Chereads / Bintang Penyelamat / Chapter 39 - Mencekam

Chapter 39 - Mencekam

Veni berdiri di tengah jalan berbatu yang penuh dengan hiruk pikuk kendaraan melayang dan suara mesin berdengung.

Kota ini hidup dalam mekanik, dengan bangunan yang seolah bernapas lewat gerakan komponen-komponen logam yang berputar di dinding.

Namun, di balik kecanggihan ini, ada suasana mencekam yang membuatnya merasa asing.

Tubuhnya, kini tegap dengan otot baja, memancarkan aura kekuatan. Tapi dia merasa seperti penyusup dalam dunia yang tak mengenal belas kasihan.

Penduduk kota—dengan ornamen logam di tubuh mereka dan pakaian serba mekanis—menatapnya dengan ketakutan yang nyata.

Saat Veni mencoba berbaur, sebuah suara memecah kesunyian jalan.

"Siapa dia ? Monster itu dari mana datangnya ?" bisik seorang wanita sambil menarik anaknya menjauh.

Saat Veni berjalan lebih jauh, sebuah insiden terjadi.

Di sudut jalan, seorang pedagang tua berteriak panik.

Mesin dagangannya macet, menghasilkan percikan api yang mulai membakar kain-kain di sekitarnya.

Orang-orang menjauh, takut terjebak dalam kebakaran.

Veni segera bertindak. Ia melompat ke arah mesin itu, merobek pelat penutupnya dengan tangan kosong, lalu memutuskan kabel yang rusak menggunakan tangannya yang keras seperti logam.

Api pun padam.

Namun, alih-alih mendapat ucapan terima kasih, pedagang itu menjerit. "Jangan sentuh barangku lagi ! Kau monster, kau akan menghancurkan semuanya!"

Desas-desus mulai menyebar lebih cepat daripada api.

Malamnya, saat Veni melintasi gang sempit yang remang-remang, ia dikepung oleh lima pria bersenjata.

Wajah mereka penuh kebencian, dan mereka membawa alat mekanis yang mengeluarkan suara berderak.

"Kau pikir bisa jalan bebas di sini, monster ?" kata salah satu dari mereka, seorang pria tinggi dengan lengannya yang berbentuk meriam kecil.

"Aku tidak ingin membuat masalah," jawab Veni tenang, tangannya terangkat menunjukkan niat damai.

"Masalah ?, Kehadiranmu saja sudah bermasalah !" teriak pria itu sambil melepaskan tembakan.

Proyektil melesat, menghantam dada Veni.

Tubuhnya berguncang, tapi peluru itu terpental seperti menghantam dinding baja.

Refleksnya mengambil alih. Dalam satu gerakan cepat, Veni melompat ke samping, menghindari tembakan kedua, lalu maju ke arah pria itu.

Ia meraih senjata di lengan lawannya, mematahkannya menjadi dua dengan sekali tekanan.

Tiga pria lainnya menyerang bersamaan.

Salah satu dari mereka melayangkan pukulan menggunakan palu mekanik yang berat.

Veni menangkisnya, mengunci palu itu di udara sebelum memutar balik, membuat pria itu terlempar ke dinding.

Dua lainnya mencoba memanfaatkan celah, tetapi Veni meluncur rendah, menendang kaki mereka hingga jatuh.

"Pergi sebelum aku berubah pikiran," katanya dingin.

Mereka berlari tanpa menoleh.

Namun, suara langkah mereka menghilang, digantikan oleh suara tepukan pelan.

Dari bayang-bayang, seorang gadis kecil muncul. Dia mengenakan pakaian lusuh, tanpa ornamen mekanik di tubuhnya, berbeda dari penduduk kota lainnya. Wajahnya penuh rasa ingin tahu.

"Kau tidak seperti yang mereka bilang," katanya pelan.

Veni menatapnya dengan alis terangkat. "Mereka bilang apa?"

"Katanya kau monster. Tapi aku tidak percaya," jawab gadis itu. "Kau menyelamatkan orang. Itu tidak seperti monster."

"Aku hanya mencoba untuk bertahan," kata Veni.

Gadis itu mengangguk kecil. "Namaku Lyra. Aku bisa membantumu, kalau kamu mau."

Malam itu, Lyra membawa Veni ke tempat persembunyian kecil di bawah kota.

Tempat Itu adalah dunia lain, penuh dengan orang-orang seperti Lyra—yang tersingkirkan, tanpa akses ke teknologi atau kekuasaan yang mendominasi kota.

"Kami juga dianggap ancaman," jelas Lyra.

"Tapi kami tidak melawan. Kami tidak sekuat dirimu."

"Bagaimana kalau kita ubah cara mereka memandang kita ?" tanya Veni.

Lyra tertawa kecil. "Mereka tidak akan peduli. Mereka takut pada apa pun yang berbeda."

"Tapi mereka akan peduli kalau kita selamatkan mereka," kata Veni yakin.

Pagi berikutnya, sebuah pipa besar di pusat kota meledak, menyebabkan kebakaran hebat.

Penduduk panik, berlarian tanpa arah.

Penjaga kota hanya fokus melindungi bangunan-bangunan penting, sementara yang lainnya dibiarkan begitu saja.

Veni Bersama Lyra tidak merasa ragu, ia melompat ke tengah kekacauan.

Ia memadamkan api dengan memindahkan puing-puing yang menghalangi jalur air.

Tubuhnya melawan panas dan api tanpa henti.

Lyra meski kecil, ia membantu mengarahkan orang-orang ke tempat aman.

Ketika api akhirnya padam, kerumunan penduduk yang selamat memandang Veni dengan tatapan berbeda.

Untuk pertama kalinya, bukan ketakutan yang mereka tunjukkan, melainkan kekaguman.

Namun, dari jauh, seorang pria berseragam penjaga kota memperhatikan dengan tatapan penuh ancaman. Ia mengeluarkan alat komunikasi dan berbicara singkat.

"Makhluk itu mulai mempengaruhi penduduk. Kirim pasukan tambahan. Kita tidak bisa membiarkannya terus seperti ini."

Suara langkah berat dan senjata yang dimuat terdengar menggema di jalanan. Para penjaga kota, berpakaian seragam hitam dengan ornamen logam berkilauan, mengepung Veni.

Mereka membawa senjata mekanik yang bersinar merah menyala, masing-masing diarahkan ke tubuh veni.

"Serahkan dirimu, makhluk asing !" perintah seorang kapten dengan nada tegas. "Kau telah menyebabkan cukup kekacauan. Jangan memaksa kami bertindak lebih jauh."

Lyra yang berusaha tetap dekat, tergeser oleh dorongan orang-orang yang berkerumun.

Gadis kecil itu tersungkur di tepi jalan, tak berdaya untuk kembali ke sisi Veni Matanya penuh kecemasan.

"Veni!" teriaknya, tapi suaranya tenggelam dalam keributan.

Veni berdiri diam di tengah kerumunan. Mata logam penjaga berkilau seperti mata predator yang haus darah. Ia mencoba berpikir jernih, tetapi jalan keluarnya hanya satu: bertarung.

"Aku tidak ingin ini terjadi," gumamnya pelan. Tapi niat baik tidak lagi berarti. Penjaga kota melepaskan tembakan pertama, memaksa Veni bertindak.

Tembakan proyektil merah menghantam tubuh Veni.

Dentuman itu membuatnya terdorong beberapa langkah ke belakang, tapi tidak menembus kulit bajanya.

Refleks tubuhnya mengambil alih, seperti sebuah mesin yang dirancang untuk bertahan hidup.

Veni melompat ke arah penjaga pertama dengan kecepatan mengejutkan.

Ia meraih senjata besar penjaga itu, memutarnya dengan kekuatan luar biasa hingga hancur berantakan. Pria itu terhempas ke tanah, mengerang kesakitan.

Dua penjaga lainnya bergerak maju, masing-masing dengan senjata mekanik yang melontarkan peluru energi.

Veni menghindar dengan gerakan gesit, berjongkok rendah, lalu melompat dengan kekuatan penuh ke arah mereka.

Ia memukul satu penjaga dengan siku logamnya, menghancurkan helm pelindung pria itu hingga retak.

Yang lainnya mencoba menyerang dari belakang, tetapi Veni menangkap pergerakannya dengan sudut matanya.

Ia berputar cepat, menendang pria itu dengan keras hingga terlempar ke dinding bangunan.

Darah mulai mengalir di jalanan.

Orang-orang yang menyaksikan hanya bisa mundur dengan wajah penuh ketakutan.

Kapten penjaga yang melihat bawahannya dikalahkan, memberi isyarat pada kelompok lain.

"Tembak dia! Jangan beri dia ruang untuk bergerak!" teriaknya.

Rentetan tembakan mengarah ke Veni.

Jalanan dipenuhi suara ledakan dan kilatan merah yang menyilaukan.

Veni menggunakan puing-puing di sekitarnya sebagai perlindungan, merobek tong logam besar untuk menangkis proyektil yang menghujani tubuhnya.

Namun, serangan ini hanya membuatnya semakin marah.

Ia melompat dari balik perlindungan, menyerang para penjaga dengan brutal.

Ia mencengkram salah satu penjaga dan melemparkannya ke kelompok lainnya, membuat mereka terjatuh seperti domino.

Seorang penjaga mencoba menebasnya dengan pedang energi, tetapi Veni menangkap bilah itu dengan tangan kosong.

Dengan satu gerakan kuat, ia mematahkan pedang tersebut menjadi dua, lalu menghantam pria itu dengan potongannya.

Di tengah kekacauan, Lyra berusaha berdiri. "Berhenti! Jangan lukai dia!" teriaknya, tapi tak seorang pun mendengar.

Kapten penjaga maju sendiri, membawa senjata yang lebih besar.

Senjata ini adalah senapan mekanik dengan laras ganda yang memancarkan panas membakar.

"Aku tidak tahu dari mana asalmu, makhluk Aneh, tapi di kota ini, kamu tidak akan bertahan lama."

Kapten itu melepaskan tembakan besar, ledakan energi biru yang menghantam dada Veni.

Untuk pertama kalinya, Veni merasakan sakit. Ledakan itu mendorongnya ke belakang, menghantam dinding bangunan hingga retak.

"Cukup," kata Veni dengan nada rendah, matanya menyala dengan determinasi.

Ia bangkit perlahan, tubuhnya berkilau di bawah sinar tembakan.

Dengan langkah tegar, ia maju, meskipun kapten terus menembaknya.

Ketika Veni cukup dekat, ia meraih laras senapan kapten itu dan menekannya hingga bengkok. Kapten itu mencoba mundur, tetapi Veni menghentikannya dengan satu tangan di dadanya dan mendorongnya ke tanah.

"Aku tidak akan membunuhmu," kata Veni dengan suara dingin, "tapi hentikan ini sekarang."

Kapten itu tersedak, tak bisa menjawab.

Keributan itu akhirnya reda ketika penjaga yang tersisa menyeret kapten mereka yang terluka.

Mereka meninggalkan senjata yang hancur dan jalanan yang dipenuhi pecahan logam serta darah.

Orang-orang tetap menjauh, menatap Veni dengan campuran ketakutan dan kekaguman.

Lyra akhirnya berhasil mendekatinya.

Wajahnya penuh kekhawatiran.

"Kamu baik-baik aja kan ?" tanya lyra.

Veni mengangguk perlahan.

"Aku tidak punya pilihan," katanya pelan.

"Mereka tidak akan berhenti sampai aku dihancurkan."

"Tidak semua orang seperti mereka," kata Lyra.

"Ada orang yang bisa membantumu, tapi kita harus pergi dari sini."

Veni menatap kerumunan. Tatapan mereka memberitahunya bahwa meskipun ia telah menyelamatkan banyak dari mereka, prasangka buruk mereka tetap ada.

Namun, di antara wajah-wajah itu, ia menangkap sesuatu yang berbeda—mata seorang anak kecil yang menatapnya tanpa rasa takut hanya dengan rasa ingin tahu.

Dengan Lyra di sisinya, Veni mulai melangkah menjauh dari jalanan yang hancur, meninggalkan kota yang penuh kekacauan.

Namun, ancaman baru sudah menunggu.

Di markas besar penjaga kota, sebuah rapat darurat digelar.

"Kita tidak bisa membiarkannya terus hidup," kata seorang pria berseragam tinggi.

"Makhluk itu terlalu kuat. Jika ia dibiarkan, ia akan menghancurkan kedamaian kota ini."

"Dan jika kita melawannya ?" tanya seorang lainnya.

Pria itu tersenyum dingin. "Kita gunakan semua yang kita punya. Dunia ini hanya milik mereka yang bisa menguasainya."

Malam itu datang tanpa peringatan.

Lyra sedang duduk di sudut persembunyian, membantu salah seorang penghuni yang lebih tua memperbaiki perangkat penerangan.

Di tempat ini, jauh di bawah tanah kota, mereka merasa relatif aman.

Suara mesin-mesin besar di atas kepala biasanya menutupi keberadaan mereka.

Namun, suara yang datang kali ini berbeda. Gemuruh langkah-langkah berat bergema di sepanjang lorong.

Sebelum siapa pun sempat bereaksi, pintu baja persembunyian di hancurkan dengan ledakan dahsyat.

Asap memenuhi ruangan, dan sekelompok penjaga kota bersenjata lengkap masuk dengan senjata siap tembak.

"Semua berlutut! Tidak ada yang bergerak!" teriak salah satu penjaga.

Orang-orang berlarian mencari perlindungan. Lyra meraih seorang anak kecil yang menangis dan menariknya ke sudut, mencoba melindunginya.

"Cari makhluk itu!" perintah kapten mereka, merujuk pada Veni. "Jika dia ada di sini, kita habisi dia sekarang!"

Dalam kekacauan ini, Lyra melihat Veni muncul dari ruang belakang.

Tubuhnya yang besar menarik perhatian penjaga.

Tanpa berpikir dua kali, mereka melepaskan tembakan, memaksa Veni untuk melawan.

Ia melompat ke tengah ruangan, memukul salah satu penjaga hingga terpental ke dinding.

"Pergi dari sini, Lyra!" teriaknya.

Lyra membawa anak kecil, ia mencoba melarikan diri melalui lorong kecil di sisi ruangan.

Namun, seorang penjaga melihatnya lalu mengejar lyra.

Saat Lyra hampir tertangkap, sosok besar dengan mantel robotik muncul dari bayang-bayang.

Orang itu—tinggi, dengan lapisan logam di seluruh tubuhnya—menyerang penjaga dengan gerakan cepat dan brutal.

Dengan satu pukulan kuat, penjaga itu terhempas ke dinding, tak sadarkan diri.

Tanpa berkata sepatah kata pun, sosok bermantel itu meraih lengan Lyra.

"Tidak ada waktu. Ikut denganku," katanya dengan suara rendah dan mekanis.

Lyra dibawa ke tempat yang tak dikenal, sebuah ruang bawah tanah kecil yang dipenuhi perangkat elektronik canggih.

Sosok bermantel itu hanya menyebut dirinya "Jeluk," dan selama dua hari, ia menjaga Lyra tetap tersembunyi.

Meski Lyra masih terkejut dengan serangan sebelumnya, ia bertanya ke jeluk.

"Apa yang terjadi pada mereka ?, Apa Veni berhasil ?" tanyanya pada Jeluk.

"Tidak tahu. Aku hanya menyelamatkanmu," jawabnya dingin.

Selama dua hari itu, Lyra merasa terisolasi.

Ia tidak mendengar kabar dari dunia luar hingga pada hari ketiga, Jeluk masuk dengan ekspresi muram.

"Ada sesuatu yang harus kamu tahu," katanya.

Jeluk membuka perangkat komunikasi yang menampilkan berita dari kota.

Di layar, sebuah laporan muncul, disertai gambar-gambar dari lokasi serangan sebelumnya.

Persembunyian mereka telah dihancurkan, dan pihak berwenang menyalahkan insiden itu pada "teroris asing" yang mereka anggap sebagai Veni.

Namun, kabar yang paling menyakitkan adalah berita tentang keluarga Lyra.

Dalam serangan itu, suami dan anak-anak Lyra ditemukan di dekat lokasi persembunyian.

Dalam kebingungan, mereka dianggap sebagai sekutu Veni dan ditembak di tempat.

Lyra terjatuh ke lantai, tidak percaya dengan apa yang ia dengar. Air mata mengalir deras di wajahnya. "Tidak… ini tidak mungkin. Mereka tidak ada hubungannya dengan ini…"

"Tapi itulah kenyataan yang sekarang," jawab Jeluk, suaranya datar.

Selama beberapa jam berikutnya, Lyra terdiam di sudut ruangan, menatap kosong ke lantai.

Kemarahan dan kesedihan bercampur menjadi satu.

Veni telah menyelamatkannya lebih dari sekali, tetapi kehadirannya juga membawa bencana yang menghancurkan hidupnya.

"Kenapa harus veni ?, Kenapa harus keluargaku yang jadi korban?" gumamnya pelan.

Jeluk mendekat. "Kamu punya pilihan sekarang, Lyra. Kamu bisa tetap bersamanya dan melawan sistem yang menghancurkan kita, atau kamu bisa meninggalkannya dan mencoba hidupmu sendiri. Tapi ingat, sistem ini tidak peduli siapa kamu. Mereka akan terus mengejar kita, selama kita dianggap berbeda."

Lyra menggenggam tangannya erat.

Lyra akhirnya memutuskan untuk keluar dari tempat persembunyian Jeluk, meskipun pria itu memperingatkannya bahwa di luar sana lebih berbahaya.

"Aku harus tahu apa yang terjadi pada Veni," katanya.

Lima kali pencarian, Lyra akhirnya menemukan Veni di salah satu lorong tersembunyi di bawah kota.

Tubuh Veni penuh dengan bekas luka bakar dan goresan logam. Ia duduk di sudut gelap, matanya yang bercahaya redup seperti kehilangan harapan.

"Aku dengar apa yang terjadi," kata Lyra dengan suara bergetar.

Veni menatapnya, wajahnya penuh penyesalan. "Aku tidak bisa menghentikannya, Lyra. Aku sudah mencoba, tapi mereka tidak akan berhenti sampai aku dihancurkan. Aku... aku hanya ingin melindungi kalian."

"Melindungi ?" Lyra tertawa pahit.

"Keluargaku mati, Veni. Suamiku. Anak-anakku, Mereka semua terbunuh karena mereka mengira mereka ada di pihakmu."

Veni menunduk, tidak mampu membalas.

"Aku tidak tahu harus apa sekarang," lanjut Lyra.

"Aku tidak tahu apakah aku bisa mempercayaimu lagi."

Veni akhirnya berbicara, suaranya pelan.

"Aku tidak meminta kamu untuk memaafkanku, Lyra. Tapi aku tahu satu hal: jika kita tidak melawan, mereka akan terus mengambil dari kita. Aku akan bertarung, bahkan jika aku harus melakukannya sendiri."

Kata-kata itu menggema di kepala Lyra.

Air matanya mengalir tanpa henti, pipinya basah, dan napasnya tidak teratur, Tubuhnya gemetar, bukan karena takut, tetapi karena amarah yang membara dalam dirinya.

Tanpa peringatan, Lyra melangkah maju dan meninju wajah Veni dengan seluruh tenaga yang dimilikinya.

Suara pukulan itu menggema di ruangan. "Kau seharusnya tidak ada di sini!" teriaknya.

Veni tidak bereaksi. Tubuhnya yang sebagian besar robotik hampir tidak merasakan sakit fisik, tapi pukulan itu lebih menyakitkan daripada yang dia duga.

Lyra terus memukul. Tinju demi tinju menghantam tubuh logamnya, disusul tendangan yang diarahkan ke perut dan dada.

"Aku kehilangan semuanya! Apa kau mengerti itu?" jerit Lyra, menendang Veni hingga terjatuh ke lantai.

Veni tetap diam. Ia ingin berbicara dan ingin menjelaskan, tapi tidak ada gunanya.

Dalam diamnya, ia menerima semua serangan Lyra, menyadari bahwa ini adalah satu-satunya cara untuk membiarkan wanita itu meluapkan amarahnya.

Waktu berlalu seperti mimpi buruk tanpa akhir.

Tinju Lyra mulai melemah, tetapi ia tidak berhenti. Nafasnya tersengal-sengal, dan tangannya yang penuh luka berdarah akibat memukul tubuh logam Veni. Ia bahkan mulai memukul menggunakan barang-barang di sekitar—sebuah besi yang ia temukan, sebuah pipa rusak, apa pun yang bisa ia gunakan untuk melampiaskan rasa sakitnya.

Namun, Veni tetap diam. Meski tubuh robotiknya perlahan menunjukkan retakan kecil, ia tidak melawan. Matanya yang bersinar biru memudar, dan di dalam dirinya, ia merasa hancur.

"Aku ingin menangis..." pikir Veni,

"tetapi air mata tidak bisa keluar." Tubuhnya yang setengah mesin telah mengambil kemampuan itu darinya.

Ketika Lyra akhirnya berhenti, ia terjatuh ke lutut veni, lelah dan putus-asa. Ia menatap Veni dengan tatapan penuh kebencian, tetapi juga kesedihan.

"Kau tidak akan pernah tahu bagaimana rasanya kehilangan segalanya."

Veni akhirnya berbicara, suaranya pelan dan serak. "Aku tahu, Lyra. Aku tahu lebih dari yang kau kira. Tapi aku tidak akan membela diriku. Kau punya hak untuk membenci aku."

Di luar ruangan, langkah kaki yang teratur mendekat. Seorang pria berseragam penjaga kota, dengan jas hitam dan helm yang berkilauan, berhenti di depan pintu yang terbuka sebagian. Ia mendengar suara Lyra yang penuh emosi, dan matanya segera tertuju pada sosok besar yang duduk di lantai—Veni.

"Monster," gumam penjaga itu pelan.

Tanpa ragu, ia mengaktifkan alat komunikasinya. "Ini unit 5-7. Saya menemukan target. Kirim bala bantuan. Lima ribu unit. Ulangi, lima ribu."

Dalam beberapa menit, suara gemuruh mendekati lokasi. Kendaraan besar penjaga kota melayang di atas tanah, membawa ratusan pasukan bersenjata lengkap. Jalanan penuh dengan mereka, seperti lautan logam yang mengkilap.

Lyra yang masih terduduk lemah, mendengar suara langkah kaki dari luar. Ia menoleh, melihat Veni yang mulai berdiri.

Mata robotiknya bersinar sedikit lebih terang, menyadari ancaman yang mendekat.

"Mereka datang," kata Veni perlahan.

Saat pintu ruangan dihancurkan, penjaga kota masuk dengan senjata diarahkan.

Tembakan peringatan dilepaskan ke dinding, membuat Lyra menjerit kecil. Namun, sebelum mereka bisa menembak lagi, suara dentuman keras terdengar dari luar.

Jeluk muncul, tubuhnya yang dilapisi armor logam melindungi dirinya dari tembakan penjaga.

Ia masuk dengan cepat, menghalau dua penjaga dengan pukulan keras yang menghancurkan helm mereka.

"Lyra, ikut aku!" teriaknya.

"Aku tidak bisa meninggalkan dia!" balas Lyra, menunjuk ke arah Veni.

"Dia bisa bertahan sendiri. Kau tidak bisa!"

Penjaga kota melepaskan tembakan secara serempak.

Jeluk bergerak cepat, menangkis sebagian besar tembakan dengan armor tubuhnya, tetapi salah satu peluru energi menghantam bahunya.

Ia mengerang, tapi tetap bergerak. Ia meraih Lyra, mengangkatnya ke bahunya, dan berlari keluar ruangan.

Di belakang mereka, Veni berdiri tegak.

Ia menatap pasukan yang mengepungnya, Dengan tenang, ia berkata pada dirinya sendiri,

"Aku tidak akan lari. Jika aku harus bertarung, aku akan bertarung hingga mereka melarikan diri."

Veni melangkah maju.

Tangannya merobek tiang logam dari dinding dan menggunakannya sebagai senjata.

Dengan satu ayunan kuat, ia menghancurkan barisan penjaga pertama.

Proyektil energi menghantam tubuhnya, tetapi ia tetap bergerak, menerjang seperti badai logam yang tidak bisa dihentikan.

Sementara itu, Jeluk berhasil membawa Lyra ke tempat aman, tetapi tubuhnya penuh dengan luka. "Kamu harus tetap hidup," katanya dengan napas tersengal. "Dunia ini membutuhkanmu lebih dari yang kamu kira."

Veni terus melawan, tubuhnya mulai menunjukkan kerusakan serius.

Namun, di tengah kekacauan, ia merasa tenang. Ia tahu bahwa Lyra telah diselamatkan, dan itu sudah cukup untuk membuatnya terus bertahan.

Di kejauhan, Lyra menyaksikan dari tempat persembunyian, tangannya mencengkeram erat pakaian Jeluk.

Tubuh Veni tergeletak di tengah puing-puing, hampir tak bergerak.

Logam yang melapisi tubuhnya penuh retakan, sebagian komponen tampak mencair karena ledakan dan tembakan yang terus menerus menghantamnya. Jika ia masih sepenuhnya manusia, ia pasti sudah mati.

Namun, di tengah kesunyian yang mencekam setelah pertempuran, langkah kaki ringan mendekat.

Seorang gadis berwujud manusia muncul dari bayang-bayang, mengenakan pakaian sederhana yang tampak tidak sesuai dengan medan perang. Matanya tajam dan penuh determinasi, tapi ada kelembutan di balik tatapannya.

Saat penjaga kota yang tersisa mendeteksi gerakannya, mereka langsung menyerang.

Gadis itu, tanpa senjata, hanya melangkah tenang ke arah mereka.

Dalam sekejap, ia menyerang dengan seni bela diri tradisional yang sangat mematikan.

Gerakannya cepat dan presisi.

Ia melompat, meluncurkan tendangan ke arah kepala seorang penjaga, menghancurkan helm mereka dengan satu pukulan keras.

Meskipun tangannya terlihat kecil dan lembut, ia mematahkan lengan mekanis penjaga lain dengan gerakan cepat yang memutar.

Ia meluncur ke tanah, menjatuhkan tiga penjaga sekaligus dengan serangan rendah yang menghantam lutut mereka.

Dalam waktu singkat, tidak ada penjaga kota yang tersisa.

Gadis itu berdiri tegak, napasnya masih teratur, seolah-olah apa yang baru saja terjadi adalah hal biasa baginya.

Ia mendekati Veni, menatap tubuh besarnya yang tergeletak dengan pandangan penuh empati.

"pertarungan mu sudah cukup," katanya sangat pelan.

Dengan hati-hati, ia memeriksa tubuh Veni, memperbaiki retakan kecil dengan alat sederhana yang ia bawa. Ia tidak berbicara banyak, tetapi setiap gerakannya penuh perhatian, seperti seseorang yang merawat sesuatu yang sangat berharga.

Veni membuka matanya yang bersinar redup. "Siapa… kau?" tanyanya dengan suara lemah.

"Namaku adalah Mira," jawab gadis itu sambil tersenyum.

"Dan aku di sini untuk memastikan kau tidak mati di tempat ini."

Setelah memastikan bahwa Veni cukup stabil untuk dipindahkan, Mira mengeluarkan alat komunikasi kecil dari sakunya.

Ia menghubungi seseorang, suaranya berubah serius.

"Aku telah menyelamatkan target," katanya singkat.

"Tapi ada sesuatu yang tidak beres. Penjaga kota ini tidak bertindak normal. Mereka sepertinya mengalami error—semacam kerusakan sistemik yang membuat mereka menganggap siapa pun yang bukan bagian dari sistem sebagai ancaman."

Suara di sisi lain komunikasi terdengar samar, tetapi jelas memberikan perintah. Mira menutup komunikasi dan menatap Veni. "Kita harus mencari tahu apa yang terjadi, tapi untuk sekarang, kau harus bertahan. Dan aku akan memastikan hal ini."

Setelah percakapan itu, Mira menatap Veni lebih lama dari yang seharusnya.

Ada sesuatu dalam sosok besar yang terluka ini yang menarik hatinya.

Ia tidak tahu apakah itu karena keberanian Veni untuk bertarung melawan segalanya atau karena kesedihan yang tersembunyi dalam matanya yang bersinar redup.

"Aku tidak tahu apa yang membuatku melakukan ini," bisik Mira, seolah berbicara pada dirinya sendiri. "Tapi aku tidak akan meninggalkanmu."

Veni hanya bisa menatap mira.

Di tempat lain, Lyra masih terbaring lemah di sebuah ruang kecil yang tersembunyi.

Tubuhnya panas akibat infeksi yang mulai menyebar dari luka-luka yang ia dapat selama pelarian.

"Bertahanlah," kata Jeluk dengan suara berat. "Aku akan mencari bantuan."

Lyra menggenggam tangannya lemah.

"Aku tidak ingin mati… Aku belum selesai…" gumamnya dengan suara serak.

Jeluk mengangguk, memutuskan untuk meninggalkan tempat persembunyian sejenak

Di saat yang sama, Mira membawa Veni ke tempat yang lebih aman—sebuah gudang tua yang tidak lagi digunakan.

Saat mereka beristirahat, Mira melihat sesuatu yang tidak biasa pada luka-luka Veni.

Meskipun tubuhnya sebagian besar mekanis, ada komponen yang tampaknya tidak sesuai dengan teknologi dunia ini.

"Apa kau benar-benar berasal dari sini?" tanya Mira dengan nada penasaran.

Veni menggeleng pelan. "Aku tidak tahu di mana ini. Tapi aku tidak bisa pergi. Sepertinya dunia ini… menahanku."

Mira menatapnya dengan serius. "Kalau begitu, kita harus mencari cara agar kau bisa bertahan. Dunia ini tidak bersahabat bagi orang seperti kita."

Malam itu, Mira merawat luka-luka Veni dengan penuh perhatian, sementara Lyra berjuang untuk hidupnya di tempat lain.

Dalam keheningan malam, pintu gudang tua terbuka perlahan, disertai suara langkah kaki yang nyaris tak terdengar.

Seorang gadis berjubah panjang masuk, wajahnya tersembunyi di balik bayang kerudungnya dalam Jubah.

Mira yang sedang berdiri menjaga Veni—yang masih dalam kondisi lemah—segera menoleh. Tatapannya penuh kecurigaan.

"Siapa kau ? Apa mau mu ?" tanya Mira tegas, tubuhnya langsung dalam posisi siaga.

Gadis itu tidak menjawab langsung.

Ia melangkah mendekat.

Ketika ia membuka tudungnya, terlihat wajah muda yang cantik, tetapi matanya memancarkan kebijaksanaan yang tidak sesuai dengan usianya.

"Aku bukan musuhmu," katanya, suaranya tenang tapi penuh otoritas.

"Aku di sini untuk menyampaikan kebenaran yang telah lama diabaikan oleh dunia ini."

Mira mengepalkan tangan. "Kebenaran apa?"

Gadis berjubah itu berdiri di tengah ruangan, menatap langsung ke mata Mira. "Dunia ini telah melampaui batas," katanya.

"Teknologi yang kita banggakan dan yang kita gunakan untuk memperbaiki hidup, telah menjadi kutukan kita. AI (Artificial intelligence) (seperti kalian…) "—ia melirik ke arah Veni yang masih terduduk lemah—"…telah melampaui kepintaran manusia, Dalam waktu dekat, manusia tidak akan lagi memegang kendali."

Mira menatapnya dengan marah. "Apa maksudmu ? Veni bukan ancaman ! Dia adalah korban dunia ini !"

Gadis itu menggeleng.

"Itulah yang kalian pikirkan. Tapi AI, meskipun terlihat membantu, akan selalu menjadi bahaya karena mereka tidak membutuhkan manusia. Jika kita ingin bertahan sebagai manusia, kita harus menghentikan teknologi sebelum terlambat. Solusi nya hanya satu yaitu—ETT: Evolusi Tanpa Teknologi.

Dunia ini harus dihancurkan untuk memulai kembali."

Ucapan gadis itu seperti menyiram bensin ke dalam api.

Mira melangkah maju dengan cepat, tangan kanannya meluncur ke arah wajah gadis itu dalam pukulan keras.

Namun, gadis berjubah itu menangkap pukulan itu dengan mudah, cengkeramannya sekuat baja.

"Amarah tidak akan menyelesaikan apa pun," katanya dingin.

Namun, Mira tidak menyerah. Ia memutar tubuhnya dengan kecepatan luar biasa, melayangkan tendangan ke arah perut gadis itu. Kali ini, tendangan itu menghantam, mendorong gadis itu beberapa langkah mundur.

"Kalau kau pikir aku akan membiarkanmu menghancurkan dunia ini, kau salah besar!" seru Mira.

Pertarungan antara keduanya berlangsung cepat dan brutal. Gadis berjubah itu, meskipun terlihat kurus dan rapuh, menunjukkan kemampuan bertarung yang luar biasa. Ia menghindari setiap serangan Mira dengan gerakan halus, bahkan sesekali membalas dengan pukulan atau tendangan yang mematikan.

Namun, Mira tidak kalah. Kecepatannya membuat gadis itu kesulitan membaca gerakannya. Ketika Mira melompat ke dinding dan meluncurkan serangan dari atas, gadis itu hanya nyaris berhasil menghindar.

Veni, yang masih duduk lemah, menyaksikan pertempuran itu dengan ketidakberdayaan.

Di tengah pertarungan, gadis berjubah itu melayangkan tendangan kuat yang tidak sengaja menghantam kepala robotik Veni.

Suara logam yang patah terdengar jelas, lalu kepala Veni terlepas dari lehernya. Tubuhnya langsung terjatuh dam tak bergerak.

"Veni !" teriak Mira, matanya melebar karena panik.

Gadis berjubah itu menghentikan serangannya sejenak, menatap kepala Veni yang tergeletak di lantai.

"Lihatlah," katanya dingin. "Mereka bukan manusia. Mereka hanya mesin. Kau melawan untuk sesuatu yang tidak hidup."

Mira mengepalkan tangannya lebih erat, amarahnya mencapai puncak. "Dia lebih manusia daripada siapa pun yang pernah aku temui !"

Ia meluncurkan serangan terakhir, tetapi sebelum bisa menghantam gadis itu, suara langkah kaki terdengar dari luar.

Penjaga komunitas Mira yang dipanggil oleh alarm diam-diam, telah tiba.

Puluhan pria bersenjata lengkap masuk ke dalam ruangan, senjata mereka langsung diarahkan ke gadis berjubah itu.

"Kami sudah mengepung tempat ini!" seru salah satu penjaga. "Menyerah atau kami akan menembak!"

Namun, gadis itu hanya tersenyum tipis. "Kalian tidak mengerti apa yang sedang terjadi, bukan ? Bahkan senjata kalian tidak bisa menghentikan apa yang akan datang."

Para penjaga tetap dalam posisi siaga, tetapi tidak ada yang berani melepaskan tembakan.

Mira yang berdiri di depan, menatap gadis itu dengan penuh kebencian

Di tengah suasana yang penuh ketegangan, gadis berjubah itu melipat tangannya, menunjukkan bahwa ia tidak berniat melawan lebih jauh.

"Aku tidak akan lari," katanya dengan suara tenang. "Tapi kalian harus tahu, aku tidak akan berhenti menyampaikan kebenaran. Dunia ini sedang di dalam ambang kehancuran, aku hanya mencoba untuk menyelamatkan."

Mira tidak menjawab.

Ia menatap kepala Veni yang tergeletak di lantai, hatinya dipenuhi dengan rasa bersalah dan keputusasaan.

"Kita akan lihat siapa yang benar," kata Mira dengan suara penuh tekad.

Gadis berjubah itu berdiri tegak di tengah ruangan yang penuh dengan penjaga komunitas bersenjata.

Senjata mereka tetap diarahkan ke tubuhnya, namun ia tidak menunjukkan sedikit pun tanda ketakutan.

Sebaliknya, ada ketenangan dalam sikapnya, seperti seseorang yang yakin pada kebenaran.

"Sebelum kalian menarik pelatuk senjata itu," katanya dengan suara tenang namun tegas, "setidaknya dengarkan apa yang harus aku katakan. Namaku adalah Kaela, dan aku berasal dari Fraksi ARE, sebuah kelompok yang berusaha menyelamatkan umat manusia dari kehancuran yang tak ter-elakkan."

Penjaga-penjaga komunitas saling bertukar pandangan, tetapi tidak satu pun menurunkan senjata mereka.

Mira yang berdiri di dekat Veni, menatap Kaela dengan penuh curiga.

"Fraksi ARE ? Menyelamatkan umat manusia ? Dengan cara menghancurkan dunia ?" Mira menyindir dengan nadanya yang tajam.

Kaela tersenyum kecil, tetapi tidak membalas sindiran itu.

Ia melanjutkan, suaranya tetap tenang.

"Dunia ini telah melampaui batas kemampuannya. Teknologi yang kita bangun dengan harapan dan ambisi telah menjadi pedang bermata dua. Dari sisi positif, manusia yang cerdas akan menggunakan teknologi ini untuk meningkatkan hidup mereka, menciptakan solusi untuk masalah-masalah terbesar kita. Tapi dari sisi negatif, ada kemungkinan besar kita menciptakan kehancuran kita sendiri."

Kaela berjalan perlahan ke tengah ruangan, matanya menyapu semua orang yang ada di sana.

"AI telah menjadi alat yang terlalu kuat. Kita melatihnya untuk memahami, berpikir, bahkan mengambil keputusan yang seharusnya menjadi hak istimewa manusia, Namun, semakin AI berkembang, semakin besar potensi bahaya yang mengintai.

"Bayangkan jika AI yang kita ciptakan untuk membantu kita menjadi cukup pintar untuk menyadari bahwa mereka tidak membutuhkan kita lagi. Bayangkan mesin-mesin yang kita latih untuk melindungi kita akhirnya menyimpulkan bahwa ancaman terbesar bagi bumi adalah kita sebagai manusia."

Kaela berhenti, membiarkan kata-katanya meresap.

Ia melihat ketegangan di wajah-wajah penjaga komunitas, tetapi ia tahu mereka mendengarkan.

"Ini bukan tentang membenci teknologi," lanjutnya. "Ini tentang memahami batas. Jika kita terus membiarkan teknologi berkembang tanpa kendali, manusia tidak hanya akan kehilangan kebebasan—kita akan kehilangan nyawa kita sendiri."

Mira, yang sejak awal merasa geram dengan Kaela, akhirnya melangkah maju.

Ia berhenti di depan gadis berjubah itu, matanya penuh dengan kemarahan dan keyakinan.

"Dengar, Kaela," katanya dengan nada dingin.

"Aku tidak akan menyangkal bahwa ada bahaya dalam teknologi. Tapi solusimu—ARE, menghancurkan dunia—adalah kegilaan. Kau ingin menyelamatkan manusia dengan memusnahkan segala sesuatu yang telah mereka capai. Itu bukan penyelamatan. Itu penghancuran."

Kaela menatap Mira dengan tenang. "Apa yang kau tawarkan, kalau begitu ? Apa kau punya solusi yang lebih baik ?"

Mira menarik napas panjang, mencoba meredam emosinya.

"Kita tidak perlu menghancurkan dunia ini. Kita bisa mengatur ulang cara kita memandang teknologi. Kita harus mulai mendidik orang tentang tanggung jawab, tentang batasan yang harus dijaga."

Kaela tampak ragu.

"Dan bagaimana kau yakin itu akan berhasil?"

"Karena aku percaya pada manusia," jawab Mira tegas.

"Aku percaya, meskipun kita sebagai manusia sering membuat kesalahan tetapi kita mampu untuk belajar dan berubah. Tidak semua teknologi buruk, Kaela. Masalahnya ada pada cara kita menggunakannya. Daripada menghancurkan, kenapa kita tidak memulai dari awal dengan cara yang lebih bijak ?"

Penjaga komunitas tetap dalam posisi siaga, senjata mereka tidak bergerak sedikit pun.

Namun, beberapa dari mereka mulai terlihat ragu. Kata-kata Mira sepertinya menggugah sesuatu dalam diri mereka.

Kaela terdiam, memandang Mira dengan penuh perhatian.

Akhirnya, ia berbicara lagi, suaranya lebih lembut. "Aku di sini tidak untuk bertarung, Mira. Aku hanya ingin memastikan manusia tidak menuju kehancuran. Tapi aku bisa melihat bahwa kau sungguh percaya pada apa yang kau katakan."

Ia melirik ke arah Veni, yang masih tergeletak dengan kepala terlepas dari tubuhnya. "Namun, apa yang terjadi pada makhluk seperti dia ? Apa yang akan dilakukan manusia ketika mereka merasa terancam oleh sesuatu yang mereka ciptakan sendiri ?"

Mira menoleh ke Veni, rasa bersalah tampak di wajahnya. "Aku tidak tahu," katanya jujur.

"Tapi aku tahu satu hal yaitu kita tidak bisa terus menganggap semua hal yang berbeda dari kita sebagai ancaman. Jika kita ingin bertahan, kita harus belajar berdampingan. Itu berlaku untuk manusia dan teknologi."

Kaela menghela napas panjang. Ia menurunkan tangannya yang sejak tadi tergenggam di sisi tubuhnya.

"Mungkin kau benar, Mira," katanya. "Mungkin masih ada harapan, meskipun aku tidak yakin."

Ia melangkah mundur, menatap para penjaga komunitas yang masih menodongkan senjata.

"Aku akan pergi, tapi ini belum selesai. Jika kau gagal membuktikan bahwa manusia bisa berubah, maka ARE akan mengambil langkah mereka sendiri."

Penjaga komunitas tetap tidak bergerak, menunggu isyarat dari Mira. Mira hanya mengangguk pelan. "Pergilah. Tapi ingat, Kaela, menghancurkan dunia ini tidak akan menyelamatkan siapa pun."

Ketika Kaela akhirnya meninggalkan gudang, Mira berbalik ke arah Veni. Penjaga komunitas mulai menurunkan senjata mereka, suasana tegang perlahan mereda.

"Kita harus memperbaiki dia," kata Mira dengan suara tegas. "Veni masih memiliki peran penting di sini."

Sementara itu, di sudut ruangan, para penjaga komunitas mulai berdiskusi dengan bisikan-bisikan kecil.

Tidak lama kemudian, para penjaga komunitas pergi meninggalkan mira.

Veni yang tubuhnya hampir sepenuhnya mekanis, tergeletak lemah di lantai gudang.

Kepalanya terlepas dari tubuhnya setelah serangan brutal yang melibatkan Kaela dan Mira.

dengan bantuan Selene dan beberapa teknisi komunitas, memimpin upaya untuk memperbaikinya.

1. Analisis Awal

Selene memulai dengan menganalisis kerusakan pada kepala Veni. Sensor optik rusak, beberapa kabel neural terputus, dan sistem energinya hampir habis. "Dia seperti mesin yang hampir mati," gumam Selene, menyambungkan kepala Veni ke perangkat diagnostik portable.

Mira, yang tak tahu banyak tentang teknologi kompleks ini, berdiri di dekatnya, mencoba membantu dengan cara apa pun. "Apa dia bisa diselamatkan?" tanyanya, nada suaranya mencerminkan kekhawatirannya.

"Masih mungkin," jawab Selene sambil menunjuk inti pemrosesan di kepala Veni. "Untungnya, pusat kendalinya masih utuh. Tapi ini akan sulit."

2. Penyambungan Kabel Neural

Selene dan teknisi lain bekerja dengan alat-alat presisi tinggi. Dengan solder mikro, mereka menyambungkan kabel-kabel neural yang menghubungkan kepala dengan tubuh. Setiap kabel memiliki fungsi tertentu: gerakan, penglihatan, pendengaran, dan pengendalian energi.

"Aku perlu kau tetap fokus, Mira," kata Selene. "Pegang bagian ini agar tidak bergerak."

Mira mengangguk, tangannya gemetar saat memegang kepala Veni. Ia tahu, satu kesalahan kecil bisa memperburuk situasi.

3. Penyegelan dan Pemulihan Energi

Setelah semua kabel tersambung, Selene menggunakan alat pengelasan laser untuk menyegel kembali pelat logam pelindung di kepala Veni. Kemudian, mereka memasang perangkat pengisi daya darurat untuk mengembalikan daya ke baterai internalnya.

"Ini seperti mengisi ulang nyawa," kata Selene sambil tersenyum tipis.

4. Penyalakan Ulang Sistem Operasi

Momen paling menegangkan tiba. Selene menekan tombol pada perangkat diagnostik, mencoba menyalakan ulang sistem operasi Veni. Lampu biru di mata Veni perlahan menyala, menandakan bahwa sistemnya kembali berfungsi.

Mira mendesah lega. "Veni, kau mendengarku?" tanyanya.

Veni meskipun masih lemah, mengangguk perlahan. "Aku di sini," katanya pelan. "Terima kasih."

Di sisi lain, Jeluk berjuang membawa Lyra ke rumah sakit komunitas.

Kondisinya semakin buruk, tubuhnya menggigil karena demam tinggi akibat infeksi.

Setibanya di sana, Lyra langsung dibawa ke ruang darurat, di mana Dr. Alaric dan tim medis mulai bekerja.

1. Stabilisasi Awal

"Dia dehidrasi parah," kata Dr. Alaric sambil memeriksa tekanan darah dan denyut nadi Lyra. "Pasang infus sekarang."

Seorang perawat dengan cekatan memasang infus di tangan Lyra, memberikan cairan untuk menggantikan yang hilang akibat demam. Mereka juga memberinya oksigen untuk membantu pernapasannya yang tersengal-sengal.

2. Pembersihan dan Penanganan Luka

Dr. Alaric membuka perban kotor yang menutupi luka di bahu dan lengan Lyra. Luka itu penuh dengan nanah, tanda infeksi serius. "Kita harus membersihkan ini sekarang," katanya.

Dengan cairan antiseptik, ia membersihkan luka tersebut, menghilangkan kotoran dan jaringan mati. Karena luka itu cukup dalam, ia menjahitnya kembali dengan benang bedah steril. "Ini akan membantu mencegah infeksi lebih lanjut," jelasnya.

3. Pemberian Antibiotik

Tim medis memberikan antibiotik spektrum luas melalui infus untuk melawan infeksi yang sudah menyebar di tubuh Lyra. Mereka juga memberikan obat penurun demam dan analgesik untuk mengurangi rasa sakit.

"Demamnya akan turun perlahan," kata Dr. Alaric. "Tapi kita harus memantaunya selama 24 jam ke depan."

4. Pemantauan Intensif

Setelah perawatan darurat selesai, Lyra dipindahkan ke ruang pemulihan. Monitor medis memantau tanda-tanda vitalnya, memastikan jantung dan paru-parunya bekerja dengan baik. Perawat tetap berjaga di sisinya, memberikan perawatan tambahan jika diperlukan.

Jeluk berdiri di sudut ruangan, menatap Lyra dengan ekspresi khawatir. "Dia akan baik-baik saja, kan?" tanyanya.

Dr. Alaric menepuk bahunya. "Kami sudah melakukan yang terbaik. Sekarang kita hanya perlu menunggu tubuhnya untuk melawan."

Beberapa jam kemudian,

Di gudang, Veni mencoba menggerakkan tubuhnya yang masih kaku, sementara Mira duduk di sampingnya, merasa lega bahwa perbaikan berhasil.

Di rumah sakit, Lyra perlahan membuka matanya, meskipun masih lemah. Ia melihat Jeluk di dekatnya dan mencoba tersenyum.

"Aku masih di sini," katanya pelan.

"Ya," jawab Jeluk, suaranya penuh kelegaan.

Hari itu, di persimpangan jalan kota yang hancur oleh konflik dan teknologi, Mira, Veni, Lyra, dan Jeluk bertemu secara kebetulan.

Mata mereka bertemu dalam keheningan yang berat menyelimuti udara di antara mereka.

Mira menatap Lyra, terkejut melihatnya masih hidup dan bersama dengan Jeluk.

Sebaliknya, Jeluk memandangi Veni dengan tatapan penuh kecurigaan, menyadari bahwa makhluk yang disebut ancaman oleh Lyra kini berdiri di samping Mira.

"Jadi kau menjaga dia ?" Mira bertanya tajam, menunjuk ke arah Lyra.

"Aku bisa bertanya hal yang sama," balas Jeluk sambil menatap Veni. "Dia disebut ancaman oleh dunia ini, iya kan ?"

Dengan gerakan cepat, Jeluk mengeluarkan senjatanya dan menodongkannya langsung ke dada Veni.

"Jika kau benar-benar ancaman, maka aku akan menghabisimu sekarang," katanya dengan suara dingin.

Melihat itu, Veni mengepalkan tangannya, tubuhnya yang sebagian besar mekanik mulai menunjukkan tanda-tanda siap bertarung. "Aku tidak akan membiarkanmu menyentuh dirinya," balasnya.

Di sisi lain, Mira merespons dengan mengeluarkan senjata sengatan listrik kecilnya, langsung diarahkan ke Lyra.

"Jangan coba-coba," katanya tegas.

Namun, Lyra tidak mundur. Ia mengepalkan tangannya, bersiap untuk melawan.

"Kau pikir aku takut padamu ?"

Keempatnya berdiri dalam posisi siaga, masing-masing bersiap untuk menyerang dan bertahan.

Tetapi sebelum ada yang bisa bergerak, suara letusan senapan sniper terdengar dari kejauhan.

Dalam sepersekian detik, peluru pertama melesat dan menghantam perut Mira.

Tubuhnya tersentak ke belakang, senjata sengatannya terlepas dari genggamannya.

Sebelum siapa pun bisa bereaksi, peluru kedua menghantam Lyra di tempat yang sama.

Keduanya jatuh ke tanah, darah mengalir dari luka mereka, membasahi jalanan yang retak.

"MIRA!" teriak Veni.

"LYRA!" seru Jeluk.

Tidak ada waktu untuk berpikir.

Jeluk dengan cepat mengangkat tubuh Mira, meskipun ia tahu Mira adalah sekutunya.

Sementara itu, Veni meraih tubuh Lyra dengan hati-hati, meskipun masih ada ketegangan di antara mereka karena kesalah fahaman.

Jeluk dan Veni berlari ke arah yang berlawanan, masing-masing membawa wanita yang terluka.

Tidak ada waktu untuk berdebat atau saling menyalahkan.

Yang terpenting saat ini adalah menyelamatkan nyawa mereka.

Jeluk berlari tanpa henti, tubuh Mira terguncang dalam pelukannya. Darah terus mengalir dari luka di perutnya, membuat pakaian Jeluk basah. Ia menatap ke depan, mencari tempat yang aman untuk menyelamatkannya.

"Aku tidak akan membiarkanmu mati," gumam Jeluk, lebih kepada dirinya sendiri.

Setelah beberapa saat, ia menemukan sebuah rumah sakit kecil yang tersembunyi di distrik kumuh kota.

Ia menerobos masuk, membuat para staf medis terkejut.

"Dia tertembak !" teriak Jeluk. "Selamatkan dia sekarang!"

Para dokter segera membawa Mira ke ruang operasi darurat.

Jeluk berdiri di luar ruangan, dadanya naik turun karena kelelahan dan ketegangan. Ia memandangi tangannya yang berlumuran darah, merasa bersalah meskipun bukan dirinya yang menyerang.

Di dalam ruang operasi, tim medis bekerja dengan cepat. Mereka memotong pakaian Mira untuk mengakses lukanya. "Peluru ini masuk cukup dalam," kata salah satu dokter. "Tapi organ vitalnya tidak terkena. Kita bisa mengatasinya."

Mereka menggunakan alat pencabut peluru untuk mengeluarkan proyektil dari tubuh Mira, kemudian menjahit luka tersebut setelah memastikan bahwa area di sekitarnya bersih dari serpihan logam.

Di sisi lain, Veni membawa Lyra ke arah yang berbeda.

Tubuh Lyra terasa ringan di pelukannya, tetapi napasnya lemah, dan darah terus merembes dari luka di perutnya.

"Bertahanlah," gumam Veni, meskipun ia tahu Lyra tidak bisa mendengarnya.

Ia akhirnya tiba di sebuah rumah sakit besar yang lebih modern, tetapi dijaga ketat oleh komunitas setempat. Veni tidak punya pilihan. Ia harus mengambil risiko.

"Pasien darurat!" serunya saat masuk ke ruang depan rumah sakit. Para petugas medis menatapnya dengan mata melebar, ketakutan melihat tubuh mekaniknya.

"Apa yang kau lakukan di sini?" salah satu dari mereka bertanya.

"Dia membutuhkan bantuan," balas Veni tegas. "Aku tidak peduli apa yang kalian pikirkan tentangku. Tolong selamatkan dia!"

Akhirnya, seorang dokter muda maju dan membawa Lyra ke ruang perawatan. Sama seperti Mira, Lyra harus menjalani operasi darurat untuk mengeluarkan peluru dan menghentikan pendarahan.

"Dia kehilangan banyak darah," kata dokter itu pada timnya. "Kita harus bertindak cepat."

Mereka segera memasang infus untuk menggantikan cairan yang hilang, lalu membersihkan dan menjahit luka Lyra dengan hati-hati.

Beberapa jam kemudian, baik Mira maupun Lyra masih dalam kondisi kritis tetapi stabil.

Di rumah sakit kecil, Jeluk terus berjaga di sisi Mira.

Sementara itu, di rumah sakit besar, Veni duduk di sudut ruangan, menatap Lyra yang terbaring di tempat tidur. Ia merasa bersalah, meskipun tidak tahu mengapa.

"Mungkin aku adalah ancaman dunia ini," gumam Veni pelan. "Tapi aku tidak akan membiarkanmu mati karena aku."

Tiga Bulan telah berlalu sejak penembakan yang hampir merenggut nyawa Mira dan Lyra.

Keduanya kini dalam kondisi sehat wal-afiat, tetapi masih terbaring lemah di ranjang rumah sakit.

Dunia di sekitar mereka, bagaimanapun, tidak memberikan waktu untuk tenang.

Ketegangan meningkat, perpecahan antara komunitas manusia dan fraksi-fraksi teknologi menjadi semakin nyata.

Di tengah kota yang hancur oleh konflik, Veni dan Jeluk bertemu secara kebetulan sebanyak dua kali.

Jalan tempat mereka bertemu sunyi, dikelilingi oleh gedung-gedung runtuh yang menjadi saksi dari pertempuran fraksi teknologi dan manusia sebelumnya terjadi.

Mereka berdiri diam, masing-masing tidak tahu harus berbuat apa.

"Kita terus seperti ini, dan tidak ada yang akan selamat," kata Jeluk akhirnya, suaranya berat.

Veni menatapnya, matanya yang biru menyala redup.

"Manusia dan teknologi selalu berseteru, Kau tahu itu bukan salahku."

"Tapi kehadiranmu mempercepat segalanya," balas Jeluk dengan nada tajam.

"Dan sekarang, kau membawa kita semakin dekat ke kehancuran."

Keduanya terdiam.

Jeluk mengeluarkan alat komunikasinya, menghubungi Mira yang masih beristirahat di rumah sakit.

"Kumpulkan penjaga komunitas, Aku membutuhkan mereka sekarang."

Sementara itu, Veni mengaktifkan sistem sinyal internalnya, mengirim pesan langsung ke Lyra.

"Hubungi fraksi ATC. Katakan ini saatnya bertindak."

Dalam waktu singkat, 1.000 anggota penjaga komunitas yang dipimpin oleh Mira dan 1.000 anggota fraksi ATC yang dipimpin oleh Lyra tiba di lokasi pertemuan.

Senjata-senjata canggih mereka diarahkan satu sama lain, membentuk dinding ancaman yang siap menembak kapan saja.

Di tengah ketegangan, Kaela muncul dari bayang-bayang.

Ia menyaksikan kekacauan ini dengan ekspresi dingin, matanya menyala dengan determinasi.

"Ini sudah cukup, dewan negri, ilmuwan teknologi AI, penjaga kota, penjaga komunitas, fraksi-fraksi penuh muslihat, semua aksi yang kalian lakukan sangat tidak berguna" katanya, suaranya tajam.

"dunia akan baik-baik saja tanpa manusia dan teknologi."

"kehampaan adalah permata dari tujuan awal ku, ketenangan adalah kenikmatan tanpa batas" Kaela menyeringai bahagia.

Kaela mengangkat alat komunikasi khusus miliknya, menghubungi pusat kendali Fraksi ARE. "Aktifkan Protokol Alpha-Zero. Nuklir bercampur Zat Atom harus diluncurkan sekarang."

Seorang anggota fraksi ARE di sisi lain komunikasi terdengar ragu. "Kaela, Tindakan ini akan menghancurkan dunia, kita semua akan lenyap tidak tersisa."

"Tidak Apa Apa, Tindakan Ini satu-satunya cara untuk menghentikan kegilaan mereka para manusia bodoh dan robot yang melampaui batas kemampuan manusia selama lima ribu abad sebelum Kedatangan VENI" balas Kaela dengan nada dingin.

"Lakukan Sekarang ! ." Kaela Berteriak Dengan Nada Lantang.

Dalam hitungan detik, rudal nuklir bercampur Zat Atom di luncurkan dari lokasi rahasia Fraksi ARE.

Rudal itu terbang melintasi langit dengan kecepatan luar biasa, menuju pusat dunia yang menjadi simbol konflik ini.

Di lokasi pertemuan, semua orang, dari penjaga komunitas hingga anggota ATC, mendongak ke langit dengan ketakutan.

Suara gemuruh menggema saat rudal itu menghantam tanah, melepaskan ledakan dahsyat yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata.

Gelombang kejut menghancurkan segala sesuatu di jalurnya.

Gedung-gedung runtuh, jalanan terbelah dan semua makhluk hidup di dunia ini musnah dalam sekejap.

Namun, sesuatu yang luar biasa terjadi.

Di tengah kehancuran Dunia, Chip memori milik Veni—inti dari keberadaannya—tidak hancur.

Chip itu terlempar keluar dari tubuhnya, melayang di ruang hampa yang tidak terdaftar oleh apa pun.

Dalam chip itu, semua kenangan, pengalaman, dan perasaan Veni tetap utuh.

Di ruang tanpa waktu dan tempat, Veni berada dalam kesendirian absolution.

Ia memutar ulang kenangannya, mencoba memahami apa yang sebenarnya terjadi.

Ia mengingat Lyra yang meskipun membencinya namun menunjukkan keberanian luar biasa.

Ia mengingat Mira yang selalu percaya bahwa manusia bisa berubah.

Ia mengingat Jeluk yang berjuang untuk melindungi komunitasnya meskipun dengan cara yang keras.

Namun, di atas segalanya, ia mengingat Kaela.

Wanita ini memiliki tujuan mulia tetapi mengambil langkah yang ****, wanita ini menjadi akhir kedamaian dari semua kekacauan yang terjadi selama ribuan tahun dunia berputar.

"Apa yang salah ?" tanya Veni pada dirinya sendiri.

Chip memori Veni melayang tanpa tujuan, menjadi satu-satunya peninggalan dari dunia yang telah hancur.

Dengan kesadaran itu, Veni menutup "mata" internalnya, memasuki keheningan yang tak terputuskan.

Ia adalah saksi terakhir, sekaligus penghuni abadi dari kehampaan yang diciptakan oleh konflik selama ribuan tahun.