Chereads / Meskipun Tubuhku Hancur / Chapter 1 - Bab 1 - Tidak Ada Pesan yang Layak Untuk Diungkapkan

Meskipun Tubuhku Hancur

LutfiGhifariHibban
  • --
    chs / week
  • --
    NOT RATINGS
  • 4.2k
    Views
Synopsis

Chapter 1 - Bab 1 - Tidak Ada Pesan yang Layak Untuk Diungkapkan

05 Desember 1950.

"Apakah kamu suka bunga itu, Ayu?"

Wajahnya tampak jelas sekali ketika mengatakan itu. Rambutnya terurai bebas oleh angin, menunggu anak-anaknya yang sedang bermain di hamparan bunga.

Aku benar-benar merindukan hari-hari bersama ibu. Memasak bersama, menulis surat bersama, dan bermain bersama seperti dulu. Melati juga berfikir begitu. Kami sangat merindukanmu, ibu.

Mataku terbuka. Terdengar deruan nafas yang tidak beraturan. Keringatku bercucuran membasahi tubuh. Tanganku bergetar. "Aku benar-benar menyukai bunga itu." Air mataku mengalir deras, entah mengapa, untuk saat ini aku hanya ingin menangis.

"Ternyata hanya mimpi."

Aku duduk sejenak, menarik nafas, meminum segelas air, menenangkan diri. Menatap tangan yang masih gemetar.

Malam itu hujan deras. Meski sangat dingin, entah mengapa tubuhku berkeringat. Aku bergegas bangun, mengganti pakaian.

***

05 Desember 1946

Ayu Permata Sari, umur 12 tahun. Perempuan. Itulah aku. Pukul 4 pagi, aku harus segera menyiapkan sarapan. Biasanya ibu yang menyiapkannya, saat ini dia sedang sakit. Batuk-batuk, sangat parah, bahkan terkadang batuknya mengeluarkan darah. Entah sakit apa. Kami tidak mampu pergi ke dokter, biayanya mahal sekali. Justru ibu yang menolaknya, bilang katanya hanya perlu istirahat beberapa hari.

Untuk sementara aku mengambil alih pekerjaan rumah, menggantikan ibu.

Aku punya adik perempuan, dia masih berumur kurang dari tiga tahun. Melati namanya. Untuk sementara waktu, Melati diurus olehku. Dia adalah adik tersayangku. Sungguh.

Ayah juga belakangan ini sangat sibuk. Dia bagian dari militer. Para penjajah itu belum pergi bahkan setelah bangsa ini merdeka.

Ayam mulai saling berkokok, pertanda matahari telah terbit. Aku membuka jendela, memastikan. Orang-orang mulai berhamburan keluar rumah menjalankan aktivitasnya masing-masing.

Hampir seluruh warga desa bekerja sebagai petani, meraka selalu saja mengeluh tentang pupuk. Pemerintah benar-benar sedang tidak stabil, mereka baru saja dibentuk satu tahun lalu, banyak sekali permasalahan yang harus segera diselesaikan.

"Pas sekali, masakannya sudah matang." Aku membawa makanan ke ruang tengah. Tempat kami berkumpul, makan bersama, berbagi cerita. Hanya tempat itu yang cukup besar menampung kami berempat.

Di tengah ruangan itu diisi oleh sebuah meja bundar yang terbuat dari kayu yang terlihat cukup tua, dikelilingi oleh empat buah kursi. Di tengah meja bundar terdapat sebuah lilin yang menyala, menerangi ruangan ini. Makanan sederhana tersusun rapih di atasnya.

"Kamu memasak lagi, Ayu? Terima kasih."

Itu ayah. Dia tersenyum, lalu mengusap kepalaku.

Aku bergegas menuju kamarku, membangunkan Melati. Menggendongnya ke ruang tengah.

Lagi-lagi kursi ibu kosong.

"Apa aku perlu membangunkan ibu, yah?" Aku bertanya, memecah keheningan.

"Tidak perlu, nak." Terlihat di wajahnya sangat jelas, ayah sangat mengkhawatirkan ibu, "Biarkan ibumu beristirahat sementara waktu."

Aku mengangguk.

"Maan, maam." Adiku mengeliat.

Aku tertawa tipis. Maksudnya adalah makan, kosa kata Melati masih terbatas, dia masih kecil.

Aku menggeser kursiku ke samping Melati. Mengambilkan makanan untuknya, kemudian menyuapinya. Biarlah aku makan terakhir, yang penting adikku cepat tumbuh menjadi dewasa.

"Bagaimana sekolahmu, Ayu?"

"Lancar seperti biasa, yah." Aku menjawab dengan kalimat yang sama sekali lagi.

Aku tidak ingin merepotkan mereka, terlebih dengan urusan sekolahku. Biarlah ayah fokus dengan pekerjaannya.

"Nak, kamu harus menjadi seperti Api." Jari Ayah menunjuk ke arah lilin lentera minyak yang ada di tengah meja. "Kita tidak tahu kapan kedamaian ini berlanjut, para penjajah itu menunjukan pergerakan." Lanjut ayah, dengan suara yang lebih pelan. Seakan tidak ingin aku mendengarnya.

Aku tidak mengerti apa maksudnya. Ayah selalu mengatakan sesuatu yang tidak aku mengerti. Tapi aku mendengar kalimat yang terakhir.

"Baiklah, terima kasih atas makanannya. Ayah berangkat, Ayu, Melati."

Aku melambaikan tangan, adiku juga tidak ingin kalah, dia dengan semangat ikut melambaikan tangan. Sangat menggemaskan.

Baiklah, aku juga harus berangkat sekolah. Melati juga sudah selesai sarapannya.

"Tok, tok, tok" Aku mengetuk pintu kamar ibu.

"Masuk, nak. Tida. Uhuk-uhuk. Tidak dikunci." Terdengar jawaban dari balik pintu.

Aku membuka pintu.

Ibu masih terbaring lemas. Berusaha bangkit ketika melihatku, meskipun berkali-kali gagal.

"Jangan dipaksa, bu. Ayu taruh sarapannya di sini. Melati juga, dia sudah sarapan tadi." Aku menyerahkan Melati kepada ibu. Semoga tidak apa-apa, Melati tidak akan rewel.

"Terima kasih, nak Ayu." Ibu tersenyum "Melati taruh saja, biar ibu yang mengurusnya. Kamu segera bersiap-siap, sekolah.

Ibu beranjak dari kasurnya, menuju meja di sudut ruangan. Tempat ibu selalu bekerja.

"Sudahlah, bu. Mengetik suratnya nanti-nanti saja. Ibu lebih baik beristirahat." Kataku, dengan nada yang sedikit lebih tinggi.

Kondisi ibu semakin parah. Kakinya gemetaran, nafasnya terengah-engah, tubuhnya juga semakin lemah. Memang lebih baik dibawa ke dokter. Aku benar-benar khawatir dengan kondisi ibu.

"Uhuk-Uhuk." Batuknya semakin keras, itu pasti terasa menyakitkan. Aku benar-benar tidak tega.

Ketika melihat tangan ibu, terlihat darah merah segar. Aku benar-benar panik tak karuan. Aku bergegas membantu ibu yang hampir terjatuh. Menyandarkannya ke kursi.

"Ada perasaan yang harus segera disampaikan melalui surat, Ayu." Kalimat ibu terpatah-patah menahan batuk, kemudian ia menatapku, tersenyum.

Aku menarik nafas lega, tampaknya ibu tidak apa-apa.

Ibuku bekerja sebagai pengetik surat. Pekerjaan yang lumayan langka. Tidak semua orang bisa membaca, hanya orang-orang berpendidikan tinggi. Akhir-akhir ini banyak sekali orang yang datang ke rumah untuk meminta dibuatkan surat. Surat cinta, surat resmi, surat permintaan maaf, atau sekedar surat untuk teman atau kerabat jauh.

Tapi tetap saja, Aku merasa tidak terima. Aku iri dengan mereka yang selalu dekat dengan Ibu. Waktu yang kami miliki selalu direbut.

Aku bersiap-siap, berganti pakaian. Lalu berangkat.

***

Sepedaku meluncur di jalanan. Tidak cepat. Aku menikmati udara segar yang tercampur dengan aroma khas padi yang sedang dipanen.

Sejak tadi, entah sudah berapa kali berpapasan dengan sepeda petani yang sedang membawa tumpukan karung berisi padi.

Sepedaku terus meluncur di jalanan, semakin cepat. Melewati persawahan, perkebunan, menuruni lembah. Tepat pukul tujuh sepedahku sudah terparkir rapih. Butuh waktu tiga puluh menit untuk sampai, tidak terlalu jauh, namun cukup melelahkan untuku.

Hari ini adalah hari pertama sekolah sebagai siswa tahun ke-6. Kelas enam SD.

"Selamat pagi." teman sekelasku, Ratih, menyapa. Kami duduk di kursi yang sama.

"Selamat pagi, Ratih." Aku balas menyapa

"Kamu hampir saja terlambat. Ada apa, Ayu? Biasanya kamu yang datang paling awal. Malahan kita sekarang seperti sedang terbalik, biasanya aku yang terlambat." Ratih bertanya, penasaran.

Ratih benar, biasanya aku yang datang paling awal, terutama jika ada jadwal piket, matahari belum terbit pun sudah berangkat.

"Banyak sekali yang harus aku selesaikan di rumah, Ra." Jawabku sembari tersenyum.

Aku benar-benar harus bisa membagi waktu.

Tiba-tiba suara seorang anak laki-laki menyambar. "Halah, palingan Ayu bangun kesiangan. Kelihatan banget matanya berkantung, seperti orang yang habis begadang."

"Bayu. Jangan ikut campur urusan orang." Ratih melotot, "Kamu engga perlu dengerin anak laki-laki, Ayu. Mereka selalu saja sok tau."

Aku tersenyum masam. Mengangguk.

Bayu terlihat kesal, berniat membalas. Tapi batal setelah melihat Ratih yang melotot, membuat tulang punggungnya membeku.

Bel berbunyi, pertanda pelajaran akan dimulai.

Sekolah kami sangat sederhana, fasilitas seadanya. Belum ada listrik, hanya diterangi oleh lilin-lilin lentera.

Terdengar langkah kaki. Sesosok perempuan memasuki ruang kelas. Ternyata itu adalah bu Citra, guru mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam. Guru yang sama mengajar kami enam tahun ini. Mengajar dari kelas satu sampai enam. Sekolah kami benar-benar kekurangan guru.

Bu Citra menjelaskan berbagai hal, terutama tentang bagaimana sebuah padi ditanam hingga menghasikan padi-padi lain. Seperti sedang menggandakan sesuatu. Berkali-kali mengatakan kalau padi adalah simbol kehidupan. Sawah padi kuning yang selama ini kami anggap remah mewakili harapan akan masa depan yang lebih baik, kemerdekaan dari kelaparan serta penindasan.

Aku cukup mendengarkan penjelasan bu Citra. Benar, kita selalu saja meremehkan suatu hal kecil.

"Dan begitulah perjalanan nasi yang selama ini kita makan. Padi mengajarkan kita bahwa keberlimpahan sejati tersembunyi dalam tunduknya kepala yang penuh. Kerendahan hati, bahwa semakin besar isi hati kita, semakin rendah kita harus membungkuk di hadapan dunia." Ucapnya, menjelaskan di depan murid-murid.

Para murid terdiam mendengarkan. Tidak terasa bel berbunyi, pertanda waktunya istirahat. Mereka berhamburan keluar kelas. Dua jam yang terasa sangat singkat.

Aku diam di kelas, tidak kemana-mana.

"Kamu tidak pergi ke kantin, Ayu?" Ratih yang di sebelahku, bertanya.

"Aku bawa bekal, Ra. Kamu mau ikut makan?" Aku mengeluarkan sesuatu dari tas.

Itu adalah makanan tadi pagi, Aku belum sempat memakannya.

"Kebetulan, aku juga membawa bekal." Ratih ikut mengeluarkan makanan dari tasnya.

"Kalau begitu, mari kita makan bersama, Ratih." Aku menawarkan. Ratih mengangguk.

Ketika kami sedang makan, Ratih sekali-kali membahas pelajaran barusan. Bilang kalau sepiring nasi yang kita makan butuh 0,3 meter lahan padi yang perlu dirawat. Itu adalah fakta yang baru aku ketahui.

"Aku mendengar sesuatu dari orang dewasa." Matanya menatapku dengan serius. "Para penjajah belum meninggalkan bangsa ini, alih-alih meninggalkannya, mereka malah ingin merebut kembali wilayah ini." Topik beralih.

Aku menelan ludah. Kalau tidak salah ayah juga mengucapkan hal yang sama, tantang para penjajah yang menunjukan pergerakan. Sebenarnya aku tidak tahu apapun situasi di luar desa. Ayah tidak ingin membicarakan apapun tentang pekerjaannya.

"Baiklah, tidak usah terlalu dipikirkan, Ra. Biarkan orang dewasa yang mengurusnya." Kataku, meredakan pembicaraan yang semakin serius.

Topik pembicaraan berganti. Sekarang membahas tentang anak laki-laki yang menyebalkan. Aku mendengarkan dengan baik, sekali-kali menimpali.

Makananku telah habis, begitu pula dengan Ratih. Bel pun kembali berdering, pertanda kelas akan dimulai kembali.

Aku mengikuti seluruh kelas. Selanjutnya adalah pelajaran matematika, pelajaran yang selalu kubenci. Guru menjelaskan tentang sifat-sifat oprasi hitung, meskipun mendengarkannya dengan fokus, benar-benar tidak ada yang tersangkut di kepalaku.

Sebagian murid juga mulai mengoap. Sebagian lagi tidur sembunyi-sembunyi. Aku sangat yakin pak guru mengetahui semuanya, tetapi tetap sabar mengajar. Kali ini dua jam terasa sangat lama.

Matahari semakin meninggi, udara semakin panas, lengkap sudah apa yang kami rasakan.

Bel kembali berbunyi tepat pukul dua belas, pertanda waktu pulang. Para siswa yang mengantuk kembali segar.

"Jangan lupa kerjakan PRnya, pertemuan selanjutnya dikumpulkan." Ucap pak guru sembari meninggalkan kelas.

Para siswa kembali layu. Kami bersiap-siap, memasukan buku, lantas pulang.

"Kita pulang bareng, Ayu." Ratih mengajakku.

"Kamu bawa sepeda, Ratih?" Aku bertanya.

"Iya, aku bawa." Katanya.

Kami berjalan di lorong menuju parkiran, tadinya aku berniat membonceng Ratih. Batal, dia membawa sepeda. Jadi kita memutuskan pulang bersama.

Sepedaku dan Ratih meluncur di jalanan. Menikmati angin sepoi yang mengacaukan anak rambutku. Meskipun metahari telah tepat di atas kepala, tidak panas sama sekali. Awan mendung mulai menutupinya.

Sepeda Ratih didepanku.

"Kamu tahu, Ayu?" Suaranya keras, memecah udara.

Aku berusaha mensejajarkan dengan sepeda Ratih.

"Kamu tahu, Ayu? Angin yang berhembus bisa mewakili perubahan zaman, memberikan kabar, dari roh para leluhur yang mendukung perjuangan. Kakekku yang mengatakan itu." Suara Ratih terdengar lantang menembus udara.

Aku tersenyum. Ratih memang seperti itu selalu mengatakan sesuatu yang belum kuketahui.

"Angin juga bisa bikin kita masuk angin." Aku juga membalas dengan suara yang tak kalah lantang.

Aku dan Ratih tertawa.

Beberapa menit kemudian kami terpisah oleh kelokan. Sedih rasanya. Tapi sudahlah, toh besok kita bertemu lagi.

Tak lama, akhirnya sampai juga ke rumah. Aku memakirkan sepeda di halaman. Rumahku tidak besar, apalagi megah. Hanya rumah sederhana yang terbuat dari kayu. Di depannya ada taman, juga tidak besar, tempat ibu menghabiskan waktu merawat tanaman cabai dan bumbu-bumbu dapur.

Lantainya terbuat dari tanah yang dipadatkan. Hanya ada lima ruangan. Kamarku dengan Melati, kamar ibu dan ayah, ruang tengah, dapur, dan kamar mandi.

Aku membuka pintu. Ada tamu. Ibu sedang sibuk dengan mesin tiknya, menulis surat untuk tamu itu. Sementara Melati sedang bermain sendiri di lantai.

Aku mengepalkan tanganku, menahan amarah.

"Ibu. Sudah Ayu bilang, sudah cukup menulis surat-surat tidak penting itu. Istirahatlah." Emosiku tak terbendung, tidak sengaja membentak.

Ibu menyadari kepulanganku, menatap. Lalu tersenyum. Tamu itu juga ikut menatapku, kaget.

"Maaf, Ayu. Selamat datang." Ibu menyapaku dengan senyuman.

"Sudahlah, suruh tamu itu pulang. Ibu harus istirahat." Aku mengeram.

Ibu mencoba untuk bangkit dari kursinya, gemetaran.

"Tidak ada pesan yang tak layak untuk diungkapkan." Kata ibu. Suaranya bergetar. Sembari berusaha berdiri.

Aku mengatupkan rahang. Kesal.

"Jika ibu punya waktu kenapa tidak kau habiskan dengan anak-anakmu, bukan dengan orang lain." Suaraku ikut bergetar, mengikuti tubuhku.

Ibu terdiam, juga tamu itu. Melati kaget mendengar suara keras, meskipun belum mengerti, tapi dia paham apa yang terjadi.

"Karena aku tahu.." Aku menahan nafas, dadaku terasa sesak, rasanya air mata tak terbendung. "Karena aku tahu, jika ibu meninggal, aku tidak akan bertemu dengan ibu lagi." Suaraku bergetar, menggema.

Air mataku menetes. Aku tak bisa menahannya. Isak tangisku terdengar jelas di ruangan yang sepi.

Hujan turun, suara gemerciknya terdengar, mentup isak tangisku.

Aku melihat ibu, tangannya menutup mulut. Tak menduga jika aku akan mengatakan hal seperti itu. Nafasnya juga tidak beraturan, kemudian air matanya menetes. Sangat deras. Ibu berlari ke arahku, memelukku.

Kami menangis, orang itu, tamu, yang melihat kami juga ikut terisak. Menangis. Melati yang tidak tahu menahu, ketika mendengar isak tangis semua orang, ikut menangis, seakan bisa memahami emosi di sekitarnya.

***