07 Oktober 1950.
"Huh, huh, huh." Terdegar deruan nafas yang keras. Suara-suara aneh terdengar di seluruh ruangan.
Mataku mulai terbuka, tapi tunggu, tubuhku tidak mau bergerak. Di mana aku? Kenapa aku berada di sini? Mengapa aku tidak mengingat apapun? Apa yang sebenarnya terjadi denganku?
Pertanyaan-pertanyaan itu terlintas, tapi tak mampu menjawabnya. Yang pasti aku berada di ruangan serba putih, terbaring, tidak bisa menggerakan tubuh.
Suara-suara di sekitarku terdengar asing. "Bib, bib, bip." Berbunyi teratur dan monoton.
Suara pintu terbuka terdengar jelas. Aku bisa melihat seseorang kemari, langkah kakinya terdengar semakin dekat. Siapa itu? Itu adalah pertanyaan yang inginku ajukan, tapi nihil, suaraku tidak mau keluar. Jangankan suara, mulutku saja tidak mau bergerak.
Suara langkah kaki itu semakin dekat, hingga akhirnya terhenti di sampingku. Aku bisa melihatnya, tetapi tidak jelas, buram. Meskipun tidak jelas, entah mengapa aku mengetahuinya, orang itu tersenyum. "Kamu sudah sadar, Ayu? Itu namamu, bukan?" Suaranya terdengar lembut sekali, telingaku bisa mendengar dengan jelas.
Aku berusaha menjawabnya, namun lagi-lagi gagal. Hanya bisa mengedipkan mata sebagai jawaban.
Ayu? Dia mengatakan itu namaku. Nama itu familiar di telingaku, rasanya telah menjadi bagian dari hidupku. Tapi aneh sekali meskipun itu familiar, aku tidak bisa mengingatnya.
"Tidak apa, Ayu. Kamu tidak perlu menjawabnya sekarang. Istirahatlah, aku akan memeriksamu lagi nanti. Pada saat itu kamu boleh bertanya sepuasnya." Orang yang memakai pakaian serba putih itu pergi meninggalkan ruangan.
Kepalaku dipaksa untuk berfikir keras, menerima informasi secara terus-menerus. Entah mengapa aku mengantuk karenanya.
Satu hal yang pasti. Aku merasa mengetahui diriku, tapi di sisi lain, aku juga tidak mengingatnya. Merasa seperti kehilangan sesuatu yang sangat penting, tetapi tidak mengetahui apa yang hilang.
Semakin memikirkannya, semakin kepala ini merasa pusing. Ingin sekali segara menghentikan rasa sakit ini. Bukan rasa sakit tubuh, aku bahkan tidak bisa merasakan tubuhku. Tapi hati. Terasa seperti terbakar oleh api yang sangat panas, teriris pisau yang sangat tajam, dibentur dengan keras oleh berlian. Dadaku tererasa sesak. Ingin mengeluarkan air mata, pun juga tidak teluar. Jiwaku terasa mati, tidak mengetahui dirinya sendiri, atau malah menolak untuk mengetahuinya.
Semakin lama, semakin berat mata ini. Aku tidak mampu menahannya. Tanpa kusadari, sekali lagi, aku tertidur.
***
14 Oktober 1950.
Lagi-lagi mataku terbuka, kali ini tubuhku mulai terasa, tanganku juga perlahan mulai bisa digerakan. Tetapi kakiku tidak terasa. Meskipun sudah berusaha keras mencoba menggerakannya, tetap tidak terasa apapun. Penglihatanku juga nampaknya mulai membaik, sekitar nampak lebih jelas.
Ruangan ini tidak lebih dari 5 meter persegi, semuanya serba putih, dan terlihat kosong. Hanya ada tempat tidur, kursi di sampingnya, dan alat besar yang sejak tadi berbunyi nyaring.
Aku mulai membangkitkan tubuhku, menyandarkannya. Seluruh tubuhku terasa sakit sekali, rasanya seperti tulang-tulang tubuhku remuk.
"Kamu belum boleh bangun, Ayu. Kondisi tubuhmu masih tidak stabil." Seorang wanita mendekat kearahku.
Aku menatapnya, menyipitkan mata. Merasa sebelumnya kita pernah bertemu. Benar, kalau tidak salah ia orang yang sama dengan sebelumnya. Penampilannya seperti wanita umur 30an.
Mulutku berusaha menjawabnya, "Kamu siapa?" tidak stabil. Suaraku putus-putus, gemetaran.
Semoga wanita itu mengerti.
"Aku Dokter Nadia. Orang yang akan merawatmu sementara ini." Wanita itu, Nadia, menjawab pertanyaan sembari mengelus kepalaku.
Nyaman sekali rasanya. Seperti dielus oleh ibuku. T-tapi siapa ibu? Kepalaku berdenging keras. Tanganku memegang kepala, menahan rasa sakit yang luar biasa. Tubuhku terjatuh, meringkuk di atas kasur.
Dokter Nadia yang melihatnya, segera mengambil tindakan. Menyuntikan sesuatu ke dalam tubuhku. Seketika segalanya menjadi tenang.
"Tidak apa-apa, Ayu. Kamu akan baik-baik saja." Nadia kembali duduk di kursi samping.
Kepalaku dibanjiri banyak sekali pertanyaan, tetapi tak sanggup mengatakannya. Aku takut. Berusaha bangkit kembali, menyandarkan tubuh ke dipan kasur, menarik nafas, mencoba mengumpulkan kekuatan untuk bertanya. Dokter Nadia berusaha membantu menenangkanku.
"Aku ada di mana?" Suaraku masih putus-putus, serak.
Itu adalah pertanyaan pertama yang aku lontarkan.
Dokter Nadia tersenyum melihat adanya kemajuan, mendengarku mengajukan pertanyaan pertama.
"Kamu ada di rumah sakit ibu kota, Ayu." Lagi-lagi dokter Nadia membelaiku.
Aku tidak paham mengapa bisa berada di sini. Rumah sakit? Memang seluruh tubuhku terasa sakit, tapi apa yang terjadi?
Pertanyaan demi pertanyaan muncul, membuat kepalaku menjadi sakit.
Tanpa jeda aku langsung mengajukan pertanyaan berikutnya. "Mengapa aku ada di sini?"
Dokter Nadia menatapku, mengerutkan kening. Seakan ia tahu apa yang sebenarnya terjadi. Kemudian balik bertanya. "Kamu benar-benar tidak mengingatnya, Ayu?"
Aku sama sekali tidak bisa mengingat apapun.
"Tidak. Aku tidak mengingatnya." Jawabku yang sebenarnya.
Dokter Nadia mengangguk. Dia berdiri dari kursinya, berjalan menuju sudut ruangan. Mengambil sesuatu.
"Mau cemilan?" Berjalan kembali membawa makanan, mencairkan suasana.
"Umm." Aku mengangguk.
Perutku mulai terasa lapar.
Dokter Nadia membuka makanan ringan itu, memberikannya kepadaku, kemudian ia kembali duduk di kursinya.
"Kamu mengalami amnesia disosiatif." Dokter Nadia memberitahuku.
"Amnesia disosiatif? Apa itu?" Tanyaku, dengan mulut yang masih mengunyah, penuh makanan.
Nadia berdiri, mengambil sesuatu di atas alat-alat medis. Itu adalah kertas bergambar, lalu memberikannya kepadaku.
Kertas itu berisi penjelasan bergambar yang menjelaskan keadaanku. "Amnesia disosiatif merupakan kondisi seseorang tidak mampu mengingat detail penting tentang kehidupan mereka sendiri, hal itu bisa terjadi disebabkan oleh trauma." Itu kata dokter Nadia, menjelaskan ketika Aku melihat kertas bergambar itu.
Aku menanggapi penjelasan dokter Nadia. "Kehilangan ingatan? Apakah aku mempunyai masa lalu? orangtua, ibu? ayah?" Tidak sabar mendengar jawaban dari pertanyaanku. Terengah-engah, aku berbicara terlalu cepat.
Dokter mengangguk.
"Tenangkan dirimu, Ayu." Kembali duduk. Menarik nafas.
Aku ikut menarik nafas, menenangkan diri. Alat itu berbunyi semakin keras ketika nafasku tidak stabil, membuat telinga terganggu.
Dokter Nadia kembali berbicara. "Kamu tidak bisa mengingat siapa dirimu 'kan, Ayu? Begitu pula dengan masalalu mu, kamu tidak ingat bukan?"
Aku mengangguk.
"Ingatanmu tidak benar-benar hilang. Selama tiga bulan kedepan, kita akan melakukan terapi hingga ingatanmu benar-benar kembali. Apapun yang akan kembali, kamu harus menerimanya, Ayu. Kamu harus kuat menerimanya." Dokter Nadia melanjutkan.
Siapa sebenarnya Ayu itu? Aku? Apakah masa lalunya baik? Apakah... Aku menelan ludah. Tidak. Sebaiknya tidak usah difikirkan sekarang.
"Baiklah, kita sudahi sesi kali ini. Aku senang melihat kemajuanmu. Kita akan memulai sesi terapi minggu depan, menunggu kondisimu hingga benar-benar pulih. Istirahatlah, Ayu." Dokter Nadia tersenyum, meninggalkan ruangan. Menyisakanku seorang.
Sepi. Tanpa sadar, Aku telah jatuh tertidur kembali.
***
15 Oktober 1950.
Tak terasa hari telah berganti. Pukul 3 pagi aku terbangun, tidak tahu mengapa, rasanya sudah seharusnya begitu.
Tidak banyak yang bisa dilakukan, hanya terbaring di kasur. Menunggu waktu berlalu. Menatap langit-langit serba putih.
Pukul 6 pagi. Terdengar suara yang mengetuk pintu, itu adalah perawat. Dua orang perawat masuk, membawakanku sarapan.
"Adik bisa makan sendiri? Mau disuapin sama kakak?" Salah satu perawat menawarkan.
Aku bisa sendiri. Tidak ingin merepotkan mereka. "Terima kasih. Tapi tidak perlu, Aku bisa memakannya sendiri."
Kedua perawat itu mengangguk. Kemudian pergi dan mengucapkan, "Jika butuh sesuatu panggil saja kakak."
Suara langkah kakinya menghilang setelah menutup ruangan.
"Kasihan sekali ya, jika aku menjadi dia mungkin tidak akan kuat, hanya bisa menangis." Salah satu perawat berbicara dengan perawat lainnya.
"Benar. Padahal umurnya masih kecil. Ingin sekali kujadikan sebagai adikku." Perawat yang lain menimpali, merasa kasihan.
Itu adalah suara perawat yang sama menawarkan menyuapiku.
"Semoga dengan ditangani dokter Nadia kondisinya lekas membaik." Suara langkah kaki kembali terdengar menjauhi ruangan.
Meski samar, aku masih bisa mendengarnya.
Terkadang para perawat datang merawatku, membantu melatih kemampuan motorik tubuhku, atau hanya sekedar memberikan segelas air atau makanan.
***