10 Desember 1946.
Tidak banyak yang terjadi setelahnya. Ibu meminta maaf. Tapi, seharusnya aku yang meminta maaf karena sampai membuat ia menangis.
Hari sebelumnya, seperti biasa, kami makan malam bersama di ruang tengah. Lagi-lagi tanpa ibu.
"Kamu kanapa, Ayu? Apakah kamu marah?" Ayah membuka percakapan.
Sepertinya ibu sudah bercerita kepada ayah.
"Aku kesal." Jawabku, singkat.
"Kenapa? Kamu kesal dengan ibumu?" Ayah kembali bertanya.
Bukan. Aku tidak...
"Tidak. Aku kesal karena telah membuat ibu menangis." Kataku, menjawab pertanyaan ayah.
Ayah terdiam. Ruangan kembali menjadi sunyi.
Aku kembali menyuapi adikku.
Makanan kami tidak mewah. Sangat sederhana. Hanya nasi dengan sayur kangkung dan tempe goreng, itu sudah cukup.
Ayah tersenyum kepadaku, "Kamu benar-benar sudah menjadi api yang tak pernah padam, Ayu."
Sebelumnya Ayah juga pernah membicarakan tentang api. Tapi aku tetap tidak mengerti.
"Ayu tidak mengerti. Ayu tidak terbakar." Kataku.
Ayah lagi-lagi tersenyum.
"Kelak kamu akan mengetahuinya."
Malam itu, kondisi ibu benar-benar parah. Batuknya lagi-lagi mengeluarkan darah, sampai-sampai ayah memanggil dokter kenalannya.
Namanya adalah Nadia, dokter Nadia. Dia bekerja sebagai dokter militer. Ayah memintanya untuk memeriksa ibu.
Dokter Nadia sangat cekatan dalam memeriksa, dia menanyakan beberapa pertanyaan seperti kapan batuk mulai, frekuensinya, apakah berlendir. Kemudian melakukan pemeriksaan fisik, mendengarkan suara nafas dengan stetoskop.
Aku melihat semuanya. Sebagian prosedur tidak aku mengerti. Tapi dokter Nadia memberi tahu ayah, kalau ibu terkena tuberculosis. Ayah sangat terkejut, bahkan hampir menangis, frustasi.
Dokter Nadia hanya memberi obat pereda nyeri, Dia tidak memiliki obat untuk penyakit ini. Bahkan tidak ada seorang pun yang memiliki obatnya.
Tidak lama kemudian, dokter Nadia berpamitan, bilang kalau ada panggilan dari atasan. Ayah mengerti, dia juga bagian dari militer.
Melihat ayah yang begitu frustasi, hatiku benar-benar seperti teriris. Seberapa keras pun aku berteriak, tidak ada yang peduli. Mengeluh bukanlah solusi.
Ibu saat ini ada di kamarnya. Aku membawakan bubur, lalu menyuapinya.
"Maaf, bu.. Sudah membuat ibu menangis." Aku mengucapkan kalimat itu dengan serius.
Ibu duduk bersandar, ditopang oleh dinding kayu yang dilapisi oleh bantal. Dia menatapku.
"Harusnya ibu lebih banyak menghabiskan waktu bersama kalian." Kata ibu.
Aku terdiam.
Setelah bubur itu habis, aku memberikan obat pereda nyeri yang diberikan oleh dokter Nadia.
Sekarang pukul sembilan malam. Sebagian orang telah jatuh tertidur, mengakhiri aktivitas yang berat hari ini. Aku tidak bisa tidur. Untungnya besok adalah hari libur, bisa sedikit menghela nafas.
Banyak sekali yang terjadi minggu ini, bahkan PR matematika belum sempat aku kerjakan.
Di sampingku banyak sekali buku-buku yang terbuka. Kosong, tidak ada isinya. Aku belum mengerjakannya, berniat malam ini akan mengerjakan. Namun batal, kepalaku sama sekali tidak bisa fokus. Terlebih itu adalah PR hitung-hitungan.
"Aghh, sudahlah. Besok-besok saja kukerjakan." Kataku.
Aku lelah.
***
Di sisi lain, di kota kabupaten, para penjajah bersembunyi diantara rumah-rumah warga. Mereka sedang menyusun rencana yang tak pernah terfikirkkan sebelumnya, rencana yang amat jahat.
Lima orang petinggi sedang duduk melingkar di sebuah ruangan yang tidak terlalu besar, lampu-lampu di ruangan itu dimatikan total, hanya menyisakan lampu kecil yang berada tepat di atas meja bundar itu.
Suasananya mencekam. Membahas rencana-rencana mengerikan mereka.
"Sesuai rencana kita akan memulai oprasi ini pada tanggal 17 Desember 1946." Tangannya meletakan kertas di atas meja. "Ini adalah daftar-daftar nama yang menjadi target."
Yang berbicara adalah komandan mereka. Orang itu memakai pakaian tebal, berwarna abu-abu. Bukan pakaian warga asli. Dia berbicara kepada empat orang lainnya.
Salah satu orang yang lain menanggapinya. "Ini salah mereka, melakukan hal konyol, melakukan gerakan kemerdekaan. Menganggap dirinya telah merdeka, padahal bangsa-bangsa lain tidak mengakuinya. Sungguh lucu." Senyuman lebar keluar dari orang itu, seakan merasa tidak berdosa.
Saat kelima orang itu sedang sibuk mendiskusikan rencana mereka, terdengar suara keras. Seluruh yang berada di ruangan itu menatap ke sumber suara. Pintu yang ada di sudut ruangan telah didobrak, seseorang tergesa-gesa masuk, nafasnya terengah-engah, seakan ada sesuatu yang penting.
Sesaat kondisi ruangan menjadi silau, cahaya dari luar masuk, menerangi seluruh ruangan yang remang-remang.
Orang yang mendobrak ruangan itu menjelaskan situasi. Berusaha sebaik mungkin memberi penjelasannya. Tubuhnya bergetar ketakutan ketika memberitahu komandan, tahu jika dirinya bisa dibunuh kapanpun. Orang-orang yang berada di dalam ruangan mendengarkan laporan itu.
"Dasar bodoh! Bisa-bisanya kalian membarkan seseorang memata-matai kita." Kakinya menendang meja, kesal.
Suara gebrakan terdengar keras. Suasana semakin mencekam, tidak ada yang berani berbicara.
"Maaf Komandan. Kami tidak menduga mereka berani melakukan semacam itu. Tapi tenang saja, kami telah mengurusnya, membunuh mereka semua." Keringat dingin bercucuran membasahi tubuhnya.
Komandan kembali duduk, menenangkan diri.
"Jika sudah begini, sepertinya kita harus mempercepat oprasi." Salah satu dari kelima orang itu mengajukan usulan.
Komandan tampak menimbang-nimbang. Meminta pendapat dari orang yang tersisa. Seluruh yang ada di ruangan itu sepakat dengan usulan itu. Komandan mengangguk, menyetujuinya.
Komandan menatap orang yang berada di bawah pintu. "Kumpulkan pasukan, katakan jika oprasi akan dilakukan secepatnya."
Orang yang melaporkan itu menjatuhkan tubuh, menutup pintu, lari terbirit-birit meninggalkan ruangan.
Diskusi itu berakhir.
***
Pagi hari, matahari belum terbit, ayah membangunkanku. Dia mendapatkan panggilan tugas, harus berangkat sekarang juga.
"Ayu, jadilah anak baik. Tolong jaga ibu." Katanya.
Aku mengangguk, mengerti. Itu pasti situasi yang mendesak.
"Aku akan menjaga ibu dan Melati, yah, jangan cemaskan kami. Ayah harus fokus." Aku menatap ayah, serius. Wajahku sangat meyakinkan.
"Ayah akan pulang sebelum matahari terbenam."
Aku mengangguk. "Baiklah."
Ayah tak memberitahu ibu. Dia tidak tega membangunkannya. Hanya memberitahuku.
Waktu masih menunjukan pukul 4:30 pagi. Aku manyalakan lilin. Aku tidak bisa tidur kembali. Aku memutuskan untuk mengerjakan tumpukan buku dengan halaman kosong itu.
Tiga puluh menit sudah berlalu, setengahnya sudah aku selesaikan.
Aku terhenti ketika mendengar suara adikku. "Kaa, piis piisi." Sembari mengeliat, menahannya.
Aku mengerti maksudnya. Dia ingin ke toilet. Adikku sering membangunkanku jika ada sesuatu seperti itu. Baiklah, mari kakak antar.
Melati digendong olehku. Sebenarnya Melati sudah bisa berjalan sendiri. Belum terlalu lancar, masih lebih sering terjatuh. Aku membantunya. Dia masih terlalu kecil untuk bisa menggunakan toilet.
Tidak jauh jarak kamar mandi dari kamar kami. Hanya beberapa langkah. Letaknya tepat di sebrang kamar ini.
Aku menunggu Melati di pintu kamar mandi, tapi tunggu, ada yang aneh. Suara di sekitarku hening, tidak ada suara, benar-benar sepi. Ini sangat aneh, biasanya banyak suara jangkrik atau suara katak yang saling bersautan.
Bulu kudukku berdiri, merinding. Tulang punggungku membeku.
Biasanya aku tak pernah sekalipun menghiraukan hal semacam ini. Aku bukan penakut. Tapi ini benar-benar situasi yang aneh.
Gorden jendela di sudut ruangan terurai oleh angin malam, cahaya dari sinar bulan masuk dari sela-selanya.
Aku mendekat, membuka gorden itu. Jendelanya tidak memiliki kaca, hanya ditopang oleh bambu-bambu kecil.
Bulannya sangat indah.
"Segera pergi dari tempat ini!" Suara asing yang entah dari mana terdengar di kepalaku.
Siapa itu?
"Selamatkan dirimu." Lagi-lagi suara itu muncul. Bersamaan dengan itu, angin malam berhembus semakin kencang, membuat gorden semakin tergoyang.
Kepalaku reflek melihat sekitar, depan, belakang, kanan, kiri. Tak ada siapapun.
"Melati. Apa itu kamu?"
Bukan. Itu bukan suara Melati. Apakah hanya perasaanku?
Sesekali kepalaku masih melihat sekitar, memastikan. Tidak ada apapun. Aku benar-benar yakin.
Sepertinya hanya perasaanku saja. Aku menutup kembali jendela itu, anginnya terlalu dingin.
"Sudah?" Aku bertanya. Melihat Melati telah kembali.
"Umm."
Kami kembali ke kamar. Melati melanjutkan tidurnya, begitu pula denganku, melanjutkan mengerjakan PR matematika yang belum selesai. Sungguh, Aku benar-benar tidak pandai dalam hitung-hitungan. Biarlah, biar kukerjakan sebisaku.
Jika ditanya pelajaran apa yang kau sukai, dengan mudah aku bisa menjawab. Jawabannya adalah Bahasa Indonesia.
Sejak kecil aku selalu melihat ibu menulis surat, bahkan kami menulis surat bersama. Terkadang jika tidak sibuk, aku menulis surat untuk teman-temanku, juga ayah. Lalu mengirimkannya hanya sekedar iseng.
Aku tidak membenci ibu. Aku menyayanginya. Tapi belakangan ini, ia terlalu memaksakan dirinya, padahal kondisi kesehatannya tidak baik.
Banyak sekali pikiran di kepalaku, mencoba mereka ulang kejadian seminggu ini. Berat rasanya, tapi harus kujalani. Tidak apa, terlahir sebagai anak ibu dan ayah, memiliki seorang adik, sudah membuatku sangat bahagia. Justru aku sangat bersyukur. Aku tidak ingin membuat repot mereka.
Meskipun mungkin hanya perasaanku, kejadian tadi, semakin mencoba untuk melupakannya, semakin tak bisa lepas dari pikiranku. Suara siapa itu?
***