12 Desember 1946.
Matahari masih jauh untuk terbit, seluruh orang masih tertidur. Sepi, tidak ada suara manusia. Sesekali terdengar suara burung hantu, dan suara serangga berbunyi seperti alunan musik.
Hujan baru saja berhenti, membuat jalanan basah.
Seluruh pasukan militer desa telah dikumpulkan di lapangan, sebagian dari mereka sedang tertidur, sebagian lainnya berjaga. Total tiga puluh pasukan itu menempati tenda-tenda.
Ada lima tenda besar, masing-masing tenda ditempati oleh enam orang. Meski sedikit, para pasukan bukan orang sembarangan. Mereka telah dilatih keras untuk bertempur, satu dari mereka setara dengan sepuluh orang biasa secara fisik.
Pukul 12.15 malam, suara ledakan yang keras terdengar, membuat seluruh pasukan terbangun.
"Apa?! Mereka menyerang sekarang?" Pasukan yang berjaga membunyikan kentongan, sebagai peringatan adanya serangan.
Seluruh pasukan cepat-cepat mengambil senjata, berhamburan keluar dari tenda, menganalisis apa yang terjadi.
Komandan terbangun karena suara keras itu, matanya masih berat, segera membangunkan rekannya yang masih tidur.
"Nadia, bangun. Musuh menyerang." Komandan membangunkan rekannya.
Komandan Mahendra dan Nadia berada di tenda yang sama, mereka adalah sepasang suami isteri. Tenda itu adalah tenda khusus untuk mereka, tidak ada orang lain.
"Apa?!" Nadia terbangun, segera bersiap-siap. Gerakannya efisien, sudah terbiasa dengan situasi seperti ini, meskipun dia seorang wanita.
"Sial, mereka menyerang lebih cepat dari perkiraanku. Kita bahkan belum mengevakuasi penduduk desa." Yang berbicara adalah komandan Mahendra. Wajahnya pucat, merasa bersalah.
Nadia yang melihat wajah komandan pucat, memeluknya, mencoba menenangkan.
Wajah komandan yang pucat berubah menjadi kemerahan, seperti kepiting rebus. Mahendra membalas pelukan isterinya. Dia tahu isterinya juga khawatir, lebih dari dirinya sendiri, tetapi Nadia memilih menenangkan suaminya.
"Aku akan baik-baik saja. Larilah, Nadia, tunggulah kami di tempat yang sudah direncanakan." Mahendra merenggangkan pelukannya.
Nadia justeru mengeratkan cengkraman pelukannya, tidak ingin ditinggalkan. Khawatir mereka tidak akan kembali untuk selamanya.
Mahendra mengusap kepala Nadia, menenangkannya. "Aku janji. Meskipun tubuhku menjadi abu, aku tidak akan meninggalkanmu."
Nadia tersenyum, percaya jika Mahendra pasti bisa menumpas musuh-musuh itu. "Hati-hati." Cengkraman Nadia melemah, melepaskan pelukannya.
Mahendra mengangguk.
Nadia berlari ke arah hutan, meninggalkan desa, menuju tempat yang telah direncanakan sebelumnya. Kakinya terus berlari, tak peduli jatuh berkali-kali, terus maju. Sesekali berpapasan dengan pasukan penjajah, namun Nadia melumpuhkan mereka.
Pada awalnya, Nadia ingin ikut berperang, dia ingin membantu. Tapi Mahendra menolaknya. Bilang jika Nadia lebih dibutuhkan untuk tenaga medis, mengobati pasukan dan penduduk yang terluka. Nadia pun menyerah, mengikuti perintah komandan.
Komandan Mahendra telah keluar dari tenda. Para pasukan lain juga telah rapih berbaris, menunggu perintah dari komandan. Mereka haus memburu musuh, seperti serigala yang lapar melihat mangsanya.
Ledakan demi ledakan terdengar. Timah-timah panas melesat hilir-mudik, membuat siapapun yang terkenanya lumpuh seketika. Suara-suaranya sangat nyaring, membuat seluruh orang menutup telinga, ketakutan.
"SEMUANYA, SEGERA EVAKUASI PENDUDUK DESA, LAWAN PENJAJAH ITU JIKA BERTEMU. KITA AKAN BERKUMPUL KEMBALI DI TITIK YANG SUDAH DIRENCANAKAN." Komandan memberikan perintah. Suaranya menggebu-gebu. Membuat para pasukan bersemangat.
Total tiga puluh pasukan militer desa, termasuk komandan. Mereka capat-cepat berpencar, berlarian meninggalkan lapangan. Menggunakan senjata seadanya. Tidak banyak senjata yang bisa menjadi opsi, militer desa kekurangan persenjataan.
Sepuluh dari mereka membawa pistol kecil, yang membawa adalah komandan dan pasukan yang pangkatnya tinggi, termasuk Nadia. Sisanya hanya membawa bambu runcing, panah, batu, bahkan hanya mengandalkan kekuatan otot.
Para pasukan itu melawan tentara musuh yang jumlahnya lebih dari seratus lima puluh orang, setidaknya itu adalah informasi dari regu satu. Bukan hanya kalah jumlah, senjata yang dipakai pun kalah canggih. Ini yang dicemaskan oleh komandan. Ia tahu, mustahil untuk mengusir para penjajah itu, apalagi memenangkan pertarungan ini.
Komandan berencana untuk menyelamatkan sebanyak mungkin nyawa, kemudian melarikan diri dari desa ini, mengungsi ke tempat yang aman, posko atau pengungsian.
Para pasukan baru saja berkumpul kemarin sore. Komandan telah memberitahu strategi itu kepada para pasukan saat baru berkumpul, namun belum sempat strategi dijalankan, pasukan penjajah lebih dulu menyerang.
***
"DOR, DOR." Suara tembakan terdengar nyaring.
"Sial, semoga belum banyak korban yang berjatuhan. Mereka benar-benar kejam, membunuh penduduk sipil yang tidak bersalah. Ini salahku karena telah memata-matai mereka. Sialan, sialan, sialan." Mahendra sendirian menerjang medan tempur, menuju ke arah sumber suara itu.
Mahendra bergerak cepat, berlari, tidak peduli timah-timah panas melewatinya. Hingga akhirnya dia sampai ke sumber suara itu. Sejak tadi Mahendra mendengar suara teriakan anak kecil, dia memutuskan mendatangi suaranya.
Benar saja, dari luar pintu rumah terlihat dua pria asing. Di lantai banyak sekali darah segar yang menggenang, juga terdapat tubuh yang tergeletak.
Mahendra melihat anak kecil yang memeluk tubuh yang tergeletak, entah anak itu masih hidup atau tidak. Jiwanya seperti sudah mati, menatap ke atas, pasrah. Siap untuk mati.
Dua orang asing yang membawa senjata api mengarahkannya pada anak itu, siap menembak. Mahendra refleks menembakkan timah panas ke dua orang itu, "DOR, DOR." Tepat menembus kepala mereka. Seketika orang-orang itu ikut tergeletak di tanah. Darah segar muncrat mengenai tembok-tembok.
"Apakah kamu baik-baik saja?" Mahendra menjulurkan tangannya.
Anak itu penuh dengan darah, mentalnya pasti hancur. Dan kehilangan kesadaran setelahnya.
Mahendra menggelilingi isi rumah itu, ada beberapa tubuh lain yang tergeletak, tidak bernyawa. Dia segera meninggalkan rumah itu, menggendong anak yang selamat. Waktunya terbatas, semakin lama dia bergerak, semakin banyak nyawa yang hilang.
Mahendra berlari ke arah timur sembari menggendong anak kecil, menyusuri rumah-rumah, bersembunyi. Memberikan arahkan kepada warga yang selamat. Prioritas Mahendra adalah anak-anak dan wanita.
Anak demi anak berhasil diselamatkan. Mahendra menggendong dua anak. Sisanya bisa berlari. Ada 5 anak yang diselamatkan oleh Mahendra dan kebanyakan orang tua mereka telah terbunuh.
"Bajingan itu hanya berani pada anak-anak." Mahendra terus berlari. Anak-anak mengikuti dibelakangnya.
"Kakiku sakit." Seorang anak perempuan mengeluh, kelelahan.
Mehendra mengusap kepala anak itu, memutuskan untuk beristirahat sejenak di antara rumah-rumah warga.
Lima belas menit, Mahendra memutuskan untuk pergi dari desa ini. Tidak ada yang tersisa. Setiap memasuki rumah, hanya ada tubuh yang tergeletak. Terkadang ada pasukan musuh yang sedang merampas isi rumah. Mahendra membunuhnya tanpa ampun. Suara tembakan terdengar, membuat anak-anak menutup telinga mereka.
Melarikan diri sembari menggendong dua anak sangat melelahkan, terlebih harus menyesuaikan dengan tiga anak lainnya. Tetapi Mahendra tidak patah semangat. Anak-anak itu lebih merasakan sakit daripada dirinya. Mental mereka tercabik-cabik, tapi mereka tidak menangis. Itu membuat Mehendra malu.
Mereka berenam berlari di antara rumah-rumah, bersembunyi, membunuh musuh. Setiap Mahendra melepaskan timah panas, anak-anak itu bergetar. Sungguh kasihan. Berlarian melewati danau, hingga akhirnya mereka memasuki hutan. Total 3 km mereka telah berlari.
Setibanya di hutan, mereka mengistirahatkan kaki.
"Tenang saja, kita akan selamat." Mahendra menenangkan anak-anak.
Mereka benar-benar ketakutan, nafasnya terengah-engah, tubuhnya penuh dengan luka
***
Di sisi lain, para pasukan penjajah telah memasuki rumah-rumah penduduk, tidak butuh waktu lama untuk mencakup seluruhnya. Satu demi satu rumah dikuasai, membunuh penghuninya. Merampas benda berharga yang ada.
Suara tembakan menghiasi langit, seperti pesta kembang api. Tapi bedanya setiap suara yang berbunyi, ada nyawa yang hilang. Sangat mengerikan.
Para pasukan militer desa bergetar, ketakutan. Meski mereka telah dilatih mati-matian, mereka hanyalah manusia biasa dihadapan senjata api yang canggih. Bahkan para penjajah itu membawa bom-bom yang bisa membunuh seluruh orang di desa ini. Tapi keberanian mereka untuk mati, semangat juang mereka, demi menyelamatkan nyawa sangat luar biasa.
Satu-persatu nyawa hilang, baik warga biasa maupun militer desa. Benar-benar tidak ada perlawanan bagi para pasukan penjajah. Semua orang ketakutan, menangis, teriakan terdengar dari segala arah. Diantara mereka yang sedang tidur, tidak pernah bangun lagi, menjadi tertidur selamanya.
Seratus lima puluh tentara penjajah tanpa ampun melemparkan timah-timah panas ke tubuh warga tidak bersalah. Mereka menembakan timah itu sambil tertawa, menatap jijik warga sipil. Menghinanya.
Banyak yang mencoba melarikan diri, namun banyak sekali diantara mereka terbunuh, yang mencoba bersembunyi dalam rumah pun terbunuh, tak bersisa.
Tiga puluh menit berlalu, pukul 12.45 malam. Teriakan yang keras sejak tadi mulai menghilang, ratusan orang meninggal, entah ada yang selamat atau tidak.
Itu benar-benar pemandangan yang mengerikan, bahkan jika hanya mendengar suaranya saja.
Dari seratus lima puluh pasukan penjajah, seratus orang masih hidup. Mereka semua berdiri di jalan-jalan, berkumpul merayakan. Entah pasukan militer desa ada yang selamat atau tidak, namun semangat mereka pasti akan tetap hidup.
Bau anyir menjalar ke seluruh penjuru desa, membuat para pasukan penjajah itu menutup hidung mereka.
Satu demi satu dari setiap pasukan itu menyeret tubuh dari rumah-rumah warga, menumpuknya di jalanan. Banyak sekali bekas tembakan di tubuh mayat-mayat itu, satu dua tubuh sudah tak berbentuk terkena ledakan bom.
Ratusan tubuh tidak bernyawa yang telah dikumpulkan, dibuang ke danau yang ada di desa agar tidak mengeluarkan bau busuk. Danau itu perlahan berubah menjadi merah. Banyak sekali tubuh yang mengambang di atasnya. Sangat mengerikan.
Ikan-ikan ikut mengambang, seakan danau itu murka, tidak tahan dengan air yang memerah.
Setelah selesai melancarkan oprasi, sebagian besar melarikan diri. Sebagiannya lagi berpatroli di sekitar desa dengan radius 10 km, berjaga-jaga jika ada orang yang melarikan diri.
Desa ini dikelilingi oleh hutan, mustahil bisa berlari melarikan, terlebih dikejar oleh pasukan penjajah.
Komandan mereka tersenyum lebar, merayakan dengan wanita-wanita di sampingnya, meminum minuman keras. Tidak ada rasa bersalah di wajahnya. Sementara itu desa yang dulunya ramai, sejahtara, makmur, menjadi sepi tanpa suara. Hanya suara angin dari roh para leluhur yang terdengar. Kejadian ribuan tahun lalu kembali terulang, dengan cara yang lebih mengerikan.
***