."

Paveina meletakkan alat musiknya, menatap Thaldra dengan penuh perasaan. "Lagu itu terinspirasi darimu."

Thaldra berdiri, mendekati Paveina. "Kau membuatku merasa hidup kembali."

Mereka berdiri berhadapan, jarak di antara mereka hilang saat Thaldra memeluk Paveina dengan lembut. "Terima kasih telah memberiku harapan," bisiknya.

Paveina membalas pelukannya. "Kita akan melalui ini bersama-sama."

Ketika fajar merekah, sinar matahari pertama menyapu lembut melalui celah-celah jendela, menerangi ruangan dengan cahaya keemasan. Thaldra membuka matanya perlahan, merasakan kehangatan yang menenangkan. Suara burung berkicau menyambut pagi, menciptakan simfoni alam yang damai.

Aroma harum teh herbal dan roti panggang menguar dari dapur, menggugah selera. Tertarik oleh aroma tersebut, Thaldra bangkit dan berjalan menuju sumbernya. Di sana, di tengah dapur yang sederhana namun hangat, Paveina sibuk menyiapkan sarapan. Gaun putihnya berayun lembut saat ia bergerak, rambut hitam panjangnya terurai indah.

Paveina menyadari kehadirannya dan berbalik dengan senyum cerah. "Selamat pagi, Thaldra," sapanya lembut. "Aku harap kamu tidur nyenyak."

"Lebih dari itu," jawab Thaldra dengan senyum tulus. "Aku merasa segar dan penuh energi."

"Baguslah," Paveina menaruh cangkir teh di meja. "Sebelum sarapan, ada sesuatu yang ingin kubagikan denganmu."

Thaldra mengangkat alis, penasaran. "Apa itu ?"

Paveina mengambil alat musik petik dari sudut ruangan—sebuah lyra berukir indah. "Ini adalah lagu yang sangat spesial bagiku. Judulnya '答えの炎' atau 'Api Jawaban', terinspirasi oleh penyanyi favoritku, Melliana Quincya Azzahra."

Mata Thaldra berbinar. "Aku tak sabar ingin mendengarnya."

Paveina duduk di dekat jendela, sinar matahari menerangi wajahnya yang cantik.

Ia menyesuaikan senar lyra, lalu mulai memetik dengan lembut. Melodi yang dihasilkan mengalun merdu, memenuhi ruangan dengan kehangatan. Suaranya bergabung dengan irama musik, lembut dan penuh perasaan:

*"Dalam gelap ku mencari arti,

Api jawaban dalam nurani.

Langkahku ragu di jalan sepi,

Hingga hadirmu menerangi hati."*

Thaldra terpaku, setiap kata yang dinyanyikan Paveina menyentuh relung terdalam jiwanya. Suaranya bagaikan angin sepoi yang menenangkan, membawa pergi segala kegelisahan.

*"Bersama kita arungi badai,

Menghadapi dunia tanpa takut lagi.

Cahaya cintamu memandu arah,

Menemukan makna di setiap langkah."*

Air mata haru menggenang di mata Thaldra. Ia tak pernah merasakan kedamaian seperti ini sebelumnya. Lagu itu seolah menceritakan perjalanan mereka, perjuangan dan harapan yang mereka genggam.

Saat lagu berakhir, Paveina menatap Thaldra dengan mata bercahaya. "Lagu ini adalah ungkapan hatiku," ucapnya pelan.

Thaldra mendekat, mengambil tangan Paveina dengan lembut. "Itu adalah lagu terindah yang pernah kudengar," katanya dengan suara bergetar. "Kau memiliki bakat yang luar biasa."

Paveina tersenyum malu-malu. "Terima kasih. Sebenarnya, ada sesuatu yang ingin kukatakan sejak lama."

"Apa itu?" tanya Thaldra, meski hatinya sudah menebak arah pembicaraan ini.

Paveina menarik napas dalam, kemudian menghembuskannya perlahan. "Thaldra, sejak pertemuan kita, aku merasakan sesuatu yang berbeda. Kehadiranmu membawa kebahagiaan dalam hidupku. Aku... aku mencintaimu."

Detik itu juga, Perasaannya bergejolak, namun dipenuhi oleh kebahagiaan yang tak terbendung. "Paveina," ujarnya sambil menatap dalam matanya, "aku juga mencintaimu, Lebih dari yang bisa kuungkapkan dengan kata-kata."

Senyum lebar menghiasi wajah Paveina. "Benarkah ?"

Thaldra mengangguk tegas. "Kamu adalah cahaya dalam kegelapanku, alasan bagiku untuk terus berjuang."

Tanpa ragu, Paveina mendekat dan menyentuh pipi Thaldra.

Mereka berdua saling menatap sejenak sebelum akhirnya bibir mereka bertemu dalam ciuman yang lembut dan penuh kasih. Sentuhan itu menghapus segala keraguan dan ketakutan, menyisakan hanya kehangatan dan cinta mendalam.

Setelah beberapa saat, mereka melepaskan diri dengan senyum bahagia. "Aku merasa seperti mimpi," bisik Paveina.

"Jika ini mimpi, aku tak ingin terbangun," balas Thaldra sambil tertawa kecil.

---

Hari-hari berikutnya, mereka menghabiskan waktu bersama, menikmati setiap momen dengan penuh kebahagiaan. Paveina mengajak Thaldra menjelajahi negeri Serenia, sebuah negeri yang dikenal dengan keindahan alamnya yang menakjubkan dan kedamaian yang abadi. Ladang bunga lavender membentang luas sejauh mata memandang, aroma harum menenangkan jiwa.

Air terjun kristal mengalir dari tebing-tebing tinggi, menciptakan pelangi di bawah sinar matahari.

Di desa-desa kecil, penduduk menyambut mereka dengan ramah, wajah-wajah yang berseri-seri menunjukkan kehidupan yang damai. Pasar-pasar dipenuhi dengan hasil bumi segar, kerajinan tangan, dan musik tradisional yang mengalun riang.

Suatu sore, mereka duduk di puncak bukit yang menghadap ke danau jernih. Matahari terbenam menciptakan lukisan langit yang memukau, perpaduan warna oranye, merah muda, dan ungu yang memesona.

"Pernahkah kamu berpikir bahwa dunia ini masih memiliki keindahan seperti ini di tengah segala kekacauan ?" tanya Paveina sambil menyandarkan kepalanya di bahu Thaldra.

"Belum pernah," jawab Thaldra jujur. "Kamu telah menunjukkan padaku sisi lain dari dunia ini. Sisi yang penuh harapan dan keindahan."

Paveina menatapnya dengan lembut. "Dan kamu telah memberiku alasan untuk percaya pada cinta sejati."

Thaldra menghela napas bahagia. "Aku ingin waktu berhenti di momen ini."

Paveina tersenyum. "Kita mungkin tidak bisa menghentikan waktu, tapi kita bisa membuat setiap detiknya berarti."

Mereka terdiam, menikmati keheningan yang nyaman.

Angin sepoi-sepoi meniup lembut, membawa aroma bunga liar yang menyegarkan.

"Bagaimana dengan tugasmu ?" tanya Paveina tiba-tiba. "Apakah kamu masih ingin melanjutkan perjuanganmu?"

Thaldra menatap jauh ke cakrawala. "Kegelapan masih menyelimuti banyak tempat. Aku tak bisa mengabaikan tanggung jawabku. Namun, sekarang aku memiliki alasan lebih kuat untuk berjuang. Aku ingin melindungi kedamaian ini, melindungi dirimu dan semua negri di dunia ini."

Paveina menggenggam tangannya erat. "Kalau begitu, aku akan bersamamu. Kita hadapi semuanya bersama."

Thaldra menoleh, matanya bertemu dengan mata Paveina yang penuh tekad. "Apakah kau yakin? Perjalanan ini akan penuh bahaya."

"Aku yakin," jawab Paveina tanpa ragu. "Cinta memberi kita kekuatan untuk menghadapi segalanya."

Senyum terukir di wajah Thaldra. "Kamu benar. Bersama-sama, kita bisa mengatasi apapun."

Matahari tenggelam sepenuhnya, digantikan oleh taburan bintang yang berkelip di langit malam.

Cahaya rembulan menyinari mereka.

---

Malam di Serenia menyelimuti dunia dengan selimut bintang yang tak terhitung jumlahnya. Cahaya rembulan mengambang di langit, memancarkan sinar perak yang menari di atas permukaan danau kristal. Angin malam membawa aroma bunga lavender yang menenangkan, menyelimuti negeri dengan keharuman yang memabukkan.

Di teras sebuah pondok kayu yang terletak di tepi danau, Paveina dan Thaldra duduk berdampingan. Lilin-lilin kecil ditempatkan di sekitar mereka, cahayanya berkelip lembut, menciptakan suasana intim dan hangat. Di depan mereka, meja kayu sederhana dihiasi dengan hidangan ringan dan dua gelas anggur berwarna ruby yang memantulkan cahaya api.

Paveina menatap Thaldra dengan mata berkilau. "Malam ini begitu indah, bukan?" katanya dengan suara lembut.

Thaldra mengangguk sambil tersenyum. "Seindah negeri ini, namun kehadiranmu membuatnya lebih istimewa."

Paveina tertawa kecil, pipinya merona samar. "Kau selalu tahu cara membuatku tersipu."

Thaldra mengambil gelasnya, mengangkatnya sedikit. "Untuk malam yang tak terlupakan."

Paveina mengikuti gerakannya. "Dan untuk kebahagiaan yang kita temukan bersama."

Mereka bersulang, bunyi dentingan halus bergema di antara suara alam yang tenang. Thaldra menyesap anggurnya, merasakan kehangatan yang menyebar perlahan. "Aku merasa terus-menerus berterima kasih karena telah membawaku ke sini," ujarnya.

Paveina menatap jauh ke arah danau. "Ketika aku pertama kali melihatmu, ada sesuatu dalam dirimu yang menarik hatiku. Seperti jiwa yang hilang mencari tempatnya."

Thaldra menghela napas pelan. "Perjalanan dan peperangan membuatku lupa bagaimana rasanya damai. Bersamamu, aku merasakan kedamaian itu kembali."

Paveina berdiri, mengulurkan tangan kepada Thaldra. "Ayo, ada sesuatu yang ingin kutunjukkan."

Dengan rasa ingin tahu, Thaldra menerima tangannya. Mereka berjalan beriringan menuju dermaga kecil yang memanjang ke tengah danau. Air di bawah mereka tenang, memantulkan cerminan langit malam yang bertabur bintang.

Di ujung dermaga, Paveina berhenti. "Tutup matamu," pintanya sambil tersenyum misterius.

Thaldra menaati, menutup matanya dengan lembut. "Apa yang kau rencanakan?" tanyanya dengan nada menggoda.

"Percayalah padaku," jawab Paveina. Ia mengambil sesuatu dari saku gaunnya—sebuah kalung dengan liontin berbentuk kristal berwarna biru laut. Dengan hati-hati, ia memasangkannya di leher Thaldra. "Sekarang, buka matamu."

Thaldra membuka matanya dan melihat cahayanya sendiri memantul di permukaan danau. Liontin tersebut memancarkan cahaya lembut, seolah-olah menyala dari dalam. "Ini... indah sekali," ucapnya kagum.

"Kristal itu disebut 'Heart of Serenia'," jelas Paveina. "Konon, ia menyimpan kehangatan dan cinta dari negeri ini. Aku ingin kau memilikinya."

Thaldra tergerak oleh pemberian itu. "Aku tidak tahu harus berkata apa. Ini terlalu berharga."

Paveina menatapnya dengan penuh rasa sayang. "Kau lebih berharga bagiku. Anggap saja ini sebagai simbol ikatan kita."

Thaldra menggenggam liontin itu, merasakan kehangatan yang nyata. "Terima kasih, Paveina. Aku akan menjaganya dengan sepenuh hati."

Angin malam berhembus lembut, mengibarkan rambut mereka. Paveina mendekat, menyandarkan kepalanya di bahu Thaldra. "Di sini, di tempat ini, semua terasa sempurna."

Thaldra merangkulnya dengan lembut. "Aku berharap waktu bisa berhenti sekarang juga."

Mereka berdua terdiam, menikmati kebersamaan di bawah langit malam Serenia. Suara alam menjadi latar belakang yang harmonis—gemericik air, bisikan angin di antara dedaunan, dan nyanyian jangkrik yang lembut.

Setelah beberapa saat, Paveina menoleh. "Apakah kau ingat lagu yang kunyanyikan sebelumnya?"

"Tentu saja. '答えの炎'—'Api Jawaban'. Lagu itu terus terngiang di pikiranku," jawab Thaldra.

"Bagaimana kalau kita menyanyikannya bersama?" tawar Paveina.

Thaldra tersenyum ragu. "Suara nyanyianku mungkin tidak seindah milikmu."

Paveina tertawa kecil. "Tidak apa-apa. Yang penting adalah perasaannya." Ia mulai menyanyikan bait pertama, suaranya mengalun merdu. Thaldra bergabung, suaranya sedikit parau namun penuh keikhlasan. Mereka bernyanyi bersama, harmoni suara mereka menyatu dengan alam di sekitar.

Saat lagu berakhir, Paveina memandang Thaldra dengan tatapan lembut. "Lihat? Suaramu menambah keindahan lagu itu."

Thaldra menggeleng sambil tersenyum. "Kau memujiku terlalu tinggi."

"Tidak, aku hanya mengatakan yang sebenarnya," balas Paveina.

Malam semakin larut, namun keduanya belum ingin beranjak. Bintang jatuh melintas di langit, meninggalkan jejak cahaya yang cepat menghilang.

"Pernahkah kau membuat permohonan saat melihat bintang jatuh?" tanya Paveina.

"Beberapa kali, saat masih kecil," jawab Thaldra. "Tapi sekarang, aku merasa sudah mendapatkan apa yang kuinginkan."

Paveina menatapnya dalam. "Dan apa itu?"

"Kamu," jawab Thaldra tanpa ragu.

Paveina tersipu, wajahnya memerah. "Kau selalu bisa membuatku kehabisan kata-kata."

Thaldra meraih tangan Paveina, menggenggamnya erat. "Aku bersyukur dipertemukan denganmu. Kau memberiku alasan untuk terus maju."

"Dan aku bahagia bisa menjadi bagian dari hidupmu," balas Paveina.

Angin malam mulai terasa lebih sejuk. "Mari kita kembali ke pondok. Udara semakin dingin," ajak Paveina.

Mereka berjalan kembali, tangan mereka masih saling menggenggam. Sesampainya di pondok, Paveina menyiapkan minuman hangat. Mereka duduk di depan perapian yang menyala, api unggun memancarkan kehangatan dan cahaya oranye yang menenangkan.

"Paveina, bolehkah aku bertanya sesuatu?" ujar Thaldra tiba-tiba.

"Tentu, apa itu?"

"Bagaimana kau bisa tetap begitu tenang dan penuh harapan di tengah dunia yang sedang dilanda kegelapan?"

Paveina menatap api, matanya menerawang. "Mungkin karena aku percaya bahwa selalu ada cahaya di balik kegelapan. Seperti malam yang selalu diikuti oleh pagi. Lagipula, sekarang aku memiliki alasan lebih untuk berharap."

"Apa itu?" tanya Thaldra meski sudah menduga jawabannya.

Paveina menoleh, senyum manis tersungging di bibirnya. "Kamu."

Thaldra merasa hangat di hatinya. "Kau membuatku ingin menjadi orang yang lebih baik."

"Maka jadilah," kata Paveina sambil menyandarkan kepalanya di bahu Thaldra. "Bersama-sama, kita bisa melalui apapun."

Malam itu, mereka berbicara hingga larut, berbagi mimpi dan harapan. Paveina menceritakan impiannya untuk melihat dunia kembali damai, sementara Thaldra berjanji akan berjuang untuk mewujudkannya.

Ketika kantuk mulai menyerang, Paveina menuntun Thaldra ke kamar tamu yang telah disiapkan. "Istirahatlah. Besok kita punya banyak hal yang ingin kita lakukan."

Thaldra menatapnya dengan penuh rasa terima kasih. "Selamat malam, Paveina."

"Selamat malam, Thaldra. Mimpi indah," balasnya sambil menutup pintu perlahan.

---

Fajar menyingsing, sinar matahari pertama menembus tirai, membangunkan Thaldra dari tidurnya. Ia merasa segar dan penuh semangat, berbeda dari sebelumnya. Setelah bersiap, ia menuju dapur dan menemukan Paveina tengah menyiapkan sarapan.

"Selamat pagi," sapa Thaldra dengan ceria.

Paveina menoleh, wajahnya berseri-seri. "Selamat pagi! Tidurmu nyenyak?"

"Seperti batu," jawabnya sambil tertawa. "Apa yang kau masak? Harum sekali."

"Pancake dengan sirup maple dan buah beri. Duduklah, sebentar lagi siap."

Mereka menikmati sarapan bersama, bercanda dan tertawa. Suasana hangat mengisi ruangan, mengusir bayangan gelap yang pernah menghantui Thaldra.

Setelah sarapan, Paveina mengusulkan ide. "Bagaimana kalau kita berjalan-jalan ke hutan bunga? Pemandangannya sangat indah di pagi hari."

"Terdengar menyenangkan. Ayo kita pergi," balas Thaldra antusias.

---

Mereka berjalan menyusuri jalan setapak yang dikelilingi oleh hamparan bunga warna-warni. Kupu-kupu terbang berkeliling, melengkapi keindahan alam yang memukau.

Paveina memetik setangkai bunga berwarna ungu dan menyelipkannya di telinga Thaldra. "Cocok sekali," katanya sambil tertawa.

Thaldra pura-pura cemberut. "Apakah aku terlihat konyol?"

"Justru sebaliknya. Kau tampak mempesona," jawab Paveina dengan mata berbinar.

Mereka melanjutkan perjalanan, berbagi cerita dan candaan. Waktu terasa berjalan begitu cepat ketika mereka bersama.

Saat matahari mulai tinggi, mereka tiba di sebuah bukit yang memberikan pemandangan luas negeri Serenia. Ladang, hutan, dan danau terlihat dari kejauhan, semuanya tampak damai dan indah.

"Tempat ini luar biasa," kata Thaldra terpukau.

"Aku sering datang ke sini ketika ingin menyegarkan pikiran," ungkap Paveina.

Thaldra duduk di atas rumput, mengajak Paveina untuk bergabung. "Terima kasih telah membawaku ke sini."

Paveina duduk di sampingnya. "Aku senang kau menikmati waktumu di sini."

Mereka terdiam sejenak, menikmati angin sepoi yang membelai wajah mereka. Thaldra akhirnya berbicara. "Paveina, aku ingin kau tahu bahwa kau telah mengubah hidupku dalam waktu singkat ini."

Paveina menatapnya dengan serius. "Aku juga merasakan hal yang sama."

Thaldra menghela napas. "Namun, aku tidak bisa mengabaikan tanggung jawabku. Kegelapan masih ada di luar sana, dan aku harus melakukan sesuatu."

Paveina menggenggam tangannya. "Aku mengerti. Dan seperti yang pernah kukatakan, aku akan mendukungmu. Kita bisa menghadapi semua itu bersama."

Thaldra menatap mata Paveina yang penuh ketulusan. "Aku beruntung memiliki dirimu di sisiku."

Paveina tersenyum. "Dan aku beruntung bisa mencintaimu."

Setelah hari-hari penuh kehangatan dan kebahagiaan, Thaldra menyadari bahwa Paveina memiliki potensi magis yang luar biasa. Dalam dirinya terpendam kekuatan yang belum terasah, menunggu untuk ditempa dan dikembangkan. Suatu pagi, saat matahari baru saja menyinari Serenia dengan cahayanya yang lembut, Thaldra mengajukan usulan.

"Paveina, bagaimana jika aku mengajarkanmu beberapa teknik magis?" tanyanya sambil menatapnya dengan serius.

Paveina terkejut, namun matanya berbinar. "Benarkah? Kau pikir aku bisa mempelajarinya?"

"Tentu saja," jawab Thaldra dengan senyum meyakinkan. "Kau memiliki bakat alami. Aku bisa merasakannya sejak awal."

Paveina menggigit bibir bawahnya, antara antusias dan sedikit gugup. "Baiklah, aku bersedia mencoba."

Mereka memilih sebuah lapangan terbuka di tepi hutan, dikelilingi oleh pepohonan tinggi yang memberikan keteduhan. Burung-burung bernyanyi riang, dan angin sepoi-sepoi meniup lembut, menciptakan suasana ideal untuk berlatih.

Thaldra berdiri di hadapan Paveina, matanya menunjukkan kesungguhan. "Pertama-tama, kau harus memahami dasar dari energi magis. Rasakan aliran energi di sekitarmu—udara, tanah, kehidupan. Semuanya saling terhubung."

Paveina memejamkan mata, mencoba merasakan apa yang dijelaskan Thaldra. "Aku... aku bisa merasakannya," bisiknya. "Seperti getaran halus yang mengalir melalui tubuhku."

"Bagus," puji Thaldra. "Sekarang, cobalah untuk mengumpulkan energi itu di telapak tanganmu."

Paveina mengangkat kedua tangannya, telapak tangan menghadap ke atas.

Wajahnya menunjukkan konsentrasi penuh. Perlahan, cahaya lembut mulai berkumpul di tangannya, membentuk bola kecil yang berdenyut.

Thaldra tersenyum kagum. "Luar biasa, kau cepat sekali menangkapnya!"

Paveina membuka mata, terkejut melihat cahaya di tangannya. "Aku berhasil!" serunya dengan gembira.

Namun, seketika itu juga, bola energi tersebut meledak kecil, membuat Paveina terkejut dan hampir kehilangan keseimbangan. Thaldra dengan sigap menangkapnya sebelum terjatuh.

"Ups, hati-hati," ujarnya sambil tertawa ringan.

Paveina tertawa malu. "Maaf, aku terlalu bersemangat."

Thaldra menatapnya dengan mata nakal. "Tidak apa-apa. Kecerobohan kecil membuatmu semakin manis."

Paveina mencubit lengannya dengan bercanda. "Jangan menggoda!"

"Baiklah, baiklah," Thaldra mengangkat tangan tanda menyerah. "Mari kita lanjutkan."

Latihan berlanjut dengan intensitas yang semakin tinggi. Thaldra mengajarkan berbagai teknik—mulai dari manipulasI elemen dasar seperti air dan angin, hingga pelindung magis dan serangan energi. Setiap teknik memerlukan konsentrasi dan kontrol yang lebih besar.

Pada satu kesempatan, Paveina mencoba menciptakan semburan air dari kolam kecil. Dengan gerakan tangan yang anggun, ia berhasil membentuk aliran air yang melayang di udara. Namun, Thaldra dengan jahil mengirimkan angin kecil yang membuat aliran air itu berbelok dan membasahi Paveina.

"Hei !" serunya kaget, rambut dan pakaiannya basah oleh percikan air.

Thaldra tertawa terbahak-bahak. "Maaf, aku tidak bisa menahan diri!"

Paveina menyipitkan mata, senyum nakal terukir di wajahnya.

"Baiklah, kau minta sendiri." Ia menggerakkan tangannya, dan tiba-tiba, bola air meluncur cepat ke arah Thaldra, membasahi dirinya dari kepala hingga kaki.

Sekarang giliran Paveina yang tertawa. "Kita impas!"

Thaldra menyeka wajahnya, masih tersenyum. "Aku lupa betapa cepatnya kau belajar."

Mereka berdua tertawa bersama, menghilangkan kelelahan dan ketegangan. Suasana latihan menjadi lebih hidup dan penuh dengan canda.

Seiring waktu, kemampuan Paveina berkembang pesat. Gerakan-gerakannya semakin luwes, kontrolnya atas energi magis semakin stabil. Thaldra mengamatinya dengan bangga.

"Sepertinya aku mulai kehabisan hal untuk diajarkan padamu," katanya suatu hari.

Paveina menggeleng. "Tidak mungkin. Aku yakin masih banyak yang belum kuketahui."

"Baiklah," Thaldra berpikir sejenak. "Bagaimana kalau kita mencoba teknik teleportasi jarak pendek?"

Mata Paveina melebar. "Bukankah itu teknik tingkat lanjut?"

"Memang, tapi aku yakin kau bisa melakukannya," jawab Thaldra meyakinkan.

Mereka berdiri berhadapan, Thaldra menjelaskan langkah-langkahnya dengan detail. "Kunci utamanya adalah visualisasi dan konsentrasi. Bayangkan tempat yang ingin kau tuju, rasakan energimu menyatu dengan ruang di sekitarmu."

Paveina menutup mata, mengambil napas dalam. Perlahan, tubuhnya mulai diselimuti cahaya tipis. Namun, saat mencoba berpindah, ia kehilangan konsentrasi dan terjatuh ke tanah.

Thaldra segera menghampiri.

"Kau tidak apa-apa?"

Paveina mengangguk sambil tersenyum kecut. "Sepertinya itu lebih sulit dari yang kukira."

Thaldra membantu menariknya berdiri. "Jangan khawatir, butuh waktu untuk menguasainya." Ia menatapnya dengan tatapan iseng. "Atau mungkin kamu teralihkan karena kehadiranku yang menawan ?"

Paveina mendengus sambil tersenyum. "Percaya diri sekali."

"Hei, aku hanya menyatakan kemungkinan," balas Thaldra dengan ekspresi pura-pura serius.

Paveina meninju pelan pundaknya. "Ayo, kita coba lagi."

Latihan terus berlanjut, dengan semangat dan kemauan keras.

Paveina mencoba berulang kali, dan akhirnya, ia berhasil berpindah beberapa meter ke depan.

"Aku berhasil!" serunya dengan gembira, wajahnya berseri-seri.

Thaldra bertepuk tangan. "Aku tahu kamu bisa melakukannya ! Lihat, hanya butuh sedikit usaha ekstra."

Paveina berlari menghampirinya, tanpa sadar memeluk Thaldra erat. "Terima kasih telah percaya padaku."

Thaldra terkejut sejenak, namun kemudian membalas pelukannya dengan hangat. "Aku selalu percaya padamu, Paveina."

Mereka melepaskan pelukan, menyadari kedekatan mereka. Mata mereka bertemu, dan sejenak waktu seolah berhenti. Namun, Paveina segera mengalihkan pandangan dengan pipi memerah.

"Kita... kita harus melanjutkan latihan," ujarnya gugup.

Thaldra tersenyum lembut. "Tentu."

Hari demi hari, latihan mereka semakin intensif. Mereka mulai berlatih teknik bertarung bersama, menggabungkan kekuatan mereka. Thaldra mengajarkan strategi dan taktik, sementara Paveina menambahkan sentuhan kreatif dalam penggunaan magisnya.

Suatu sore, saat matahari mulai terbenam, mereka memutuskan untuk beristirahat di bawah pohon rindang. Keringat mengalir di wajah mereka, namun senyum kepuasan terpancar jelas.

"Kau tahu, aku tidak pernah merasa sehidup ini," kata Paveina sambil memandang langit yang mulai berwarna jingga.

"Aku juga merasakannya," balas Thaldra. "Bersamamu, segala sesuatunya terasa lebih berarti."

Paveina menoleh, menatap Thaldra dengan penuh arti. "Apa rencanamu selanjutnya?"

Thaldra menghela napas pelan. "Dengan kemampuan yang kita miliki sekarang, mungkin sudah saatnya kita menghadapi kegelapan yang mengancam dunia."

Paveina mengangguk. "Aku siap. Bersamamu, aku merasa mampu menghadapi apapun."

Thaldra menggenggam tangannya. "Kita akan melakukannya bersama-sama."

Malam itu, mereka duduk di depan api unggun.

Setelah hari yang melelahkan.

Paveina menatap api dengan mata yang berbinar. "Hari ini sungguh luar biasa," katanya lembut. "Aku tak menyangka bisa mempelajari begitu banyak hal dalam waktu singkat."

Thaldra tersenyum tipis.

Melihat raut wajahnya yang murung, Paveina bertanya dengan khawatir, "Ada apa, Thaldra? Kamu tampak gelisah."

Thaldra menghela napas dalam. "Paveina," ucapnya pelan. "Lupakan saja perkataanku yang baru saja aku ucapkan."

Paveina terkejut. "Maksudmu? Tentang rencana kita ?"

Ia mengangguk ragu. "Aku berpikir mungkin kita terlalu terburu-buru. Kegelapan yang akan kita hadapi bukanlah hal yang sepele. Aku tidak ingin membahayakanmu."

Paveina menatapnya dengan lembut. "Thaldra, aku sudah memutuskan untuk bersamamu. Apapun risikonya."

"Namun, aku belum yakin bisa melindungimu," jawab Thaldra, matanya penuh keraguan. "Aku tak akan memaafkan diri sendiri jika sesuatu terjadi padamu."

Paveina tersenyum, lalu meletakkan tangannya di atas tangan Thaldra. "Kita akan saling melindungi. Bukankah itu yang kau katakan sebelumnya?"

Thaldra menatap dalam mata Paveina, mencari keyakinan di sana. "Aku hanya khawatir. Dunia di luar Serenia begitu berbahaya."

"Dan justru karena itu kita harus berjuang bersama," balas Paveina tegas. "Aku tidak ingin hanya berdiam diri sementara kau menghadapi semua itu sendirian."

Keheningan sejenak menyelimuti mereka. Hanya suara api yang berderak dan gemerisik dedaunan yang terdengar.

Thaldra akhirnya tersenyum kecil. "Kau benar. Maafkan aku telah meragukanmu."

Paveina menggenggam tangannya lebih erat. "Tidak apa-apa. Aku mengerti kekhawatiranmu. Tapi ingatlah, kita lebih kuat jika bersama."

Ia mengangguk. "Terima kasih telah mengerti."

Paveina menggeser duduknya lebih dekat. "Sekarang, bisakah kita lupakan kesedihan ini dan menikmati malam yang indah?"

Thaldra tersenyum lebar. "Ide yang bagus."

Mereka mulai berbicara tentang hal-hal ringan—kisah masa kecil, mimpi-mimpi sederhana, dan kenangan lucu. Tawa mereka menggema di malam yang sunyi, mengusir kesepian yang sempat hadir.

"Apakah kau ingat saat kau membasahiku dengan air tadi?" tanya Paveina sambil tertawa.

Thaldra mengangguk sambil tertawa kecil. "Itu karena kau terlihat begitu lucu saat terkejut."

Paveina pura-pura cemberut. "Kau memang nakal."

"Kau menyukainya, kan?" goda Thaldra.

Paveina mengangguk pelan. "Mungkin sedikit."

Mereka saling berpandangan, senyuman menghiasi wajah keduanya. Suasana menjadi hening namun penuh kehangatan.

"Terkadang aku berharap waktu bisa berhenti seperti ini," bisik Paveina.

Thaldra menatap langit berbintang. "Aku juga. Di sini, bersama-sama, semua terasa sempurna."

Paveina bersandar di bahu Thaldra, merasakan detak jantungnya yang tenang. "Terima kasih telah memberikan momen seperti ini."

"Akulah yang harus berterima kasih," jawab Thaldra. "Kehadiranmu memberiku kekuatan."

Mereka duduk dalam diam, menikmati keindahan malam. Angin sepoi membawa aroma bunga liar, menambah kesempurnaan suasana.

Waktu berlalu tanpa mereka sadari. Ketika api unggun mulai meredup, Paveina mengangkat kepala. "Sepertinya sudah larut. Kita harus beristirahat."

Thaldra mengangguk. "Besok adalah hari baru."

Mereka berdiri, saling tersenyum. Saat hendak berpisah menuju tenda masing-masing, Paveina tiba-tiba menghentikan langkahnya.

"Thaldra," panggilnya lembut.

"Ya?" Thaldra berbalik.

Paveina mendekat, memberikan kecupan ringan di pipi Thaldra. "Selamat malam."

Wajah Thaldra memerah samar. "Selamat malam, Paveina."

Dengan hati yang berdebar, mereka masuk ke tenda masing-masing. Malam itu, mimpi indah mengiringi tidur mereka, dipenuhi harapan dan perasaan yang tak terucapkan.

---

Pagi datang dengan sinar matahari yang hangat. Burung-burung berkicau riang, membangunkan mereka dari lelap. Thaldra keluar dari tendanya, meregangkan tubuh sambil menghirup udara segar.

"Selamat pagi !" sapa Paveina ceria, sudah siap dengan sarapan sederhana di atas meja kayu.

"Selamat pagi," balas Thaldra dengan senyum lebar. "Kau bangun lebih awal."

Paveina mengangkat bahu sambil tersenyum. "Aku pikir, hari ini kita butuh energi ekstra. Jadi, aku menyiapkan sarapan khusus."

Mereka duduk bersama, menikmati hidangan sambil bercanda. Kegelisahan yang sempat ada terasa menghilang, digantikan oleh keakraban yang hangat.

Setelah sarapan, Paveina menatap Thaldra dengan mata berbinar. "Apa rencanamu hari ini?"

Thaldra berpikir sejenak. "Mungkin kita bisa berjalan-jalan di sekitar sini. Siapa tahu kita menemukan sesuatu yang menarik."

"Itu ide bagus," setuju Paveina. "Aku ingin menunjukkan tempat favoritku yang lain."

Mereka berkemas ringan dan mulai berjalan menyusuri hutan kecil. Langkah mereka ringan, diselingi percakapan hangat dan tawa.

Saat matahari mencapai puncaknya, mereka tiba di sebuah air terjun kecil yang tersembunyi di balik pepohonan rindang. Airnya jernih, memercik membentuk pelangi kecil di bawah sinar matahari.

"Ini indah sekali," ujar Thaldra terpukau.

Paveina tersenyum puas. "Aku sering datang ke sini untuk menyegarkan pikiran."

Tanpa pikir panjang, mereka melepas sepatu dan mencelupkan kaki ke dalam air yang sejuk. Sensasi dingin menyegarkan membangkitkan semangat mereka.

"Airnya segar sekali," kata Thaldra sambil menatap Paveina.

"Ya, tempat ini selalu membuatku merasa lebih baik," balasnya.

Thaldra menatap mata Paveina yang berkilau. "Aku senang bisa berbagi momen ini denganmu."

Paveina tersipu. "Aku juga, Thaldra."

Mereka duduk di tepi air terjun, menikmati suara gemericik air dan kicauan burung. Waktu seolah berhenti, membiarkan mereka tenggelam dalam kebahagiaan sederhana.

Ketika sore menjelang, mereka memutuskan untuk kembali. Di perjalanan pulang, Paveina menggandeng lengan Thaldra. "Terima kasih untuk hari ini."

"Seharusnya aku yang berterima kasih," jawab Thaldra sambil tersenyum.

Setibanya di perkemahan, mereka menyiapkan makan malam bersama.

Suasana hangat dan penuh keakraban terus berlanjut, membuat mereka lupa akan kekhawatiran yang pernah ada.

Malam itu, setelah makan malam, mereka duduk kembali di depan api unggun. Bintang-bintang kembali menghiasi langit, menciptakan pemandangan yang menakjubkan.

"Paveina," panggil Thaldra pelan.

"Ya?" ia menoleh.

"Aku ingin kau tahu bahwa aku sangat menghargai kehadiranmu. Kau membuat perjalananku lebih berwarna."

Paveina tersenyum lembut. "Begitu juga denganku. Kau membawa kebahagiaan dalam hidupku."

Thaldra meraih tangannya, menggenggamnya erat. "Apapun yang terjadi, mari kita hadapi bersama."

Paveina mengangguk mantap. "Bersama-sama."