Chereads / Bintang Penyelamat / Chapter 37 - Mahkota Yang Menghilang

Chapter 37 - Mahkota Yang Menghilang

Peals sekarang penuh dengan otot yang kuat dan refleks tajam, merasa asing dengan dirinya sendiri.

Sebagai seorang strategis dan pemikir yang cermat di masa lalu, kekuatan fisik tidak pernah menjadi titik fokusnya.

Namun, di dunia baru ini, setiap orang yang ia temui melihat tubuhnya sebagai lambang perlindungan dan kekuatan.

Selama berminggu-minggu, Peals mencoba memahami dunia ini.

Sistem magis tidak ada, pergantian waktu terasa statis, dan siklus musim tidak berubah.

Sebaliknya, tradisi dan nilai-nilai masyarakat lokal menjadi panduan untuk bertahan hidup.

Di sebuah desa kecil yang terpencil, Peals menemukan sekelompok penduduk lokal yang hidup dengan rasa takut terhadap ancaman dari makhluk liar dan ganas yang berkeliaran di luar desa mereka.

Ketika pertama kali tiba, seorang wanita dari desa itu mendekati Peals dengan penuh harap. "Kami telah lama menunggu seseorang seperti Anda," katanya dengan suara bergetar.

Peals memandang wanita itu dengan bingung. "Seseorang seperti saya?"

"Penyelamat," kata wanita itu, matanya penuh keyakinan. "Tubuh Anda adalah jawaban dari doa kami.

Kami tidak memiliki pemimpin, dan Anda adalah yang kami butuhkan."

Meskipun awalnya enggan, Peals merasa tak punya pilihan selain menerima peran ini.

Penduduk desa telah kehilangan banyak pemimpin sebelumnya, dan mereka menganggap kehadiran Peals sebagai tanda keberuntungan.

Namun, Peals menyadari bahwa ia menghadapi dua tantangan besar yaitu tubuhnya yang baru dan tanggung jawab sebagai pemimpin komunitas.

Tubuh Peals, yang sekarang begitu kuat dan cepat, membawanya pada naluri yang ia tidak pahami. Dalam latihan bertahan hidup, ia menemukan dirinya bertindak secara impulsif, mengandalkan kekuatan dan refleks alih-alih rencana matang seperti dulu.

Ini membuatnya merasa frustrasi—strategi selalu menjadi kekuatan utamanya, tetapi kini, setiap kali ia mencoba berpikir terlalu lama, tubuhnya seolah mendorongnya untuk bertindak sebelum waktunya.

Di sisi lain, para penduduk desa sangat mengagumi kekuatan fisiknya, tanpa menyadari konflik batin yang ia alami. Mereka terus-menerus memujanya sebagai "penyelamat" mereka, memberikan beban kepercayaan yang semakin sulit ia pikul.

Seorang laki-laki dari desa, seorang pembuat alat bernama Kael, sering mendampingi Peals selama patroli. Kael adalah orang yang percaya pada kerja keras dan kebijaksanaan, tetapi ia juga skeptis terhadap Peals. Suatu malam, ketika mereka duduk di dekat api unggun, Kael bertanya, "Apakah kau benar-benar yakin kau adalah penyelamat yang mereka butuhkan?"

Pertanyaan itu menusuk hati Peals. "Aku tidak tahu," jawabnya jujur. "Aku bahkan tidak yakin siapa aku sekarang. Mereka melihatku sebagai seorang prajurit, tetapi aku tidak merasa seperti itu. Aku seorang pemikir, bukan petarung."

Kael menatapnya lama sebelum akhirnya berkata, "Kekuatan fisik itu penting, tetapi kau harus ingat bahwa otak yang tajam selalu bisa menaklukkan otot yang besar. Jangan biarkan tubuhmu yang baru mendikte siapa dirimu."

Suatu hari, masalah besar muncul.

Makhluk liar yang dikenal sebagai Rinokar, serupa dengan serigala besar dengan taring beracun, mulai menyerang peternakan desa. Para penduduk menjadi panik, memohon Peals untuk menyelamatkan mereka.

Peals mencoba berpikir rasional. Ia memerintahkan penduduk desa untuk membangun pagar pengaman lebih tinggi, tetapi mereka merasa itu tidak cukup. Mereka ingin Peals langsung turun tangan dan melawan makhluk-makhluk itu.

"Gunakan kekuatanmu!" teriak seorang wanita tua. "Kau diciptakan untuk melindungi kami!"

Di tengah tekanan itu, Peals menyadari bahwa ia harus menemukan cara untuk menggabungkan kekuatan fisiknya dengan kecerdasannya. Maka, ia mulai mempelajari jejak Rinokar dan kebiasaan mereka. Bersama Kael, ia menemukan bahwa makhluk-makhluk itu tertarik pada aroma buah tertentu yang tumbuh di tepi hutan.

"Jika kita bisa memancing mereka ke perangkap, kita tidak perlu melawan mereka langsung," kata Peals.

Kael mengangguk setuju, tetapi menambahkan, "Penduduk desa mungkin tidak akan memahami rencanamu. Mereka ingin melihat kekuatanmu, bukan hanya otakmu."

Peals memutuskan untuk tetap menjalankan rencananya.

Dengan bantuan beberapa penduduk, ia menggali lubang besar di tepi hutan dan menutupinya dengan ranting dan dedaunan.

Lalu, ia menggunakan buah itu sebagai umpan.

Ketika malam tiba, Rinokar datang seperti yang diharapkan. Makhluk-makhluk itu terperangkap, dan penduduk desa akhirnya aman.

Namun, alih-alih merasa bangga, Peals merasakan kekosongan.

Di malam yang sunyi, Peals duduk sendirian di pinggir desa, merenungkan apa yang telah terjadi.

Kael mendekatinya, membawa sebotol air dan duduk di sampingnya.

"Rencanamu berhasil," kata Kael.

"Tapi mereka tidak puas," jawab Peals dengan suara rendah.

"Penduduk desa butuh waktu untuk memahami bahwa kekuatan sejati tidak selalu berasal dari otot. Kau menyelamatkan mereka dengan cara yang tidak bisa dilakukan orang lain."

Peals mengangguk.

Keesokan harinya, Peals duduk di dekat api unggun bersama Kael. Mereka baru saja kembali dari perjalanan berbahaya ke lembah. Peals masih merenungkan kejadian di gua, menyadari betapa beruntungnya mereka lolos dari makhluk ganas itu.

"Bagaimana keadaan anak itu ?" tanya Peals.

"Sehat," jawab Kael, "Tabib sudah mengobatinya. Ia masih dalam keadaan syok, tetapi akan pulih."

Peals mengangguk, lega mendengarnya. Ia kemudian menyadari bahwa kekhawatirannya baru saja dimulai. "Bagaimana menurutmu, Kael?" tanyanya, "Apakah makhluk-makhluk itu akan kembali?"

Kael menatap api, matanya berbinar dengan api. "Aku tidak tahu," jawabnya, "Tetapi kita harus bersiap. Mereka tidak akan tinggal diam."

Peals setuju. Ia tahu bahwa ancaman dari makhluk-makhluk itu belum berakhir. Mereka harus meningkatkan keamanan desa, memperkuat pertahanannya, dan mempersiapkan diri untuk kemungkinan serangan.

"Kita harus membangun menara pengawas," saran Peals, "Di puncak bukit, di mana kita bisa melihat sekeliling desa. Kita juga perlu melatih penduduk desa untuk menggunakan senjata."

Kael mengangguk. "Ide yang bagus," katanya, "Tetapi kita tidak memiliki cukup kayu untuk menara pengawas."

Peals mengerutkan keningnya. "Kita harus mencari sumber kayu," katanya, "Mungkin di hutan, jauh dari desa, tetapi kita harus hati-hati."

Kael tersenyum. "Kau masih seorang ahli strategi, Peals," pujinya. "Tetapi tetaplah waspada. Hutan menyimpan bahaya yang tidak terlihat."

Peals mengangguk. Ia tahu bahwa perjalanan mencari kayu akan berbahaya. Tetapi ia tidak bisa hanya menunggu. Mereka harus bersiap untuk ancaman yang ada di depan.

Beberapa hari kemudian, Peals memimpin sekelompok penduduk desa untuk mencari kayu di hutan. Ia mengajarkan mereka cara menggunakan kapak dan tombak, mengajarkan mereka untuk bekerja sama, dan waspada terhadap bahaya. Mereka memotong pohon dengan suara berderit, dan mendapatkan kayu yang cukup untuk menara pengawas.

Namun di tengah-tengah pengerjaan menara, kabar buruk sampai ke telinga mereka. Seorang lelaki tua dari desa yang berburu di hutan sebelah timur kembali dengan wajah pucat.

"Makhluk-makhluk itu menyerang desa lain," katanya terengah-engah. "Desa di pinggir hutan, mereka terkepung. Kita harus membantu mereka!"

Peals, yang sudah merasa tidak nyaman dengan ancaman yang semakin dekat, merasakan jantungnya berdebar. Mereka belum siap menghadapi serangan besar, tetapi ia tidak bisa membiarkan desa lain hancur.

"Kumpulkan penduduk desa," perintah Peals. "Kita akan berangkat sekarang."

Semua penduduk desa, meskipun takut, merasa terdorong oleh keberanian Peals dan bergabung dengannya dalam perjalanan berbahaya menuju desa yang terkepung.

Peals dan penduduk desa tiba di malam hari, menemukan sebuah desa yang hancur dan nyala api membumbung tinggi. Makhluk-makhluk itu telah menyerang dengan brutal. Peals mendengar jeritan para penduduk desa yang terluka, dan melihat mayat yang berserakan di tanah.

"Kita harus melawan mereka!" teriak seorang wanita, "Melindungi desa ini!"

Peals mengangguk. Ia telah membangunkan kekuatan dan keberanian baru di dalam dirinya. Ia berdiri di depan penduduk desa yang ketakutan dan berteriak, "Bersiaplah! Kita akan menghadapi mereka bersama-sama!"

Peals memimpin penduduk desa dalam pertempuran yang keras. Mereka melawan makhluk-makhluk itu dengan tombak dan kapak, dengan tekad dan keberanian. Peals memimpin dengan contoh, menggunakan kekuatan fisiknya yang baru untuk mengalahkan makhluk-makhluk itu.

Pertempuran itu berlangsung dengan sengit, dan banyak penduduk desa yang terluka. Peals terluka di lengannya, tetapi ia tidak berhenti. Ia tahu bahwa mereka harus memenangkan pertempuran ini. Mereka harus mengalahkan makhluk-makhluk itu, melindungi desa mereka, dan menghentikan penyebaran kekejaman mereka.

Akhirnya, setelah pertempuran yang panjang dan sulit, makhluk-makhluk itu mundur.

Peals dan penduduk desa telah menyelamatkan desa dari serangan maut.

Peals menghibur penduduk desa yang terluka, menenangkan mereka dengan kata-kata yang penuh harapan.

Setelah kemenangan dramatis atas makhluk-makhluk yang mengepung desa,

Peals memimpin penduduk pulang dengan suasana syukur dan kebahagiaan.

Kekalahan musuh membawa harapan baru bagi desa, sekaligus mengubah pandangan penduduk terhadap Peals. Sebelumnya, mereka hanya melihat kekuatannya yang luar biasa, tetapi kini mereka mengagumi kecerdasan dan kepemimpinannya.

Peals yang awalnya merasa terasing dalam tubuhnya yang baru, kini menemukan cara untuk memadukan kekuatan fisiknya dengan kecerdasan strateginya. Ia tak lagi sekadar seorang petarung, tetapi pemimpin sejati. Lebih dari itu, ia juga menemukan persahabatan yang mendalam dengan Kael, yang selalu mampu membuat suasana menjadi lebih ringan.

Mereka membangun menara pengawas di puncak bukit, memperkuat pagar, dan melatih penduduk desa menjadi penjaga. Di sela-sela pekerjaan berat itu, Kael sering membuat suasana lebih hidup dengan celotehan ceria.

Suatu sore, saat duduk di dekat api unggun menikmati makan malam sederhana, Kael tertawa terbahak-bahak menceritakan pertemuannya dengan seorang nenek desa.

Dengan gaya teatrikal, Kael menirukan suara nenek itu, membuat semua orang tertawa terpingkal-pingkal.

Peals hanya tersenyum, menikmati momen tersebut, terutama saat melihat bagaimana mata Kael bersinar penuh semangat.

"Kau tahu," ujar Peals sambil menatap api yang berkedip-kedip, "caramu bercerita itu selalu menarik. Kadang konyol, tapi menghibur."

Kael, dengan pipi memerah, menunduk sambil menyeringai. "Aku hanya mencoba membuat semuanya lebih menyenangkan. Dunia ini sudah cukup berat, bukan?"

Peals menatapnya, matanya dipenuhi rasa syukur. "Aku menghargai itu. Kau mengajarkanku banyak hal—tentang kegembiraan, kebersamaan, dan pentingnya menikmati momen kecil di tengah bahaya."

Kael tertawa kecil, mencoba mengalihkan perhatian. "Dan aku juga mengajarkanmu untuk mengunci pagar dengan benar, agar tidak terbuka lagi?"

Peals tertawa, ingat bagaimana pagar sempat menjadi masalah besar di awal kedatangan. "Ya, itu pelajaran penting. Kau memang ahli dalam menemukan kesalahan kecil yang bisa berakibat besar."

Kael menyandarkan punggungnya, menatap Peals dengan senyum yang berbeda. "Tentu saja, aku hanya ingin memastikan semuanya aman. Termasuk dirimu."

Peals terdiam sejenak. Nada suara Kael terdengar lebih lembut dari biasanya, dan matanya berbicara sesuatu yang tak pernah ia perhatikan sebelumnya.

"Kael," ujar Peals akhirnya, dengan suara pelan, "aku bersyukur kamu di dekatku."

Kael mendekat sedikit, senyumnya semakin lebar, tetapi ada keisengan di matanya. "Apakah itu karena aku pandai menjaga pagar, atau karena aku selalu membuatmu tertawa?"

"Dua-duanya," jawab Peals sambil tertawa pelan.

Kael mencondongkan tubuhnya, nyaris membuat jarak di antara mereka hilang. "Mungkin ada alasan lain?" bisiknya, nada suaranya seperti angin lembut yang menggoda.

Peals tertegun. Ia bisa mencium aroma rambut Kael yang segar, bercampur dengan asap api unggun. Ada sesuatu dalam tatapan Kael yang membuatnya merasa gugup, sesuatu yang ia belum sepenuhnya pahami.

"Kau selalu tahu bagaimana membuatku bingung," ujar Peals sambil mengalihkan pandangan, wajahnya memerah.

Kael terkikik pelan, lalu kembali bersandar. "Itu memang keahlianku," katanya, kembali menjadi Kael yang ceria. Tapi saat ia menatap api, ada kerinduan di matanya, sesuatu yang hanya bisa ia simpan untuk dirinya sendiri.

Saat pagi merekah dan sinar matahari menembus pepohonan, Peals berdiri di pinggir desa, memandang ke arah lembah di kejauhan. Fajar hari itu membawa perasaan baru dalam dirinya—keyakinan bahwa meski dunia ini berbeda dari yang pernah ia kenal, ia telah menemukan tempatnya di sini. Desa ini adalah rumahnya sekarang, dan ia berjanji akan melindunginya dengan segenap jiwa raga.

Namun, jauh di lubuk hati, Peals tahu bahwa kedamaian ini sementara. Dunia baru ini penuh misteri, tradisi yang belum ia pahami sepenuhnya, dan ancaman yang terus membayangi.

Kael mendekatinya dengan senyum hangat, membawa secangkir teh herbal. "Kau terlihat seperti orang yang punya seribu rencana di kepalamu," katanya sambil menyodorkan cangkir itu.

"Lebih seperti seribu pertanyaan," jawab Peals dengan senyum tipis.

Kael menatap lembah di kejauhan. "Kalau begitu, kita punya waktu untuk menjawabnya satu per satu. Tapi untuk saat ini, aku butuh bantuanmu di bengkel. Aku punya sesuatu yang ingin kutunjukkan."

Peals mengikuti Kael ke bengkelnya, sebuah ruangan kecil di sudut desa yang dipenuhi alat dan bahan dari logam, kayu, dan batu. Di tengah ruangan, ada sesuatu yang ditutupi kain.

"Apa ini?" tanya Peals penasaran.

Kael tersenyum, menarik kain itu dengan gerakan dramatis. Di bawahnya ada sebuah alat yang terlihat seperti campuran antara tombak dan busur silang.

"Aku menyebutnya penghancur Rinokar," kata Kael dengan nada penuh kebanggaan.

Peals memeriksa alat itu, mengagumi detailnya. "Bagaimana cara kerjanya?"

Kael mengangkat alat itu dan menunjukkan mekanismenya. "Tombak ini memiliki mekanisme pegas yang memungkinkanmu melontarkannya dengan tenaga ekstra. Dengan sedikit latihan, kau bisa menyerang dari jarak jauh tanpa perlu terlalu dekat dengan makhluk-makhluk itu."

Peals menatap Kael dengan kekaguman baru. "Ini brilian. Kau selalu tahu apa yang kita butuhkan."

Kael tersipu, lalu menjawab sambil tertawa kecil, "Aku hanya mencoba membuat hidup kita sedikit lebih mudah. Dan mungkin sedikit lebih aman."

Hari itu, suasana desa berubah ketika seorang pemburu kembali dari hutan dengan wajah pucat dan tubuh penuh luka. "Ada sesuatu yang berbeda di hutan," katanya dengan suara gemetar. "Makhluk-makhluk itu... mereka berubah. Mereka lebih cepat, lebih pintar."

Peals segera mengumpulkan para tetua desa untuk mendiskusikan apa yang harus dilakukan. "Kita perlu tahu lebih banyak," katanya tegas. "Jika mereka berkembang, kita harus memahami bagaimana dan mengapa."

Tetua desa mengangguk, tetapi seorang dari mereka, seorang pria tua bernama Eldrin, berbicara dengan nada muram. "Ada cerita lama tentang tanah ini," katanya. "Legenda tentang makhluk yang disebut Umbraal, yang memengaruhi alam di sekitarnya. Mereka adalah roh gelap yang bisa mengubah makhluk biasa menjadi monster."

Peals menatap Eldrin dengan serius. "Apakah legenda itu benar?"

Eldrin mengangkat bahu. "Tidak ada yang tahu. Tetapi jika makhluk-makhluk itu benar-benar berubah, mungkin sudah waktunya kita mencari jawaban di luar desa ini."

Peals memutuskan untuk menyelidiki lebih jauh. Bersama Kael dan beberapa penduduk desa yang terlatih, mereka melakukan perjalanan ke reruntuhan kuno yang menurut legenda adalah tempat Umbraal pernah disegel.

Perjalanan itu penuh bahaya. Mereka melewati hutan yang dipenuhi perangkap alami dan jejak makhluk-makhluk yang semakin agresif. Kael, seperti biasa, mencoba membuat suasana lebih ringan dengan candaan-candaannya, tetapi Peals bisa melihat kecemasan di matanya.

"Jadi," kata Kael saat mereka berhenti untuk beristirahat, "apakah kau benar-benar percaya pada cerita tentang roh gelap ini?"

"Aku tidak tahu," jawab Peals jujur. "Tapi aku percaya pada fakta bahwa sesuatu sedang mengubah makhluk-makhluk itu. Dan jika kita tidak bertindak, desa kita akan hancur."

Kael menatapnya lama, lalu berkata dengan nada lembut, "Kau terlalu keras pada dirimu sendiri, Peals. Kau sudah melakukan lebih banyak daripada yang bisa diharapkan siapa pun. Jangan lupa, kau tidak harus melakukannya sendirian."

Peals menoleh padanya, merasa kehangatan di dada yang sulit ia jelaskan. "Aku tahu," katanya pelan. "Dan aku bersyukur kau ada di sini."

Kael tersenyum, lalu dengan nada menggoda berkata, "Tentu saja aku di sini. Kalau aku tidak di sini, siapa yang akan memastikan kau tidak membuat rencana bodoh?"

Peals tertawa kecil. "Kau memang tak pernah melewatkan kesempatan untuk menggoda, ya?"

Kael mengangkat bahu, senyum lebar menghiasi wajahnya. "Itu salah satu keahlianku."

Ketika mereka tiba di reruntuhan kuno, mereka menemukan ukiran-ukiran di dinding yang menggambarkan Umbraal—makhluk seperti bayangan yang melayang di atas tanah, dikelilingi oleh binatang-binatang yang tunduk padanya.

Namun, lebih dari itu, mereka menemukan sebuah petunjuk penting: Umbraal hanya bisa diredam oleh "penjaga tanpa sihir."

"Penjaga tanpa sihir..." gumam Peals. "Itu aku."

Kael menatapnya dengan mata membelalak. "Kau yakin?"

Peals mengangguk. "Aku tidak punya sihir, dan aku tidak akan pernah kembali ke dunia magisku. Dunia ini membutuhkan aku, dan aku tidak bisa lari dari takdirku."

Namun, sebelum mereka bisa merenungkan lebih jauh, reruntuhan itu tiba-tiba berguncang. Dari bayangan, muncul makhluk besar dengan mata merah menyala—makhluk yang jelas dipengaruhi oleh kekuatan Umbraal.

"Bersiaplah!" teriak Peals, mengangkat tombak penghancur Rinokar yang dibuat Kael.

Pertempuran itu sengit. Makhluk itu lebih kuat dan cerdas daripada musuh mana pun yang pernah mereka hadapi.

Namun, dengan kombinasi strategi Peals dan keberanian Kael, mereka berhasil mengalahkannya.

Ketika mereka kembali ke desa, Peals membawa cerita tentang Umbraal dan ancaman yang lebih besar di depan. Ia tahu ini baru permulaan.

Namun, malam itu, saat mereka duduk di dekat api unggun, Kael menyentuh tangannya. "Kau tahu," katanya pelan, "tidak peduli apa yang terjadi, aku akan selalu ada di sini. Untukmu."

Malam itu terasa sunyi, hanya ditemani desiran angin lembut dan gemerisik dedaunan di kejauhan.

Peals dan Kael duduk di tepi desa, jauh dari keramaian. Api unggun kecil menyala di antara mereka, menciptakan bayangan samar di wajah mereka.

Peals terlihat gelisah.

Ia memainkan ranting kecil di tangannya, sesekali menghela napas panjang.

Kael memperhatikan dari sudut matanya, merasa ada sesuatu yang berbeda.

"Kau kelihatan aneh malam ini," ujar Kael, mencoba mencairkan suasana dengan senyuman kecil. "Apa yang kau pikirkan?"

Peals menatapnya sesaat, lalu menunduk lagi. "Ada sesuatu yang ingin kukatakan," katanya, suaranya terdengar ragu.

Kael mengangkat alis, penasaran. "Aku mendengarkan."

Peals menarik napas dalam, mencoba mencari keberanian. "Aku tidak pernah memberitahumu tentang siapa aku sebenarnya... tentang hidupku sebelum datang ke dunia ini."

Kael mencondongkan tubuhnya sedikit, matanya penuh perhatian. "Apa maksudmu ?"

Peals akhirnya berbicara, suaranya sedikit bergetar. "Di dunia asalku, aku bukan seperti ini. Aku... aku sebenarnya seorang gadis. Namaku tetap Peals, tapi tubuhku... berbeda."

Kael tertegun. Ia menatap Peals dengan mata lebar, tidak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar. Namun, ia tetap diam, membiarkan Peals melanjutkan.

"Ketika aku tiba di dunia ini, tubuhku berubah sepenuhnya. Aku menjadi seperti ini—seorang pria dengan tubuh yang jauh lebih kuat dan refleks yang tajam. Awalnya, aku merasa asing, bahkan dengan diriku sendiri. Aku mencoba menerima perubahan ini, tapi di dalam diriku, aku masih merasa seperti gadis yang pernah aku kenal."

Peals menghentikan ucapannya, menatap Kael dengan ekspresi penuh kecemasan. "Aku tahu ini mungkin terdengar aneh. Aku takut kau akan melihatku berbeda setelah ini."

Kael tetap diam sejenak, memproses semua yang baru saja didengarnya. Kemudian, tanpa diduga, ia tersenyum kecil. "Peals," katanya lembut, "kau benar-benar bodoh jika berpikir aku peduli tentang masa lalumu."

Peals terkejut. "Apa maksudmu?"

Kael menatapnya dengan mata yang penuh kehangatan. "Aku tidak peduli siapa kau dulu. Yang aku tahu, siapa dirimu sekarang—seorang pemimpin yang kuat, seorang sahabat yang setia, dan seseorang yang selalu berjuang untuk melindungi orang lain."

Kael mendekat sedikit, wajahnya serius namun penuh rasa sayang. "Dan jika aku harus jujur, aku telah jatuh cinta padamu sejak lama. Bukan karena siapa kau di masa lalu, tapi karena siapa kau sekarang. Wajahmu yang tampan, keberanianmu, caramu peduli pada orang lain—semua itu membuatmu sempurna di mataku."

Peals menatap Kael, tidak tahu harus berkata apa. Perasaan hangat menjalar di dadanya, perasaan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. "Kau benar-benar tidak peduli?" tanyanya pelan.

Kael tersenyum lembut. "Kenapa aku harus peduli? Peals, kau adalah orang yang paling penting dalam hidupku. Kau adalah alasan aku merasa dunia ini layak diperjuangkan."

Keduanya terdiam, hanya menatap satu sama lain. Malam terasa lebih hangat meski udara dingin menyelimuti mereka.

"Kael," ujar Peals akhirnya, "terima kasih. Kau membuatku merasa lebih diterima daripada yang pernah kurasakan sebelumnya."

Kael mengulurkan tangannya, menyentuh tangan Peals dengan lembut. "Aku di sini untukmu. Apa pun yang terjadi."

Namun, momen itu terputus oleh suara jeritan dari dalam desa. Keduanya segera berdiri, mengambil senjata mereka, dan berlari menuju sumber suara.

Sesampainya di desa, mereka menemukan para penduduk berlarian ketakutan. Di tengah keramaian, terlihat sosok yang sama dengan penyerang misterius yang melukai Peals sebelumnya.

Sosok itu berdiri di tengah jalan utama desa, tubuhnya diselimuti jubah gelap. Matanya bersinar merah di bawah bayang-bayang tudungnya. Kali ini, ia tidak menyerang dengan sembunyi-sembunyi, tetapi berdiri dengan percaya diri, seolah ingin menunjukkan kekuatannya.

"Peals!" seru Kael, menyiapkan tombaknya.

Sosok itu berbicara dengan suara yang dalam dan menggema. "Kau telah melanggar batas yang tidak seharusnya kau sentuh. Dunia ini bukan milikmu, Peals. Kembalilah atau hadapi kehancuran."

Peals maju dengan tegas, meskipun hatinya berdebar. "Aku tidak akan pergi. Dunia ini telah menjadi rumahku, dan aku akan melindunginya dari ancaman apa pun, termasuk darimu!"

Sosok itu tertawa pelan. "Kalau begitu, kau telah memilih jalanmu. Bersiaplah, karena aku akan kembali dengan kekuatan yang lebih besar. Kau tidak bisa menghindari takdirmu, Peals."

Dengan itu, sosok itu menghilang, meninggalkan desa dalam keheningan yang mencekam.

Kael memandang Peals dengan cemas. "Apa yang dia maksud? Mengapa dia begitu terobsesi denganmu?"

Peals menggeleng, masih memproses apa yang baru saja terjadi. "Aku tidak tahu, tapi satu hal yang pasti—ini belum berakhir. Kita harus bersiap. Dia akan kembali, dan kali ini, kita harus siap menghadapinya."

Kael mengangguk, menggenggam tangan Peals. "Apa pun yang terjadi, aku akan di sini bersamamu. Kita akan menghadapi ini bersama."

Malam itu, udara terasa sejuk, dan langit penuh bintang menyelimuti desa. Peals duduk di bangku kayu di tepi desa, tempat biasanya ia menikmati momen tenang setelah hari yang panjang.

Namun, ketenangan itu terpecah ketika suara langkah ringan mendekat dari belakang. Peals menoleh dan mendapati Kael membawa sebuah kotak kayu kecil di tangannya.

"Kael ?" tanya Peals, sedikit bingung. "Apa yang kau bawa?"

Kael tersenyum, tatapannya penuh misteri. "Aku ingin bicara denganmu. Dan... aku punya sesuatu untukmu."

Peals mengangkat alis, memberikan ruang di bangku agar Kael bisa duduk. "Tentu, aku mendengarkan."

Kael duduk, meletakkan kotak kayu di pangkuannya, tetapi tidak langsung membukanya. Sebaliknya, ia menatap langit sejenak, seolah-olah sedang menyusun kata-katanya.

"Aku rasa ini waktu yang tepat untuk memberitahumu sesuatu," ujar Kael dengan suara lembut.

Peals mengernyit. "Sesuatu? Apa itu?"

Kael menarik napas panjang, lalu menoleh ke Peals. "Kau selalu memanggilku Kael, dan aku menyukai itu. Tapi sebenarnya, namaku lebih panjang."

Peals menatapnya, penasaran. "Lebih panjang? Maksudmu?"

Kael tersenyum kecil, matanya memancarkan kehangatan. "Namaku adalah Kaelinar Laetha. Itu nama lengkapku."

Peals mengulangi nama itu dalam pikirannya, merasa ada sesuatu yang indah dan megah dari nama itu. "Kaelinar Laetha..." gumamnya. "Itu nama yang indah. Kenapa kau tidak pernah memberitahuku sebelumnya?"

Kael mengangkat bahu. "Aku tidak berpikir itu penting. Tetapi sekarang, setelah semua yang telah kita lalui, aku merasa kau layak tahu segalanya tentangku."

Peals tersenyum, merasa tersentuh. "Aku senang kau memberitahuku. Kaelinar Laetha... nama itu cocok denganmu. Penuh arti dan keberanian."

Kael tersipu, lalu tertawa kecil. "Kau selalu tahu cara membuatku merasa istimewa."

Setelah beberapa saat dalam keheningan yang nyaman, Kael menggeser kotak kayu di pangkuannya ke arah Peals. "Aku juga punya sesuatu untukmu."

Peals mengambil kotak itu dengan hati-hati. Kotaknya dihiasi ukiran sederhana namun indah, dengan pola yang menyerupai bunga liar yang sering tumbuh di sekitar desa.

"Apa ini?" tanya Peals.

"Bukalah," jawab Kael dengan senyum misterius.

Peals membuka tutup kotak itu perlahan. Di dalamnya, terlipat rapi sebuah baju rajutan berwarna biru tua dengan sulaman emas di tepiannya. Bahannya terlihat halus, hampir seperti sutra, tetapi dengan kekuatan yang terlihat mampu menahan cuaca dingin.

"Kael..." Peals terdiam, menatap baju itu dengan takjub. "Ini... ini luar biasa. Kau membuat ini sendiri?"

Kael mengangguk, wajahnya sedikit memerah. "Aku tahu kau tidak pernah meminta sesuatu seperti ini, tapi aku ingin membuatkanmu sesuatu yang spesial. Kau selalu melindungi semua orang, dan aku ingin kau punya sesuatu yang juga melindungimu."

Peals mengangkat baju itu, memeriksanya dengan teliti. Setiap jahitan terlihat sempurna, menunjukkan betapa banyak waktu dan usaha yang telah Kael curahkan untuk membuatnya. Di bagian dada, ada simbol kecil berbentuk daun yang disulam dengan warna hijau, memberikan sentuhan pribadi yang membuatnya semakin istimewa.

"Ini... lebih dari sekadar baju," kata Peals akhirnya, suaranya pelan. "Ini adalah sesuatu yang sangat berarti. Terima kasih, Kael. Aku tidak tahu harus berkata apa."

Kael tersenyum lembut. "Kau tidak perlu berkata apa-apa. Melihatmu tersenyum seperti ini sudah cukup bagiku."

Peals mengenakan baju itu, merasa hangat bukan hanya karena bahannya, tetapi juga karena maknanya. Ia menatap Kael, yang terlihat senang melihat reaksinya.

"Kael," kata Peals akhirnya, "kau benar-benar membuatku merasa seperti orang yang paling beruntung di dunia ini."

Kael tertawa kecil. "Kau berlebihan. Itu hanya baju."

Peals menggeleng. "Bukan hanya baju. Ini adalah simbol dari perhatianmu, usahamu, dan caramu membuatku merasa dihargai. Itu lebih berarti daripada apa pun."

Kael menatapnya dengan mata yang berbinar, lalu menjawab dengan nada menggoda, "Yah, aku tahu kau juga terlihat sangat tampan mengenakannya. Mungkin ini adalah hadiah untukku juga, agar aku bisa terus melihatmu dalam sesuatu yang indah."

Peals tertawa, merasa dadanya lebih ringan dari biasanya. "Kau tidak pernah kehabisan cara untuk membuatku tersipu, ya ?"

Kael hanya mengangkat bahu, senyum lebarnya menunjukkan bahwa ia tahu ia telah berhasil.

Keduanya kembali duduk dalam keheningan, menikmati bintang-bintang di atas mereka.

Peals merasa beban yang selama ini ia pikul sedikit lebih ringan.

Kael menoleh ke Peals, memecah keheningan.

"Kau tahu, Peals. Tidak peduli seberapa sulit jalan yang harus kita hadapi, aku akan selalu ada di sini. Kau tidak perlu menghadapi semuanya sendirian."

Peals menatapnya, merasakan kehangatan di dadanya.

Mentari pagi menyingsing, namun sinar keemasannya tak mampu menembus kesuraman yang menyelimuti desa.

Suara-suara panik menggema, menggantikan kicau burung yang biasanya merdu.

Binatang buas, berbulu lebat dan mata menyala merah amarah, berhamburan memasuki desa.

Kael kini compang-camping dan berlumuran darah.

Tubuhnya penuh luka sayat, namun ia masih berdiri tegak menjadi perlindungan terakhir bagi penduduk desa yang tersisa.

Jeritan, tangisan, dan aroma darah memenuhi udara.

Banyak penduduk desa telah tewas.

Peals, masih tertegun oleh kejutan serangan mendadak ini, Peals hanya mampu menyaksikan pemandangan mengerikan.

Ia bergumam, sebuah bisikan nama Kael yang tertahan di tenggorokan.

ketika seekor serigala raksasa, lebih besar dari yang pernah dilihatnya, menerjang.

Instingnya langsung bereaksi. Tanpa ragu, ia menepis serangan pertama serigala dengan lengan, menerima sayatan dalam yang merobek kain bajunya.

Darah segar menyembur.

Namun, Peals tak mundur.

Ia merogoh sebuah pisau kecil yang selalu terselip di pinggangnya, pisau yang telah menemani sangat lama.

Dengan gerakan cepat dan tepat, ia menusuk perut serigala, tepat di celah tulang rusuk.

Serigala itu meraung kesakitan, mencoba menggigit Peals lagi, namun Peals dengan cekatan menghindar, menghujamkan pisaunya lagi dan lagi.

Gerakannya lincah, seperti elang yang menukik tajam.

Ia memanfaatkan setiap kesempatan, menyerang titik-titik vital serigala dengan ketepatan yang mematikan.

Meskipun terluka parah, Peals tak menunjukkan rasa takut.

Matanya menyala dengan api amarah dan tekad.

Darah mengalir deras dari luka-lukanya, mencampur dengan tanah dan darah korban lainnya.

Pertempuran sengit itu berlangsung lama, diiringi raungan binatang buas dan jeritan manusia yang masih bertahan.

Akhirnya, dengan satu serangan terakhir yang tepat sasaran, Peals berhasil menjatuhkan serigala itu.

Ia terduduk, napasnya tersengal-sengal, tubuhnya lemas karena kehilangan banyak darah, namun senyum tipis terukir di bibirnya.

Ia telah berhasil melindungi dirinya, untuk sementara.

Namun, di sekelilingnya Di kejauhan, ia melihat Kael yang terluka parah, berjuang untuk bertahan hidup di tengah kepungan binatang buas.

Peals bangkit, dengan sisa kekuatannya, ia akan kembali berjuang bersama Kael, untuk menyelamatkan desa yang mereka cintai.

Peals bangkit dengan tertatih-tatih, Darah membasahi baju rajutan biru tua, kini lebih mirip kain perca yang menempel di tubuhnya.

Ia melihat Kael, terkapar di tengah medan, dikepung oleh kawanan serigala yang jumlahnya lebih banyak dari sebelumnya.

Mata-mata merah menyala itu seperti bara api neraka, menatap mangsanya dengan haus darah.

meskipun kael terluka parah, ia masih berusaha melindungi beberapa penduduk desa yang tersisa

Tanpa ragu, Peals menerjang kawanan serigala.

Ia bukan lagi seorang yang hanya bertarung, melainkan sebuah badai yang mengamuk.

Pisau kecilnya menari-nari dengan kecepatan yang luar biasa, menghujamkan dirinya ke jantung, tenggorokan, dan mata serigala-serigala.

Setiap gerakannya diiringi oleh deru nafas berat dan desisan pisau yang merobek daging.

Ia seperti bayangan maut yang menebar teror, membuat kawanan serigala itu sedikit mundur, memberi sedikit ruang bagi Kael untuk bernapas.

Namun, jumlah serigala itu terlalu banyak.

Satu demi satu, mereka menerkam Peals, mencabik-cabik tubuhnya yang sudah penuh luka.

Gigi-gigi tajam mereka merobek daging, menciptakan luka-luka baru yang mengerikan.

Peals merintih kesakitan, namun ia tetap teguh.

Ia seperti patung yang terbuat dari batu, tak tergoyahkan oleh serangan brutal.

Ia terus melawan, dengan sisa kekuatan yang hampir habis.

Di tengah kepungan maut itu, Kael, dengan sisa tenaganya, berusaha membantu Peals.

Ia melemparkan sebuah batu besar, mengenai kepala seekor serigala yang hendak menerkam Peals dari belakang.

Serigala itu jatuh terkapar, memberi Peals sedikit waktu untuk bernapas. Kael merangkak mendekati Peals, mencoba untuk membantunya berdiri.

Tiba-tiba, seekor serigala raksasa, pemimpin kawanan, muncul dari balik bayangan.

Serigala itu jauh lebih besar dan lebih ganas dari yang lain, matanya menyala dengan amarah yang tak terbendung.

Dengan satu lompatan, ia menerjang Peals dan Kael, mencoba untuk mengakhiri perlawanan mereka.

Pada saat yang kritis itu, Peals dan Kael secara instingtif bergulingan ke samping, menghindari serangan mematikan.

Mereka terkapar di tanah, namun masih berpegangan tangan.

Di Desa Cempaka, seorang pengawal tua bernama Pak Suro mengamati sinyal asap itu dengan teliti.

"Keadaan darurat!" teriak Pak Suro, suaranya bergema di sepanjang Desa Cempaka.

"Desa Peals sedang dalam bahaya ! Kita harus membantu mereka!"

Para penduduk desa mengerumuni Pak Suro, wajah mereka menunjukkan ketakutan dan keprihatinan.

Mereka mengetahui bahaya yang mengintai di hutan lebat yang memisahkan kedua desa.

Namun, mereka juga tahu bahwa mereka harus membantu teman-teman mereka di desa Peals.

"Kita harus menyerbu hutan lebat itu !" teriak Pak Suro, suaranya bergetar karena emosi.

"Kita harus membebaskan teman-teman kita dari ancaman serigala buas itu!"

Sebuah pasukan terbentuk, di pimpin oleh Pak Suro.

Mereka dibekali senjata sederhana, seperti tombak, panah, dan pedang.

Pasukan itu menyerbu hutan lebat dengan cepat.

Mereka berjalan dengan hati-hati, memperhatikan setiap gerakan dan suara.

Mereka tahu bahwa serigala buas itu mengintai di balik pohon-pohon yang lebat.

Setelah beberapa jam perjalanan, mereka sampai di tepi desa Peals.

Mereka terkejut melihat kehancuran yang terjadi di desa.

Rumah-rumah rusak, orang-orang terluka, dan aroma darah menyerbu hidung mereka.

Mereka melihat Peals dan Kael yang terbaring lemas di tanah.

"Peals! Kael!" teriak Pak Suro, suaranya bergema di sepanjang desa Peals. "Kami datang untuk membantu kalian!"

Pasukan dari Desa Cempaka menyerbu kawanan serigala buas yang masih tersisa.

Mereka bertempur dengan keras, melindungi Peals dan Kael dari serangan serigala.

Akhirnya, kawanan serigala buas itu kalah dan melarikan diri ke dalam hutan lebat.

Peals dan Kael Di Bawah Ke Sebuah Desa Cempaka Untuk Perawatan Darurat.

Langit mulai memerah saat para prajurit Desa Cempaka bergerak cepat, membawa Peals dan Kael ke dalam tandu darurat.

Tubuh mereka berdua dipenuhi luka, darah mengalir membasahi pakaian dan tanah di bawah mereka.

Pak Suro memimpin di depan, wajahnya tegas, meski jelas terlihat keprihatinan dalam matanya.

"Kita harus bergerak cepat. Mereka butuh perawatan segera," katanya dengan nada penuh urgensi.

Para prajurit mengangguk, mempercepat langkah mereka melewati hutan.

Mereka berjalan dalam barisan, menjaga setiap sisi dengan tombak terangkat, mengantisipasi ancaman yang mungkin datang dari balik pohon-pohon gelap.

Ketika mereka tiba di Desa Cempaka, suasana berubah.

Penduduk desa, yang telah mendengar kabar tentang serangan itu, berkumpul di alun-alun, wajah-wajah mereka dipenuhi kekhawatiran.

"Bawa mereka ke ruang perawatan!" perintah Pak Suro.

Beberapa orang langsung bergerak membuka jalan, mempersiapkan dua ruang terpisah di bangunan utama desa yang berfungsi sebagai tempat perawatan darurat.

Peals dan Kael dibawa ke dalam, dipisahkan sesuai aturan desa yaitu ruang perawatan laki-laki di satu sisi, sementara perempuan di sisi lain.

Peals diletakkan dengan hati-hati di atas ranjang kayu yang dilapisi kain bersih. Tubuhnya terasa berat, tetapi pikirannya tetap berusaha terjaga.

Dalam kesamaran pandangan, ia melihat seorang dokter mendekat—seorang perempuan muda dengan rambut panjang yang terikat rapi.

Wajahnya memancarkan ketenangan, tetapi tatapannya menunjukkan fokus dan keahlian.

"Namaku Dr. Lyra," katanya lembut, tangannya mulai memeriksa luka-luka Peals.

"Kau aman di sini. Aku akan memastikan kau mendapatkan perawatan terbaik."

Peals hanya bisa mengangguk lemah, merasa tubuhnya mulai kehilangan tenaga.

Lyra bekerja dengan cekatan, membersihkan luka-lukanya satu per satu, mengoleskan ramuan herbal yang menenangkan rasa sakit.

"Luka-lukamu sangat dalam, tetapi kau sangat kuat," ujar Lyra sambil membalut luka di lengan Peals.

"Kau harus istirahat penuh. Jangan mencoba bergerak terlalu banyak."

Peals mencoba tersenyum tipis.

"Aku tidak punya banyak pilihan, sepertinya."

Dr. Lyra tertawa kecil, suaranya lembut namun menenangkan.

"Benar. Jadi percayakan dirimu pada kami."

Di ruangan lain, Kael terbaring dengan napas yang masih terengah.

Dokter yang menanganinya adalah seorang pria tinggi dengan rambut gelap - sorot mata tajam bernama Dr. Aiden.

Ia bekerja cepat namun penuh kehati-hatian, memeriksa luka-luka Kael dengan teliti.

"Kau telah melewati sesuatu yang luar biasa," kata Dr. Aiden, suaranya dalam namun penuh perhatian.

"Tapi kau harus berhenti berusaha menjadi pahlawan seorang diri. Tubuhmu perlu istirahat."

Kael tersenyum samar, meskipun rasa sakit masih jelas terlihat di wajahnya.

"Pahlawan tidak pernah punya waktu untuk istirahat," gumamnya.

Dr. Aiden menggelengkan kepala, setengah tersenyum.

"Kau keras kepala. Tetapi aku akan memastikan kau kembali pulih. Desa ini butuhmu, begitu juga orang-orang yang kau lindungi."

Ia melanjutkan pekerjaannya, mengoleskan salep herbal pada luka-luka Kael, sementara Kael memejamkan mata, merasa beban di tubuhnya perlahan berkurang.

Malam itu, suasana di Desa Cempaka tetap sibuk.

Penduduk menyalakan obor di sekitar desa, berjaga-jaga dari kemungkinan serangan lanjutan.

Di dalam ruang perawatan, Peals dan Kael terbaring di tempat masing-masing, tubuh mereka dipenuhi balutan perban.

Peals, yang kini merasa sedikit lebih baik, menatap langit-langit kayu di atasnya.

Ingatannya kembali ke medan pertempuran, ke momen ketika ia hampir kehilangan segalanya.

Namun, pikirannya terus tertuju pada Kael.

"Bagaimana Kael ?" tanyanya pelan pada Lyra yang tengah memeriksa suhu tubuhnya.

Lyra menatapnya, memahami kekhawatiran di matanya.

"Dia selamat, meski lukanya cukup serius. Dr. Aiden yang merawatnya, dan dia sangat berpengalaman. Kau tidak perlu khawatir."

Mendengar itu, Peals menghela napas lega. "Terima kasih... untuk segalanya."

Sementara itu, Kael, meski masih lemah, tetap menunjukkan semangatnya.

"Berapa lama aku harus tinggal di sini ?" tanyanya pada Dr. Aiden.

"Setidaknya beberapa hari, sampai luka-lukamu mulai mengering," jawab Aiden.

Kael mengerutkan alis. "Aku tidak bisa menunggu selama itu. Peals dan desa kami membutuhkan aku."

Aiden menatapnya tajam. "Mereka membutuhkanmu dalam kondisi baik, Jika kau terburu-buru, kau hanya akan membahayakan dirimu sendiri dan orang lain."

Kael akhirnya mengangguk, meski jelas ia tidak puas. Namun, dalam hatinya, ia tahu bahwa Dr. Aiden benar.

Pagi berikutnya, dengan bantuan DR Lyra, Peals mampu berjalan untuk pertama kalinya sejak serangan itu di desa.

Langkahnya masih tertatih, tetapi ia bersikeras ingin melihat Kael.

"Kau keras kepala," kata Lyra, meski ia tetap mendampingi Peals ke ruangan sebelah.

Ketika Peals masuk, ia melihat Kael duduk di tempat tidurnya, wajahnya sedikit lebih cerah meski tubuhnya masih terbalut perban.

Kael menoleh, dan senyum samar muncul di wajahnya.

"Kau terlihat lebih buruk daripada aku," kata Kael dengan nada bercanda, mencoba menyembunyikan kekhawatiran di balik senyumnya.

Peals tertawa kecil.

"Kau tidak jauh lebih baik."

Mereka saling menatap, seolah berbicara tanpa kata-kata.

Senja baru saja turun ketika seorang utusan tiba di Desa Cempaka.

Nafasnya terengah, wajahnya penuh kecemasan saat menyerahkan gulungan surat resmi kepada Pak Suro.

Segel dewan negeri yang tertera pada surat itu memberi isyarat bahwa pesan ini sangat mendesak.

Pak Suro membuka surat itu dengan hati-hati, matanya langsung bergerak cepat membaca baris pertama.

Namun, saat ia sampai pada kalimat utama, tangannya bergetar.

"Ameyna Guvne..." gumamnya dengan suara yang nyaris tak terdengar.

"Pemimpin kita telah tiada."

Berita itu seperti petir di siang bolong.

Orang-orang yang berkumpul di sekitarnya langsung membisu.

Beberapa menatap satu sama lain dengan ekspresi tidak percaya, sementara yang lain mulai menangis.

Pak Suro menarik napas panjang, berusaha menenangkan dirinya.

Ia membaca kembali isi surat itu, memastikan dirinya tidak salah mengartikan. Kata-kata yang tertulis terasa begitu dingin dan memilukan.

"Pemimpin Ameyna Guvne gugur di perbatasan negeri," lanjutnya dengan suara serak. "Ia kehilangan nyawa setelah serangan besar dari pasukan bayangan yang mengepung daerah ****, Jasadnya ditemukan di tepi Sungai Ro'en, terlindung oleh dua prajurit terakhir yang mempertahankannya sampai napas terakhir mereka."

Pak Suro menutup surat itu dengan pelan, menundukkan kepala.

Malam itu, para pemimpin desa di sekitar wilayah Cempaka berkumpul untuk membahas perjalanan menuju Balai Dewan Negeri, tempat penghormatan terakhir bagi Ameyna Guvne akan dilakukan.

Di rumahnya yang sederhana, Pak Suro berdiri memandangi peta perjalanan.

Jalan menuju Balai Dewan tidak hanya panjang, tetapi juga berbahaya, melewati hutan lebat dan dataran berbatu. Namun, ia tahu perjalanan ini tidak bisa diabaikan.

"Kita harus berangkat saat fajar," katanya kepada para pemimpin desa lainnya yang hadir.

"Pemimpin kita mengorbankan nyawanya demi negeri ini, Kita harus memberikan penghormatan terakhir dengan cara terbaik."

Mereka semua mengangguk, meski wajah mereka penuh kesedihan.

Fajar menyingsing saat rombongan para pemimpin desa, dipimpin oleh Pak Suro memulai perjalanan mereka.

Langkah-langkah mereka berat, bukan hanya karena medan yang sulit, tetapi juga karena kesedihan yang memenuhi hati mereka.

Pak Suro berjalan di depan, sesekali menatap jauh ke depan, pikirannya dipenuhi kenangan tentang Ameyna Guvne.

Ia teringat saat pemimpin itu datang ke Desa Cempaka bertahun-tahun lalu, bukan hanya untuk memberikan pidato, tetapi juga membantu membangun pagar pelindung desa bersama penduduk dan lain sebagainya.

Rombongan itu melintasi hutan lebat, melewati jembatan kayu yang rapuh, dan mendaki bukit terjal.

Setiap langkah terasa semakin berat, tetapi tidak satu pun dari mereka mengeluh.

Ketika mereka tiba di Balai Dewan Negeri, suasana di sana sudah dipenuhi oleh para pemimpin dari berbagai penjuru negeri.

Langit mendung menambah kesan muram, sementara bunga-bunga putih menghiasi panggung tempat peti kayu beristirahat.

Peti itu dihiasi dengan ukiran sederhana namun penuh makna, dikelilingi oleh lilin-lilin yang menyala redup. Di dekatnya, para prajurit berdiri dengan kepala tertunduk, memberikan penghormatan tanpa henti.

Pak Suro dan rombongannya bergabung dalam barisan para pemimpin desa. Saat itu, seorang anggota Dewan Negeri berdiri di podium, suaranya terdengar serak saat ia memulai pidato.

"Hari ini, kita berkumpul untuk mengenang Ameyna Guvne, pemimpin yang telah mengorbankan segalanya untuk negeri ini. Ia adalah sosok yang memimpin dengan hati, melindungi kita semua tanpa pernah memikirkan keselamatannya sendiri."

Isak tangis terdengar di antara kerumunan. Beberapa orang menutup wajah mereka dengan tangan, sementara yang lain hanya berdiri dengan air mata yang mengalir tanpa henti.

"Ameyna Guvne kehilangan nyawanya di perbatasan, dalam usaha mempertahankan tanah ini dari serangan besar yang tidak pernah kita duga. Hingga napas terakhirnya, ia tetap menjadi pelindung bagi rakyatnya, seperti yang selalu ia lakukan sepanjang hidupnya."

Satu per satu, para pemimpin desa maju ke panggung untuk memberikan penghormatan terakhir.

Ketika tiba giliran Pak Suro, ia berjalan perlahan, tubuhnya terasa berat.

Ia berdiri di depan peti, lalu berlutut dengan penuh penghormatan.

"Ameyna Guvne, kau adalah cahaya bagi negeri ini," katanya dengan suara bergetar. "Kami tidak akan pernah melupakanmu. Kami akan menjaga negeri ini seperti yang selalu kau ajarkan."

Air matanya jatuh, tetapi ia tidak menyeka. Ia tetap berlutut selama beberapa saat, membiarkan keheningan berbicara lebih dari kata-kata.

Ketika ia bangkit, ia meletakkan tangannya di atas peti kayu, sebuah isyarat sederhana yang penuh makna.

Malam itu, seluruh Balai Dewan Negeri diterangi oleh cahaya lilin dan obor.

Para pemimpin, prajurit, dan warga berdiri dalam lingkaran, memberikan penghormatan terakhir dengan doa dan nyanyian pelan yang menggema ke seluruh penjuru.

Pak Suro berdiri di barisan depan, matanya tertuju pada langit malam yang mendung.

Dalam hati, ia berdoa agar Ameyna Guvne dapat beristirahat dalam damai.

"Dia telah memberi kita segalanya," katanya kepada para pemimpin di sekitarnya. "Dan sekarang, giliran kita untuk melanjutkan warisannya."

Pagi berikutnya, ketika langit mulai cerah, para pemimpin desa bersiap untuk kembali ke desa masing-masing.

Dua Minggu Telah Berlalu, Setelah penghormatan terakhir untuk Ameyna Guvne selesai, Dewan Negeri segera mengadakan sidang darurat di Balai Dewan.

Suasana di dalam ruang sidang tegang, dengan semua anggota dewan, para pemimpin desa, dan perwakilan militer hadir.

Mereka duduk melingkar di meja besar, masing-masing membawa dokumen dan laporan awal tentang insiden tragis di perbatasan.

Di tengah ruangan, sebuah peta besar terbentang, menunjukkan wilayah perbatasan tempat pemimpin Ameyna gugur.

"Kita tidak bisa membiarkan hal ini berlalu begitu saja," kata Ketua Dewan, Jorvan Mekk, dengan nada tegas.

"Serangan ini bukan hanya sebuah tragedi, tetapi ancaman langsung terhadap stabilitas negeri.

Kita harus menemukan siapa yang bertanggung jawab dan bagaimana mereka bisa menembus pertahanan kita."

Prajurit yang selamat dari pertempuran perbatasan telah memberikan kesaksian tentang kejadian tersebut.

Mereka melaporkan bahwa serangan dimulai sebelum fajar, dilakukan oleh sekelompok pasukan bayangan yang terlatih dengan baik.

"Pasukan itu tidak terlihat seperti pasukan reguler," jelas salah satu perwira yang hadir.

"Mereka mengenakan pakaian hitam tanpa lambang, dan serangan mereka begitu terorganisir.

Mereka menyerang titik-titik strategis terlebih dahulu, memutus jalur komunikasi kita dan mengepung wilayah utama."

Dewan mulai mendalami laporan itu. Mereka mencatat bahwa kelompok penyerang ini menggunakan senjata yang tidak biasa—panah berlapis racun dan pedang yang ringan namun mematikan.

Lebih mencurigakan lagi, mereka tampaknya tahu dengan tepat di mana posisi pemimpin negeri berada.

"Ini adalah pekerjaan mata-mata," kata seorang perwira militer senior.

"Mereka memiliki informasi yang hanya bisa didapatkan dari orang dalam."

Penyelidikan lebih lanjut menunjukkan bahwa serangan ini kemungkinan didalangi oleh kelompok rahasia yang dikenal sebagai Kesenian Kegelapan, sebuah organisasi yang telah lama dianggap hanya sebagai legenda.

Kelompok ini dikenal menggunakan strategi yang menanamkan rasa takut sebelum benar-benar menghancurkan targetnya.

Dewan Negeri memutuskan untuk membentuk satuan tugas khusus.

Tim ini terdiri dari pasukan elit dari berbagai wilayah, dipilih berdasarkan kemampuan mereka dalam pertempuran jarak dekat, penyelidikan, dan penguasaan taktik perang gerilya.

"Prioritas pertama kita adalah menemukan markas mereka," kata Jorvan Mekk. "Jika benar mereka memiliki mata-mata di antara kita, kita juga harus menyaring setiap orang di negeri ini. Tidak ada ruang untuk kesalahan."

Strategi utama yang dirancang mencakup:

1. Penyelidikan Terpadu: Menggabungkan intelijen dari semua desa untuk melacak jejak kelompok tersebut.

2. Penyamaran dan Penetrasi: Mengirim beberapa anggota Tim Bayangan Terang menyusup ke jaringan musuh untuk mengumpulkan informasi.

3. Pemusnahan Terarah: Setelah markas musuh ditemukan, serangan langsung akan dilakukan untuk menghancurkan mereka sebelum mereka dapat menyerang lagi.

Pak Suro yang masih berada di Balai Dewan, menawarkan dirinya untuk membantu dalam penyelidikan.

"Saya mengenal medan perbatasan dengan baik," katanya.

"Saya yakin pengalaman saya dapat berguna."

Dewan menerima tawarannya, dan Pak Suro diberi tugas memimpin tim penyelidikan di wilayah perbatasan.

Di tengah perencanaan strategi untuk menghancurkan ancaman ini, Dewan Negeri juga menyadari bahwa negeri tidak bisa dibiarkan terlalu lama tanpa pemimpin.

Dengan berat hati, mereka memutuskan untuk memulai proses pengangkatan pemimpin baru.

Namun, syarat untuk menjadi pemimpin negeri sangatlah sulit.

Pengumuman resmi dikeluarkan oleh Ketua Dewan:

> "Kami, Dewan Negeri, dengan ini mengumumkan bahwa pemilihan pemimpin baru akan segera dilakukan.

Namun, hanya mereka yang memenuhi kriteria berikut yang akan dipertimbangkan:

1. Kecakapan Militer: Kandidat harus memiliki pengalaman dalam memimpin pasukan di medan perang dan menunjukkan keberanian dalam melindungi negeri.

2. Integritas dan Kepemimpinan: Kandidat harus terbukti memiliki reputasi yang tak tercela dan dihormati oleh rakyatnya.

3. Dukungan Mayoritas: Kandidat harus mendapatkan dukungan dari setidaknya dua pertiga pemimpin desa di seluruh negeri.

4. Ujian Dewan: Kandidat harus melewati serangkaian ujian yang dirancang untuk menguji pengetahuan mereka tentang strategi pemerintahan, diplomasi, dan sejarah negeri."

Pengumuman ini disambut dengan berbagai reaksi.

Banyak yang merasa syarat-syarat tersebut terlalu sulit, sementara yang lain percaya bahwa ini adalah cara terbaik untuk memastikan pemimpin yang tepat menggantikan Ameyna Guvne.

Di sela-sela penyelidikan dan perencanaan, rasa kehilangan terhadap Ameyna Guvne tetap terasa di hati semua orang.

Balai Dewan, yang biasanya dipenuhi dengan perdebatan dan diskusi hangat, kini terasa sunyi, meskipun banyak orang yang hadir.

Pak Suro, yang selalu dikenal sebagai sosok tegar, terlihat sering termenung.

Ketika malam tiba, obor-obor dinyalakan di sekitar Balai Dewan. Semua orang berdiri di luar, memandang ke arah bintang-bintang yang bersinar redup di langit malam.

Pak Suro memejamkan matanya, mengingat saat-saat ketika Ameyna Guvne memberikan pidato pertamanya di desa mereka, penuh keyakinan dan kasih sayang.

"Meskipun dia telah tiada," kata Pak Suro pelan, "semangatnya akan selalu ada bersama kita. Dan kita akan memastikan negeri ini tetap berdiri, untuk menghormatinya."

Semua orang mengangguk, mata mereka penuh tekad.

Malam itu, di bawah bintang-bintang yang menyaksikan, sebuah janji terukir

"negeri ini akan terus maju, apa pun yang terjadi."

Keesokan paginya, sebuah utusan tiba di Desa Cempaka dengan surat penting dari Pak Suro.

Di alun-alun desa, penjaga membacakan isi surat dengan lantang:

> "Dewan Negeri telah memutuskan untuk segera melancarkan serangan ke benteng musuh di pegunungan utara. Operasi besar ini akan berlangsung dalam tiga hari. Semua desa diminta bersiap menghadapi kemungkinan serangan balasan."

Kerumunan penduduk mendengar dengan cemas. Di antara mereka, Peals dan Kael berdiri terdiam

Peals mengepalkan tangannya

"Kita tidak bisa hanya menunggu," ujarnya dengan nada keras.

"Mereka adalah ancaman nyata, dan kita harus bertindak sebelum semuanya terlambat."

Kael menatap Peals dengan khawatir.

"Peals, ini bukan sesuatu yang bisa kau hadapi sendirian, Dewan sudah mempersiapkan pasukan mereka,Kita harus mempercayakan ini kepada mereka."

Namun, Peals menggeleng.

"Aku tidak bisa hanya duduk diam, Jika aku bisa melemahkan mereka sebelum pasukan Dewan tiba, itu akan membantu kita semua."

Kael mencoba menghentikannya, tetapi tekad Peals sudah bulat dan kael tidak bisa berbuat apapun.

Malam itu, tanpa memberi tahu siapa pun, ia berangkat ke pegunungan utara.

Perjalanan ke pegunungan utara tidaklah mudah.

Peals melewati hutan gelap dan jalanan berbatu, hanya berbekal tombak dan pisau kecil.

Ketika ia mencapai kaki pegunungan, ia bisa melihat benteng musuh di kejauhan.

Benteng itu terletak di puncak bukit curam, dikelilingi tembok tinggi dan patroli yang ketat. Peals memperhatikan pergerakan musuh dari kejauhan, mencoba memahami pola penjagaan mereka.

Saat malam tiba, ia bergerak dengan hati-hati, menyusup melalui celah kecil di tembok samping benteng. Langkahnya sunyi, matanya fokus pada setiap gerakan musuh.

Begitu masuk, Peals mulai menyerang.

Ia menjatuhkan dua penjaga pertama dengan lemparan pisau yang cepat dan presisi. Namun, aksi itu membunyikan alarm.

Dalam sekejap, benteng dipenuhi oleh pasukan musuh yang bersiap melawannya.

Musuh menyerang tanpa ampun.

Panah melesat dari atas tembok, memaksa Peals terus bergerak untuk menghindari hujan serangan.

Dengan tombaknya, ia melawan dengan keberanian luar biasa, menjatuhkan satu per satu prajurit yang mendekat.

Namun, jumlah mereka terlalu banyak.

Pasukan musuh menggunakan formasi setengah lingkaran untuk mengepung Peals, memotong setiap jalan keluar.

Mereka menyerang dari berbagai arah, membuat Peals kesulitan bertahan.

Peals berusaha memanfaatkan setiap sudut gelap benteng untuk melindungi dirinya.

Ia melompat ke atas tumpukan kayu, menusukkan tombaknya ke salah satu prajurit yang mencoba mendekat.

Tetapi serangan dari belakang membuatnya terjatuh, dadanya menghantam tanah keras.

Tubuh Peals mulai melemah.

Serangan demi serangan menghujamnya, meninggalkan luka-luka dalam.

Sebuah panah menancap di bahunya, membuatnya terhuyung.

Namun, ia tetap berjuang, meskipun setiap langkah terasa sangat menyakitkan

Akhirnya, Peals terjatuh di bawah pohon besar di pinggir benteng.

Napasnya berat, pandangannya mulai buram.

"Aku tidak bisa menyerah..." bisiknya, mencoba untuk bangkit, tetapi tubuhnya tak lagi merespons.

Di saat-saat terakhir kesadarannya, Peals mendengar suara terompet perang dari kejauhan.

Pasukan Dewan Negeri tiba dengan kekuatan penuh.

Mereka langsung menyerang benteng musuh dengan strategi yang matang.

Pasukan elit menggunakan panah berapi untuk membakar gerbang utama, sementara infanteri bergerak dalam formasi rapat, memotong pertahanan musuh dengan efisien.

Pertempuran berlangsung sengit, tetapi pasukan Dewan Negeri akhirnya berhasil menguasai benteng.

Seorang prajurit menemukan Peals di bawah pohon. "Dia masih hidup!" teriaknya.

Dengan cepat, Peals diangkat ke tandu dan dibawa keluar dari medan pertempuran.

Peals dibawa ke sebuah tenda perawatan darurat yang didirikan tak jauh dari lokasi pertempuran.

Para tabib segera membersihkan luka-lukanya dan menghentikan pendarahan.

Ketika Peals akhirnya sadar, ia melihat wajah seorang tabib muda bernama Dr. Elara yang sedang memeriksa luka di bahunya.

"Kau sangat beruntung masih hidup," kata Dr. Elara, suaranya tenang tetapi tegas.

"Tindakanmu sangat gegabah. Apa yang kau pikirkan menyerang sendirian ?"

Peals terdiam, rasa sakit di tubuhnya seolah mengingatkannya pada kebodohannya.

Namun, di dalam hatinya, ia merasa lega bahwa pasukan Dewan Negeri berhasil menghentikan musuh.

"Terima kasih... karena menyelamatkanku," gumamnya lemah.

Dr. Elara menatapnya dengan sedikit senyum. "Istirahatlah. Kau membutuhkan waktu untuk pulih."

Di luar tenda, pasukan Dewan Negeri merayakan kemenangan mereka.

Benteng musuh telah dikuasai, dan jejak kelompok penyerang mulai terungkap.