Luna duduk di atas tebing kecil di tepi desa, memandang ke arah hamparan ladang yang luas.
Angin lembut membawa aroma tanah basah, namun pikirannya terasa berat.
Dunia ini terasa sangat asing.
Tubuhnya yang dulu lentur dengan sihir kini digantikan oleh kekuatan fisik yang tak pernah ia kenal sebelumnya.
"Apakah aku masih Luna yang sama ?" gumamnya, suaranya pelan seperti bisikan angin.
Namun, hari-hari berlalu membawa pelajaran baru.
Tradisi dan kebiasaan penduduk dunia ini perlahan mulai mengubah sudut pandangnya. Mereka tidak mengandalkan kekuatan magis, tetapi kebersamaan, ketekunan, dan keberanian.
Luna mengamati seorang laki-laki tua yang sedang memahat kayu di alun-alun desa.
Wajahnya penuh guratan usia, tetapi matanya memancarkan ketenangan.
Ia memahat ukiran sederhana, namun setiap goresannya terlihat penuh perhatian.
"Kenapa kau melakukannya dengan begitu sabar ?" tanya Luna, mendekatinya.
Laki-laki itu tersenyum. "Karena kesabaran adalah kekuatan terbesar kami. Dalam dunia ini, kami tidak bisa mempercepat waktu atau melawan takdir dengan sihir. Kami hanya bisa menciptakan makna dari setiap momen yang kita miliki."
Beberapa minggu kemudian, sebuah kabar buruk datang ke desa. Seorang wanita yang baru tiba dari desa tetangga melaporkan bahwa kelompok pemburu liar telah mulai menyerang desa-desa kecil di sekitar wilayah.
Mereka tidak hanya mencuri hasil panen, tetapi juga menghancurkan tempat-tempat suci yang menyimpan relik kuno, yang dipercaya menjaga keseimbangan dunia.
"Relik itu bukan hanya benda mati," kata wanita itu. "Mereka adalah bagian dari tradisi kami. Jika mereka hancur, dunia kita akan kehilangan arah."
Luna yang mendengar cerita ini merasa tergugah.
"Kita harus menghentikan mereka," katanya.
Namun, seorang pria dari desa menyela, "Mereka terorganisir. Kita tidak memiliki kekuatan untuk melawan mereka secara langsung."
Luna berpikir sejenak. "Kekuatan fisik bukan satu-satunya cara. Kita bisa menggunakan akal dan kerja sama."
Luna memimpin pertemuan kecil di tengah desa.
Bersama beberapa penduduk, termasuk wanita yang membawa kabar.
ia menyusun rencana.
"Pertama, kita harus mencari tahu di mana mereka akan menyerang," kata Luna.
Wanita itu mengangguk. "Aku mendengar mereka bergerak ke arah selatan, ke Desa Mirena. Tempat itu memiliki salah satu relik kuno yang paling penting."
"Kalau begitu, kita harus sampai di sana sebelum mereka," kata Luna. "Kita bisa memasang jebakan di jalur mereka dan melindungi desa."
Penduduk desa mulai bekerja. Mereka membuat jebakan sederhana dari lubang-lubang tersembunyi dan tali yang dirancang untuk menjatuhkan penyerang dari kuda mereka.
Ketika malam tiba, Luna dan kelompoknya bersembunyi di dekat Desa Mirena, mengawasi jalan utama.
Tidak lama kemudian, suara derap kuda terdengar.
sekelompok pemburu liar muncul dari kegelapan.
Luna memberi isyarat, dan jebakan pertama berhasil. Dua penyerang jatuh dari kuda mereka, terjerat tali. Kelompok pemburu liar langsung menyadari bahwa mereka telah dijebak dan mulai menyerang balik.
Luna melompat dari tempat persembunyiannya, menahan salah satu penyerang dengan tubuhnya, sementara penduduk lain memukul mundur mereka dengan alat seadanya.
Pertempuran berlangsung sengit, tetapi kerja sama dan strategi yang dirancang Luna membuat mereka berhasil mengusir pemburu liar.
Setelah pertempuran berakhir, Luna duduk di tepi jalan, napasnya terengah-engah.
Tubuhnya penuh luka.
Seorang wanita dari Desa Mirena mendekatinya.
"Kau telah menyelamatkan relik kami. Tanpamu, mereka akan menghancurkan segalanya."
Luna tersenyum tipis.
"Aku hanya melakukan apa yang harus dilakukan."
Malam itu, di bawah cahaya bintang, Luna menatap langit.
"Aku mungkin bukan Luna yang dulu," gumamnya. "Tapi aku akan menemukan siapa jati diriku yang sekarang."
Malam ni, cahaya lembut dari rembulan menerangi tempat luna.
Luna duduk bersandar pada sebuah pohon besar, tubuhnya terasa lelah setelah berhasil membantu penduduk desa mengusir para pemburu liar.
Api unggun kecil yang ia nyalakan memancarkan kehangatan, tetapi pikirannya masih bergulat dengan kebingungan tentang dirinya sendiri.
Ia merogoh saku kecil di jubahnya, mengeluarkan cermin kecil yang selalu ia bawa.
Pantulan wajah di cermin itu menunjukkan sosok yang berbeda dari dirinya yang dulu, seseorang yang kini harus menerima kenyataan sebagai seorang laki-laki di dunia tanpa sihir.
"Jadi ini diriku sekarang," gumamnya pelan. Ia menatap cermin itu lama, lalu tersenyum kecil.
"Setidaknya, aku masih punya hati yang sama seperti dulu."
Tiba-tiba, dari balik bayangan pepohonan, seorang perempuan muncul.
Ia tampak luar biasa anggun, dengan paras yang memikat dan kehadiran yang terasa menenangkan.
Rambut hitam panjangnya berkilauan di bawah sinar bulan, dan tatapan matanya membawa kelembutan yang sulit dijelaskan.
"Luna, kau tidak sendirian di sini, kan?" katanya sambil berjalan mendekat.
Luna terkejut sejenak, lalu mencoba menenangkan diri.
"Kau siapa? Dan bagaimana kau tahu namaku?"
Perempuan itu tersenyum tipis.
"Aku mendengar banyak hal, termasuk tentang seseorang yang membantu penduduk desa melindungi relik mereka, Kau cukup terkenal sekarang."
Luna menghela napas.
"Aku hanya melakukan apa yang seharusnya dilakukan. Dunia ini mungkin berbeda, tapi aku tidak bisa membiarkan sesuatu yang berharga dihancurkan."
Perempuan itu duduk di dekat api unggun, gerakannya tenang dan penuh percaya diri.
"Namaku Liriel," katanya akhirnya. "Dan aku di sini karena aku ingin membantumu."
Liriel mulai bercerita tentang dirinya dan dunia ini.
"Negeri ini memiliki keseimbangan yang rapuh," ujar Liriel.
"Dulu, ketika semua desa masih bersatu, relik-relik kuno tidak pernah terancam. Tetapi sekarang, dengan konflik antardesa dan para pemburu yang haus kekuasaan, semuanya berubah. Relik-relik itu tidak hanya simbol, Luna. Mereka adalah jantung dari dunia ini."
Luna mendengarkan dengan saksama, mencoba memahami.
"Jika relik-relik itu dihancurkan, apa yang akan terjadi pada dunia ini?"
Liriel menatapnya serius.
"Keseimbangan akan runtuh. Tradisi yang menjaga negeri ini akan hilang, dan kekacauan akan menggantikannya. Waktu mungkin sudah lama berhenti bergerak, tetapi dunia ini tetap memiliki ritme yang hanya bisa dijaga oleh relik-relik itu."
Luna mengangguk pelan, merasa bahwa tugasnya di dunia ini jauh lebih besar daripada yang ia bayangkan.
Liriel kemudian bertanya, "Tapi bagaimana denganmu, Luna ? Dunia ini telah mengubahmu dalam banyak hal. Apa yang kau rasakan tentang semua ini?"
Luna terdiam sejenak, menatap api unggun yang menari pelan. "Aku... merasa kehilangan," jawabnya jujur. "Dunia lama memberiku sihir dan identitas yang jelas. Di sini, aku merasa seperti orang asing—tidak ada sihir, tidak ada waktu, hanya aku yang mencoba menyesuaikan diri."
"Tapi kau tetap bertahan," kata Liriel lembut. "Itu menunjukkan bahwa kau memiliki kekuatan yang lebih besar dari sihir. Kau punya hati yang peduli, dan itu lebih berharga dari apa pun."
Ketika malam semakin larut, Liriel menatap Luna yang terlihat semakin lelah. "Kau tidak bisa terus seperti ini, Luna," katanya. "Tubuhmu butuh istirahat yang layak, dan hutan ini bukan tempat yang aman untuk bermalam."
Luna menggeleng pelan. "Aku sudah terbiasa dengan ini. Aku tidak ingin merepotkan siapa pun."
Liriel tersenyum, kali ini lebih hangat. "Kau tidak merepotkan. Jika kau terus memaksakan diri, bagaimana kau bisa melindungi yang lain? Ikutlah denganku. Aku akan membawamu ke tempat yang aman."
Luna akhirnya mengangguk, meskipun hatinya masih sedikit ragu. "Baiklah. Tapi jangan berharap aku terlalu banyak bicara di jalan."
Liriel tertawa kecil, suaranya seperti nada lembut di tengah malam. "Itu tidak masalah. Aku cukup senang bisa berjalan bersama seseorang yang berani seperti dirimu."
Liriel memimpin jalan, membawa Luna melalui jalur yang hanya diterangi oleh sinar bulan.
Hutan di sekitar mereka perlahan menjadi lebih lebat, tetapi kehadiran Liriel membuat Luna merasa sedikit lebih tenang.
"Kau tahu," kata Liriel sambil melangkah hati-hati, "dunia ini mungkin terasa aneh bagimu, tapi kau sudah membuat banyak perbedaan. Orang-orang di desa mulai berbicara tentangmu sebagai seseorang yang melindungi mereka."
"Aku hanya melakukan yang bisa kulakukan," jawab Luna. "Aku tidak merasa istimewa."
"Dan justru itu yang membuatmu istimewa," balas Liriel.
Perjalanan mereka berakhir di sebuah rumah kecil yang tersembunyi di tengah hutan. Rumah itu tampak sederhana, tetapi hangat dan nyaman. Liriel membuka pintu dan mempersilakan Luna masuk.
"Beristirahatlah," katanya lembut. "Esok hari, kita bisa membicarakan langkah selanjutnya."
Luna menghela napas lega. Untuk pertama kalinya dalam beberapa waktu, ia merasa memiliki tempat yang aman untuk merenung dan memulihkan diri.
Malam itu, Luna tidur di atas kasur sederhana di dalam rumah Liriel.
Meski pikirannya masih dipenuhi oleh berbagai pertanyaan, ia merasa sedikit lebih tenang.
Sebelum menutup matanya, ia bergumam pelan.
"Mungkin dunia ini punya cara untuk menunjukkan jalannya sendiri."
Di luar, Liriel duduk di dekat jendela, menatap bulan yang bersinar terang.
"Kau akan menemukan jawabanmu, Luna," bisiknya.
"Dan aku akan membantumu sampai saat itu tiba."
Matahari baru saja muncul di cakrawala, namun suasana damai pagi di desa tergantikan oleh teriakan kepanikan.
Asap mulai mengepul dari beberapa rumah yang terbakar, dan penduduk berlarian dengan ketakutan.
Beberapa kepala penduduk desa terbengkalai di tanah penuh darah.
Luna yang baru saja bangun dari tidurnya di rumah kecil Liriel, mendengar suara kekacauan dari luar.
Ia bergegas keluar, hanya untuk menemukan pemandangan yang mengerikan yaitu dua sosok menyeramkan berdiri di tengah desa.
Duo kembar itu, Enika dan Ewila, mengenakan jubah hitam panjang yang berkibar tertiup angin.
Di tangan mereka ada cambuk berduri yang bergerak menggeliat, menciptakan suara retakan tajam setiap kali diayunkan.
Mata mereka yang tajam memancarkan kebencian, dan senyum tipis menghiasi wajah mereka seolah menikmati kekacauan yang mereka buat.
"SERAHKAN relik kalian!" teriak Enika, suaranya menggema.
"Atau kami akan membakar desa ini sampai rata dengan tanah!"
Penduduk desa hanya bisa berteriak dan memohon ampun, namun tidak ada yang berani mendekat.
Luna berdiri dengan kaku, jantungnya berdegup kencang. Ia tahu ia tidak memiliki kemampuan untuk melawan mereka, tetapi ia juga tidak bisa hanya diam.
"Aku tidak bisa membiarkan mereka menghancurkan tempat ini," gumamnya pelan, hampir pada dirinya sendiri.
Dari belakang, Liriel berteriak, "Luna! Jangan bertindak gegabah! Mereka terlalu kuat!"
Namun, Luna mengabaikannya. Ia melangkah maju, meskipun langkahnya terasa berat. Tekadnya ada, tetapi keyakinannya terasa rapuh, seperti lilin yang hampir padam.
"Kalian tidak akan mendapatkan apa pun di sini!" teriak Luna, mencoba menyembunyikan rasa takutnya.
Enika tertawa keras, sementara Ewila mengayunkan cambuknya ke tanah, menciptakan retakan yang dalam. "Siapa yang mencoba menjadi pahlawan di sini? Kau bahkan tidak tahu siapa yang kau hadapi!"
Enika menyerang lebih dulu, cambuknya meluncur dengan kecepatan luar biasa ke arah Luna.
Luna melompat ke samping, menghindari serangan itu dengan susah payah.
Namun, Ewila segera menyusul, mengayunkan cambuknya yang menghantam tanah, menciptakan debu dan pecahan batu yang beterbangan.
Luna mencoba melawan dengan senjata seadanya, sebatang kayu panjang yang ia ambil dari tanah. Ia menangkis salah satu cambukan Enika, tetapi kekuatan cambuk itu membuat kayu di tangannya patah menjadi dua.
Liriel yang awalnya bersembunyi di balik rumah, akhirnya melompat ke medan pertempuran.
"Kau tidak bisa melawan mereka sendirian!" teriaknya, meskipun ia sendiri tahu bahwa ini adalah keputusan yang berisiko.
Namun, keberanian Liriel tidak cukup untuk mengimbangi kekuatan duo kembar itu.
Cambuk-cambuk berduri mereka menari di udara, mencabik-cambik tubuh Luna dan Liriel tanpa ampun.
Luna jatuh terduduk setelah cambukan Enika mengenai punggungnya, merobek kulit dan membuat darah mengalir.
Ia mencoba bangkit, tetapi tubuhnya mulai kehilangan tenaga.
Di sisi lain, Liriel berusaha melindungi Luna, tetapi ia menerima serangan yang lebih kejam.
Cambukan Ewila menghantam lengannya dengan keras, mematahkan tulangnya hingga suara retakannya terdengar jelas.
"Argh!" jerit Liriel, wajahnya menahan rasa sakit yang luar biasa.
Namun, Ewila tidak berhenti di situ. Cambuk lainnya mengarah ke kaki Liriel, menciptakan luka dalam yang membuatnya terjatuh dengan darah mengalir deras.
"Liriel !" teriak Luna, mencoba merangkak ke arahnya, tetapi cambukan Enika menghantam dadanya, membuatnya tersentak mundur.
Duo kembar itu tertawa puas, menikmati penderitaan yang mereka ciptakan.
Di tengah kekacauan, suara kuda mendekat dengan cepat.
Seorang prajurit dari Dewan Negeri, seorang laki-laki bertubuh kekar dengan wajah penuh bekas luka, melompat turun dari kudanya.
Ia membawa tombak panjang dan mengenakan baju pelindung yang sudah penuh goresan dari pertempuran sebelumnya.
"Cukup !" teriaknya dengan suara lantang.
Enika dan Ewila berhenti sejenak, menatap pendatang baru itu dengan rasa penasaran.
"Kau pikir bisa menghentikan kami?" tantang Ewila, mengayunkan cambuknya dengan percaya diri.
Namun, prajurit itu tidak berbicara lagi. Ia langsung menyerang, tombaknya bergerak cepat ke arah Enika. Serangan itu cukup untuk membuat duo kembar mundur beberapa langkah.
Pertempuran sengit pun dimulai.
Prajurit Dewan Negeri bertarung dengan keahlian luar biasa, menangkis setiap serangan cambuk dengan tombaknya.
Namun, jumlah mereka yang berdua memberikan keuntungan bagi Enika dan Ewila.
Salah satu cambukan Ewila akhirnya berhasil menghantam punggung prajurit itu, menciptakan luka panjang yang membuat darah mengalir deras. Tetapi, meski terluka, ia tidak menyerah.
Dengan serangan balik yang cepat, ia menusukkan tombaknya ke arah Enika, melukai bahunya.
Enika berteriak kesakitan, tetapi tidak cukup untuk menghentikan mereka sepenuhnya.
"Ini belum selesai," kata Enika sambil menahan darah di bahunya.
Ewila melemparkan tatapan tajam ke arah prajurit itu.
"Kami akan kembali, dan kali ini tidak akan ada yang selamat."
Dengan itu, duo kembar itu melompat ke kuda mereka dan melarikan diri, meninggalkan desa dalam keadaan hancur.
Setelah mereka pergi, prajurit itu segera menghampiri Luna dan Liriel yang terkapar di tanah.
"Kalian terluka parah. Kita harus segera membawa kalian ke tempat aman," katanya.
Luna mencoba bangkit, tetapi tubuhnya terlalu lemah.
Ia hanya bisa melihat Liriel yang terbaring dengan tangan patah dan kaki yang terluka parah, darahnya terus mengalir.
"Aku minta maaf..." gumam Luna pelan, merasa bersalah karena keras kepalanya telah membawa mereka ke dalam bahaya ini.
"Jangan bicara sekarang," ujar prajurit itu.
"Kalian masih hidup, dan itu yang paling penting."
Dengan hati-hati, ia mengangkat tubuh Liriel ke atas kudanya, sementara Luna dibantu untuk berjalan.
Mereka meninggalkan desa yang kini dipenuhi tangisan dan asap, menuju tempat yang lebih aman untuk memulihkan diri.
Malam itu, Luna hanya bisa merenung di bawah langit yang gelap. Ia merasa gagal, tetapi juga tahu bahwa ini adalah pelajaran yang menyakitkan.
Meskipun Liriel terluka parah, menatap Luna dengan senyum samar.
"Kau bertahan, dan itu yang terpenting," katanya dengan suara lemah.
Luna menggenggam tangan Liriel, berjanji dalam hati bahwa ia tidak akan pernah membiarkan sesuatu seperti ini terulang.
Hari-hari setelah serangan di desa menjadi awal dari mimpi buruk yang meluas.
Enika dan Ewila yang gagal merebut relik desa, memulai teror mereka ke desa-desa lain.
Mereka tidak hanya menyerang, tetapi juga meninggalkan jejak kehancuran yang menanamkan rasa takut yang mendalam.
Di Desa ****, yang terletak di barat daya, serangan mereka menjadi kisah pertama dari pembantaian besar-besaran.
Saat matahari terbenam, penduduk Desa **** tengah mempersiapkan makan malam di rumah masing-masing.
Enika dan Ewila tiba tanpa peringatan, Dengan cambuk berduri mereka, mereka memecahkan pintu-pintu rumah satu per satu, menarik penduduk keluar.
"Kalian berani melawan kami ?" tanya Enika dengan suara dingin.
"Kami akan memastikan kalian tidak pernah berpikir untuk menyembunyikan relik lagi."
Penduduk yang mencoba melawan segera menjadi contoh kejam.
Ewila mencambuk seorang pria tua, kulitnya terkelupas karena duri cambuk yang menghantamnya berulang kali. Jeritannya menggema di malam yang sepi.
Anak-anak dan perempuan yang berusaha melarikan diri dihentikan oleh cambukan yang diarahkan ke kaki mereka, memaksa mereka jatuh ke tanah. Enika tersenyum puas melihat penderitaan mereka.
Setelah memastikan tidak ada yang berani melawan, mereka memulai metode keji mereka untuk menggali informasi tentang keberadaan relik.
Enika memilih seorang perempuan muda yang memohon ampun di depan mereka. "Di mana reliknya?" tanyanya dingin.
Perempuan itu terisak, gemetar ketakutan. "Aku tidak tahu... Aku tidak tahu apa yang kalian bicarakan!"
Ewila mendekat, mengangkat cambuknya tinggi-tinggi, lalu menghantamkan ujungnya ke bahu perempuan itu, menciptakan luka yang dalam.
Jeritannya menggema di seluruh desa, membuat yang lain hanya bisa menyaksikan tanpa daya.
"Katakan atau kau akan menyesal!" seru Enika.
Ketika perempuan itu tetap diam, mereka menyeretnya ke tiang kayu di tengah desa.
Dengan kejam, mereka mengikatnya dan meninggalkannya di sana, terluka dan penuh darah.
Serangan mereka tidak berhenti di Desa ****.
Dalam beberapa hari, kabar tentang duo kembar ini menyebar ke desa-desa lain, menciptakan ketakutan yang meluas.
Di Desa Mytra, Enika dan Ewila tidak hanya menyerang, tetapi juga menghancurkan seluruh lumbung makanan, meninggalkan penduduk dalam kelaparan.
Mereka menemukan seorang kepala desa yang mencoba menyembunyikan relik di bawah rumahnya.
Dengan kejam, mereka menyeret pria itu ke tengah lapang, memaksanya menggali relik dengan tangan kosong sambil mencambuk punggungnya.
"Lihat apa yang terjadi jika kalian mencoba melawan kami !" teriak Ewila, wajahnya penuh kepuasan.
Pria itu akhirnya menyerah, tubuhnya penuh luka. Namun, bahkan setelah menemukan relik, Enika dan Ewila tidak puas.
Mereka menghancurkan benda suci itu di depan mata penduduk, memastikan rasa putus asa melanda semua orang.
Di Balai Dewan Negeri, laporan tentang pembantaian ini terus berdatangan. Ketua Dewan Jorvan Mekk membaca laporan dengan wajah penuh kemarahan.
"Mereka harus dihentikan," katanya tegas. "Kita tidak bisa membiarkan mereka terus menciptakan kehancuran seperti ini."
Seorang prajurit berdiri dan memberi hormat. "Kami sudah mengirim beberapa pasukan untuk melacak mereka, tetapi mereka bergerak dengan sangat cepat. Setiap kali kami tiba di desa yang mereka serang, mereka sudah pergi."
Jorvan memandang peta yang penuh dengan tanda merah, menunjukkan desa-desa yang telah diserang. "Mereka tidak hanya mencari relik. Mereka mencoba menanamkan rasa takut di hati semua orang."
Hari demi hari, teror Enika dan Ewila terus berlanjut.
Setelah meninggalkan Desa Erina yang hancur, mereka bergerak ke desa-desa lain, membawa kekejaman yang melampaui batas manusia.
Mereka tidak hanya menyerang untuk menghancurkan relik, tetapi juga untuk menanamkan rasa takut yang mendalam ke setiap jiwa yang mereka temui.
Setiap desa yang mereka kunjungi berakhir dalam kehancuran, dengan darah yang menggenang di jalanan.
Pagi itu di Desa Nirva, penduduk bersiap menghadapi hari seperti biasa. Mereka tidak tahu bahwa kekejaman akan segera tiba.
Enika dan Ewila muncul dari hutan, cambuk berduri mereka sudah siap menghantam. Tanpa basa-basi, mereka menyerang kepala desa yang sedang memimpin rapat di alun-alun.
"Kau kepala desa ?" tanya Enika dengan suara dingin.
Kepala desa mengangguk gemetar.
"Apa yang kalian inginkan ? Kami tidak memiliki apa pun untuk diberikan."
"Berikan Relik kalian," jawab Ewila tajam. "Serahkan atau kami akan mengambilnya bersama nyawamu."
Kepala desa menggeleng, mencoba berbicara, tetapi sebelum ia bisa menjawab, cambuk berduri Enika menghantam lehernya. Seketika, kepalanya terpisah dari tubuhnya, jatuh ke tanah dengan darah mengalir deras.
Penduduk yang melihat itu berteriak ketakutan, beberapa berusaha lari, tetapi tidak ada yang bisa melarikan diri dari cambukan mereka.
Duo kembar itu menyisir desa, membunuh siapa saja yang berani menentang mereka. Seorang pemuda mencoba melindungi keluarganya dengan tombak kecil, tetapi cambukan Ewila menghancurkan senjatanya, lalu merobek daging di lengannya hingga tulangnya terlihat.
"Beraninya kau melawan kami," kata Ewila, sebelum menghantamkan cambuknya ke dada pemuda itu, menghancurkan tulang rusuknya.
Seorang ibu yang mencoba menyembunyikan anak-anaknya di dalam rumah juga tidak luput dari serangan. Enika menghancurkan pintu rumahnya dengan sekali cambukan, menyeret perempuan itu keluar sambil tertawa dingin.
"Di mana reliknya?" tanyanya, menarik rambut perempuan itu hingga berlutut di depannya.
"Aku tidak tahu!" teriaknya, air matanya mengalir deras.
Enika tidak peduli. Dengan cambukan brutal, ia menghantam punggung perempuan itu, menciptakan luka dalam yang mengalirkan darah segar.
Anak-anaknya hanya bisa menangis ketakutan dari dalam rumah, melihat ibu mereka tersungkur tak berdaya.
Setelah menghancurkan Desa Nirva, Enika dan Ewila menemukan relik kuno yang disembunyikan di bawah altar desa. Dengan tawa sinis, mereka menghancurkan relik itu di depan para penduduk yang tersisa.
"Ini yang kalian sebut suci?" tanya Enika sambil menendang pecahan relik itu.
"Tidak ada yang suci di dunia ini," tambah Ewila dengan senyum licik.
Kekejaman mereka tidak hanya berhenti di desa-desa di negeri ini.
Enika dan Ewila mulai menyebrang ke negeri tetangga, membawa teror yang sama.
Di Desa Elenor, mereka membakar seluruh lumbung makanan dan menggantung kepala desa di alun-alun sebagai peringatan.
"Kalian bisa lari," kata Enika kepada penduduk yang bersembunyi, "tapi kalian tidak akan pernah bisa bersembunyi dari kami."
Ewila menambahkan, "Kami adalah penghancur, dan tidak ada yang bisa menghentikan kami."
Penduduk yang mencoba melarikan diri diserang tanpa ampun. Cambukan mereka tidak hanya memutuskan nyawa, tetapi juga menghancurkan harapan.
Di Balai Dewan Negeri, para pemimpin semakin putus asa.
Laporan tentang pembantaian terus berdatangan, tetapi tidak ada rencana yang cukup matang untuk menghadapi duo kembar itu.
"Mereka bergerak terlalu cepat," kata salah satu dewan. "Bahkan sebelum pasukan kita tiba, mereka sudah meninggalkan kehancuran di belakang mereka."
Pemimpin negeri hanya bisa menghela napas berat. "Jika kita tidak menghentikan mereka, seluruh negeri ini akan hancur."
Namun, tidak ada yang berani bertindak langsung. Duo kembar itu terlalu kuat, dan setiap pasukan yang dikirim untuk melawan mereka berakhir dengan kekalahan telak.
Di balai pemulihan, Luna dan Liriel mendengar kabar tentang pembantaian ini.
Meskipun tubuh luna belum sepenuhnya pulih, ia mengepalkan tangannya dengan amarah membara.
"Kita tidak bisa hanya duduk diam," katanya.
Liriel menatapnya tajam.
"Tapi kita tidak siap untuk melawan mereka. Mereka bukan hanya kuat secara fisik, Luna, Mereka adalah simbol ketakutan. Jika kita melawan tanpa rencana, kita akan menjadi korban berikutnya."
Enika dan Ewila terus melanjutkan perjalanan mereka, meninggalkan jejak darah dan kehancuran di setiap tempat yang mereka kunjungi.
Sementara itu, Luna dan Liriel harus menghadapi keputusan sulit yaitu menunggu hingga mereka cukup kuat untuk melawan, atau melangkah maju tanpa kepastian kemenangan.
Bulan berikutnya, kabar kehancuran desa-desa terus membanjiri Balai Dewan Negeri.
Hingga kini, 200 desa telah menjadi abu, relik-relik suci dihancurkan, dan milliaran nyawa melayang tanpa ampun.
Laporan terakhir yang diterima memuat kisah mengerikan tentang Desa Lumera, di mana kepala desa dan keluarganya digantung terbalik di alun-alun, tubuh mereka penuh bekas cambukan. Para penduduk yang selamat menggambarkan Enika dan Ewila sebagai "iblis dalam wujud manusia."
Di ruang rapat, suasana mencekam.
Pemimpin negeri, bersama dua pemimpin regional lainnya, memutuskan untuk turun langsung ke medan untuk menghadapi duo kembar itu.
"Kita tidak bisa menunggu lebih lama lagi," kata salah seorang pemimpin dengan nada penuh kemarahan. "Mereka harus dihentikan, sekarang atau tidak sama sekali."
Namun, keputusan itu dibuat dengan terburu-buru, tanpa rencana yang matang.
Di sebuah padang gersang yang jauh dari desa mana pun, pasukan berkuda berjumlah 100 orang, dipimpin oleh tiga pemimpin negeri, akhirnya menemukan duo kembar itu.
Enika dan Ewila berdiri di tengah medan, cambuk berduri mereka berayun perlahan di udara, menciptakan suara tajam yang menggetarkan hati.
Wajah mereka penuh senyum sinis, tidak menunjukkan sedikit pun rasa takut.
"Sungguh pertunjukan yang menarik," ujar Enika dengan nada mengejek.
"Tiga pemimpin besar datang dengan pasukan kecil seperti ini?"
Ewila menambahkan, "Kalian benar-benar tidak tahu kapan harus menyerah, ya?"
Pemimpin negeri yang berada di depan menatap mereka penuh kebencian.
"Kalian telah menghilangkan banyak nyawa ! Ini adalah akhir dari segalanya!"
Namun, kata-kata itu hanya membuat Enika tertawa. "Akhir ?" katanya sambil mengayunkan cambuknya sekali, menciptakan celah di tanah. "Kalian bahkan belum memulai."
Pasukan berkuda langsung menyerang, memacu kuda mereka ke arah duo kembar dengan tombak dan pedang terangkat tinggi.
Namun, Enika dan Ewila tetap berdiri tanpa bergerak, menunggu mereka mendekat.
Ketika jarak sudah cukup dekat, cambuk Enika melesat ke arah seorang prajurit di depan.
Duri-duri tajam cambuk itu menancap di lehernya, menariknya dari atas kudanya dengan kekuatan luar biasa.
Tubuhnya terhempas ke tanah, darah mengalir deras dari luka di lehernya.
Ewila melompat ke depan, cambuknya menghantam barisan prajurit di sisi kiri, menciptakan luka besar di dada dan perut mereka.
Jeritan kesakitan terdengar di seluruh medan pertempuran.
Dalam waktu singkat, medan pertempuran berubah menjadi tempat pembantaian.
Enika menggunakan cambuknya untuk merobek baju besi prajurit, mencabik daging di bawahnya hingga tulang terlihat.
Seorang prajurit yang mencoba menyerangnya dari belakang dihantam dengan cambuk yang langsung mematahkan tulang rahangnya.
"Begitu mudahnya kalian semua hancur," katanya dengan nada puas.
Di sisi lain, Ewila menunjukkan kekejaman yang lebih dingin.
Ia menangkap seorang prajurit yang mencoba lari, melilitkan cambuknya ke lehernya, lalu menariknya dengan keras hingga terdengar suara tulang yang patah.
"Tidak ada tempat untuk melarikan diri," katanya sambil melepaskan tubuh prajurit itu ke tanah.
Ketiga pemimpin negeri mencoba menyusun kembali pasukan mereka, tetapi duo kembar itu terlalu cepat dan mematikan.
Salah satu pemimpin regional akhirnya maju ke depan, memegang pedang panjang.
Ia menyerang dengan penuh keberanian, mencoba menebas Enika.
Namun, cambuk berduri Enika melesat lebih cepat, melilit pedangnya dan menariknya dengan kekuatan besar.
Pedang itu terlepas dari tangannya, sementara cambukan kedua menghantam kakinya, membuatnya jatuh berlutut.
"Seorang pemimpin yang bahkan tidak bisa berdiri," kata Enika sambil mengayunkan cambuk terakhirnya ke leher pemimpin itu, memutuskan kepalanya dalam satu gerakan.
Pemimpin kedua mencoba menyerang Ewila dengan tombaknya, tetapi Ewila melilit tombak itu dengan cambuknya, lalu menarik pemimpin itu mendekat. Ia menghantam dadanya dengan cambukan brutal, menghancurkan tulang rusuknya dalam satu serangan.
Pemimpin negeri utama, yang melihat semuanya, mencoba melarikan diri, tetapi Enika melesatkan cambuknya ke arah kudanya, menjatuhkannya ke tanah.
Pasukan militer berkuda yang tersisa berhasil menyelamatkannya, tetapi tubuhnya penuh luka akibat serangan dahsyat.
Setelah pertempuran itu, Enika dan Ewila berdiri di tengah medan yang penuh mayat.
Darah menggenang di bawah kaki mereka, sementara cambuk mereka bersimbah darah.
"Kemenangan yang mudah," kata Ewila sambil menyeka darah dari wajahnya.
"Dan perjalanan kita belum selesai," tambah Enika.
"Masih banyak desa yang harus kita hancurkan."
Dengan itu, mereka pergi meninggalkan medan pertempuran, membawa teror ke tempat berikutnya.
Di Balai Dewan Negeri, berita tentang kekalahan itu menciptakan kepanikan besar.
Dua pemimpin regional telah gugur, dan satu pemimpin negeri utama terluka parah.
"Mereka terlalu kuat," kata salah seorang dewan.
"Kita tidak bisa melawan mereka seperti ini."
Ketua Dewan Mekk menghela napas berat.
"Kita harus menemukan cara untuk menghentikan mereka, sebelum seluruh negeri ini menjadi abu."
Namun, bahkan di tengah strategi yang belum matang, rasa takut mulai menguasai hati para pemimpin.
Di kejauhan, Enika dan Ewila terus berjalan, cambuk mereka berayun pelan.
Mereka tidak tergesa-gesa, tetapi jejak darah dan kehancuran mengikuti setiap langkah mereka.
Kekacauan terus berlanjut. Setelah membantai pasukan militer dan dua pemimpin regional, Enika dan Ewila bergerak tanpa hambatan ke desa-desa yang tersisa. Mereka tidak hanya membunuh, tetapi menikmati setiap detik teror yang mereka ciptakan.
Setiap langkah mereka adalah awal dari mimpi buruk bagi siapa pun yang berada di jalan mereka.
Desa Kriya adalah desa kecil yang terkenal dengan seni kerajinannya.
Penduduknya hidup damai, mengukir kayu dan batu menjadi benda-benda indah.
Namun, kedamaian itu pecah ketika duo kembar muncul di pagi buta, cambuk mereka berayun pelan seperti predator yang sedang berburu.
Penduduk desa berkumpul di alun-alun, wajah mereka dipenuhi rasa takut. Kepala desa, seorang pria tua dengan janggut panjang, mencoba berbicara.
"Kami tidak memiliki apa pun yang kalian cari," katanya dengan suara gemetar.
Enika tersenyum tipis. "Semua orang mengatakan hal yang sama. Tapi kami tahu kalian berbohong."
Tanpa peringatan, Ewila mengayunkan cambuknya ke arah kepala desa. Duri cambuk itu menancap di lengannya, menariknya ke depan dengan kekuatan besar. Kepala desa jatuh berlutut, darah mengalir deras dari luka yang dalam.
"Dimana reliknya?" tanya Enika dingin.
Kepala desa menggeleng lemah, air matanya mengalir. "Kami tidak tahu apa yang kalian bicarakan…"
Cambuk Ewila menghantam punggung pria itu, membuat kulitnya robek hingga tulangnya terlihat. Jeritan kesakitannya menggema di seluruh desa, tetapi Enika tetap menatapnya tanpa ekspresi.
"Semakin kau berbohong, semakin banyak rasa sakit yang akan kau rasakan," katanya.
Setelah memastikan kepala desa tak lagi bernapas, duo kembar mengalihkan perhatian mereka ke penduduk lainnya.
Mereka memilih seorang perempuan muda yang mencoba melarikan diri, menariknya kembali dengan cambuk berduri.
"Kau pikir bisa lari dariku ?" kata Ewila sambil menyeret tubuh perempuan itu di atas tanah.
Perempuan itu meronta, memohon ampun, tetapi tidak ada belas kasihan.
Cambuk Enika menghantam wajahnya, menciptakan luka dalam yang membuatnya tak bisa berbicara lagi.
"Kalian semua akan belajar untuk tidak melawan kami," ujar Enika dengan nada dingin.
Penduduk lain yang mencoba bersembunyi di dalam rumah mereka juga tidak selamat.
Ewila membakar pintu-pintu dengan obor, memaksa mereka keluar.
Mereka yang tetap bertahan di dalam rumah dihantam dengan cambukan yang mematahkan tulang, sementara anak-anak dipisahkan dari orang tua mereka hanya untuk menyaksikan kekejaman itu.
Di tengah kekacauan, duo kembar menemukan altar desa yang menyimpan relik kuno.
Relik itu adalah sebuah patung kecil yang diukir dari batu berharga, simbol pelindung desa selama berabad-abad.
"Lihat betapa berharganya ini bagi mereka," kata Enika sambil mengangkat patung itu tinggi-tinggi.
Ewila tertawa, lalu mengambil cambuknya. "Mari kita buat mereka kehilangan segalanya."
Dengan satu hentakan, cambuknya menghancurkan patung itu menjadi serpihan kecil.
Penduduk desa hanya bisa menangis, kehilangan kepercayaan terakhir mereka.
Setelah menghancurkan Desa Kriya, Enika dan Ewila tidak beristirahat.
Mereka bergerak ke Desa Selina yang terletak tidak jauh dari sana.
Di desa itu, mereka menangkap para pemimpin lokal dan menggantung mereka di alun-alun dengan tubuh terbalik.
Cambukan terus menghantam mereka, membuat darah menetes ke tanah seperti hujan merah.
"Kami tidak hanya menghancurkan desa kalian," kata Ewila kepada para penduduk yang ketakutan. "Kami menghancurkan harapan kalian."
Enika mengambil seorang anak kecil yang mencoba menyelamatkan ibunya. Ia mengangkat anak itu tinggi-tinggi di depan semua orang. "Kalian akan belajar untuk tunduk," katanya, sebelum melemparkan anak itu ke tanah dengan keras.
Di Balai Dewan Negeri, suasana semakin tegang.
Para pemimpin negeri yang tersisa hanya bisa menyaksikan kehancuran dari jauh melalui laporan yang datang setiap hari.
"Mereka bukan manusia," kata salah seorang dewan dengan nada putus asa.
"Mereka adalah iblis yang tidak bisa dihentikan."
Di tempat pemulihan, Luna dan Liriel mendengar tentang serangan terbaru di Desa Kriya dan Selina.
Wajah Luna memerah karena amarah, sementara Liriel hanya bisa menundukkan kepala dengan sedih.
"Kita tidak bisa hanya duduk di sini," kata Luna dengan tegas. "Mereka harus dihentikan, apa pun caranya."
Namun, Liriel menggeleng. "Kita tidak cukup kuat. Mereka bukan hanya melawan dengan cambuk, mereka jauh lebih sulit untuk dikalahkan."
Duo kembar itu terus bergerak, menghancurkan desa demi desa, meninggalkan jejak darah dan kehancuran di mana-mana.
Satu tahun telah berlalu.
Dalam kurun waktu itu, duo kembar Enika dan Ewila telah meninggalkan jejak kehancuran di mana-mana.
2.000 desa telah menjadi abu, ribuan nyawa melayang, dan setiap relik yang mereka temukan di hancurkan tanpa ampun.
Balai Dewan Negeri penuh dengan laporan kehancuran yang masuk setiap hari, menunjukkan lintasan teror yang terus meluas.
"Tidak ada satu pun pasukan kita yang berhasil menghentikan mereka," kata Ketua Dewan Jorvan Mekk. "Mereka bertindak seperti angin topan. Membakar apa saja yang ada di jalan mereka."
Namun, di tengah kesedihan dan ketakutan itu, sesuatu yang baru dan lebih gelap mulai mengintai.
Di tengah malam, saat Enika dan Ewila menghancurkan sebuah desa kecil di pegunungan, mereka tiba-tiba berhenti.
Di hadapan mereka berdiri seorang wanita dengan kehadiran yang luar biasa menyeramkan. Ia mengenakan zirah hitam yang terukir dengan simbol-simbol kuno, dipadukan dengan jubah gelap yang bergerak seolah hidup. Di tangannya, ia memegang tongkat sihir besar yang tampak seperti terbuat dari tulang dan logam, dihiasi ukiran yang memancarkan aura kematian.
Wanita itu tidak memperkenalkan dirinya. Ia hanya menatap mereka dengan mata yang memancarkan kebencian dan kekuasaan.
"Jadi kalianlah yang disebut sebagai mimpi buruk negeri ini," katanya dengan suara dingin yang menggema.
Enika yang biasanya percaya diri, merasakan tubuhnya gemetar tanpa alasan.
Ewila mencoba berbicara, tetapi suaranya terhenti oleh rasa takut yang tak bisa di jelaskan.
Wanita itu melangkah maju, tanah di bawahnya bergetar seolah-olah tunduk pada keberadaannya.
"Kalian mungkin kuat, tetapi kalian hanyalah anak kecil di hadapan saya."
Enika mencoba melawan, mencambukkan senjatanya ke arah wanita itu. Namun, dengan satu gerakan sederhana tongkatnya, wanita itu memblokir serangan itu dan memaksa Enika berlutut di tanah.
Ewila, yang melihat hal ini, melancarkan serangan balik, tetapi hasilnya sama. Wanita itu mengayunkan tongkatnya ke udara, menciptakan tekanan besar yang memaksa Ewila jatuh dengan kepala tertunduk.
"Kalian akan mengikuti saya," katanya tegas. "Dan bersama saya, kalian akan melampaui batas kekuatan kalian."
Dalam keadaan tertunduk, Enika dan Ewila hanya bisa mengikuti wanita itu tanpa kata.
Mereka bergerak melalui hutan lebat dan lembah tersembunyi, menuju sebuah tempat yang bahkan mereka sendiri tidak tahu keberadaannya.
Setelah perjalanan panjang, mereka tiba di sebuah lokasi yang tidak pernah disebutkan dalam peta mana pun—sebuah benteng tua yang terkubur di balik gunung.
Tempat itu dikelilingi oleh tembok tinggi yang dipenuhi simbol pelindung yang dibuat oleh sepuluh pemimpin negeri di masa lalu.
Di tengah benteng tersebut berdiri sebuah altar besar yang memegang relik paling kuat di negeri itu yaitu Kristal Eos, sebuah batu bercahaya yang dipercaya sebagai sumber kekuatan para pemimpin negeri.
Relik ini tidak hanya melindungi keseimbangan dunia tetapi juga dapat memberikan kekuatan yang melampaui batas bagi siapa pun yang berhasil menguasainya.
Ketika ketiganya mendekati benteng, langit yang cerah tiba-tiba menjadi gelap.
Petir menyambar, angin bertiup kencang, dan udara terasa berat, seolah-olah seluruh dunia menyadari ancaman yang sedang mendekat.
Para penjaga benteng yang dilatih oleh Dewan Negeri segera menyadari kedatangan mereka.
Pasukan pemanah naik ke dinding, dan para prajurit berkuda membentuk barisan pertahanan di depan gerbang utama.
"Siapa mereka ?" tanya salah satu penjaga dengan suara gemetar, matanya tertuju pada wanita misterius yang berjalan di depan.
"Apa pun itu, kita harus melindungi relik dengan nyawa kita !" teriak pemimpin penjaga.
Wanita itu mengangkat tongkatnya tinggi-tinggi, menciptakan gelombang energi gelap yang langsung menghancurkan gerbang utama.
Prajurit-prajurit yang berdiri di dekatnya terpental ke udara, tubuh mereka terhempas ke tanah dengan suara tulang yang patah.
"Tidak ada yang bisa menghentikan kita," kata wanita itu dengan nada dingin.
Enika dan Ewila mengikuti di belakangnya, cambuk mereka melesat dengan kecepatan luar biasa, menghancurkan barisan pertahanan prajurit satu per satu.
Seorang prajurit mencoba menusukkan tombaknya ke arah Ewila, tetapi ia menangkap tombak itu dengan cambuknya dan menghancurkannya menjadi serpihan.
Dengan satu gerakan cepat, ia menghantamkan cambuknya ke dada prajurit itu, membuatnya jatuh dengan luka yang dalam.
Di sisi lain, Enika mengayunkan cambuknya dengan brutal, menebas perisai para penjaga seperti kertas. Ia melilitkan cambuknya ke kaki salah satu prajurit, menariknya hingga tulangnya patah.
Wanita misterius itu hanya berdiri di depan altar, memerhatikan kekacauan di sekelilingnya. Ia tersenyum tipis, lalu mengarahkan tongkatnya ke arah altar.
Ketika wanita itu menyentuh Kristal Eos dengan tongkatnya, cahaya terang menyelimuti seluruh benteng.
Enika dan Ewila berlutut, merasakan kekuatan luar biasa yang mulai mengalir melalui tubuh mereka.
Luka-luka mereka sembuh seketika, dan cambuk mereka bersinar dengan energi kegelapan menggelombang.
"Kini kalian adalah senjata yang sesungguhnya," kata wanita itu.
"Dengan kekuatan ini, tidak ada yang bisa menghentikan kita."
Di Balai Dewan Negeri, para pemimpin yang tersisa menyaksikan kejadian ini melalui laporan para pengintai.
"Mereka telah menemukan relik terakhir," kata Ketua Dewan mekk dengan wajah pucat.
"Jika mereka berhasil menguasainya, dunia ini tidak akan pernah sama."
"Apakah ini akhir dari semuanya?" bisik salah seorang dewan dengan putus asa.
Di benteng yang kini berubah menjadi markas kegelapan, Enika dan Ewila berdiri di sisi wanita misterius itu, memandang dunia dengan mata yang dipenuhi ambisi.
"Dunia ini milik kita," kata wanita itu dengan senyum dingin.
Kristal terakhir melayang tinggi di udara, berpendar dengan cahaya terang yang memancar ke seluruh penjuru benteng tua.
Wanita itu mengangkat tongkatnya.
dengan satu perintah tegas, energi kristal pecah menjadi tiga bagian.
Pecahan itu meluncur dengan kecepatan luar biasa, menembus tubuh Enika dan Ewila tanpa ampun.
Tubuh mereka tersentak, mata mereka terbuka lebar dengan cahaya yang berubah dari putih terang menjadi hitam pekat.
Rasa sakit yang tak terlukiskan memenuhi tubuh mereka, tetapi tidak ada teriakan—hanya keheningan yang menegangkan.
Sementara energi kegelapan itu menguasai mereka, tubuh wanita itu sendiri juga mulai bergetar, aura gelapnya semakin kuat.
Perlahan, tubuh ketiganya hancur menjadi abu yang berputar di udara seperti pusaran angin, bergabung dalam sebuah tarian kehancuran.
Abu tersebut memadat, membentuk tubuh seorang wanita dengan kehadiran yang luar biasa mengerikan. Sosok itu tinggi, dengan kulit seputih pualam yang bersinar samar dalam gelap. Rambut hitam panjangnya bergerak seolah memiliki kehidupan sendiri, seperti bayangan yang melayang di udara. Matanya berwarna merah menyala, memancarkan kebencian sekaligus keanggunan.
Zirah hitam legam menutupi tubuhnya, di hiasi ukiran simbol-simbol kegelapan yang tampak seperti berdenyut dengan energi.
Di tangannya tergenggam senjata baru bernama Emdenika, sebuah senjata gabungan antara tongkat sihir wanita itu dengan cambuk mematikan milik Enika dan Ewila.
Bentuknya seperti trisula besar, tetapi dengan bilah-bilah lentur yang dapat bergerak seperti cambuk, memancarkan aura yang membuat siapa pun gemetar hanya dengan melihatnya.
Sosok itu menatap dunia di sekelilingnya dengan tatapan kosong yang mematikan.
Ia tidak berbicara, tetapi kehadirannya sudah cukup untuk membuat semua yang menyaksikan merasa kecil dan tidak berdaya.
Di Balai Dewan Negeri, laporan tentang kebangkitan entitas baru ini membuat seluruh ruangan dipenuhi keheningan.
Para pemimpin yang tersisa membaca laporan itu dengan tangan gemetar, wajah mereka di penuhi rasa putus asa.
"Ini bukan lagi masalah perang," kata Ketua Dewan Mekk dengan suara serak.
"Ini adalah kehancuran total, Kita tidak memiliki apa pun yang bisa menghentikannya."
Laporan itu menggambarkan dengan jelas bahwa entitas baru ini telah menghancurkan benteng pelindung dan mengambil alih kekuatan relik terakhir.
Namun, alih-alih melanjutkan pembantaian seperti yang dilakukan Enika dan Ewila, sosok itu tampaknya tidak langsung menyerang.
"Apa maksudnya?" tanya salah seorang anggota dewan. "Kenapa dia hanya diam?"
Tidak ada yang bisa menjawab.
Hari berikutnya, entitas baru itu muncul di depan Balai Dewan Negeri.
Ia berjalan dengan langkah tenang, tetapi setiap langkahnya membuat tanah bergetar seolah bumi sendiri takut akan kehadirannya.
Penduduk yang berkumpul di sekitar Balai Dewan berlarian ketakutan, beberapa jatuh berlutut hanya karena melihatnya.
Para prajurit yang menjaga pintu utama mencoba membentuk barisan, tetapi bahkan mereka tidak bisa menyembunyikan rasa gentar yang menyelimuti hati mereka.
Sosok itu berhenti di depan pintu besar, memandang bangunan megah itu dengan tatapan kosong.
Lalu, tanpa mengatakan apa pun, ia melangkah masuk.
Di dalam Balai Dewan, suasana berubah menjadi lebih mencekam.
Semua orang yang hadir, termasuk para pemimpin negeri, menatap sosok itu dengan mata penuh ketakutan.
Entitas itu berdiri di tengah ruangan, diam tanpa kata.
Kehadirannya membuat udara terasa berat, hampir tidak mungkin untuk bernapas.
"Siapa... siapa kau ?" tanya salah seorang anggota dewan dengan suara gemetar.
Entitas itu perlahan mengangkat pandangannya, matanya yang merah menyala menatap langsung ke arah pria itu.
Tidak ada emosi, tidak ada kemarahan—hanya kekosongan yang dingin.
"Aku adalah sosok yang kalian lindungi selama milliaran abad," jawabnya pada akhirnya.
Suaranya tenang namun menggema di seluruh ruangan.
"Kalian melawan kehendak kegelapan, kini aku adalah jawaban yang kalian cari."
Di sudut ruangan, Luna dan Liriel hanya bisa menyaksikan dengan perasaan bercampur aduk.
Luna mengepalkan tangannya, tubuhnya bergetar bukan karena takut, tetapi karena frustrasi.
"Kita tidak bisa membiarkan ini terjadi," gumamnya pelan.
Liriel menatapnya dengan tatapan penuh keprihatinan.
"Apa yang bisa kita lakukan? Dia berada di luar jangkauan kita. Bahkan para pemimpin negeri tidak memiliki kekuatan untuk melawannya."
Luna tidak menjawab.
Matanya tetap tertuju pada sosok itu, mencoba mencari celah, sesuatu yang bisa menjadi kunci untuk melawan.
Tetapi semakin lama ia melihat, semakin ia merasa bahwa entitas ini bukanlah sesuatu yang bisa dihentikan dengan cara biasa.
Setelah beberapa saat berdiri dalam keheningan, entitas itu berbalik dan meninggalkan Balai Dewan tanpa menyerang siapa pun.
kepergiannya tidak membawa rasa lega—justru sebaliknya.
Di luar, entitas itu berdiri di tengah lapang yang kosong, memandang langit yang gelap.
"Dunia ini tidak pantas untuk kalian," bisiknya pelan sebelum menghilang dalam bayangan.
Di dalam Balai Dewan, Luna berbisik pada dirinya sendiri, "Aku harus menemukan cara... sebelum semuanya benar-benar terlambat."
Langit di atas lapangan menjadi gelap pekat, hanya dihiasi oleh bayangan samar dari entitas yang berdiri dengan keanggunan mematikan di tengah medan.
Delapan miliar jiwa mengepungnya—pasukan negeri, para pemimpin, dan rakyat yang di kumpulkan untuk melindungi dunia mereka.
Namun, keheningan yang menakutkan menyelimuti semuanya ketika entitas itu memandang mereka dengan dingin.
Di barisan belakang, Luna berdiri di samping Liriel.
Mata mereka menatap penuh kecemasan, mengetahui bahwa apa yang mereka hadapi bukan sekadar musuh biasa.
bahkan dengan rencana matang selama dua hari terakhir, tidak ada yang siap menghadapi apa yang akan terjadi.
Entitas itu mengangkat Emdenika, senjata gabungannya yang memancarkan aura mengerikan.
Ia menatap ke depan, matanya yang merah menyala seperti bara api.
Dengan satu kata, ia menghentikan segalanya.
"bekukan."
Kata itu bergema seperti badai, menghentikan semua gerakan.
Dalam hitungan detik, delapan miliar jiwa membeku menjadi patung batu.
Gerakan terakhir mereka, ekspresi wajah mereka, semuanya tertangkap dalam wujud yang tak bernyawa.
Luna berusaha bergerak, tetapi tubuhnya kaku.
Ia bisa merasakan dinginnya sihir menguasai tubuhnya, menyegel setiap inci dirinya dalam keheningan yang mutlak.
Di sisinya, Liriel yang sebelumnya penuh semangat kini berubah menjadi patung yang tak bernyawa.
Entitas itu berjalan perlahan, langkahnya menghancurkan tanah yang dilewatinya.
Ia berhenti tepat di depan Luna, menatapnya dengan mata tajam yang memancarkan rasa puas.
"Kamu berbeda luna," gumamnya, suara rendahnya bergema seperti kehancuran.
"Aku telah melihat banyak makhluk seperti kamu sebelumnya di dunia magis, Gurfeda, si pengkhianat yang mencoba membalikkan waktu, Veni yang berusaha menghentikan kekuatan abadi dengan hati yang rapuh, Peals pemimpin tanpa tujuan yang mati melindungi dunia yang tidak membutuhkannya dan Isholdyenca, si pembawa cahaya yang akhirnya menjadi penjara bagi dirinya sendiri, Mereka semuanya akan gagal, dan kamu... akan mengikuti jejak mereka."
Luna tidak bisa merespons.
Tubuhnya membeku, tetapi pikirannya masih hidup, dipenuhi dengan teror dan kesadaran
Entitas itu tertawa kecil, dingin dan tanpa belas kasihan.
"Mereka semua mencoba melawan, tetapi pada akhirnya, takdir mereka tetap sama yaitu merasakan penderitaan abadi di dalam dimensi yang aku ciptakan, Dan nasibmu, Luna, akan lebih buruk dari mereka."
Entitas itu mengangkat Emdenika tinggi-tinggi.
Cahaya gelap memancar dari senjata itu, mengubah langit menjadi lebih kelam, seolah-olah dunia menutup mata pada kehancuran yang akan terjadi.
Dengan satu gerakan cepat, ia mengayunkan senjatanya ke udara.
Emdenika meluncur seperti petir, menciptakan gelombang energi yang menghancurkan semua bekuan jiwa yang menjadi patung di sekeliling luna.
Jeritan yang terperangkap dalam tubuh batu terdengar samar, sebelum tubuh-tubuh itu hancur menjadi abu.
Liriel, yang berdiri di samping Luna, lenyap dalam sekejap.
Tidak ada yang tersisa dari delapan miliar jiwa selain debu yang tertiup angin.
Luna hanya bisa melihat semuanya.
Tubuhnya tetap utuh, tetapi ia tidak bisa bergerak dan bersuara.
Entitas itu tertawa puas.
"Semua yang kau kenal telah tiada, Luna. Kau terperangkap di sini, tanpa harapan, tanpa cahaya. Aku akan memastikan penderitaanmu menjadi abadi."
Namun, sesuatu menarik perhatian entitas ini.
Ia berhenti tertawa, menatap dari kejauhan seolah merasakan sesuatu yang tidak biasa.
"Menarik..." gumamnya pelan, lebih kepada dirinya sendiri.
"Ada kekuatan lain yang mencoba melawan kehendakku, Thaldra Soulbone..."
Ia memalingkan pandangannya dari Luna, langkahnya perlahan menjauh.
"Kamu akan tetap di sini, Menderita dalam keabadian, Sementara itu, aku akan memastikan tidak ada ancaman yang tersisa"
Dengan langkah ringan tetapi penuh kekuatan, entitas itu menghilang ke dalam bayangan, meninggalkan Luna sendirian di dunia yang kosong.
Tidak ada akhir, tidak ada perubahan.
Luna terjebak dalam kegelapan yang tidak memberikan kesempatan untuk melawan.
Namun di dalam fikirannya "Siapa thaldra Soulbone ? , sepertinya aku mengenal dirinya sebelum berada di sini" pikir Luna dalam tubuh yang membeku.
Entitas itu berjalan di atas tanah yang retak, aura gelapnya menyelimuti dunia di sekitarnya.
Ia membawa Emdenika dengan ringan, senjata yang siap menghancurkan apa pun yang menghalangi jalannya.
"Thaldra Soulbone..." gumamnya sekali lagi, senyum kecil menghiasi wajahnya.
"Aku akan menemukanmu Dan kau akan menjadi saksi dari kehancuran dunia magis bersama dengan PENGUASA KEGELAPAN BERNAMA RENVUREGA."
Di dimensi tanpa akhir, Luna tetap terperangkap dalam dirinya yang membeku, menyaksikan kegelapan yang terus menyelimuti DUNIA, tanpa tahu apa yang akan TERJADI.