Cavelin menatap Edwart dengan penuh rasa ingin tahu sambil mengoleskan mentega pada rotinya. Dengan gerakan yang tenang, ia bertanya, "Jelaskan padaku." suaranya terdengar ringan, tapi matanya memancarkan keingintahuan yang dalam.
Edwart duduk di seberangnya, mengamati wanita itu sesaat sebelum menjawab. "Namaku Edwart," katanya, mengambil potongan roti dari meja. "Aku menghargai ini," lanjutnya dengan nada yang lebih santai, menyentuh keramahannya.
Cavelin menyajikan segelas susu domba, lalu menatapnya lagi. "Cavelin," balasnya, memperkenalkan diri. "Kau belum memberitahuku alasan mengapa kau berada diluar semalaman," ujarnya, sambil menambahkan mentega pada roti berikutnya.
Edwart mengambil gigitan kecil dari rotinya yang masih hangat. "Aku kehilangan jalan pulang ke rumahku." katanya pelan.
Cavelin mendengarkannya dengan saksama, kemudian mengangguk pelan, mempersilakan Edwart untuk melanjutkan.
"Semalam," lanjut Edwart, suaranya berubah lebih serius, "Aku melihat bangunan tua di ladang ini. Di dalamnya, ada altar dengan ukiran yang aneh." Edwart menatap Cavelin, menunggu tanggapan darinya.
Mata Cavelin terbelalak kaget mendengar kata-kata itu. "Bangunan?" suaranya sedikit meninggi. "Dasar bodoh, kau memasukinya?! Kau tak tahu apa yang mungkin kau hadapi di sana?" balas gadis itu dengan nada terkejut.
Edwart menghela napas berat. "Aku harus memastikannya. Ada monumen batu tersusun di sekeliling tembok, dan lilin-lilin besar masih menyala, meskipun tempat itu tampak sudah ditinggalkan lama," jelas Edwart.
Cavelin menatapnya, tampak lebih tenang sekarang, tetapi masih penasaran. "Baiklah, apa lagi yang kau lihat di dalam sana?" tanyanya dengan nada yang lebih lembut.
"Beberapa simbol aneh, terukir dengan rapi. Rasanya seperti tempat suci, namun bukan untuk sesuatu yang baik," jawab Edwart, nadanya terdengar serius, menggambarkan ketegangan yang ia rasakan ketika berada di sana.
Cavelin menatapnya dengan tatapan penuh tanya, sebelum akhirnya tersenyum sinis. "Lalu, kenapa kau tidak tidur di sana saja?" katanya sambil menyelipkan candaan di balik suaranya, mencoba mengurangi ketegangan.
✦✦✦
Edwart tersenyum tipis, ikut terbawa suasana ringan itu. "Mungkin jika itu kau, air mata pasti sudah membanjiri pipimu," balasnya dengan senyum di bibir.
Cavelin menggelengkan kepala sambil tertawa kecil. "Jadi, apa yang kau lakukan setelah itu?" tanyanya, kali ini dengan tawa yang ditahan.
"Lari," jawab Edwart singkat, sambil mengangkat bahu. Tawa Cavelin langsung pecah, memenuhi ruangan yang kecil itu. Edwart memandangnya sejenak, sebelum kembali mengunyah rotinya.
Dia tetap tenang, tak ingin tawa wanita itu memengaruhi dirinya, Cavelin menenangkan diri, mengusap air mata yang mulai mengalir di pipinya karena terlalu banyak tertawa. "Dasar berandalan," gumamnya dengan suara yang kecil, namun cukup keras untuk didengar Edwart.
Edwart meliriknya dengan tatapan tajam, namun tidak marah. "Ada sesuatu yang mengawasiku di sana," katanya, kali ini dengan lebih serius. "Mereka bergerak, dan aku tak mau ambil risiko."
Cavelin yang mulai meminum teh hangatnya, menatapnya dengan alis terangkat. "Kau yakin itu bukan hanya halusinasimu? Mungkin kau kelelahan, atau bermimpi buruk," katanya, mencoba menawarkan penjelasan yang lebih masuk akal.
Wajah Edwart mengeras, menunjukkan bahwa ia tidak bercanda. "Aku tidak mengada-ada. Pagi ini, aku akan memeriksanya lagi," jawabnya dengan tegas.
Cavelin menghela napas, mendorong piringnya ke samping. "Kau yakin itu langkah yang bijak?" tanyanya, sedikit skeptis. "Kemarin kau datang dari berburu, bukan? Aku melihat sisa tulang hewan di depan jendelaku, dan kau bahkan membuat api unggun di sana. Bagaimana bisa kau begitu ceroboh?"
Edwart hanya mengangkat bahunya dengan ekspresi acuh. "Kalau saja aku punya pilihan lain," katanya dengan nada yang sedikit menyesal.
Cavelin menggelengkan kepala, memutar matanya sebelum akhirnya berdiri dari kursinya. "Selesaikan sarapanmu. Aku punya pakaian milik saudaraku yang bisa kau pakai. Pakaianmu sudah terlalu kotor untuk dikenakan lagi," katanya sambil menuju ke lemari kayu di sudut ruangan.
Edwart menatapnya, merasa sedikit terkejut dengan tawarannya, tapi kemudian menyetujuinya tanpa banyak bicara. Dia menyelesaikan makanannya dengan cepat, sementara Cavelin kembali dengan beberapa potong pakaian.
"Pakaian ini milik saudaraku. Dia tidak akan keberatan kalau kau memakainya sementara," katanya sambil menyerahkan pakaian tersebut kepada Edwart.
Edwart menerima pakaian itu. Mengamatinya sebentar sebelum membalas Cavelin dengan senyum kecil di wajahnya, "tidak buruk, mungkin aku akan terlihat lebih tampan saat mengenakannya."
✦✦✦
Setelah Edwart selesai mengganti pakaiannya, mereka bergegas menuju selatan, ke arah ladang yang sama di mana Edwart melihat bangunan aneh itu semalam. Meskipun sinar matahari pagi terpancar, Edwart masih merasakan perasaan gelisah yang menggelayuti pikirannya.
Ladang yang mereka tapaki tampak damai di bawah kilauan cahaya, seolah tak ada sesuatu yang aneh terjadi. Namun, Edwart tahu lebih dari itu. Ketika mereka semakin dekat ke tempat yang ia ingat, jantungnya mulai berdegup lebih kencang. Tetapi saat dia melihat ladang itu lagi, tidak ada apa-apa di sana.
Bangunan yang semalam terlihat megah dan misterius kini lenyap, seolah tak pernah ada. Cavelin memandang sekeliling dengan skeptis. "Lihat? Tidak ada bangunan besar, tidak ada altar, bahkan tak ada patung aneh yang kau ceritakan," ujarnya sambil menatap Edwart dengan nada penuh keraguan.
Hati Edwart tenggelam. "Aku bersumpah, bangunannya ada di sini. Aku tahu apa yang kulihat," katanya dengan yakin, meskipun keraguannya mulai tumbuh.
Cavelin menatapnya dengan pandangan kasihan. "Semoga kau beruntung mencari keajaiban di perkebunan liar ini," katanya sebelum berbalik, siap meninggalkan Edwart dengan kebingungannya.
Namun, sebelum Cavelin sempat pergi, Edwart melihat sesuatu yang bersinar di antara ilalang. Dia berjongkok dan mengangkat benda itu-sebuah liontin merah berkilauan, warnanya bak darah. "Kau mungkin tahu benda apa ini?" tanya Edwart.
Cavelin, yang tadinya acuh tak acuh, berbalik dengan cepat. Tatapannya langsung berubah ketika melihat liontin itu. Wajahnya mendadak pucat, tubuhnya mulai bergetar hebat, dan matanya melebar dengan ekspresi ketakutan yang jelas.
Edwart yang memperhatikan perubahan Cavelin segera menyadari bahwa liontin ini bukan benda biasa. Edwart, yang memperhatikan perubahan pada Cavelin, menyadari ada sesuatu yang sangat salah. "Cavelin, mengapa wajahmu seperti itu? Kau tampak... aneh," tanya Edwart.
Nadanya terkesan acuh tak acuh, meski ada rasa khawatir yang bersembunyi di baliknya. "Kau hendak buang air besar atau sesuatu?" tambahnya dengan mencoba mengusir rasa gelisah yang tiba-tiba muncul.
Namun, Cavelin tidak segera menjawab. Tatapannya terfokus pada permata yang berkilau di tangannya, tubuhnya pun masih bergetar tanpa terkendali. Kemudian, Edwart dengan sigap meraih liontin itu dari genggaman Cavelin dan memasukkannya ke dalam kantung kulit yang ia bawa.
Seketika, getaran di tubuh Cavelin mereda, tapi wajahnya tetap pucat dan matanya kosong. Tanpa banyak bertanya, Edwart langsung menuntun Cavelin kembali pulang. Langkahnya cepat namun tetap waspada, memastikan bahwa gadis itu tidak pingsan di tengah perjalanan.
✦✦✦
Sesampainya di depan pintu rumah kecil itu, Cavelin bersandar di ambang pintu, napasnya masih tersengal-sengal. Dengan suara lemah, dia berbisik kepada Edwart, "Kamu harus membawa liontin itu bersamamu, sekarang aku mengerti... Situasimu."
Edwart, hanya berusaha untuk menenangkannya. "Diamlah, Cavelin. tubuhmu melemah, jangan terlalu banyak bicara," katanya sambil membimbingnya duduk di kursi kayu yang ada di sudut ruangan.
Setelah duduk, Cavelin mengangkat lengan bajunya perlahan, memperlihatkan lengannya yang kini terluka. Di sana, terukir sebuah simbol aneh di kulitnya-garis samar, namun jelas terlihat, di mana darah segar merembes keluar, menetes perlahan di sepanjang lengan.
Edwart, yang melihat pemandangan itu, tampak bingung. "Itu aneh...," ujarnya dengan nada datar, tak menyadari betapa seriusnya situasi itu.
Cavelin menggelengkan kepalanya dengan lemah, lalu berbicara dengan suara rendah, hampir berbisik. "Permata itu... leluhurku menempanya untuk mengikat keturunan mereka. Tidak peduli seberapa jauh aku melarikan diri... dia akan selalu menemukanku."
Suaranya semakin berat ketika dia melanjutkan, ada keputusasaan yang jelas dalam nada bicaranya. "Aku menghindari tanggung jawabku, tapi tidak lagi...."
Edwart mengerutkan kening, semakin bingung dengan apa yang didengarnya. "Kenapa aku harus ikut terseret dalam urusan keluargamu?" tanyanya dengan nada jengkel, ia merasa semakin tersesat dalam percakapan yang tak masuk akal ini.
Cavelin, meski tampak lelah dan tertekan, tertawa kecil. "Sudah lama aku tak bertemu dengan seseorang sepertimu, Edwart. Aku tidak tahu harus mulai dari mana menjelaskan semua ini," senyum tipis masih tersisa di bibirnya.
Dia mengucap dengan suara lebih lemah, "Ini bukan kebetulan. Kau berurusan denganku karena takdir kita saling terkait, terikat pada sesuatu yang besar."
Cavelin memandang Edwart sejenak, sebelum berkata, "Aku mempelajari sihir, sesuatu yang tak pernah kau sentuh atau pahami."
Dia mulai menggenggam tangan Edwart dengan erat, lalu membawanya keluar dari rumah. Mereka berjalan menyusuri padang rumput yang luas. Setiap langkah terasa lebih berat, seolah dunia di sekitar mereka berputar dalam pusaran takdir yang semakin mendekat.
"Law II: Echoes of Time." Seketika Edwart melihat kilas balik dari ingatan Cavelin yang terbentang di hadapan mereka-bayangan masa lalu, dan entitas-entitas yang tak ia pahami. Kata-kata pertama yang keluar dari mulut Edwart adalah, "Aku benci keluargamu, Cavelin." meskipun tubuhnya dipenuhi rasa kebingungan, ia mencoba menutupi semuanya dengan sarkastik.
Cavelin, meskipun terlihat rapuh, tidak bisa menahan tawa kecil yang meluncur dari bibirnya. "Hahaha... kau selalu berpura-pura tangguh," ujarnya.
Edwart mengeryit, kini membalas Cavelin dengan lebih serius, "Jadi, altar yang kulihat-"
"Benar," potong Cavelin cepat. "Kemungkinan itu adalah tanda bahwa kau telah melakukan perjalanan... dari asalmu ke tempat yang entah dimana, atau bahkan dimensi dan waktu yang berbeda."
Dia menghela napas panjang sebelum menegaskan, "Tiga permata itu, masing-masingnya memiliki kekuatan untuk menyatukan atau memisahkan realitas."
Edwart masih tampak bingung, tapi perlahan-lahan mulai memahami garis besar situasi yang mereka hadapi. "Itulah mengapa aku tersesat. Sudah kubilang, ingatanku akan jalur di hutan tak mungkin salah." ucapnya dengan sedikit antusias.
Cavelin mengangguk pelan. "Kau benar. Dan aku yakin, saudaramu pun sudah menerima liontin untuk masing-masing dari mereka," katanya dengan nada yang penuh keyakinan.
Wajah Edwart menegang, memikirkan kemungkinan bahwa saudaranya, Ramiel atau bahkan Wenna, kini terjerat dalam situasi yang sama. "Jadi, kau harus membantuku untuk pulang," katanya dengan intonasi lebih tegas. "Jika tidak, aku bersumpah akan memburu seluruh keluargamu."
Cavelin lagi-lagi tersenyum, kemudian menepuk bahu Edwart dengan ringan, seolah itu hanyalah lelucon belaka. "Tentu saja, berandalan," jawabnya sambil tertawa ringan.
Namun, di dalam hati, Edwart tahu bahwa masalah ini jauh dari kemampuannya. Saat ini, satu-satunya jalan keluar adalah mencari jawaban, serta berkumpul kembali pada keluarganya. "Wenna, Ramiel, bertahanlah... sampai aku menemukan kalian,"
✦━━━✦