Chereads / Lucylle / Chapter 6 - 6 - Ancient Altar

Chapter 6 - 6 - Ancient Altar

   Ramiel terus berjalan, menggenggam erat tangan sang kakak. Langkah-langkah mereka berirama, serta cahaya yang mengelilingi Wenna semakin nampak terang. Dari kejauhan, sesuatu mulai muncul dari kegelapan, perlahan-lahan memperlihatkan dirinya.

   Sebuah altar, berdiri megah, memancarkan keunguan yang membelah kegelapan di sekitarnya. Sinar itu berpendar dari permukaannya, seperti gelombang energi yang meresap ke seluruh hutan, menarik Ramiel semakin dekat. Liontin hitam yang disimpan di kantung celananya tiba-tiba mulai bergetar hebat.

   Getaran itu terasa di seluruh tubuhnya, seperti denyut jantung yang kian memacu. Merasa aneh dengan apa yang terjadi, Ramiel segera meraih kantung celananya. Jemarinya menggenggam liontin hitam yang terasa bergetar tak terkendali, seakan ada sesuatu yang mencoba keluar dari dalamnya.

   Saat ia memeriksa liontin itu, sesuatu yang tidak terduga terjadi. Dalam sekejap, genggamannya pada tangan Wenna terlepas. Sang kakak, yang seolah nyata beberapa detik sebelumnya, lenyap begitu saja, menghilang seperti bayangan yang tersapu angin.

   Ramiel berhenti, kaget dan bingung. Ia memandang sekeliling, tapi Wenna tak terlihat di mana pun. Kehadirannya, yang begitu nyata dan hangat, kini hilang tanpa jejak, seakan-akan ia tidak pernah ada. Sementara itu, liontin hitam yang ada di tangan Ramiel terasa semakin kuat menarik dirinya.

   Dalam kekalutan dan kebingungan, liontin itu tiba-tiba terlepas dari genggamannya dan jatuh ke tanah. Sebelum ia sempat menyadari apa yang terjadi, liontin tersebut mulai bergerak oleh energi tak kasatmata, kemudian meluncur menuju altar, meninggalkan Ramiel yang tertegun.

   Ketika liontin menyentuh altar, sebuah energi meledak dengan suara gemuruh di sekeliling Ramiel, membuat cahaya ungu berkilauan memenuhi hutan. Ramiel terdorong mundur oleh ledakan itu, tubuhnya terhuyung-huyung sebelum akhirnya jatuh terduduk di tanah.

   Ia menatap altar terpesona sekaligus takut oleh apa yang terbentang di hadapannya. Dari balik tebalnya kabut, ia melihat sosok wanita tua dengan wajah samar. Perasaannya bercampur antara takut dan tidak percaya. Semua yang terjadi di depannya hanya pernah ia dengar pada cerita lama.

   "Nyonya?? Kau baik-baik saja?"

tanya Ramiel dengan suara bergetar.

   Sang wanita tua tidak menjawab pertanyaan itu. Sebaliknya, ia berlari ke arah Ramiel dengan cepat, membuat jantungnya berhenti sejenak karena terkejut. Ramiel mendapati wanita tua berdiam di hadapannya. Sesekali wanita tua itu tertawa, menatap wajah Ramiel.

   Wajahnya yang keriput dan matanya yang menyala putih mengingatkan Ramiel pada penyihir yang diceritakan pada dongeng sebelum tidur. Kakinya terasa lemas, dan tubuhnya gemetar hebat. Ramiel yang penakut segera memojokkan diri ke pohon besar dan mulai memejamkan mata, sembari tetap memegang erat sayuran titipan ayahnya.

   Pikiran-pikiran buruk melintas di benaknya, pilihan yang ia punya hanyalah lari sejauh mungkin atau tetap diam berharap wanita tua itu pergi. "Kelinci kecil yang malang," namun suara wanita tua itu terdengar semakin dekat, nadanya melengking.

✦✦✦

  

"Bolehkah kakimu kusantap untuk makan malam? Khekhikikikiki." Ramiel membuka matanya sedikit, melihat wanita tua itu tersenyum lebar. Ia kian mencoba mengendalikan rasa takutnya, namun tubuhnya tetap gemetar tanpa henti.

   "Kenapa ini terjadi padaku?" Ramiel berbisik kepada dirinya sendiri, suaranya hampir tidak terdengar. "Ini pasti mimpi buruk, bangunlah Ramiel, kau harus bangun."

   Ramiel mulai merasa putus asa dan kesal. Namun dalam benaknya, ia ingat akan ayahnya yang mengajari cara untuk bertahan hidup dari apapun. Ia meraih ranting kayu di tanah, menggenggamnya erat-erat, dan mengarahkan bagian yang tajam ke arah wanita tua itu.

   "Biarkan aku pergi! Aku tak perlu berurusan denganmu!" teriak Ramiel dengan suara yang bergetar.

   Wanita tua itu hanya tersenyum tajam, "larilah makhluk kecil, lagipula aku tak sedang mengikat tubuhmu."

   Tanpa berpikir panjang, Ramiel langsung berlari sekencang mungkin, meninggalkan keranjang sayur yang tergeletak di tanah. Kakinya bergerak cepat, melewati akar pohon dan semak belukar, sambil mendengar tawa wanita tua itu yang semakin menjauh di belakangnya.

   Kemudian setelah berlari cukup jauh, Ramiel akhirnya berhenti. Napasnya terengah-engah, dadanya naik turun dengan cepat. Dia bersandar pada sebuah pohon besar, mencoba mengatur napasnya yang tak beraturan. Pikirannya hanya dipenuhi dengan wajah wanita tua yang masih menghantuinya.

   Namun, masalahnya belum berakhir di sana. Ramiel masih berada di dalam hutan yang sangat gelap dan kini ia tak tahu arah jalan pulang. Lalu ia berjalan hanya menggunakan instingnya untuk mencari jalan keluar.

   "Aku bisa mati sendirian di sini," gumamnya dengan cemas.

   Melangkah melewati rawa, pohon besar, dan sungai yang berkelok-kelok, Ramiel melihat banyak makhluk hidup yang belum pernah ia ketahui sebelumnya, Serangga besar dengan sayap berkilauan, burung dengan bulu cerah yang terbang cepat melintasi pepohonan, dan bahkan hewan-hewan kecil yang bersembunyi di balik semak.

   Semua ini menambah rasa khawatir dan ketidakpastian yang menggerogoti pikirannya. Ramiel tahu dia harus tetap waspada, ancaman tentang sang penyihir masih terngiang di benaknya, dan dia tidak bisa membiarkan dirinya lengah. Setiap bayangan atau suara aneh membuatnya semakin waspada.

   Dalam kegelapan, hutan ini terasa seperti tempat dengan seribu satu bahaya. Ramiel memutuskan untuk melihat ke sekitarnya, mencari apa saja yang bisa dijadikan senjata atau alat pelindung. Sebuah cabang yang kokoh tergeletak di bawah pohon besar menarik perhatiannya.

   Ramiel mengambil itu, merasakan tekstur kasar kayu di tangannya. Meskipun hanya sebuah cabang, ia merasa sedikit lebih aman dengan sesuatu untuk membela diri.

Dengan senjata yang ia genggam, Ramiel melanjutkan perjalanannya. Setiap langkah diambil dengan hati-hati, matanya terus mengawasi sekelilingnya.

✦✦✦

  

   Dalam benaknya, ia terus memikirkan apa yang mungkin terjadi selanjutnya. Apakah penyihir itu masih mengikutinya? Hutan yang lebat tampak menutupinya, dengan pepohonan kuno yang tinggi menciptakan bayangan panjang di bawah sinar bulan yang pucat. Entah sejak kapan langit menjadi gelap dan malam, membuat badannya mulai menggigil hebat.

   Setelah mencari jalan keluar yang akhirnya tidak bisa ia dapatkan, Ramiel jatuh ke sebuah batang kayu yang tertutup lumut. Tubuhnya terasa lelah. Suara burung hantu bergema melalui pepohonan, dan lolongan serigala yang jauh membuatnya merinding. Udara tebal dengan aroma tanah lembab dan daun kering yang membusuk.

   "Sayuran ayah kutinggalkan, liontin yang kubeli juga hilang," ucap Ramiel dengan putus asa.

   "Apa maksud dari semua ini? Siapapun, tolong aku." dia meratap dalam kesendirian, suaranya hanya terdengar sebagai bisikan di antara dedaunan. "Tuhan, ayah, kakak..."

   Dalam benaknya, Ramiel membayangkan rumahnya yang hangat dan aman. Keluarganya pasti sedang mencarinya saat ini, Ramiel yakin saudaranya akan mencari sampai ke dalam hutan ini jika perlu. Mengumpulkan beberapa daun dan ranting kering, ia berusaha membuat api kecil.

   Tangannya gemetar saat mencoba menyalakan api, tapi lama-kelamaan akhirnya Ramiel berhasil. Nyala api yang berkedip-kedip memberikan sedikit kehangatan dan kenyamanan, menciptakan bayangan yang menari-nari di sekitar. Ramiel duduk memeluk lututnya sambil menghangatkan diri.

   Api kecil itu adalah satu-satunya hal yang memberinya sedikit rasa aman. Ramiel tidaklah bodoh, dia menyimpan tiga buah tomat dikantung celananya sebelum lari dari sang penyihir. Sebelum dirinya terlelap karena tubuhnya yang lelah, Ramiel memakan semua tomat itu berharap tubuhnya mendapatkan stamina kembali di esok hari.

   Saat malam semakin larut, Ramiel berjuang untuk tetap terjaga, mengetahui dia tidak bisa tidur sepenuhnya. Dia kadang-kadang tertidur, terbangun dengan kejutan pada suara sekecil apa pun. Itu adalah malam yang gelisah dan penuh kecemasan. Sebuah keajaiban Ramiel mendapati langit menjadi cerah dan sinar matahari menerangi matanya.

✦✦✦

  

   Dia berhasil melewatinya seorang diri.

Ramiel terbangun setelah mendengar suara gemerisik dari semak di dekatnya. Menggenggam cabang kayu dengan erat, ia siap menghadapi apapun yang mungkin akan muncul. Dari balik semak, seekor rusa kecil melompat keluar, matanya yang besar dan lembut menatap Ramiel.

   Ia menghela napas lega, menyadari bahwa hewan itu tidak akan menimbulkan ancaman. Ramiel memastikan api telah sepenuhnya padam, serta menyingkirkan sisa jejak keberadaannya dan mulai berjalan lagi.

   "Tuhan, izinkan aku untuk bertemu lagi dengan keluargaku." Ramiel berdoa dalam hatinya sepanjang perjalanan.

   Dia tahu tuhan akan memberinya sesuatu yang ia butuhkan, bukan selalu yang ia inginkan. Meskipun saat ini, mungkin keajaiban lah yang dapat menolongnya Saat langkah-langkahnya semakin berat dan perutnya mulai kembali merintih kelaparan.

   Sebuah suara yang samar menyelinap ke dalam pendengarannya, gemericik air yang terdengar di telinganya membuat harapan muncul di hatinya. Ramiel mempercepat langkahnya, mengikuti suara itu. Dia menyingkirkan ranting-ranting kecil dan dedaunan yang menghalangi jalannya

   Ramiel mencari sumber air kecil walaupun harus melalui jalan yang berkelok-kelok. Dia berlutut di tepi air, Tapi air yang ditemukannya tidak terlalu jernih. Ramiel memperhatikan sekitarnya dengan lebih seksama dan menyadari bahwa ia berada di dekat sebuah rawa.

   Udara di sekitarnya lembab dan berbau lumpur basah, kemudian ia berjongkok untuk membasuh tangannya. Tak lama dari itu, terdengar suara langkah kaki mendekat, yang membuat Ramiel terkejut dan bangun. Tubuhnya terasa lemas dan dingin, ia mengusap matanya, mencoba memperjelas pandangannya yang masih buram.

   Perlahan-lahan, bayangan di sekitarnya mulai terbentuk menjadi pemandangan yang lebih jelas. Ia melihat sekelilingnya dengan waspada, menyadari bahwa ia masih berada di rawa yang sama, namun ada sesuatu yang berbeda.

✦━━━✦