Thaldra Soulbone duduk bersila di dalam reruntuhan kuil tua, dikelilingi oleh bayang-bayang yang bergetar di bawah sinar rembulan. Di tangannya, kitab kuno berisi ajaran tentang Ilusionic Fields di buka olehnya, huruf-hurufnya berpendar samar, seolah merespons energi di sekitarnya. Jantungnya berdegup kencang, bukan karena takut, tetapi karena tekad yang membara.
Hari pertama pelatihannya dimulai dengan memahami dasar dari Ilusionic Fields.
Dia harus mengendalikan persepsi ruang dan waktu, menciptakan ilusi yang bukan sekadar bayangan, melainkan realitas yang dapat menipu bahkan dirinya sendiri. Kitab itu mengajarkan bahwa segala sesuatu di dunia ini terikat oleh kesadaran, dan kesadaran itulah yang bisa dimanipulasi untuk menciptakan ilusi yang nyaris nyata.
Thaldra menutup matanya, mencoba merasakan energi di sekitarnya. Awalnya, dia hanya bisa merasakan getaran samar, seperti desiran angin yang menyentuh kulitnya.
Tapi semakin lama dia berkonsentrasi, semakin jelas energi itu terasa.
Dia mulai melihat warna-warna aneh berkedip di balik kelopak matanya, bentuk-bentuk kabur yang berputar di sekelilingnya.
"Kendalikan dirimu... Jangan biarkan ilusi menelanmu," suara dalam hatinya berbisik.
Dia mulai mencoba membentuk medan ilusi pertamanya. Dengan pikirannya, dia membayangkan reruntuhan di sekelilingnya berubah menjadi istana megah, dengan pilar-pilar marmer dan lampu-lampu kristal yang bersinar terang. Namun, gambaran itu langsung bergetar dan hancur seperti kaca yang retak.
Thaldra terengah-engah. "Sulit..."
Namun, Setiap malam, dia kembali ke tempat itu, mempelajari ulang kitabnya, mencoba mengendalikan pikirannya dengan lebih baik.
Dia mulai melatih dirinya dengan menciptakan ilusi sederhana—sebatang pohon, sebuah meja, atau bahkan hanya cahaya kecil di telapak tangannya.
Awalnya, ilusi itu selalu goyah dan cepat menghilang, tetapi perlahan-lahan, dia bisa mempertahankannya lebih lama.
Bulan berganti bulan, dan latihan Thaldra semakin intens.
Dia mulai bisa menciptakan medan ilusi yang lebih luas, mempermainkan waktu dalam batas yang lebih besar.
Pada suatu malam, dia mencoba menciptakan versi dirinya sendiri yang hidup di dalam ilusi. Sosoknya berdiri di hadapannya, tersenyum sinis.
"Apakah kau yakin bisa menguasai ini?" tanya bayangan dirinya.
Thaldra menggertakkan giginya. "Aku tidak punya pilihan."
Pertarungan antara dirinya dan ilusi dirinya pun dimulai.
Setiap serangan yang ia lancarkan dibalas dengan ketepatan yang sama oleh bayangannya.
Ilusi itu menyerangnya dengan kenangan buruk.
Selama berhari-hari, Thaldra terjebak dalam medan ilusinya sendiri, bertarung melawan ketakutan dan keraguannya.
Tubuhnya melemah, pikirannya semakin kacau.
Dengan kesadaran itu, dia berdiri tegak di dalam medan ilusinya.
Bayangannya menyerangnya dengan gelombang energi, tetapi kali ini, Thaldra tidak menghindar.
Dia menerima serangan itu, membiarkannya melebur ke dalam dirinya. Dan saat itu terjadi, ilusi itu lenyap.
Thaldra terbangun, tubuhnya berkeringat, tetapi matanya kini penuh keyakinan.
Dia telah memahami inti dari Ilusionic Fields—ilusi bukan tentang melarikan diri dari kenyataan, melainkan mengendalikan kenyataan itu sendiri.
Dengan kekuatan barunya, dia membuka portal menuju Illusion Field yang lebih dalam, ruang di mana kesadaran dan kenyataan bertemu.
Di dalamnya, dia menemukan pecahan kristal jiwa Flaura yang masih bersinar redup.
Setiap pecahan itu mengandung kenangan, cahaya yang hampir padam.
Dengan hati-hati, dia merangkai pecahan itu, memusatkan energinya, mengalirkan kekuatan yang telah dia pelajari. Dalam sekejap, cahaya mulai bersinar terang.
Kristal itu perlahan berubah menjadi siluet bayangan, lalu menjadi tubuh yang utuh. Dan akhirnya, Flaura berdiri di hadapan thaldra, matanya terbuka dengan kehangatan yang selama ini hilang.
"Terima kasih, Thaldra... Kamu telah membawaku kembali..." bisiknya.
Keesokan harinya tepat saat sinar matahari pagi masih menerangi dengan lembut, Thaldra Soulbone duduk termenung di dalam kamar kecilnya di Negeri TideAschen, menatap kosong ke arah jendela yang terbuka.
Thaldra teringat tentang Veni Dan Gurfeda.
Suara lembut Veni, tangan hangat yang selalu menggendongnya dan Gurfeda yang selalu pergi untuk mencari makanan.
Thaldra mengingat bagaimana Veni selalu berbicara kepadanya saat dia masih bayi.
dia menyadari betapa besar cinta yang diberikan veni kepada thaldra sebagai ibu, Teringat bagaimana Veni menangis diam-diam sambil menggendongnya, berharap bahwa thaldra bisa tumbuh kuat dan hebat di masa depan.
"Thaldra SoulBone, kamu adalah harapan masa depan ini..." kata-kata Veni masih terngiang di kepalanya.
di sisi lain, Gurfeda, selalu menjadi sosok yang tegar.
Dia selalu pergi berburu, memastikan bahwa mereka tidak kelaparan, dan meskipun tak pernah kembali dalam waktu yang lama, dia tetap berusaha yang terbaik demi mereka.
Namun, malam itu, segalanya berubah.
Serangan mendadak menghancurkan rumah mereka.
meskipun thaldra masih bayi, dia bisa merasakan kepanikan yang melingkupi orang-orang di sekitarnya.
Veni berusaha mati-matian melindunginya, bahkan saat dirinya sendiri terkena serangan dan terhempas jauh.
Gurfeda yang baru kembali berusaha menolongnya, tetapi segalanya terjadi begitu cepat.
Flaura datang di detik terakhir, menyelamatkan Thaldra dari bahaya yang lebih besar.
Gurfeda pun tidak pernah sama lagi setelah kejadian itu. Negeri MoonTales hancur, dan para penjaga TideAschen harus mengorbankan ribuan nyawa demi menyelamatkan sisa-sisa yang masih hidup.
Kini, setelah satu bulan berlalu.
"Aku harus menjadi lebih kuat... Aku tidak boleh menyia-nyiakan pengorbanan mereka..." bisiknya lirih.
Malam harinya, Thaldra Soulbone duduk di tepi balkon istana Negeri TideAschen, menatap langit yang dipenuhi bintang.
Angin berhembus lembut, membawa ketenangan yang samar-samar.
Beberapa saat kemudian, Langkah lembut terdengar dari belakang.
Flaura berjalan perlahan mendekatinya, mengenakan jubah putih dengan sulaman emas yang berkilau di bawah cahaya bulan.
Dia melihat Thaldra yang tenggelam dalam pikirannya, lalu duduk di sampingnya tanpa berkata-kata.
Mereka hanya menikmati kesunyian bersama selama beberapa saat.
"Kamu terus termenung, Thaldra," ucap Flaura dengan suara lembutnya. "Apakah luka dalam hatimu masih begitu dalam ?"
Thaldra menghela napas, mencoba menyusun kata-kata. "Aku merasa hampa, Nona Flaura. Aku tahu bahwa aku harus kuat, tapi setiap kali aku mencoba melangkah, kenangan masa lalu selalu menarikku kembali. Aku tidak tahu bagaimana menghadapinya."
Flaura tersenyum tipis dan menatap langit. "Kamu tidak perlu menghadapi semuanya sendirian, Kesedihan dan luka tidak akan menghilang begitu saja, kamu bisa belajar untuk menerima dan menjalani hidup dengan lebih baik."
Dia lalu menatap Thaldra dengan mata yang penuh kelembutan. "Aku ingin membantumu, bukan hanya untuk menguatkan hatimu, tetapi juga agar kamu bisa memahami bahwa ada lebih banyak hal yang bisa kamu pelajari di dunia ini, termasuk sesuatu yang mungkin belum pernah kamu pikirkan—perasaan dan bagaimana memperlakukannya dengan cara yang benar."
Thaldra mengangkat alisnya, sedikit bingung. "Maksudmu ?"
Flaura tersenyum lembut. "Perasaan, Thaldra.
Bagaimana bersikap lebih romantis, bagaimana menghargai dan memahami orang lain dengan hati.
Kamu telah melalui begitu banyak penderitaan, tapi bukan berarti kau tidak pantas merasakan kasih sayang yang sebenarnya."
Thaldra mengalihkan pandangannya, merasa sedikit canggung. "Aku... Aku tidak pernah memikirkan hal semacam itu."
Flaura tertawa kecil. "Itulah yang akan kuajari.
Kamu telah berlatih sihir, bertempur, dan bertahan hidup.
Tapi apakah kamu tahu cara menunjukkan perhatian dengan hal-hal kecil ? Cara membuat seseorang merasa dihargai?"
Thaldra terdiam, lalu menggeleng pelan. "Aku tidak tahu... Bagaimana caranya?"
Flaura bangkit, lalu mengulurkan tangan ke arah Thaldra. "Ayo, aku akan mengajarkanmu sesuatu yang sederhana dulu."
Dengan ragu, Thaldra menerima uluran tangan Flaura.
Mereka berjalan ke taman istana yang dipenuhi bunga-bunga bercahaya di bawah sinar bulan.
Flaura berhenti di dekat air mancur dan berbalik menghadapnya.
"Romantis tidak selalu tentang kata-kata manis atau tindakan besar," jelasnya.
"Kadang, cukup dengan hal-hal kecil seperti memberi perhatian saat seseorang berbicara, atau bahkan sekadar menyiapkan sesuatu yang bisa membuatnya nyaman."
Flaura mengambil sehelai bunga kecil dan menyelipkannya di antara jari-jari Thaldra.
"Ini untukmu. Sekarang coba berikan padaku dengan cara yang kamu anggap paling tulus."
Thaldra menatap bunga itu, merasa sedikit bingung, tetapi akhirnya dia mengambil napas dalam dan mengulurkan bunga itu ke Flaura. "Ini... untukmu. Terima kasih telah menemaniku."
Flaura tersenyum lembut, menerima bunga itu dengan anggun. "Itu sudah lebih dari cukup, Thaldra, Tidak ada yang perlu dibuat-buat. Yang penting adalah ketulusan dalam setiap tindakan."
Malam itu, setelah percakapan mereka di taman istana,
"Baiklah, Thaldra," Flaura memulai, suaranya lembut tetapi penuh keyakinan.
"Sekarang kita akan berlatih sesuatu yang sedikit lebih sulit. Kamu sudah memahami dasar-dasarnya, yaitu perhatian dan ketulusan. Sekarang, aku ingin kau belajar bagaimana membuat momen spesial."
Thaldra menatapnya dengan sedikit keraguan. "Momen spesial? Bagaimana caranya ?"
Flaura tersenyum kecil dan mengajak Thaldra duduk di bangku taman, dikelilingi oleh bunga-bunga yang bermekaran.
Thaldra menghela napas, mencoba berpikir.
Dia mengingat bagaimana Gurfeda dan Veni dulu merawatnya dengan penuh kasih sayang, meski mereka tidak pernah mengucapkan kata-kata manis.
Mereka selalu memastikan dia aman, memberinya kehangatan, dan memperlakukannya dengan lembut.
Setelah beberapa saat berpikir, Thaldra menatap sekeliling dan melihat setangkai mawar yang tampak segar di bawah sinar bulan. Dia bangkit, memetik bunga itu dengan hati-hati, lalu berlutut di depan Flaura, menawarkannya dengan penuh rasa hormat.
"Ini untukmu, Flaura," katanya, suaranya lebih lembut dari biasanya. "Aku mungkin belum terlalu memahami banyak hal tentang hal romantis, tapi aku tahu bahwa seseorang yang berharga pantas menerima sesuatu yang indah."
Flaura menerima bunga itu dengan wajah terkejut namun bahagia. Dia tersenyum lembut dan mengangguk. "Itu sudah lebih dari cukup, Thaldra. Romantis bukan tentang melakukan hal-hal besar, tetapi bagaimana kau membuat seseorang merasa dihargai dengan cara yang paling tulus."
Flaura menatapnya dalam-dalam, lalu menggenggam tangannya perlahan.
Hari berikutnya, mereka mengunjungi sebuah kafe kecil di sudut kota TideAschen.
Tempat itu dipenuhi cahaya lilin yang tentram, musik akustik yang lembut mengalun di latar belakang, dan aroma manis teh herbal bercampur rempah memenuhi udara.
Flaura memilih meja di sudut dekat jendela, di mana mereka bisa melihat jalan berbatu yang dihiasi lentera-lentera kecil.
Thaldra duduk dengan sedikit kaku, mencoba memahami situasi ini.
Flaura tersenyum lembut, lalu meletakkan tangannya di atas meja, isyarat halus agar Thaldra lebih santai. "Romantis bukan hanya tentang memberi sesuatu atau menciptakan momen," ucapnya sambil menatapnya dalam. "Kadang, itu tentang bagaimana kau memahami pasanganmu tanpa perlu kata-kata."
Thaldra mengangguk pelan, mencoba menyerap maknanya.
Ia memperhatikan cara Flaura memainkan sendoknya dengan ringan, ekspresi matanya yang lembut, dan bagaimana dia sesekali menyelipkan rambut di balik telinga dengan anggun. Dia sadar, romantisme sejati terletak pada perhatian terhadap hal-hal kecil.
Pelayan datang membawa teh hangat dan kue kecil yang dipesan Flaura. Dia menuangkan teh untuk Thaldra terlebih dahulu sebelum menuang untuk dirinya sendiri.
Thaldra mengambil cangkirnya, memperhatikan uap yang mengepul, lalu dengan perlahan meniupnya sebelum menyeruput. Dia kemudian menatap Flaura, mencoba mencari sesuatu dalam dirinya. "Apa yang membuatmu merasa dihargai, Nona Flaura?" tanyanya dengan nada yang lebih dalam.
Flaura terdiam sejenak, lalu tersenyum hangat. "Ketika seseorang mendengarkan dengan sepenuh hati, mengingat detail kecil tentangku, atau melakukan sesuatu tanpa aku harus memintanya."
Thaldra merenung, lalu mengambil serbet kecil dan dengan hati-hati mengelap sedikit noda teh di ujung bibir Flaura. Gadis itu membeku sesaat, lalu tertawa kecil, wajahnya sedikit memerah. "Kau mulai belajar dengan cepat," gumamnya.
"Aku hanya ingin memastikan kau merasa dihargai," jawab Thaldra dengan nada serius.
Flaura menatapnya dalam-dalam. "Aku menghargai ini"
Thaldra mengangguk, lalu tanpa berpikir panjang, dia meraih tangan Flaura, menggenggamnya dengan lembut. "Aku ingin belajar lebih banyak tentang ini, tentang bagaimana membuat seseorang merasa dicintai dengan cara yang benar."
Flaura tersenyum, kali ini lebih tulus dari sebelumnya. "Kamu sudah berada di jalur yang benar, Thaldra."
Saat Flaura dan Thaldra masih menikmati percakapan mereka, angin dingin tiba-tiba berhembus kencang. Lentera-lentera kecil yang menerangi jalan mulai bergetar, cahayanya berkedip-kedip.
Thaldra segera menyadari ada yang tidak beres. Dia menegakkan tubuhnya,
"Flaura, ada sesuatu yang datang," bisiknya tegang.
Flaura, yang juga merasakan tekanan gelap di udara, mengangguk pelan.
Namun, sebelum mereka sempat bergerak, kegelapan tiba-tiba membanjiri ruangan.
Bayangan hitam merayap dari lantai, melilit kaki mereka dan memaksa mereka tetap di tempat.
Orang-orang di dalam kafe berteriak panik, berlarian mencari perlindungan, tetapi tidak ada jalan keluar. Kegelapan telah menyelimuti seluruh ruangan.
Dari dalam bayangan itu, muncul sosok tinggi berjubah hitam, matanya bersinar merah seperti bara api. Suara beratnya menggema di seluruh ruangan. "Akhirnya, aku menemukan kalian. Waktu kalian telah habis."
Thaldra langsung mencabut pedangnya, melepaskan tebasan energi ke arah sosok tersebut, tetapi serangannya langsung diserap oleh kabut hitam yang melindungi tubuh penguasa kegelapan.
Flaura berusaha membaca mantra perlindungan, tetapi sebelum ia bisa menyelesaikannya, akar-akar hitam keluar dari tanah, membelit tubuhnya dengan kuat.
"Ugh!" Flaura terkejut saat akar-akar kegelapan itu semakin erat mencengkram tubuhnya, menghisap energi sihirnya dengan cepat. Dia merasakan kekuatannya melemah, tubuhnya mulai terasa dingin.
"Flaura !" Thaldra berusaha berlari untuk menolongnya, tetapi sebuah hantaman energi gelap mengenai dadanya dan membuatnya terlempar ke belakang, menghantam salah satu meja kafe dengan keras. Tubuhnya terbanting ke lantai, darah mengalir dari sudut bibirnya.
Sosok berjubah hitam itu mendekati Flaura yang kini tak berdaya, tertahan oleh tembikar akar kegelapan yang terus menyerap kekuatannya. "Sihirmu kuat, tetapi tidak cukup untuk melawanku. Kau akan lenyap."
Flaura berusaha melepaskan diri, tetapi semakin dia melawan, semakin cepat energinya terkuras. Tatapannya mulai redup, tubuhnya melemah, dan akhirnya kepalanya terkulai. Kegelapan mulai menyelimuti tubuhnya perlahan.
Thaldra yang masih terkapar di tanah, mengerang dan berusaha bangkit. Namun, setiap otot di tubuhnya terasa berat, seolah ada kekuatan tak kasat mata yang menahannya. Dia menggertakkan giginya, mencoba mengumpulkan kekuatan terakhirnya. Dia tidak bisa membiarkan Flaura kalah.
Dengan sisa tenaganya, Thaldra menghantam tanah dengan kepalan tangannya, menciptakan gelombang energi yang mengusir sebagian kegelapan di sekitarnya. "Lepaskan dia!" teriaknya dengan penuh amarah.
Sosok berjubah hitam itu menoleh ke arahnya, lalu tertawa rendah. "Kau masih berani melawan dalam keadaan seperti ini ?, Menyedihkan."
Dengan satu ayunan tangannya, kekuatan hitam kembali menghantam Thaldra, membuatnya kembali tersungkur ke tanah.
Penglihatannya mulai kabur, napasnya tersengal. Dia tidak bisa bergerak lagi.
Tepat saat semuanya tampak berakhir, sosok berjubah hitam itu tiba-tiba berhenti. Mata merahnya menyipit, seolah mendengar sesuatu.
Dia berbalik, dan dengan suara yang dingin berbisik, "Untuk saat ini, aku akan pergi... Tapi ini belum berakhir."
Tanpa peringatan, tubuhnya perlahan menghilang ke dalam bayangan, meninggalkan suara angin yang berdesir dingin. Begitu dia menghilang, akar-akar hitam yang membelit Flaura mulai mengendur dan mengering, sementara energi gelap di dalam kafe perlahan menghilang.
Thaldra, dengan susah payah, merangkak ke arah Flaura yang tergeletak lemah.
Dia menggenggam tangan gadis itu dengan gemetar. "Flaura… bangun…"
Mata Flaura perlahan terbuka, nafasnya masih lemah, Dengan suara nyaris tak terdengar, dia berbisik, "Aku..., aku baik-baik saja..."
Thaldra menggenggam erat tangan Flaura, merasakan betapa dingin dan lemasnya kulit gadis itu.
Jantungnya berdegup kencang bercampur panik dan putus asa. Ia tahu, waktu mereka sangat terbatas.
Energi Flaura telah terkuras habis oleh akar kegelapan, dan tubuhnya tampak begitu rapuh, seperti lilin yang hampir padam.
Dengan sisa tenaga yang nyaris tak ada, Thaldra mencoba mengumpulkan fokus. Ia harus melakukan sesuatu, apa pun, untuk menyelamatkan Flaura.
Pikirannya kacau.
"Flaura... bertahanlah," bisiknya lirih, suaranya bergetar. Ia meletakkan tangan kirinya yang bebas di atas dada Flaura, tepat di atas jantungnya.
Mata Thaldra terpejam, ia mencoba menyalurkan sedikit energi terakhir yang tersisa di dalam tubuhnya, Energi itu terasa begitu tipis, seperti benang sutra yang hampir putus, namun ia tetap berusaha menariknya keluar.
Di dalam tubuh Thaldra, Ia merasakan sakit yang luar biasa, seperti ada besi panas yang membakar tulang-tulangnya.
Menyalurkan energi dalam keadaan terluka parah dan kelelahan seperti ini adalah tindakan nekat, bahkan bisa membahayakan nyawanya sendiri.
Namun, Thaldra tidak peduli. Flaura adalah sahabatnya, lebih dari itu, ia adalah... ia tidak bisa membayangkan dunia tanpanya.
Perlahan, sangat perlahan, setitik cahaya keemasan mulai terpancar dari tangan Thaldra yang berada di dada Flaura.
Cahaya itu redup, hampir tak terlihat, namun ada kehangatan yang terpancar darinya.
Thaldra terus berusaha menyalurkan energi sedikit demi sedikit, ke dalam tubuh Flaura.
Wajah Flaura masih pucat, namun Thaldra melihat ada sedikit warna kembali ke bibir gadis itu.
Napasnya yang tadinya begitu lemah, kini tampak sedikit lebih teratur.
Mata Flaura perlahan terbuka, menatap Thaldra dengan pandangan sayu.
"Thal...dra..." bisik Flaura dengan suara yang sangat lemah, hampir tidak terdengar.
"Aku di sini, Flaura. Bertahanlah," balas Thaldra, suaranya tercekat. Ia berusaha tersenyum, meskipun bibirnya terasa kaku dan wajahnya menahan sakit.
Flaura mencoba mengangkat tangannya yang dingin dan gemetar, menyentuh pipi Thaldra yang penuh luka dan darah kering.
Sentuhan itu begitu lemah, namun bagi Thaldra terasa seperti aliran listrik yang membangkitkan semangatnya.
"Terima...kasih..." bisik Flaura lagi, matanya berkaca-kaca.
Thaldra menggelengkan kepalanya pelan. "Jangan bicara, simpan energimu. Aku akan membuatmu pulih."
Ia terus menyalurkan energi, merasakan setiap tetes energinya terkuras habis.
Tubuhnya semakin lemas, penglihatannya mulai berkunang-kunang.
Namun, ia tidak berhenti.
Tiba-tiba, tubuh Thaldra kehilangan keseimbangan. Energi nya benar-benar habis.
Ia jatuh terduduk di samping Flaura, tubuhnya ambruk tak berdaya. Ia masih menggenggam tangan Flaura, namun kesadarannya perlahan menghilang.
Semuanya menjadi gelap.
Flaura merasakan genggaman tangan Thaldra mengendur, tubuh pemuda itu terkulai di sampingnya.
Matanya terbelalak, panik menyergap hatinya. "Thaldra!" panggilnya, meskipun suaranya hanya bisikan lirih. Ia mencoba mengguncang tubuh Thaldra dengan tangannya yang lemah, namun pemuda itu tidak bergerak.
Ia menatap wajah Thaldra yang pucat, mata terpejam, napasnya sangat pelan dan hampir tak terasa. Jantung Flaura berdebar kencang. Apakah... apakah Thaldra...
Air mata mulai menggenang di pelupuk mata Flaura.
Ia tidak ingin percaya. Thaldra tidak mungkin meninggalkannya.
Tidak setelah semua yang mereka lalui bersama. Tidak setelah Thaldra mempertaruhkan nyawanya untuk menyelamatkannya.
Dengan sisa kekuatan yang entah dari mana datangnya, Flaura menarik tubuh Thaldra mendekat. Ia memeluk pemuda itu erat, menyembunyikan wajahnya di dada Thaldra yang dingin. Air matanya jatuh membasahi jubah pemuda itu.
"Thaldra... bangunlah... kumohon... jangan tinggalkan aku..." Flaura terisak pelan, suaranya pecah oleh tangis.
Ia merasakan kepedihan yang luar biasa, kehilangan yang begitu dalam menusuk hatinya.
Ia merasa bersalah, merasa menjadi penyebab semua ini. Jika saja ia tidak lengah, jika saja ia lebih kuat... mungkin Thaldra tidak akan seperti ini.
Saat Flaura terus menangis dan meratapi keadaan Thaldra, tiba-tiba ia merasakan sesuatu yang aneh.
Dada Thaldra, tempat ia menyembunyikan wajahnya, terasa sedikit berdenyut. Ia mengangkat kepalanya perlahan, menatap wajah Thaldra dengan pandangan penuh harap dan ragu.
Mata Thaldra perlahan terbuka. Meskipun masih terlihat lemah dan linglung, mata itu menatap Flaura dengan tatapan lembut dan menenangkan. Sebuah senyum tipis terukir di bibir Thaldra.
"Kamu... menangis ?" bisik Thaldra dengan suara serak, berusaha bercanda meskipun napasnya masih tersengal.
Flaura tertegun, air matanya berhenti mengalir. Ia menatap Thaldra tak percaya, lalu tawa kecil bercampur lega keluar dari bibirnya. "Kamu... kamu membuatku takut !" serunya, meskipun suaranya masih bergetar karena emosi. Ia memukul pelan dada Thaldra dengan lemah, meskipun pukulan itu lebih terlihat seperti sentuhan kasih sayang.
Thaldra terkekeh pelan, meskipun kemudian meringis kesakitan. "Maaf... aku hanya... pingsan sebentar."
Ia mencoba duduk, namun tubuhnya masih terlalu lemah.
Flaura segera membantunya, menyandarkan tubuh Thaldra di salah satu kursi kafe yang masih utuh.
"Jangan bercanda seperti itu lagi," kata Flaura dengan nada tegas namun penuh perhatian.
Ia memeriksa luka-luka Thaldra dengan teliti, memastikan pemuda itu tidak mengalami luka yang lebih parah dari yang terlihat.
"Aku janji," balas Thaldra sambil tersenyum tulus. Ia menatap Flaura lekat-lekat, mengagumi kecantikan gadis itu meskipun dalam keadaan lemah dan terluka. "Kau baik-baik saja ?" tanyanya khawatir.
Flaura mengangguk pelan. "Ya, berkatmu. Terima kasih, Thaldra. Kamu menyelamatkanku. "
"Kita saling menyelamatkan," koreksi Thaldra dengan lembut. "~~?"
Flaura tersenyum lebar, matanya kembali bersinar. "Tentu saja.."
Saat keduanya saling tersenyum lega dan saling menguatkan, tiba-tiba terdengar suara langkah kaki mendekat dari luar kafe.
Suara itu semakin lama semakin jelas, diiringi suara obrolan yang ramai dan riang.
Thaldra dan Flaura saling pandang, sedikit bingung.
"Siapa yang datang? Apakah itu penduduk desa? Atau... mungkin musuh yang kembali ?"
Pintu kafe terbuka perlahan, dan sosok-sosok muda dengan pakaian sederhana dan wajah ramah masuk ke dalam.
Mereka semua adalah gadis-gadis muda, dengan usia yang hampir sama dengan Flaura, atau bahkan lebih muda.
Mata mereka membulat saat melihat kondisi kafe yang berantakan dan kedua orang asing yang terluka di dalamnya.
Salah seorang gadis muda yang tampak sedikit lebih berani dari yang lain, melangkah maju dengan ragu-ragu. "A... apa yang terjadi di sini?" tanyanya dengan suara lembut namun penasaran.
Thaldra dan Flaura saling pandang lagi, lalu tersenyum lega.
Para gadis muda dari Everspring segera bergerak dengan sigap setelah melihat kondisi Thaldra dan Flaura yang terluka parah.
mereka mulai mengumpulkan peralatan dan membawa keduanya keluar dari kafe yang telah porak-poranda.
"Cepat, kita harus membawa mereka ke rumah penyembuhan!" seru gadis berambut cokelat dengan pakaian sederhana.
Flaura, yang masih lemah, berusaha untuk berjalan sendiri, tetapi tubuhnya belum sepenuhnya pulih. Salah satu gadis mendekatinya dan dengan lembut membantu menopangnya. "Jangan memaksakan diri, nona. Kami akan merawat kalian," ucapnya dengan suara menenangkan.
Sementara itu, Thaldra diangkat oleh dua gadis lainnya. Wajahnya pucat,
Setelah perjalanan beberapa menit melalui jalan berbatu, mereka tiba di sebuah rumah penyembuhan.
Thaldra dibaringkan di atas tempat tidur yang terbuat dari anyaman rumput penyembuh, sementara Flaura ditempatkan di sisi lain ruangan.
Gadis-gadis itu mulai bekerja, beberapa mengambil air hangat, yang lain menggiling ramuan penyembuhan, dan seorang gadis mulai mengusap luka-luka Thaldra dengan kain lembut yang telah direndam dalam cairan penyembuh.
Flaura menatap mereka dengan kagum. "Kalian sangat terampil... apakah kalian semua penyembuh ?"
Gadis pemimpin tersenyum. "Kami bukan penyembuh dalam arti yang sesungguhnya, tapi kami telah mempelajari seni penyembuhan dari nenek moyang kami."
Flaura mengangguk pelan, merasa lega bahwa mereka berada di tangan yang baik. Sementara itu, Thaldra mulai menggeliat lemah, tubuhnya perlahan bereaksi terhadap ramuan penyembuhan yang diberikan kepadanya.
Malam berlalu dengan perawatan intensif yang dilakukan tanpa henti.
Luka-luka Flaura dibalut dengan daun herbal yang mampu mempercepat regenerasi, sementara Thaldra diberikan eliksir yang membantu mengembalikan energi tubuhnya. Seorang gadis duduk di sampingnya, mengawasi dengan penuh perhatian, memastikan dia tetap bernapas dengan stabil.
Saat fajar mulai menyingsing, Flaura merasa tubuhnya lebih ringan. Ia mencoba duduk, meskipun masih lemah, tetapi jauh lebih baik dibandingkan sebelumnya. Ia menoleh ke arah Thaldra, yang masih terbaring dengan napas yang lebih stabil.
Kemudian, kelopak mata Thaldra bergerak perlahan sebelum akhirnya terbuka.
Cahaya pagi menyentuh wajahnya saat dia menatap sekeliling dengan bingung, lalu pandangannya bertemu dengan Flaura yang tersenyum lega.
"~~" ucapnya dengan suara pelan.
Thaldra mengerjapkan matanya, mencoba memahami situasi. "ini di mana...?"
"Di desa Everspring. Mereka menyelamatkan kita," jawab Flaura sambil menunjuk gadis-gadis yang masih sibuk dengan peralatan penyembuhan mereka.
Seorang gadis muda dengan rambut pirang panjang mendekat, membawa semangkuk sup herbal. "Ini akan membantu memulihkan kekuatanmu," katanya dengan lembut, menyerahkan mangkuk itu kepada Thaldra.
Thaldra mengangguk pelan, lalu mencoba menyeruput sup yang hangat itu. Rasanya pahit, tetapi efeknya langsung terasa di tubuhnya. Energinya perlahan kembali, meskipun masih jauh dari normal.
Flaura menatapnya dengan penuh perhatian.
Thaldra menatapnya dalam-dalam, lalu tersenyum lemah. "~~"
Flaura tersenyum, kali ini lebih lega.
Gadis-gadis Itu Juga Ikut tersenyum kecil,
Saat matahari mulai naik lebih tinggi, suasana di rumah penyembuhan mulai tenang.
Langit di atas medan perang yang tak dikenal itu berwarna merah tua, seperti darah yang meresap ke dalam awan.
Pekikan senjata beradu memenuhi udara, suara dentingan logam bercampur dengan jeritan dan pekikan terakhir dari mereka yang tak berujung.
Pejuang Cahaya dipimpin oleh seorang prajurit legendaris bernama Orinath, bergerak dengan ketepatan dan kekuatan yang luar biasa.
Pedang mereka menyala dengan energi suci, menebas dan menghancurkan setiap bayangan kegelapan yang muncul dari Pejuang Terlarang.
Sementara itu, Pejuang Terlarang, makhluk-makhluk yang lahir dari kegelapan terdalam, menggunakan kekuatan kutukan dan ilusi untuk mengelabui serta menjerat musuh mereka dalam jebakan mematikan.
Darah mengalir deras di tanah, menciptakan sungai merah yang mengalir di antara reruntuhan medan tempur.
Setiap tebasan pedang diiringi oleh kilatan cahaya dan semburan api kegelapan.
Beberapa Pejuang Cahaya terkena serangan mematikan dari Pejuang Terlarang, tubuh mereka mengerut dan membusuk karena racun gelap yang merayapi pembuluh darah mereka.
Di tengah kekacauan itu, langit mendadak bergetar.
Sebuah pusaran kegelapan muncul, menciptakan badai hitam yang menelan cahaya di sekitarnya
Dari dalam pusaran itu, Renvurega Muncul
Pejuang Cahaya mundur selangkah, merasakan tekanan luar biasa yang memancar dari Renvurega.
Senyum dingin tersungging di wajah entitas ini, matanya menyala merah seperti bara neraka. "Kalian pikir bisa menantangku ? Kalian bukan apa-apa selain serangga kecil yang menunggu diinjak."
Orinath maju, menatap langsung ke mata Renvurega. "Kami tak akan mundur. Bahkan jika harus mati di tempat ini, kami akan menghancurkanmu."
Dengan satu gerakan cepat, Renvurega mengayunkan Emdenika. Gelombang energi kegelapan meledak, menghancurkan tanah dan menciptakan retakan luas di sekelilingnya.
Pejuang Cahaya terpental ke berbagai arah, beberapa di antaranya tak mampu bertahan dari kekuatan mengerikan itu.
Namun, Orinath tetap berdiri. Dia mengangkat pedangnya yang bersinar terang, mengarahkan ujungnya ke arah Renvurega. "Jika kau pikir kegelapanmu bisa menelan segalanya, kau salah. Aku akan menunjukkan kekuatan sejati dari Cahaya."
Orinath mulai menyalurkan energi suci ke dalam pedangnya, membentuk pusaran cahaya yang bergetar hebat. Dia melompat ke depan, melancarkan serangan cepat yang nyaris mengenai Renvurega. Namun, makhluk kegelapan itu menghindar dengan mudah, lalu membalas dengan tebasan Emdenika yang mengirimkan gelombang kegelapan ke arahnya.
Duel keduanya berlangsung dengan kecepatan yang mustahil diikuti oleh mata biasa.
Setiap benturan pedang menghasilkan ledakan energi yang menerangi langit gelap. Sementara itu, Pejuang Cahaya lainnya berusaha mengalahkan Pejuang Terlarang yang masih tersisa, meski jumlah mereka semakin menipis akibat pertumpahan darah yang terus berlangsung.
Namun, Orinath memiliki rencana lain. Dia mengubah strateginya, menunggu celah di pertahanan Renvurega. Saat momen itu datang, dia menghantamkan pedangnya ke tanah, menciptakan medan energi yang menyerap sebagian kegelapan di sekitar mereka.
Renvurega terkejut. Dia merasakan kekuatannya terkuras perlahan, seolah ada tangan tak kasat mata yang menarik sebagian dari esensi kegelapannya. "Apa yang kau lakukan ?!" raungnya marah.
Orinath tersenyum tipis, meskipun tubuhnya mulai melemah karena tekanan dari energi yang dia serap. "Aku mengambil kembali apa yang telah kau curi dari dunia ini. Kegelapanmu tidak sekuat yang kau kira."
Renvurega menggertakkan giginya. Separuh kekuatannya telah terserap, dan untuk pertama kalinya dalam berabad-abad, dia merasa takut. Dia mundur beberapa langkah, lalu mengayunkan Emdenika sekali lagi untuk menciptakan celah teleportasi di udara.
"Ini belum selesai, Pejuang Cahaya! Aku akan kembali, dan saat itu tiba, kalian semua akan lenyap!"
Dengan kata-kata itu, tubuhnya tertelan oleh kegelapan, menghilang dari medan perang.
Pejuang Cahaya yang tersisa menghela napas lega, meskipun banyak dari mereka yang telah gugur.
Orinath jatuh berlutut.
Saat Orinath berlutut, tubuhnya nyaris tak mampu menopang beratnya sendiri setelah pertarungan sengit melawan Renvurega.
Nafasnya tersengal, keringat bercampur darah mengalir di pelipisnya.
Namun, sebelum dia sempat menarik napas panjang, suara gemerisik terdengar dari belakangnya.
Sebuah cambuk berduri melesat dengan kecepatan luar biasa, membelit kakinya dengan kuat sebelum menariknya dengan paksa.
Orinath terjerembab, tanah keras menghantam dadanya, membuatnya merintih kesakitan.
Sebelum dia bisa bereaksi, cambuk itu menyeretnya melintasi tanah yang hancur, membawanya langsung ke hadapan seorang gadis misterius yang berdiri di antara reruntuhan.
Pejuang Cahaya yang lain menyaksikan kejadian itu dengan mata terbelalak.
Mereka segera mencoba mengejar dan menyelamatkan Orinath, namun begitu cambuk itu bersinar dengan aura gelap yang tak dikenal, tubuh Orinath menghilang bersamanya, seolah tertelan oleh kekuatan yang tidak mereka pahami.
Pejuang Cahaya mencari cara untuk menemukan keberadaannya, namun semua upaya mereka sia-sia.
Di sisi lain, Orinath terbangun di sebuah ruangan yang luas dan megah.
Langit-langit dihiasi lampu kristal berpendar lembut, aroma anggur dan dupa menyelimuti udara. Ia masih merasakan nyeri di sekujur tubuhnya, namun yang lebih mengejutkan adalah sosok gadis yang berdiri di dekatnya.
Gadis itu memiliki rambut panjang berwarna ungu gelap, matanya bersinar seperti permata malam, dan bibirnya melengkung dalam senyum penuh misteri. Ia mengenakan gaun sutra berwarna hitam dengan belahan tinggi yang memperlihatkan kulit porselennya.
"Akhirnya kau sadar, Pejuang Cahaya," ucap gadis itu, suaranya terdengar lembut namun mengandung dominasi yang tak terbantahkan.
Orinath berusaha bangkit, namun tubuhnya masih terlalu lemah. Gadis itu mendekat, menekan bahunya dengan lembut, memaksanya tetap berbaring.
"Tenanglah. Kau sudah cukup menderita," katanya sambil menuangkan anggur ke dalam cawan perak. "Malam ini, aku ingin memberimu sesuatu yang berbeda. Kau telah bertarung dengan gagah berani, dan aku rasa kau pantas mendapatkan hadiah."
Di hadapan Orinath, hidangan mewah tersaji yaitu aging yang dimasak sempurna, buah-buahan eksotis, dan anggur yang memiliki rasa manis memabukkan.
Gadis itu sendiri menyuapi Orinath, menikmati ekspresi kebingungan yang bercampur dengan kenikmatan di wajahnya.
Setelah semuanya usai, gadis itu membawa Orinath ke sebuah ruangan lain, tempat tidur besar dengan tirai sutra melingkupi mereka.
Orinath masih belum memahami motif gadis itu, namun tubuhnya terlalu lelah untuk menolak.
Malam itu, gadis itu memperlakukannya dengan lembut, memberikan sentuhan yang penuh ketenangan, membiarkannya tenggelam dalam kenyamanan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.
Hari-hari berikutnya, gadis itu merawatnya dengan penuh perhatian.
Ia menggunakan ramuan dan sihir penyembuhan kuno yang secara perlahan mengembalikan kekuatan Orinath. Setiap luka di tubuhnya sembuh tanpa meninggalkan bekas, dan rasa sakit yang menghantuinya selama ini perlahan menghilang.
Di akhir masa penyembuhannya, gadis itu menatapnya dalam-dalam.
"Aku tidak akan menahanmu di sini selamanya, Orinath. Namun, aku ingin kamu mengingat bahwa tidak semua yang berasal dari kegelapan itu jahat, Aku telah memberimu kehidupan baru, dan suatu hari nanti, kamu akan memahami alasan mengapa aku melakukan semua ini."
Dengan berat hati, gadis itu akhirnya melepaskan Orinath, mengembalikannya ke dunia luar dengan tubuh yang telah sepenuhnya pulih.
Renvurega berdiri di hadapan ruang dimensi kegelapan, menatap lima sosok yang terperangkap di dalamnya yaitu Gurfeda, Veni, Peals, Isholdyenca, dan Luna.
Mereka tampak tak berdaya, terperangkap dalam bayang-bayang pekat yang mencekam.
Senyum puas terukir di wajah Renvurega saat ia mengamati mereka satu per satu, menikmati penderitaan yang mereka alami.
Setelah beberapa saat, Renvurega mengalihkan pandangannya dari ruang dimensi tersebut.
Dengan gerakan halus, ia menghilang dari tempat itu dan muncul kembali di Bluvegrave, markas para pejuang terlarang.
Di sana, ia disambut oleh barisan prajurit yang setia, menunggu perintah darinya.
"Waktunya untuk meningkatkan kekuatan kalian," ujar Renvurega dengan suara tegas. "Kita akan memulai pelatihan intensif untuk menghadapi para pejuang cahaya."
Pelatihan dimulai dengan keras. Renvurega mengajarkan berbagai teknik bertarung yang mematikan, strategi perang yang licik, dan penggunaan senjata khusus seperti Emdenika, pedang legendaris yang mampu memanipulasi kegelapan. Para pejuang terlarang berlatih tanpa henti, tubuh mereka ditempa hingga batas kemampuan, sementara Renvurega mengawasi dengan mata tajam, memastikan setiap prajurit mencapai potensi maksimalnya.
Di sisi lain, para pejuang cahaya merasakan ancaman yang semakin mendekat. Mereka menyadari bahwa kekuatan kegelapan sedang mempersiapkan sesuatu yang besar, dan waktu mereka semakin sempit. Namun, tanpa mengetahui lokasi Bluvegrave, mereka kesulitan untuk mengambil tindakan preventif.
Sementara itu, Orinath yang sebelumnya diculik oleh gadis misterius, mulai merasakan perubahan dalam dirinya. Perjamuan, perawatan, dan penyembuhan yang diberikan gadis itu tidak hanya memulihkan fisiknya, tetapi juga mempengaruhi jiwanya. Ia merasa terhubung dengan sumber energi yang asing namun kuat, seolah-olah kegelapan dan cahaya berbaur dalam dirinya.
Renvurega menyelesaikan sesi pelatihan terakhirnya. Ia berdiri di hadapan para pejuang terlarang yang kini tampak lebih kuat dan siap tempur. "Kalian sekarang adalah senjata paling mematikan di bawah komando kegelapan," katanya dengan bangga. "Bersiaplah, karena pertempuran besar akan segera dimulai."
Setelah pelatihan intensif di Bluvegrave, Renvurega merasa yakin bahwa pasukan pejuang terlarangnya siap untuk melancarkan serangan besar-besaran. Dengan strategi licik dan kekuatan yang telah ditingkatkan, mereka mulai menyebarkan kekacauan di berbagai wilayah, menyerang desa-desa, kota-kota, dan benteng-benteng pertahanan para pejuang cahaya.
Di sisi lain, para pejuang cahaya yang dipimpin oleh Thaldra dan Flaura berusaha keras untuk menahan serangan tersebut.
Namun, serangan yang datang bertubi-tubi membuat mereka kewalahan.
Pertempuran demi pertempuran berlangsung sengit, dengan korban berjatuhan di kedua belah pihak. Darah mengalir deras, dan jeritan kesakitan menggema di medan perang.
Di tengah kekacauan ini, Orinath yang sebelumnya telah mengalami perubahan dalam dirinya, mulai merasakan konflik batin.
Energi kegelapan yang menyatu dengan dirinya membuatnya meragukan kesetiaannya kepada cahaya. Namun, melihat penderitaan yang dialami oleh rekan-rekannya, ia memutuskan untuk tetap berjuang di pihak cahaya.
Puncak dari kekacauan ini terjadi ketika Renvurega memutuskan untuk turun langsung ke medan perang Dengan senjata Emdenika di tangannya, ia memimpin serangan frontal ke markas utama pejuang cahaya.
Pertempuran antara Renvurega dan Thaldra berlangsung epik, dengan kekuatan dahsyat yang menghancurkan sekitarnya.
Namun, Renvurega yang licik berhasil melukai Thaldra dengan parah, membuat moral pasukan cahaya menurun drastis.
Melihat situasi yang semakin genting, Flaura dan Orinath bekerja sama untuk menghadapi Renvurega Dengan memanfaatkan energi kegelapan dalam dirinya, Orinath berhasil menyerap sebagian kekuatan Renvurega untuk melemahkannya.
Menyadari bahwa kekuatannya mulai terkuras dan posisinya terancam, Renvurega memutuskan untuk mundur sementara lalu menghilang dari medan perang.
Meskipun Renvurega telah mundur, kerusakan yang ditinggalkan sangat besar.
Banyak pejuang cahaya yang gugur, dan markas mereka hancur lebur.