Chereads / Bintang Penyelamat / Chapter 41 - Takdir Jiwa Terikat Kegelapan

Chapter 41 - Takdir Jiwa Terikat Kegelapan

Thaldra Soulbone terbaring lemah di dalam kamar beraroma garam dan rempah, tubuhnya dibalut perban berwarna keemasan yang memancarkan cahaya samar.

Flaura duduk di sisi ranjang, menatap wajah pucat lelaki itu dengan ekspresi penuh pertimbangan.

Di luar, Negeri TideAschen bergemuruh dengan suara ombak yang menghantam berbatuan.

"Kamu beruntung aku menemukanku tepat waktu," gumam Flaura sambil menyesap teh herbal dari cangkir porselen. "Kalau tidak, tubuhmu sudah menjadi abu di tangan mereka."

Thaldra membuka matanya perlahan, tatapannya kosong namun penuh dengan rasa sakit. "Isholdyenca...?" suaranya serak, hampir tak terdengar.

Flaura menatapnya, lalu menghela napas. "Dia aman, sejauh yang bisa aku ketahui. Tapi aku tidak keberadaan nya ada di mana."

Thaldra menggenggam kain seprai dengan lemah. "Aku harus kembali... Aku harus menyelamatkan—"

"Tidak," potong Flaura tegas. "Kamu belum siap. Tubuhmu masih belum stabil.

Jiwa yang terkoyak seperti milikmu membutuhkan waktu. Dan di sini, di TideAschen.

aku bisa memastikan kamu tidak kembali ke medan perang sebelum waktunya."

Thaldra memejamkan matanya, memahami bahwa perlawanan tidak akan membantunya.

Sementara itu, di sudut lain, Circh berdiri tegak di atas reruntuhan kuil yang terbakar, menghadapi musuhnya—Magister Kegelapan.

Mata sang Magister bersinar merah, jubahnya berkibar diterpa angin penuh energi jahat. "Kamu datang sejauh ini hanya untuk mati, Circh ?"

Circh menyeringai, pedangnya yang berlapis runa berkilat di bawah cahaya bulan. "Aku datang untuk mengakhiri kebiadabanmu. Ini bukan tentang kemenangan atau kematian. Ini tentang menghentikanmu."

Dengan satu gerakan tangan, Magister menciptakan pusaran bayangan yang berputar dengan cepat. Dari dalamnya, tangan-tangan bercakar muncul, mencakar udara seolah-olah ingin merobek kenyataan itu sendiri.

Circh melompat ke depan, menghindari cakar yang hampir merobek tubuhnya. Dengan satu tebasan kuat, dia menghantam pusaran itu, membuatnya retak seperti kaca. Namun, sebelum dia bisa menyerang lebih jauh, Magister menghilang dan muncul di belakangnya, belati beracun siap menusuk punggungnya.

Circh merasakan hawa dingin di belakangnya.

Circh berbalik dengan cepat, mengangkat pedangnya untuk menangkis serangan belati Magister Kegelapan.

Logam bertemu logam, memercikkan cahaya hitam yang menyebar di udara.

Magister itu menyeringai, tekanan dari belatinya semakin kuat, membuat Circh harus mengerahkan seluruh tenaganya untuk menahan serangan itu.

"Kamu sangat cepat," bisik Magister, suaranya seperti desiran angin yang membawa kutukan.

Circh mendengus, lalu dengan gerakan kilat, dia menendang dada Magister, memaksanya mundur beberapa langkah.

Tak ingin memberi waktu bagi musuhnya untuk membalas, Circh melancarkan serangan bertubi-tubi, setiap tebasan pedangnya menimbulkan gelombang energi yang menggetarkan tanah di sekitar mereka.

Magister Kegelapan menangkis dengan belatinya, namun setiap serangan yang dia tahan justru membuat medan di sekitar mereka semakin kacau.

Tiba-tiba, Magister Kegelapan mengangkat tangannya, menciptakan bayangan pekat yang menyelimuti arena pertempuran.

Cahaya bulan menghilang, digantikan oleh kegelapan mutlak.

Circh merasakan hawa dingin merayap di kulitnya, lalu tanpa peringatan, dia merasakan pukulan keras menghantam perutnya. Dia terlempar ke belakang, berguling di atas puing-puing kuil yang terbakar.

Magister Kegelapan muncul di hadapannya, matanya bersinar merah menyala. "Aku sudah bilang, kau datang sejauh ini hanya untuk mati."

Circh menggeram, berusaha bangkit, tapi sebelum dia bisa mengayunkan pedangnya lagi, sebuah semburan energi hitam menerjang tubuhnya. Rasa sakit luar biasa menjalar dari dadanya, seolah-olah ribuan duri mencabik-cabik dagingnya. Dia berteriak, lututnya melemah, pedangnya jatuh ke tanah.

Di kejauhan, Flaura yang tengah menjaga Thaldra Soulbone mendengar teriakan itu. Matanya membelalak, dia segera berdiri dan berlari menuju sumber suara. Thaldra yang masih lemah berusaha bangkit dari ranjangnya. "Circh... dia dalam bahaya..." suaranya serak.

"Jangan bergerak, Thaldra!" Flaura memperingatkan, namun Thaldra mengabaikannya. Dengan sisa kekuatannya, dia mulai melafalkan mantra perlindungan, tangannya terangkat, cahaya keemasan mulai bersinar dari telapak tangannya.

Namun, sebelum mantra itu bisa terbentuk sepenuhnya, Magister Kegelapan mengayunkan tangannya, menciptakan gelombang energi gelap yang langsung menghantam perlindungan Thaldra.

Mantra itu pecah seketika, serpihannya beterbangan seperti kaca yang hancur.

Flaura dan Thaldra saling bertatapan, menyadari betapa besarnya kekuatan musuh mereka.

Magister Kegelapan menatap mereka dengan seringai penuh kemenangan. "Sekarang, siapa yang ingin menjadi korban berikutnya?"

Flaura mengangkat tangannya, mempersiapkan sihirnya.

Thaldra berusaha bangkit meski tubuhnya masih lemah.

Sementara itu, Circh yang masih terbaring di tanah, merasakan energi hitam mulai mengikat tubuhnya, menghisap kekuatannya sedikit demi sedikit.

Energi hitam melilit tubuh Circh semakin erat, mencabik-cabik kekuatannya dari dalam.

Rasa sakit yang mengerikan menjalar ke seluruh tubuhnya, membuat napasnya terputus-putus.

Magister Kegelapan berdiri di atasnya, mata merahnya bersinar dengan rasa puas yang dingin. "Akhirnya, waktumu habis, Circh."

Lalu, ledakan energi hitam meletus dari tubuh Circh.

Gelombang kejutnya menghancurkan reruntuhan di sekelilingnya. Debu dan asap mengepul ke udara, menyelimuti medan pertempuran dalam kegelapan yang pekat.

Magister Kegelapan tertawa, suaranya menggema seperti dentingan bel kematian. "Hahaha! Begitulah nasib seorang yang berani melawanku!"

Di kejauhan, Thaldra yang terbaring lemah hanya bisa menggertakkan giginya.

Dia mencoba bangkit, tetapi tubuhnya masih belum mampu menopang beban sendiri.

Sementara itu, Flaura menatap dengan mata yang membara oleh kemarahan dan ketakutan.

Dia menggenggam kedua tangannya, dan dalam sekejap, cahaya keemasan mulai muncul dari tubuhnya. Gelombang energi yang murni dan terang bersinar di sekelilingnya, menembus kabut gelap yang menyelimuti medan perang.

Magister Kegelapan menyipitkan matanya, sedikit terkejut melihat pancaran cahaya yang tiba-tiba itu. "Apa ini...?"

Flaura tidak menjawab.

Dia menutup matanya, memusatkan pikirannya. Dalam sekejap, ruang di sekitarnya bergetar, membentuk distorsi aneh yang semakin meluas. Dalam hitungan detik, medan pertempuran berubah—reruntuhan menghilang, langit yang gelap kini dipenuhi dengan warna-warna ilusi yang terus bergerak.

Magister Kegelapan merasakan dirinya ditarik ke dimensi lain. Dia mendongak, menyadari bahwa dia kini berada di sebuah tempat yang berbeda, tempat yang tidak nyata—Illusion Field's.

"Kau pikir ini akan membuatku takut?" Magister Kegelapan mencibir, matanya berkilat penuh kesombongan.

Flaura mengangkat tangannya, menciptakan lingkaran sihir yang bersinar terang di udara. "Ini bukan soal takut atau tidak, Magister. Ini tentang keadilan. Ini tentang membalas Circh dan melindungi yang tersisa!"

Tanpa menunggu jawaban, Flaura melesat ke depan, tangannya mengeluarkan semburan cahaya yang melesat seperti tombak ke arah Magister Kegelapan. Sang Magister mengayunkan belatinya, membelah serangan itu, tetapi serangan tersebut tidak berhenti begitu saja. Cahaya itu berputar di udara, membentuk formasi yang kembali menyerang dari berbagai arah.

Magister Kegelapan menggeram, lalu mengangkat kedua tangannya.

Bayangan pekat menyelimuti tubuhnya, membentuk perisai yang menangkis serangan tersebut. Namun, ilusi di dalam medan Flaura tidak membiarkan musuhnya beristirahat. Tanah di bawah Magister Kegelapan tiba-tiba berubah menjadi pusaran yang menariknya ke dalam.

Dia melompat ke belakang, mencoba melarikan diri, tetapi tiba-tiba seribu bayangan Flaura muncul dari segala penjuru, masing-masing menghunuskan serangan cahaya yang berkilauan.

Pertarungan pun meledak dalam rentetan serangan cepat.

Flaura bergerak dengan kelincahan yang luar biasa, melontarkan serangan demi serangan yang membuat Magister Kegelapan terdesak.

Meski demikian, lawannya bukanlah sembarangan.

Dengan setiap ayunan belatinya, dia mampu menghancurkan banyak serangan dan menciptakan ledakan energi hitam yang membelah ruang dimensi.

Flaura melesat di antara bayangan dan cahaya, menghindari serangan energi hitam yang terus memburu. Tangan-tangannya menciptakan formasi sihir yang bercahaya, melepaskan rentetan tombak cahaya yang berputar di udara, menembus bayangan yang melindungi Magister Kegelapan. Namun, setiap kali serangannya hampir mengenai sasaran, belati hitam sang Magister membelahnya dengan presisi yang menakutkan.

Magister Kegelapan tersenyum tipis. "Cahaya memang kuat, tapi kegelapan adalah bayangannya. Aku adalah kegelapan itu sendiri."

Tiba-tiba, bayangan-bayangan di sekelilingnya membentuk tangan-tangan raksasa yang melesat ke arah Flaura. Dia mencoba melompat ke belakang, tetapi satu bayangan berhasil melilit kakinya, menariknya ke tanah. Rasa dingin menjalari tubuhnya saat energi hitam menyerap kekuatannya perlahan.

Flaura menggertakkan giginya, cahaya keemasan di sekeliling tubuhnya bergetar, berusaha melawan lilitan bayangan. Namun, semakin dia melawan, semakin erat cengkeraman itu, seolah kegelapan menikmati perlawanan yang sia-sia.

"Tidak... aku tidak bisa kalah di sini!" Flaura merintih, memusatkan seluruh sisa energinya ke satu serangan terakhir.

Dia menangkupkan tangannya, menciptakan lingkaran sihir berlapis-lapis yang menyilaukan. Sebuah ledakan cahaya keemasan meledak dari tubuhnya, menyapu bayangan yang melilitnya. Magister Kegelapan mundur sejenak, matanya menyipit melihat kekuatan itu.

Namun, detik berikutnya, dia tersenyum.

Dari kegelapan di bawah tanah, bayangan yang lebih besar bangkit, membentuk tangan raksasa yang melilit tubuh Flaura dengan lebih kuat, menghisap tenaganya dengan rakus. Cahaya keemasan yang bersinar di tubuhnya perlahan meredup.

Flaura berusaha berteriak, tetapi suaranya teredam oleh energi yang menyelimuti tubuhnya, kekuatannya terkikis seperti pasir yang ditiup angin.

Mata Magister Kegelapan bersinar merah terang. "Kau pikir bisa mengalahkanku di dalam dimensi ilusi ini? Justru ini adalah tempat di mana aku bisa menunjukkan kekuatan sejati."

Tubuh Flaura mulai berubah. Kulitnya mengeras, berangsur menjadi seperti batu. Cahaya yang dulu bersinar terang kini hanya menjadi redupnya pijar lilin yang akan padam.

Magister Kegelapan mengangkat tangannya, merapal mantra dengan bahasa kuno yang tak bisa dipahami oleh manusia biasa. Bayangan mengalir dari tubuhnya, membentuk lingkaran di sekitar Flaura yang semakin mengeras.

Dengan satu gerakan, dia meraih tubuh Flaura yang kini telah menjadi patung, lalu menekan telapak tangannya ke dadanya sendiri, Ledakan energi terjadi.

Bayangan dan cahaya bercampur menjadi satu, menciptakan pusaran yang menggema di seluruh dimensi. Flaura yang membatu mulai terpecah menjadi serpihan cahaya kecil yang berpendar di udara, sebelum semuanya terserap masuk ke dalam tubuh Magister Kegelapan.

Sosok Magister Kegelapan yang menyeramkan perlahan berubah. Wujudnya semakin indah, lebih anggun, dengan aura yang menyesatkan. Rambutnya berubah menjadi perak berkilau, matanya tetap merah namun dengan sorot yang jauh lebih dalam dan menawan. Pakaian hitamnya kini memiliki aksen emas, melambangkan kekuatan cahaya yang telah bercampur dengan kegelapan.

Dia menatap kedua tangannya yang kini lebih ramping dan halus. Senyum tipis terukir di bibirnya. "Sungguh... begitu indah." Suaranya terdengar seperti perpaduan antara suara Magister Kegelapan dan Flaura, menggema dengan resonansi yang menggoda dan mengancam sekaligus.

Di kejauhan, Thaldra yang masih terbaring lemah hanya bisa menatap dengan mata membelalak tak percaya.

"Nona F-Flaura...?"

Namun, entitas baru itu hanya menatapnya dengan pandangan kosong. Tanpa berkata apa-apa, dia mengangkat tangannya dan membuka portal hitam yang bersinar redup. Dalam sekejap, tubuhnya menghilang ke dalam cahaya yang meredup, meninggalkan hanya satu hal di tempat di mana Flaura terakhir berdiri—

Sebuah kristal kecil berwarna keemasan, bersinar lembut di tanah.

Thaldra merangkak dengan sisa tenaganya, meraih kristal itu dengan tangan gemetar.

"Flaura..." bisiknya, matanya berkabut oleh rasa kehilangan yang begitu dalam.

Cahaya keemasan lembut menyemburat dari arah timur dimensi ilusi, membelah kegelapan pekat seperti fajar merobek malam.

Dari balik cahaya itu, muncul sosok Doktor Veni.

Wajahnya yang biasanya tenang kini diliputi kekhawatiran mendalam, matanya menyapu area pertempuran yang hancur dengan cemas.

Melihat Thaldra tergeletak lemah di tanah, Veni tersentak.

Ia berlari cepat, langkah kakinya mantap membelah udara yang terasa berat dan menyesakkan.

Di dekat Thaldra, kristal keemasan kecil berpendar redup, satu-satunya saksi bisu dari pertempuran mengerikan yang baru saja terjadi.

Veni berlutut di sisi Thaldra, tangannya yang lembut menyentuh wajah sahabatnya yang pucat.

"Thaldra ! Apa yang terjadi ?!" Suara Veni bergetar, cemas melihat luka-luka di tubuh Thaldra dan ekspresi kosong di matanya. Sentuhan Veni terasa seperti setitik kehangatan di tengah lautan dingin yang melumpuhkan Thaldra.

Thaldra mendongak perlahan, pandangannya kabur dan kehilangan fokus.

"F-Flaura..." bisiknya lirih, suaranya nyaris tak terdengar.

Air mata kembali menggenang di pelupuk matanya, bayangan Flaura yang membatu dan kemudian hancur masih terpatri jelas di benaknya.

Veni mengikuti arah pandangan Thaldra dan melihat kristal keemasan di tangannya.

Ia memahami seketika. Aura kristal bebatuan flaura memancar lemah, membenarkan firasat buruk yang menghantui thaldra sejak awal.

Rasa sakit dan kehilangan Thaldra menyebar bagai gelombang sunyi, menusuk hati Veni dengan pedih yang sama.

"Kita harus pergi dari sini," kata Veni tegas, Ia tahu tempat ini tidak lagi aman.

Dengan hati-hati, Veni membantu Thaldra berdiri dan memapahnya menjauh dari medan pertempuran yang penuh kenangan pahit.

Perjalanan menuju Desa Untecine terasa panjang dan berat.

Tubuh Thaldra lemas dalam papahan Veni, jiwanya tampak hancur berkeping-keping.

Veni dapat merasakan guncangan emosi Thaldra – gelombang kesedihan, kemarahan, dan keputusasaan yang berputar-putar tanpa henti.

Sesekali, Thaldra meracaukan nama Flaura, suaranya bagai serpihan kaca yang menusuk telinga Veni.

Veni berjalan cepat, menyusuri jalan setapak dimensi ilusi yang terasa semakin gelap dan mengancam.

Udara terasa dingin dan sunyi, seolah alam semesta pun berduka atas kepergian Flaura.

Setiap desiran angin, setiap bunyi ranting patah, membuat Veni semakin waspada. Ia merasa diawasi, seolah mata merah Magister Kegelapan yang baru itu mengintai mereka dari kegelapan.

Desa Untecine muncul di kejauhan.

Cahaya lentera yang hangat terpancar dari rumah-rumah kayu sederhana, menjanjikan perlindungan dan ketenangan sementara.

Veni mempercepat langkahnya, berharap Amine bisa menyembuhkan thaldra

Rumah Baru Amine terletak di tepi desa, dikelilingi taman herbal yang rimbun dan beraroma menenangkan.

Asap tipis mengepul dari cerobong asap, menandakan sang penyembuh berada di rumah.

Veni memapah Thaldra hingga depan pintu rumah, dan mengetuk perlahan.

Pintu Terbuka, Amine Melihat sekilas, Ia langsung menyadari kondisi Thaldra dan Veni.

Tanpa berkata apa-apa, ia mempersilakan mereka masuk dengan gerakan tangan yang tenang.

Amine membantu Veni membaringkan Thaldra di ranjang kayu yang ditutupi kain linen bersih.

"Dia terluka parah, baik fisik maupun mental," kata Veni cemas, menyerahkan Serpihan Kristal Jiwa Flaura kepada Amine. "Ini... ini yang tersisa dari Pemimpin Nona Flaura."

Amine menerima kristal itu dengan hormat, mengamatinya seksama.

"Kristal... energi cahaya di dalamnya sangat lemah. Magister Kegelapan... dia benar-benar telah menyerap esensi Flaura."

Amine menghela napas dalam-dalam, menatap Thaldra dengan simpati. "Kita akan melakukan yang terbaik untuknya.

Luka fisiknya bisa disembuhkan, tetapi luka jiwanya... itu akan membutuhkan waktu yang sangat panjang."

Proses pengobatan pun dimulai. Amine dengan cekatan membersihkan luka-luka Thaldra dengan ramuan herbal, mengoleskan salep dingin beraroma menenangkan.

Ia menyiapkan minuman herbal hangat yang berkhasiat memulihkan tenaga.

Namun, di tengah perawatan fisik, luka jiwa Thaldra terasa jauh lebih dalam dan sulit disembuhkan.

Air mata terus mengalir dari sudut matanya, bisikan nama Flaura tak henti-hentinya keluar dari bibirnya yang pucat.

Veni duduk di sisi ranjang, menggenggam tangan Thaldra dengan erat, mencoba menyalurkan ketenangan dan kekuatan yang tersisa dalam dirinya.

Malam itu di rumah Amine dipenuhi keheningan yang berat, hanya dipecah oleh suara isak tangis Thaldra dan gerakan Amine menyiapkan ramuan.

Keesokan Paginya, Amine memulai proses penyembuhan dengan menyiapkan ramuan herbal yang telah diwariskan oleh generasi penyembuh sebelumnya. Ia mengambil daun Sembung yang dikenal memiliki sifat menenangkan dan menyembuhkan luka batin. Dengan hati-hati, ia menghaluskan daun tersebut menggunakan mortar, sambil melafalkan mantra penyembuhan yang telah diajarkan oleh nenek moyangnya.

"Daun ini akan membantu menenangkan jiwanya," ujarnya kepada Veni. "Tetapi kita juga membutuhkan Air Kristal Bulan, sumber energi yang dapat menguatkan kembali semangatnya."

Amine kemudian melangkah ke jendela, memandang ke luar. Bulan purnama bersinar cerah, memancarkan cahaya lembut yang menari di atas permukaan tanah. Dengan sigap, ia mengambil wadah kecil dan keluar menuju taman herbal. Di sana, di tengah tanaman-tanaman beraroma menenangkan, terdapat sebuah kolam kecil yang dipenuhi air jernih bercahaya.

Ia mengisi wadah tersebut dengan air dari kolam dan kembali ke dalam rumah. Setelah mencampurkan air kristal bulan dengan ramuan daun Sembung, Amine menuangkan campuran tersebut ke dalam cangkir kayu.

"Berikan ini kepadanya," kata Amine sambil menyerahkan cangkir itu kepada Veni. "Ini akan membantunya menemukan kembali kekuatan dalam dirinya."

Veni dengan lembut mengangkat kepala Thaldra dan membantunya meminum ramuan tersebut. Setiap tetes yang masuk ke dalam tubuh Thaldra seolah membawa harapan baru, meski matanya masih tampak kosong dan penuh kesedihan.

Setelah memberikan ramuan fisik, Amine tahu bahwa luka jiwa Thaldra jauh lebih kompleks. Ia mengambil kristal kecil yang berpendar lemah—serpihan Kristal Jiwa Flaura—dan meletakkannya di atas meja kayu. "Kristal ini memiliki kekuatan untuk menghubungkan jiwa Thaldra dengan esensi Flaura," jelas Amine.

Dengan penuh rasa hormat, Amine mulai melakukan ritual penyembuhan jiwa. Ia duduk bersila di samping ranjang Thaldra dan menyalakan lilin aromaterapi dari minyak lavender, menciptakan suasana tenang di ruangan tersebut.

Amine memejamkan mata dan mulai berkonsentrasi, merasakan energi di sekelilingnya. Ia mengulurkan tangan ke arah kristal Flaura dan mulai melafalkan mantra penghubung jiwa.

"Esensi Cahaya yang hilang, kembalilah kepada kami," ujarnya dengan suara lembut namun tegas. "Bantu sahabatku menemukan jalan kembali dari kegelapan."

Cahaya lembut mulai memancar dari kristal, bergetar seolah menjawab panggilan Amine. Dalam momen itu, Veni melihat wajah Thaldra bergetar, seolah ada sesuatu yang bergerak di dalam dirinya.

Di dalam alam bawah sadar Thaldra, bayangan Flaura muncul dalam bentuk cahaya keemasan. Namun, bayangan itu tampak hancur dan terpecah-pecah, terperangkap dalam kegelapan yang pekat.

"Flaura!" teriak Thaldra dalam pikirannya, berusaha meraih sosok itu namun terjatuh ke dalam jurang kesedihan.

Amine terus melafalkan mantranya, membangun jembatan antara dunia mereka dan jiwa Thaldra. Dalam proses ini, ia merasakan guncangan emosi—keterikatan antara Thaldra dan Flaura begitu kuat sehingga hampir tak tertahankan.

Dengan setiap kata yang diucapkan, cahaya dari kristal semakin kuat, menerangi kegelapan di sekitar bayangan Flaura. Perlahan-lahan, sosok Flaura mulai terlihat lebih utuh dan bersinar terang.

"Thaldra," suara Flaura bergema lembut seperti angin malam. "Jangan biarkan kesedihan ini menghancurkanmu."

Veni melihat perubahan pada wajah Thaldra. Air mata sahabatnya mengalir deras saat ia seolah mendengar suara Flaura. Amine terus melanjutkan mantra penyembuhan hingga cahaya dari kristal mencapai puncaknya.

Akhirnya, saat cahaya itu mencapai intensitas maksimum, terdengar suara gemuruh lembut—seperti petir jauh di angkasa. Cahaya menyelimuti seluruh ruangan sebelum perlahan-lahan meredup.

Ketika semuanya kembali tenang, Thaldra membuka matanya perlahan-lahan. Ada kilau baru di matanya—sebuah harapan yang belum pernah ada sebelumnya.

"Flaura..." bisiknya lagi, tetapi kali ini suaranya tidak lagi penuh kesedihan.

Amine tersenyum melihat perubahan pada Thaldra dan berkata dengan lembut, "Kamu tidak sendirian lagi."

Veni menggenggam tangan Thaldra lebih erat lagi. "Kita akan melalui ini bersama," ucapnya penuh keyakinan.

Magister Kegelapan telah sampai di Negri OverDow, tepatnya saat berada di dalam istana megah yang dikelilingi oleh bayangan, Penguasa Kegelapan, duduk di atas takhtanya.

Cahaya redup dari api neraka menyinari wajahnya yang tampak puas. Dia memandang ke arah Magister Kegelapan yang baru saja kembali dari pertempuran, sosok yang kini terperangkap dalam tubuh Flaura.

"Magister," suara Renvurega bergema dalam ruangan, mengisi setiap sudut dengan aura kekuasaan. "Kau telah melakukan pekerjaan yang sangat baik. Flaura kini sepenuhnya berada di bawah kendalimu. Namun, ada satu tugas terakhir yang harus kau selesaikan."

Magister Kegelapan, dengan mata yang berkilau penuh kegelapan dan kekuatan, mengangguk. "Apa yang harus saya lakukan, Tuan?"

Renvurega tersenyum licik, senyum yang penuh dengan niat jahat. "Kau harus berpura-pura menjadi pahlawan di hadapan rakyat Tideaschen. Mereka akan mengagumimu, dan pada saatnya nanti, kau akan menghancurkan seseorang yang sangat mereka cintai—Thaldra Soulbone."

"Thaldra?" Magister Kegelapan bertanya, suaranya penuh rasa ingin tahu.

"Ya," jawab Renvurega sambil melangkah mendekat. "Dia adalah pemimpin mereka dan simbol harapan bagi negeri itu. Dengan membunuhnya atas nama pahlawan, kau tidak hanya akan menghancurkan semangat mereka tetapi juga mengukuhkan posisimu sebagai penguasa baru di Tideaschen."

**Persiapan untuk Pertarungan**

Dengan perintah itu, Magister Kegelapan merasakan kekuatan baru mengalir dalam dirinya. Dalam tubuh Flaura, dia memiliki kemampuan luar biasa—kemampuan untuk memanipulasi cahaya dan kegelapan sekaligus. Dia mulai merencanakan langkah-langkahnya dengan cermat.

Sementara itu, di Desa Untecine, Thaldra berjuang untuk pulih dari luka batin dan fisiknya. Veni dan Amine terus mendukungnya dalam proses penyembuhan. Namun, saat malam semakin larut, ketegangan mulai terasa di udara.

Thaldra merasakan sesuatu yang tidak beres. "Ada sesuatu yang mendekat," katanya pelan kepada Veni dan Amine. "Aku bisa merasakannya."

Amine menatap Thaldra dengan khawatir. "Kita harus bersiap-siap. Jika ada ancaman baru, kita tidak boleh lengah."

**Kembalinya Flaura**

Di sisi lain, Magister Kegelapan bersiap untuk penampilannya sebagai pahlawan. Dia menggunakan kekuatan Flaura untuk menciptakan ilusi—cahaya keemasan menyelimuti tubuhnya saat dia berjalan menuju desa dengan langkah mantap. Penduduk desa melihat sosok ini dengan penuh kekaguman dan harapan.

"Flaura!" teriak salah satu penduduk desa saat melihat sosoknya mendekat. "Kau kembali!"

Dengan senyum menawan namun penuh tipu daya, Magister Kegelapan menjawab, "Ya! Aku kembali untuk melindungi kalian dari ancaman kegelapan!"

Namun di dalam hatinya, dia menyimpan niat jahat untuk menghancurkan Thaldra.

Ketika malam tiba dan bulan bersinar cerah di langit, Magister Kegelapan memutuskan bahwa sudah waktunya untuk melaksanakan rencananya. Dia mengundang Thaldra ke desa dengan janji akan membantu memperkuat pertahanan mereka melawan ancaman baru.

Thaldra merasa curiga tetapi tidak bisa menolak kesempatan untuk berbicara dengan sosok yang dianggap sebagai pahlawan oleh rakyatnya.

Di tengah desa yang dikelilingi oleh penduduk yang penuh harap, Magister Kegelapan tiba-tiba berubah menjadi sosok kegelapan yang menakutkan. Cahaya keemasan menghilang seiring dengan gelombang kegelapan menyelimuti tempat itu.

"Flaura ?!" Thaldra terkejut melihat perubahan mendadak.

"Dia tidak ada lagi," suara Magister Kegelapan menggema dengan nada dingin dan penuh kebencian. "Kini aku adalah penguasamu ! Dan kau akan mati di tanganku!"

Pertarungan pun dimulai dengan ledakan energi magis yang mengguncang tanah.

Thaldra segera mengambil posisi bertahan, menggunakan semua pelajaran bertarung yang telah diajarkan oleh Amine.

Sinar-sinar cahaya dan gelombang kegelapan bertabrakan di udara saat keduanya saling menyerang. Thaldra menggunakan kekuatan jiwa yang diperolehnya dari Flaura untuk menciptakan perisai energi yang melindunginya dari serangan gelap Magister.

Magister Kegelapan menyerang dengan serangan gelombang energi hitam yang menghancurkan segala sesuatu di jalurnya. Namun Thaldra berhasil menghindar dan membalas dengan serangan cahaya yang memancar dari tangannya.

"Ini bukan hanya tentang kekuatan !" teriak Thaldra sambil meluncurkan serangan ke arah musuhnya. "Ini tentang harapan dan cinta!"

Mendengar kata-kata itu membuat Magister Kegelapan semakin marah.

Dia melancarkan serangan kilat gelap ke arah Thaldra, tetapi sahabat-sahabatnya—Veni dan Amine—datang untuk membantu.

Bersama-sama mereka menciptakan formasi pertahanan yang kuat, Veni mengeluarkan energi pelindung sementara Amine menyiapkan ramuan penyembuhan untuk menjaga stamina Thaldra tetap terjaga.

Pertarungan berlangsung sengit, cahaya dan kegelapan saling beradu dalam pertunjukan magis yang menakjubkan. Namun ketika Magister Kegelapan mulai kehabisan tenaga karena usaha mempertahankan ilusi Flaura sambil menyerang Thaldra, dia merasakan tekanan emosional dari jiwa Flaura.

Dalam momen krisis ini, meskipun flaura terperangkap dan berusaha melawan kendali Magister Kegelapan.

"Thaldra... aku percaya padamu !" suara Flaura terdengar jelas di benak Thaldra.

Thaldra meluncurkan serangan terakhir—sebuah semburan cahaya murni yang langsung menghantam Magister Kegelapan.

Cahaya itu memecahkan ilusi kegelapan dan mengembalikan kendali atas tubuh Flaura. Dalam sekejap mata, sosok asli Flaura muncul kembali—terlihat lemah namun penuh harapan.

"Flaura!" teriak Thaldra saat melihat sahabatnya kembali.

Namun Magister Kegelapan sudah terlambat, dia terjebak dalam cahaya itu dan terlempar jauh ke dalam kegelapan abadi.

Setelah pertarungan melawan Magister Kegelapan dan ancaman Renvurega, penduduk desa berkumpul untuk merayakan kemenangan mereka.

Aroma masakan tradisional memenuhi udara, sementara tawa dan sorak-sorai menggema dari setiap sudut.

Di dalam rumah Amine yang hangat, Thaldra, Veni, dan Amine duduk bersama di meja kayu yang dihiasi dengan makanan lezat. Lampu-lampu lentera berpendar lembut, menciptakan suasana intim yang mengundang kehangatan.

"Ini semua berkat keberanianmu, Thaldra," kata Amine sambil menyajikan semangkuk sup herbal. "Tanpa dirimu, kita tidak akan bisa mengalahkan kegelapan itu."

Thaldra tersenyum, meskipun hatinya masih penuh dengan kenangan pahit. "Aku tidak sendirian. Kalian berdua selalu ada di sampingku," jawabnya, menatap Veni dengan rasa syukur.

Veni tersenyum lembut, tetapi ada sesuatu dalam tatapannya yang membuat Thaldra merasa lebih dari sekadar teman.

Saat mereka berbincang-bincang dan tertawa, kenangan masa kecil mulai muncul kembali dalam benak Thaldra—momen-momen ketika ia baru terlahir dari dalam meteor dan Veni merawatnya dengan penuh kasih sayang.

Dalam keramaian itu, Thaldra teringat saat ia baru dilahirkan—sebuah momen yang samar namun penuh kehangatan. Dia ingat bagaimana Veni menemukan dirinya dalam keadaan lemah dan tak berdaya, merawatnya dengan sepenuh hati seperti seorang ibu.

"Ibu.... ," Thaldra memanggil lembut, menarik perhatian sahabatnya. "Apakah ibu ingat saat kita pertama kali bertemu ?, Aku masih ingat betapa takutnya aku saat kecil."

Veni tertawa kecil. "Tentu saja ! Kamu adalah anak kecil yang sangat manis."

Ketika malam semakin larut dan suasana semakin hangat, Amine meninggalkan mereka berdua sejenak untuk mengambil

beberapa makanan tambahan dari dapur. Saat pintu tertutup di belakangnya, keheningan menyelimuti ruangan.

Thaldra menatap Veni dengan serius. "Veni," katanya pelan, "aku ingin berterima kasih padamu untuk semua yang telah kamu lakukan untukku."

Veni menatap balik dengan mata penuh kehangatan. "Kamu tidak perlu berterima kasih, Thaldra. Kita adalah keluarga."

Namun saat itu juga, ada ketegangan di antara mereka—sebuah momen di mana kata-kata tidak lagi cukup untuk menggambarkan perasaan mereka. Thaldra meraih tangan Veni dan menggenggamnya erat.

"Selama ini aku merasa sangat lemah," lanjut Thaldra dengan suara bergetar. "Tapi kamu selalu merawat ku"

Veni membalas genggaman tangan Thaldra dengan lembut, matanya berbinar penuh harapan. "Kita akan selalu bersama, apapun yang terjadi sebagai keluarga."

Setelah perayaan selesai dan semua makanan telah disajikan, Amine kembali ke ruang tamu dengan senyum lebar di wajahnya. "Bagaimana kalau kita semua tidur lebih awal malam ini ? Kita butuh istirahat setelah semua yang terjadi."

Thaldra dan Veni saling berpandangan sebelum mengangguk setuju.

Mereka berdua merasa lelah dan bahagia kemenangan mereka terasa manis setelah perjuangan berat.

Amine menunjukkan jalan menuju kamar masing-masing. Saat mereka berjalan berdampingan menuju kamar tidur mereka.

"Selamat malam," kata Veni lembut saat mereka tiba di depan pintu kamar masing-masing.

"Selamat malam," balas Thaldra sambil tersenyum.

Namun sebelum masuk ke dalam kamarnya, Thaldra menghentikan langkahnya sejenak dan berkata, "Veni... jika suatu saat nanti kita harus menghadapi kegelapan lagi, aku ingin kamu tahu bahwa aku akan selalu melindungimu."

Veni tersenyum hangat dan menjawab, "Dan aku akan selalu ada di sampingmu."

Dengan perasaan hangat di hati dan pikiran penuh harapan untuk masa depan, Thaldra memasuki kamarnya. Dia duduk di tepi ranjang dan merenung.

Sementara itu, di kamar sebelah, Veni juga merenung.

Keesokan harinya, sinar matahari yang hangat menyinari desa, membangunkan Thaldra dari tidurnya yang nyenyak.

Dia menguap lebar, merasakan semangat baru setelah perayaan kemenangan semalam. Dengan cepat, dia mengenakan pakaiannya dan bergegas menuju luar rumah, siap untuk menjalani hari-hari seperti biasa.

Di luar, udara pagi terasa segar, dan suara burung berkicau menyambut hari baru.

Thaldra mulai melakukan latihan magisnya di halaman belakang rumah Amine.

Dia berdiri di tengah lapangan kecil yang dikelilingi oleh pepohonan rimbun, mengambil posisi meditatif dan memusatkan pikirannya.

Dengan lembut, dia mengangkat tangannya dan memanggil energi alam di sekitarnya.

Cahaya hijau lembut mulai berkilau di telapak tangannya, menandakan bahwa sihirnya telah berhasil.

Thaldra menutup matanya dan membayangkan semua kekuatan yang telah dia pelajari selama ini—

mengendalikan elemen, menyembuhkan luka, dan melindungi orang-orang yang dicintainya.

Di sisi lain, Veni bangun dengan semangat tinggi.

Setelah menyelesaikan rutinitas pagi, dia menuju dapur untuk membantu Amine mempersiapkan ramuan herbal baru.

Mereka berdua telah berjanji untuk terus belajar dan mengembangkan pengetahuan mereka tentang obat herbal demi kesehatan penduduk desa.

"Veni," panggil Amine sambil mempersiapkan bahan-bahan di meja.

"Aku menemukan beberapa tanaman baru di hutan kemarin. Aku rasa kita bisa membuat ramuan penyembuh yang lebih kuat."

Veni tersenyum mendengar itu. "Bagus sekali ! Mari kita coba campurkan dengan ramuan yang sudah ada. Aku punya beberapa ide tentang bagaimana cara meningkatkan efeknya."

Keduanya mulai bekerja sama dengan penuh semangat. Veni dengan cekatan mencincang daun-daun segar menjadi potongan-potongan kecil, sementara Amine merebus air dalam panci besar di atas api.

Aroma harum dari bahan-bahan herbal memenuhi ruangan, menciptakan suasana hangat dan akrab.

Sementara itu, Thaldra terus berlatih di luar.

Dia mencoba mengendalikan angin untuk membentuk pusaran kecil yang berputar di telapak tangannya.

Setiap kali dia berhasil menciptakan pusaran itu, senyum bangga menghiasi wajahnya.

Namun, saat dia semakin terbenam dalam latihan magisnya, pikiran akan ancaman masa lalu kembali menghantuinya.

Bagaimana jika kegelapan akan kembali?,

Bagaimana jika aku tidak dapat menghadapinya lagi ? Thaldra menggigit bibirnya, mencoba menepis keraguan itu dan fokus pada kekuatannya sendiri.

Setelah beberapa saat berlatih, Thaldra memutuskan untuk bergabung dengan Veni dan Amine di dapur.

Ketika dia memasuki ruangan, aroma harum ramuan herbal langsung menyambutnya.

"Selamat pagi Amine, Veni !" seru Thaldra ceria sambil melangkah mendekati meja.

"Selamat pagi! Bagaimana latihannya?" tanya Veni sambil tersenyum.

"Menarik sekali ! Aku mulai bisa mengendalikan elemen angin dengan lebih baik," jawab Thaldra dengan semangat.

Amine tersenyum lebar mendengar kabar baik itu. "Bagus! Kita semua harus saling mendukung dalam perjalanan ini."

Setelah sarapan bersama dan berbagi cerita tentang latihan masing-masing, ketiganya memutuskan untuk menjelajahi desa dan membantu penduduk dengan keahlian mereka.

Hari ini penuh dengan tawa dan kebersamaan, mereka membantu merawat tanaman herbal di kebun penduduk desa dan memberikan ramuan penyembuh kepada yang membutuhkan.

Saat matahari mulai terbenam, mereka berkumpul di tepi sungai yang mengalir tenang sambil menikmati keindahan alam sekitar.

Suara air yang mengalir menambah kehangatan suasana hati mereka setelah seharian bekerja keras.

"Ini adalah hari yang sempurna," kata Veni sambil menatap langit jingga.

"Ya! Kita bisa melakukan ini lagi besok," tambah Amine.

Thaldra merasa bersyukur atas persahabatan mereka yang erat.

Di sisi Lain, penguasa kegelapan, duduk di singgasana, Wajahnya yang tampak dingin dan penuh kemarahan.

"Rencana ini gagal!" gumamnya dengan suara serak. "Thaldra dan Veni berhasil menghalangi segala usahaku untuk menguasai dunia ini." Dia meremas tangan, menciptakan gelombang energi gelap yang meluncur ke lantai batu yang dingin.

Namun, tidak ada waktu untuk meratapi kegagalan. Renvurega adalah makhluk cerdas; dia tahu bahwa setiap kekalahan adalah kesempatan untuk belajar dan bangkit kembali. Dalam keheningan istananya, dia mulai memikirkan rencana baru. Matanya menyipit saat ide brilian muncul di benaknya.

"Jika aku tidak bisa mengalahkan mereka secara langsung," pikirnya, "aku akan menciptakan ilusi yang lebih kuat dari sebelumnya. Ilusi yang akan membuat mereka berperang melawan diri mereka sendiri." Dengan semangat baru, dia mengangkat tangannya ke udara dan memanggil kekuatan gelap yang tersembunyi di dalam dirinya.

Dalam sekejap, cahaya hitam berkumpul di sekitar jari-jarinya, membentuk sosok-sosok bayangan—Gurfeda, Peals, Luna, dan Isholdyenca—semua dalam bentuk ilusi jahat yang menyerupai mereka. Rencananya adalah untuk membuat mereka terlihat seperti pahlawan yang datang untuk menyelamatkan dunia dari ancaman Renvurega sendiri. Namun, saat ilusi itu mulai muncul, ada sesuatu yang tidak beres. Alih-alih menjadi jahat seperti yang dia harapkan, ilusi itu mulai menunjukkan karakter asli mereka—kebaikan dan keberanian.

Kekacauan pun dimulai saat ilusi tersebut berpencar ke seluruh penjuru dunia. Gurfeda berlari menuju desa-desa kecil dengan senyum lebar, membantu penduduk setempat memperbaiki rumah-rumah mereka yang rusak oleh badai. Peals berdiri sebagai penjaga pintu gerbang kota-kota besar, melindungi penduduk dari serangan monster lain. Luna menggunakan kemampuannya untuk menyembuhkan orang-orang sakit dan Isholdyenca memberikan inspirasi kepada para petani agar hasil panen mereka meningkat.

Renvurega melihat semua ini dengan kemarahan yang membara. "Apa yang salah? Kenapa mereka malah melakukan kebaikan?" teriaknya sambil menghancurkan meja di depannya dengan satu tamparan tangan.

Dia kemudian menyadari bahwa ilusi itu memiliki kekuatan tersendiri—kekuatan harapan dan kebaikan yang tak bisa ditaklukkan oleh kegelapan. Dalam keadaan putus asa, Renvurega memutuskan untuk bertindak langsung; dia akan menghadapi ilusi-ilusi itu satu per satu.

Dalam pertarungan pertama melawan Gurfeda, Renvurega memunculkan bayangan tajam dari kegelapan untuk menyerang. Namun Gurfeda dengan cepat melawan balik menggunakan kekuatan cahaya dari dalam dirinya sendiri. Pertarungan itu dipenuhi dengan ledakan energi ketika serangan gelap bertemu dengan cahaya terang; kilatan-kilatan menakjubkan menghiasi langit malam.

"Ini tidak akan berhenti sampai aku menghancurkanmu!" teriak Renvurega saat dia meluncurkan serangan lebih kuat lagi.

Gurfeda tidak mundur, "Kau salah! Kegelapanmu tidak akan pernah menang selama kami bersatu !" balasnya dengan semangat juang yang tak tergoyahkan.

Pertarungan tersebut semakin intensif ketika keduanya saling menyerang dan bertahan dalam pertempuran epik di tengah badai energi.

Suara gemuruh petir menggelegar saat tubuh mereka saling bertabrakan—sebuah simbol dari pertarungan antara kebaikan dan kejahatan.

Setiap serangan membawa dampak besar pada lingkungan sekitar seperti tanah bergetar dan langit berwarna merah darah saat Renvurega mengerahkan seluruh kekuatannya. Namun Gurfeda tetap berdiri teguh. dia

Ketika pertarungan mencapai puncaknya, Gurfeda memanggil semua kekuatan dalam dirinya dan meluncurkan sinar cahaya terbesar yang pernah ada; cahaya tersebut membelah langit malam menjadi dua bagian—satu sisi gelap milik Renvurega dan satu sisi terang milik Gurfeda.

Renvurega terjebak dalam kemarahan dan kebingungan, menyaksikan cahaya yang memancar dari Gurfeda.

"Jika mereka berpikir bisa mengalahkanku dengan harapan semu mereka, mereka sangat salah !" teriaknya sambil meluncurkan gelombang energi hitam yang meluncur cepat menuju Gurfeda.

Gelombang itu menciptakan suara mendesis yang menakutkan, seolah-olah dunia sedang bergetar oleh kekuatan kegelapan.

Gurfeda, merasakan ancaman itu, bergerak cepat.

Dengan gerakan anggun dan terampil, dia mengangkat tangannya dan memanggil cahaya untuk membentuk perisai pelindung.

"Kau tidak akan menang!" serunya saat gelombang itu menghantam perisainya dengan ledakan hebat.

Suara dentuman menggema di seluruh lembah, debu dan puing-puing beterbangan.

Namun, Renvurega tidak menyerah begitu saja. Dia melancarkan serangan bertubi-tubi, menciptakan ilusi kegelapan di sekelilingnya untuk membingungkan Gurfeda. Dalam sekejap, ilusi-ilusi itu membentuk bayangan raksasa yang menyerang dari segala arah. "Hancurkan dia !" teriak Renvurega sambil menggerakkan tangannya dengan penuh kemarahan.

Dalam pertarungan itu, Gurfeda berjuang keras melawan ilusi-ilusi tersebut, tetapi satu per satu ia mulai merasakan kelelahan merayap ke tubuhnya.

Dia tahu bahwa jika dia tidak segera menghentikan Renvurega, semua harapan akan sirna.

Dengan tekad bulat, dia memfokuskan energinya dan meluncurkan cahaya suci yang lebih kuat lagi.

Di sisi lain, Renvurega melihat kesempatan untuk menghancurkan ilusi lainnya—Luna, Peals, dan Isholdyenca—yang mulai mendekat untuk membantu Gurfeda.

"Kau berpikir bisa menyelamatkan temanmu? Tidak ada tempat bagi kalian di sini!" serunya.

Dia memutar telapak tangannya dan menciptakan pusaran kegelapan yang menyedot semua cahaya di sekitarnya. Dengan kekuatan tak terduga, dia mengirimkan gelombang energi gelap ke arah Luna terlebih dahulu.

Ilusi Luna berusaha melindungi diri dengan membuat perisai cahaya di sekelilingnya. Namun Renvurega dengan cepat menerjang perisai itu dengan serangan bertubi-tubi.

"Jangan biarkan dia menghancurkanmu!" jerit Luna kepada ilusi lainnya saat dia berusaha memperkuat perisainya. Namun, gelombang kegelapan yang tak terhentikan itu terus menerjang hingga akhirnya menghancurkan pertahanan Luna. Dalam ledakan besar, ilusi Luna hancur menjadi serpihan cahaya.

Renvurega merasa seolah-olah mendapatkan kembali kendali atas situasi saat dua ilusi lainnya—Peals dan Isholdyenca—mendekat untuk membantu sahabat mereka.

"Kau tidak akan beruntung dua kali!" Renvurega berseru penuh semangat saat dia berbalik dan menyerang Peals dengan kekuatan penuh.

Peals mencoba bertahan dengan menyebarkan energi positif di sekelilingnya agar dapat menetralkan kegelapan yang datang.

Namun serangan Renvurega terlalu kuat; ia meluncurkan bola energi hitam besar ke arah Peals dengan kecepatan luar biasa. Ledakan terjadi saat bola tersebut menghantam Peals dan memecah ilusi menjadi serpihan-serpihan kecil yang bersinar sebelum hilang sepenuhnya.

Isholdyenca berdiri sendirian sekarang; wajahnya menunjukkan kepanikan saat melihat sahabat-sahabatnya hancur oleh kekuatan kegelapan Renvurega. "Tidak ! Aku tidak akan membiarkanmu melakukan ini !" teriak Isholdyenca dengan keberanian yang tersisa.

Dia meluncurkan serangan terakhirnya—sebuah semburan cahaya murni dari telapak tangannya, mengarah lurus ke jantung kegelapan Renvurega.

Namun penguasa kegelapan sudah siap, dia mengangkat tangannya dan menciptakan dinding kegelapan yang menyerap seluruh cahaya dari serangan Isholdyenca.

"Semua usaha kalian sia-sia !" Renvurega tertawa keras sambil menggerakkan tangannya sekali lagi, menciptakan gelombang energi terakhir yang menghancurkan semua harapan dalam kilatan cemerlang.

Isholdyenca merasakan energinya pudar saat ilusi terakhir pun hancur tanpa sisa.