16 Desember 1946.
Tidak terasa matahari telah terbit di kaki sebelah barat. Cahayanya mulai menyinari tanaman berembun. Hangat, seakan dinginnya malam tak pernah terjadi, seperti mimpi.
Hal pertama yang kulakukan adalah mandi, mengganti pakaian. Hari ini hari minggu, sekolah libur, jadi bisa sedikit bersantai. Ayah juga sudah berangkat. Setelah selesai, kemudian selanjutnya membuat sarapan. Memasak nasi, dan lauk pauk.
Seperti biasa, aku menyuapi Melati dan ibu, dan memberi obat untuk ibu minum. Kemudian menyapu dan mengepel. Sempurna.
Selesai sudah semua tugasku.
"Ayu, ini Ratih." Suara seseorang berteriak, terdengar sampai kamarku.
Aku mengenali suaranya. Itu Laras. Sebelumnya kami sudah berjanji bertemu. Bermain, dan mengerjakan PR bersama di rumahnya. Dia yang mengundangku.
"Hai, Ratih. Maaf, aku hampir lupa. Kita berangkat sekarang?" ucapku di bawah pintu, menatap Laras yang berada di depan halaman.
Ratih mengangguk.
Aku memberi tahu ibu sebelum pergi. Ibu mengijinkan, baiklah.
Dua sepeda kembali meluncur di jalanan. Kami tidak langsung ke rumah Ratih. Dia mengajaku untuk berkeliling desa. Ada satu tempat yang ingin aku dan Ratih kunjungi.
Kami berjalan lebih cepat, melewati persawahan, dan perkebunan. Banyak sekali padi kuning yang belum dipanen. Angin-angin berhembus membuat padi itu bergoyang.
Sepuluh menit berlalu, akhirnya kami sampai di danau. Jaraknya 3 kilometer dari rumahku. Danau ini berada di sudut desa. Para penduduk mengambil air dari sini.
Sepeda kami terparkir rapih di bawah pohon.
"Indah sekali." Kataku sembari duduk bersantai meihat para penduduk yang sedang memancing.
Ratih setuju, "Benar, sangat indah. Apalagi kalau kita melihatnya sore hari, tepat saat matahari terbenam."
Benar. Aku pernah melihatnya bersama ibu saat aku masih delapan tahun. Melati juga belum lahir. Sangat indah melihat matahari seakan tenggelam di danau ini, warnanya yang tadinya bening kebiruan berubah menjadi oranye. Itu benar-benar indah.
"Ayu. kapan-kapan mari kita camping di sini. Tidak hanya menikmati matahari terbenam, tapi kita juga akan melihat matahari terbit." Matanya berbinar ketika mengucapkan itu.
"Aku akan menantikannya. Pasti akan sangat menyenangkan."
"Mitosnya danau ini terbentuk karena ada meteor yang terjatuh di sini ribuan tahun yang lalu." Aku yang mengatakan itu.
"Kakeku pernah membicarakannya. Ia bilang danau ini bukan terbentuk oleh meteor, melainkan terbentuk karena roh para leluhur yang murka. Ini adalah kisah masa lalu. Apakah kamu mau mendengarkannya, Ayu?"
"Umm." Aku mengangguk, penasaran.
"Pada waktu itu, waktu yang sangat lama-lama sekali, warga desa menjalani kehidupannya dengan damai. Tanah subur, panen melimpah setiap tahunnya, seakan tanah ini diberkati. Melihat desa ini makmur, orang tidak beruntung yang terlahir di wilayah yang tandus, iri melihatnya." Ratih terhenti.
Aku menelan ludah. Menatap serius, memperhatikan. Nafasku seakan terhenti.
Ratih menarik nafas, kemudian melanjutkan. "Terbesit dalam pikiran mereka sesuatu yang amat jahat. Sungguh kami tidak beruntung seperti kalian, dan kalian tidak mengerti apa yang kami rasakan. Karena itu lebih baik kalian musnah, biarkan kami menghuni tempat ini. Maka mereka berbondong-bondong menyerbu tempat ini. Setiap penduduk yang mereka temui dibunuh, tak bersisa satupun. Pada saat kejadian itu berlangsung, ketua desa keringat dingin melarikan diri. Tapi tidak peduli seberapa keras ia berlari, usahanya sia-sia. Kepala desa tetap ditemukan. Para penyerbu yang melihatnya melamparkan tombak. Mengenainya, tepat menembus perut. Darah segar menyembur keluar. Darah itu terus menyembur tak berhenti, hingga menciptakan danau merah darah."
Aku tak bisa berkata-kata mendengarnya. Itu terlalu mengerikan.
"Sepertinya kakekmu menyukai hal-hal seperti itu, Ratih. Terdengar mengerikan." Kataku, menanggapi cerita Ratih.
Aku jadi ragu jika disuruh camping di sini.
"Ahahaha, kakekku selalu menceritakannya sebelum aku tidur, benar-benar seperti dongeng masa lalu." Ratih tertawa melihatku yang ketakutan.
Setengah jam kami berada di danau itu. Sangat menyenangkan.
Setelah puas di danau, kami pergi ke rumah Ratih, itu tujuan utama kami. Dua sepeda lagi-lagi meluncur di jalanan. Rumah Ratih tidak jauh dari danau, hanya membutuhkan tiga menit perjalanan.
Akhirnya kami sampai.
Aku bersalaman dengan orangtua Ratih. Kakeknya juga saat itu ada di rumah. Aku bersalaman dengannya. Ini pertama kalinya kami bertemu. Dari penampilannya, kakek Ratih terlihat seperti umur 80an.
Begitu sampai kami segera mengerjakan PR. Ratih mengusulkan mengerjakan PR matematika terlebih dahulu karena dia belum mengerjakannya sama sekali. Meskipun aku telah selesai tapi baiklah, aku akan membantu Ratih.
Ketika kami sedang asik mengerjakan, ibu Ratih datang membawakan minuman. Aku menerimanya, berterima kasih.
Sesekali juga kakek Ratih melihat kami, penasaran. Sesekali juga mengikuti obrolan kami, dan bercerita. Sekarang aku mengerti, kakek memang suka sekali bercerita.
PR matematika Ratih sudah selesai, kami melanjutkan dengan mengerjakan PR IPA. Jarang sekali rasanya bu Citra memberikan PR seperti ini, tapi baiklah kami akan mengerjakannya.
Besok adalah hari senin. Jadwal hari itu adalah IPA dan matematika, itu alasan kami memilih mengerjakan ini.
Dua jam berlalu. Kami memutuskan untuk rehat sejenak. Mengobrol.
Kami kembali membicarakan danau itu. Memikirkan kapan akan camping di sana, tapi aku jadi ragu setelah mendengar cerita Ratih.
Kakek yang mendengar kami sedang membicarakan danau, ikut bergabung, mengobrol. Dengan semangat membahas, menceritakan tentang dongeng itu. Kurang lebih sama dengan yang diceritakan Ratih.
"...Darah segar terus menyembur deras, tak berhenti, hingga menciptakan danau merah darah." Cerita itu berakhir. Kemudian diakhir, kakek mengatakan. "Terkadang kita harus melihat ke belakang, bukan untuk meratapi apa yang telah berlalu, tetapi untuk menghargai jalan yang telah dilewati dan kita bisa mempelajarinya."
Aku duduk terkesima mendengar kembali cerita itu. Diceritakan lebih lengkap oleh kakek Ratih langsung.
Kakek Ratih benar. Terkadang kita harus melihat kebelakang, bukan untuk meratapi, tetapi untuk belajar dan terus maju, dengan rasa syukur yang mendalam atas semua yang telah terjadi.
Setelah berkali-kali mengganti topik pembicaraan, kami memutuskan mengakhirinya. Tidak terasa, tiga jam kami bersama. Matahari mulai terpeleset turun, pertanda tengah hari telah terlewati.
Ibu dan adikku pasti sudah menungguku di rumah.
Aku memutuskan untuk segera pulang, berpamitan dengan ibu dan kakek Ratih. Berterima kasih. Ayah Ratih tidak ada pada saat aku pulang.
***
Tepat pukul dua siang sepedaku telah sempurna terparkir di halaman. Aroma masakan terasa hingga luar. Aku bisa menciumnya. Apakah ibu yang memasak? Sepertinya Aku pulang terlambat
Benar. Ibu sedang memasak. Begitu memasuki rumah, aroma masakannya semakin menyengat.
"Biar Ayu bantu, bu." Pintaku.
Ibu tersenyum. "Kamu bisa memasak telur itu, Ayu?"
Ibu yang menyadari kedatanganku, menyuruh untuk memasak telur dadar. Sementara ibu akan memasak sayur-sayuran. Aku mengangguk, mengerti. Lalu bergegas menyapkan bahan-bahan, dan memasaknya.
"Kamu tahu kemana ayah pergi, nak? Tumben sekali ia pergi di hari libur." Ibuku bertanya ketika sedang memasak.
Aku lupa belum memberitahu ibu.
"Sepertinya ayah ada panggilan tugas mendesak, tadi pagi membangunkan Ayu, memberitahu." Aku menjelaskan.
Ibu langsung mengerti. Ini bukan pertama kalinya ayah mendadak pergi tugas, terkadang selalu begitu, jadi ibu tidak terlalu menghawatirkannya.
Meskipun ibu terbatuk-batuk saat memasak, ibu bersih keras melanjutkan. Berkali-kali aku menyuruhnya istirahat saja, biar Ayu yang melanjutkannya.
Akhirnya setelah tiga puluh menit seluruh hidangan telah selesai dimasak. Tidak banyak banyak, juga tidak mewah. Hanya telur dadar dan sayur asam.
Kami berkumpul di ruang tengah. Kali ini bukan kursi ibu yang kosong, melainkan ayah. Kami menyantap hidangan itu. Sudah kuduga masakan ibu memang begitu enak. Aku sangat rindu dengan rasanya. Jika dibandingkan dengan apa yang kubuat, tidak ada apa-apanya.
Kali ini ibu yang menyuapi Melati. Ia selalu anteng jika bersama ibu.
"Apakah kamu suka bunga itu, Ayu?" Ibu menunjuk pas bunga di tengah meja yang ada di samping lilin.
Itu adalah pertanyaan aneh untuku, bukan karena apapun, Aku merasa pernah mendengar pertanyaan itu. Aku merasa dejavu.
"Kenapa ibu bertanya seperti Itu?" Aku bertanya, heran.
Ibu tersenyum, kemudian menatap Melati.
"Ketika kamu kecil, kamu suka sekali bermain ke taman bunga. Apakah kamu ingat? Kamu selalu memetik dan membawa pulang satu bunga, bunga melati. Karena itu ibu dan ayah memberi nama adikmu Melati." Ibu menjelaskan.
Memang benar, aku selalu suka dengan aroma bunga melati. Tapi aku baru mengetahui itu alasan adikku bernama Melati.
***
09 Desember 1946.
"Maaf mendadak memanggilmu, Nadia." Seorang pria dengan kumis tebal berbicara dengan wanita di hadapannya.
Pria itu tampak sedang duduk di sofa dengan pose yang sangat mendominasi. Satu kakinya berada di atas kaki yang lain, bersandar kepada sofa mewah itu.
"Sebenarnya ada apa komandan Mahendra?" Wanita itu, Nadia namanya, bertanya.
Nadia mengerti. Dia tidak akan dipanggil tiba-tiba jika tidak ada keadaan mendesak, terlebih saat ini konflik dengan para penjajah itu tengah memanas.
"Sebenarnya pasukan regu 1 sedang mengintai mereka, namun berhasil diketahui. Baku tembak tidak dapat dihindari. Sebagian besar anggota regu 1 gugur, sisanya berhasil melarikan diri dengan kondisi luka-luka." Komandan Mahendra memberitahu informasi rahasia itu kepada Nadia.
Nadia adalah orang yang sangat dipercayai Komandan. Dia sangat cerdas dan cekatan, bahkan terkadang secara tidak terduga bisa menyelesaikan masalah yang rumit. Karena itulah komandan memberitahunya.
Nadia mengerutkan keningnya. "Komandan, tindakan memata-matai mereka sangat berbahaya." Nadia tampak geram mengetahuinya.
"Aku sangat mengetahui itu." Nadanya meninggi.
Komandan seakan menganggap kita sangat membutuhkan informasi tentang musuh, namun yang terjadi malah menjadi marapetaka.
"Jika mengetahuinya lalu mengapa?" Nadia keheranan dengan situasi ini, mencoba menganalisis apa yang terjadi.
"Informasi. Kita akan dalam bahaya jika tidak memiliki informasi tentang musuh. Berkat itu, kita mendapatkan informasi yang berharga." Komandan menjawabnya dengan mudah.
Sebenarnya Komandan sangat mengetahui resikonya, tapi ia tidak menyangka regu 1 akan diketahui musuh semudah itu.
"Tidak bisa disangkal, jika informasi adalah hal yang sangat pening. Tapi dengan kejadian itu kita mungkin akan dianggap berontak kepada mereka. Itu sama saja dengan deklarasi perang, komandan." Nadia telah paham situasinya. Mencoba menjelaskan.
"Sepertinya aku telah salah mengambil tindakan. Semuanya sudah terjadi. Aku akan bertanggung jawab menangani ini semua." Wajahnya memucat.
Komandan baru menyadari tindakan yang ia lakukan justru membahayakan warga desa. Pada awalnya komandan berfikir tidak masalah mengorbankan lima orang untuk menelamatkan orang yang lebih banyak, tapi itu keliru, situasi malah berbalik membahayakan ribuan nyawa.
Itu bukan sepenuhnya salah komandan. Tindakannya juga telah disetujui kepala desa, mereka telah mengetahui resikonya bersama. Tapi kepala desa dan komandan tidak mengetahui apa yang dipikirkan oleh para penjajah itu.
"Masalah ini biar aku dan kepala desa yang memikirkannya. Nadia, tolong kau obati anggota regu satu yang terluka." Komandan memberi perintah.
"Baik, dimengerti." Nadia mengangguk, menerima perintah itu. Kemudian keluar dari ruangan.
Komandan segera mengadakan pertemuan mendadak. Menangani krisis ini.
Berkat regu 1 kami mengetahui apa yang akan musuh lakukan. Para penjajah memang sudah lama berencana untuk merebut wilayah desa ini, namun karena para pengintai diketahui, sepertinya musuh akan mempercepat rencana merebut desa ini.
Setelah beberapa hari mengadakan pertemuan, akhirnya didapat kesimpulan. Butuh waktu yang cukup lama, karena harus mengunggu pasukan regu 1 yang selamat pulih dari luka-lukanya yang fatal. Untungnya yang menangani mereka adalah Nadia.
Kesimpulan dari pertemuan itu adalah para anggota militer akan dipanggil untuk mengantisipasi karena menduga pihak penjajah akan menyerang desa ini.
***