Pandangannya kini terpaku, dimana ia melihat makhluk kecil yang berdiri di atas rawa, diantara pepohonan dan semak belukar. Bentuk tubuhnya kecil, dengan kulit hijau yang tampak licin, menggenggam tongkatnya dengan erat. Ramiel mundur beberapa langkah, mencoba menenangkan dirinya. Dia tahu bahwa berlari mungkin bukan pilihan terbaik di hutan ini. Makhluk itu menatapnya dengan intens, seolah-olah membedakan ancaman atau mangsa.
Makhluk itu mendekat dengan hati-hati, mata hitamnya melihat tajam pada Ramiel sembari mengeluarkan suara yang serak. "Kau tidak seharusnya berada di sini."
Makhluk kecil tersebut sontak memegang tangan Ramiel yang sedang terpaku. Menuntunnya untuk keluar dari rawa. Ramiel, yang terkejut, langsung menanggapi kata-kata tersebut.
"Aku tersesat di sini, bisakah kau memberitahuku jalan keluar?" tanya Ramiel dengan bimbang.
Makhluk itu menatap Ramiel dengan tatapan mendalam lalu tertawa, mengeluarkan suara yang terdengar seperti riak air. "Kau pikir mudah untuk keluar dari sini?" Kemudian Ramiel menelan ludah dengan gugup. "Lihatlah ke dalam air." ucap sang makhluk.
Mata Ramiel melirik ke dalam air rawa yang tenang, melihat bayangan yang berubah-ubah dan memancarkan cahaya aneh. Tiba-tiba, sebuah gigitan tajam menghantam kakinya. Ramiel tersentak mundur, merasakan sakit yang luar biasa.
"Apa yang kau lakukan?!" Ramiel berteriak, menatap makhluk itu dengan amarah.
Makhluk itu sesaat menunjukkan ekspresi yang aneh, seolah ia mengetahui sesuatu, lalu gigi-gigi tajamnya yang mengerikan ia sembunyikan selama ini. Ramiel merasakan darah mengalir dari lukanya, namun rasa sakitnya perlahan hilang serta berubah menjadi sensasi yang aneh.
Pandangannya menjadi lebih tajam, warna-warna di sekitarnya tampak lebih cerah, dan setiap suara di hutan terdengar jelas di telinganya. "Apa yang telah kau lakukan padaku?" tanya Ramiel.
"Edenfell tidak selalu menerima manusia jika bukan takdir, melihatnya pun tak bisa," jawab makhluk itu. "Untuk sekarang kau akan tercium sepertiku, Gorrum."
Setelah berbicara, makhluk itu memasuki air dan menyelam ke dalam rawa. Ramiel yang sedang mencerna kejadian tersebut memutuskan untuk pergi dari tempat itu, namun dia sadar telah masuk terlalu jauh ke dalam hutan.
"Gorrum?" Ramiel mengulang nama itu, mencoba mengingat setiap kali. "Kenapa kau melakukan ini padaku?" gumamnya pada diri sendiri.
Dia merasakan perubahan yang terjadi dalam dirinya, sensasi aneh yang mengalir melalui pembuluh darahnya. Kaki yang digigit terasa nyeri, Ramiel memandang sekelilingnya dengan perasaan campur aduk, antara marah, bingung, dan takut.
✦✦✦
Ramiel yang tertatih-tatih, berjalan perlahan melewati rawa, setiap langkahnya menghasilkan suara gemericik dan desisan dari air yang berlumpur. Udara di sekitarnya lembab dan tebal, mengandung aroma khas tanah basah dan vegetasi yang membusuk.
Sesekali gemuruh burung menciptakan simfoni alam yang menenangkan. Setiap beberapa langkah, dia bertemu dengan berbagai makhluk hutan. Sebagian hewan alami dan sebagian dengan bentuk yang aneh. Dari kejauhan, Ramiel terkejut melihat makhluk menyerupai ular yang dapat terbang.
Makhluk itu memiliki sayap bersisik layaknya naga. "Seperti yang diceritakan Edwart," pikir Ramiel. Keheningan di kawasan itu membuatnya waspada di setiap gerakan.
Hingga satu momen, ia sempat berkontak mata dengan ular itu, namun sekilas sang makhluk tidak terlihat terganggu dengan keberadaan Ramiel. Namun suara kepakan sayap ular tersebut sebenarnya agak menakuti Ramiel. Namun etelah Ramiel mengambil beberapa langkah mundur, seketika ular itu mendekat ke arahnya dengan kecepatan tinggi.
Mata ular itu menatap tajam ke dalam mata Ramiel. "Ternyata Gorrum menyambut manusia yang biadab dengan sambutan hangat, ada apa dengannya?" suara ular itu bergema, dengan nada yang mengancam.
Ramiel terkejut bukan main saat mendengar ular itu bisa berbicara. Saudaranya tidak pernah berkata jika makhluk-makhluk ini bisa bahasa manusia. "Aku adalah penjaga rawa ini. Semua makhluk yang ada di kawasan ini ada di bawah perlindunganku," lanjut sang ular, suaranya jelas di antara pepohonan.
Ramiel yang terpaku mengumpulkan keberaniannya dan bertanya, "Apa... Kesalahanku.... Padamu?" suara Ramiel terdengar lebih lemah dari yang dia inginkan.
Dengan gesit ular itu menyambar tubuh Ramiel dan menjatuhkannya dengan keras ke tanah yang lembap. Tubuh Ramiel terhantam dengan keras, membuatnya meringis kesakitan dan berteriak karena merasa tulangnya hampir remuk ditekan oleh makhluk itu.
"Manusia, makhluk perusak, tidakkah kalian malu?" suaranya terdengar seperti gemuruh rendah. "Membunuh sesama kalian, menjadikan budak satu sama lain, membenci, memperebutkan kekuasaan, serakah,"
"Tidak cukup dengan itu, kalian mulai membantai makhluk-makhluk yang lain." Ramiel merasakan tekanan yang makin kuat dari tubuh sang ular membuat napasnya terputus-putus.
Namun, tiba-tiba, suara asing yang lain ikut bergema di udara. "Tenanglah, Romund," nadanya memerintah.
Romund, sang ular besar, menghentikan tekanannya yang keras pada Ramiel. Setelah itu, Ramiel mencoba untuk tidak banyak bergerak, takut akan apa yang mungkin dilakukan Romund berikutnya.
Kemudian dari dasar rawa yang berlumpur, muncul makhluk kecil dengan tongkat otoritasnya.
"Gorrum, kau telah melupakan perbuatan mereka?" Romund mendesis penuh amarah. Gorrum mendekati Ramiel, mengusap memar tubuhnya dengan lembut. Sentuhannya dingin namun menenangkan.
"Manusia tidak datang ke sini secara kebetulan, Romund," ucap Gorrum dengan tenang. "Hanya enam orang manusia yang ditakdirkan setelah perjanjian, mungkin alam lah yang menunjukkan jalannya."
Romund tetap diam. Dia tahu Gorrum bukan makhluk sembarangan; salah satu dari lima penjaga dimensi Edenfell. Meskipun dia sendiri dipercayai untuk menjaga rawa, dia masih merasa was-was terhadap kehadiran Ramiel.
✦✦✦
"Aku bisa langsung membunuhnya jika saja dia berbuat hal yang di luar batas," ujar Romund menegaskan, matanya memandang tajam ke arah Ramiel.
Gorrum, dengan wajah seram, kini tersenyum kepada Ramiel. "Tenang saja, dia tidak dapat membunuh makhluk yang mendapat tanda dariku," katanya dengan yakin.
Ramiel menelan ludah, merasa heran. "Tanda?" tanyanya pelan.
"Maksudmu gigitan yang tadi kuterima? Rasa sakitnya seperti disengat ratusan serangga," balas Ramiel. Meskipun ia merasa Gorrum saat ini berada di pihaknya, makhluk asing tetap tidak bisa dipercaya sepenuhnya.
"Namamu?" tanya Gorrum dengan mata yang tampak lebih bersahabat daripada sebelumnya.
"Wealton, Ramiel Wealton," jawab Ramiel cepat. Namun setelah mendengar itu, bola mata Gorrum membesar, wajahnya berseri-seri, dan dia meraba pipi Ramiel dengan tangan lembutnya. Dengan perilaku aneh itu, Gorrum berkata, "Sudah kuduga, tak salah jika Edenfell telah memilihmu."
Rasa penasaran mengundang Ramiel menggenggam tangannya. "Tolong beritahu, kenapa aku tersesat, aku tak pernah sekalipun berbuat hal yang jahat."
Gorrum menuntunnya pergi dari rawa, mengelilingi kawasan barat hutan. "Ramiel, biarkan aku menjelaskannya." kata Gorrum, suaranya tenang namun penuh makna, "Kau harus mengerti jika ini lebih besar dari yang kau pikirkan, lebih besar dari hutan ini."
Sambil membawa Ramiel melewati berbagai macam tanaman dan pohon yang belum pernah dilihat Ramiel sebelumnya, Gorrum dengan sabar menjelaskan setiap tanaman dan hewan yang mereka temui. Dia menunjukkan jamur bercahaya yang hanya tumbuh di bawah naungan pohon tua, bunga-bunga yang mekar di malam hari, hingga tanaman merambat yang bisa berbisik jika disentuh dengan lembut.
Ramiel sedikit terpana dengan keindahan dan kedamaian ini. Teringat saudaranya, Ramiel sekarang mengerti mengapa Edwart selalu menghabiskan waktunya di sini. Tak sempat berkata-kata, Gorrum menatapnya.
"Kau sangat mirip seperti ibumu, Chlora," ucap Gorrum dengan lembut, matanya seakan penuh dengan kenangan. Sontak kata-kata Gorrum membuat Ramiel menoleh ke arahnya, dengan wajah yang penuh keheranan.
✦━━━✦