Seseorang yang tengah terbaring di lantai. Karena tidak ingin berprasangka, ia langsung beranjak untuk melihat wajahnya. Perlahan, Edwart memiringkan kepala wanita itu dan menuangkan sedikit air dari kantung kulit yang selalu dibawanya.
Sang wanita mengerang pelan, menunjukkan tanda-tanda kehidupan. Dia terus meneteskan air sedikit demi sedikit agar tidak wanita itu tidak tersedak. Setelah memastikan telah cukup, Edwart menutup kantung airnya, dan mulai mencari tanda-tanda identitas atau petunjuk lain di sekelilingnya.
Pandangan Edwart menyapu ruangan. Buku-buku berserakan di lantai, beberapa halaman terbuka menunjukkan alfabet dan simbol yang tak bisa dia pahami. Di sekitar tubuh wanita itu, berbagai cairan dalam botol kaca tampak berwarna-warni mengeluarkan uap tipis. Mengisi ruangan dengan aroma yang aneh.
"Ough ough.." Kemudian setelah beberapa saat menjelajah, wanita itu mulai bergerak, terbangun lemas.
Meski ia tampak tak mampu untuk langsung sadar dari pingsannya. Dengan hati-hati, Edwart mengangkat tubuh wanita itu dari lantai, menuju sebuah kursi kayu panjang dengan selimut tebal yang berada di sudut ruangan. Tak pernah sekalipun Edwart kehilangan jalan pulang dan tersesat, selama bertahun-tahun, bahkan setelah dia mengalami banyak hal buruk di hutan.
Maka dari itu, Edwart melangkah keluar dari rumah itu kemudian melihat sekelilingnya. Pohon burja yang besar berdiri tegak di kejauhan, dan gunung tinggi yang menjulang di barat. Edwart lalu memutuskan untuk berjalan di padang rumput, sehingga ia dapat merasakan ketenangan dan ruang untuk berpikir.
Malam yang menyejukkan membuat nafasnya terasa segar, desisan lembut dari ilalang yang tertiup angin menciptakan melodi. Dia mengenakan penutup kepalanya untuk melindungi diri, kemudian melangkah lebih jauh menuju selatan.
Tetapi di sela-sela keremangan malam, sebuah siluet bangunan muncul samar di cakrawala, menjulang tinggi. Dari kejauhan, dua kelelawar besar melayang-layang di puncak menara bangunan itu. Sesekali terbang rendah sebelum kembali ke tempat yang sama, seolah sedang mengawasi wilayah mereka.
Edwart berhenti sejenak, alisnya berkerut, memandangnya sekali lagi. Sekejap perasaannya bercampur antara ingin tahu dan takjub. "Seumur hidupku, aku tak pernah melihat bangunan seperti ini," gumamnya.
Dia mengangkat tudung kepalanya sedikit, serta menajamkan pandangan ke arah bangunan megah itu. Tampak seperti kuil yang sudah sangat tua, dinding-dindingnya gelap dan berlumut. Lalu entah kenapa, warna bulan tampak berubah menjadi kemerahan.
✦✦✦
Kelelawar-kelelawar tadi masih terbang berputar di puncaknya. Mereka mengeluarkan suara nyaring, seolah memberi peringatan pada siapa pun yang berani mendekat. Namun, rasa ingin tahu selalu mengalahkan keraguannya. "Tak ada salahnya melihat lebih dekat," ucap Edwart.
Dia berjalan sembari memastikan langkah kakinya tidak mengeluarkan suara keras. Meskipun nalurinya mengatakan untuk berhenti, ada sesuatu di dalam dirinya yang menariknya lebih dekat. Ketika ia mencapai tepi bangunan, salah satu kelelawar tiba-tiba melepaskan diri dari menara, melesat cepat di atas kepala Edwart.
Hewan itu melingkar rendah, memutari menara tua, sebelum mengeluarkan suara melengking yang menghancurkan keheningan malam. Kelelawar lainnya segera mengikuti, terbang tinggi dan kembali ke puncak bangunan, namun kali ini tampak memperhatikan gerak-gerik Edwart.
Rasa cemas mulai merayap di dadanya. Namun, Edwart yakin untuk bergerak menuju pintu besar nan berat. Pahatan batu-batu tua terlihat menghiasi pintu yang sudah setengah terbuka itu, kemudian menimbulkan suara berderit yang panjang ketika Edwart mencoba mendorongnya lebih jauh.
Bagian dalam bangunan itu diliputi kegelapan. Hanya secercah cahaya bulan yang berhasil menembus jendela kaca, menciptakan bayangan panjang di lantai marmer hitam. Kemudian, patung-patung batu berjajar di sepanjang dinding.
Bayangan mereka bergoyang mengikuti cahaya yang sedikit demi sedikit memudar. Patung-patung itu tampak mengawasi setiap gerakan Edwart dengan tatapan kosong mereka. Di ujung ruangan, berdiri megah sebuah altar yang terbuat dari batu hitam. Dengan lilin-lilin besar yang terletak di sekitarnya, seketika membuat Edwart tersadar, "cahaya lilin ini baru saja dinyalakan."
Namun tetap, ia memutuskan untuk melihatnya dari dekat. "Hal konyol ini... seperti omong kosong." pikirnya.
Edwart mengulurkan tangannya agar dapat menyentuh permukaan batu altar yang dingin. Ukiran yang kasar terasa hidup di bawah ujung jarinya. Saat jari-jari Edwart menyentuh permukaan batu itu, getaran halus merayap melalui lengannya, membuatnya tersentak.
Dengan sekejap, penglihatan mulai berkelebat di benaknya-ingatan akan sekumpulan orang yang berdiri di depan patung, para budak yang memberontak, hingga lahirnya sosok yang mereka panggil "Utusan." Dalam sekejap, bisikan-bisikan asing terlintas di telinganya. "Herish Atyo Qihim Gonath," suara itu terus-menerus mengucap, meskipun tak ada seorang pun di sekelilingnya.
Edwart sontak melepaskan tangannya dengan cepat, napasnya tersengal. Udara di dalam kini terasa lebih mencekam, lebih berat, dan seolah bayang-bayang di sekelilingnya mulai bergerak. Tanpa berpikir panjang, Edwart meraih belati dari ikat pinggangnya, serta lari mencari jalan keluar.
Jantungnya berdebar kencang. Kedua kelelawar sebelumnya terbang menjauh ke langit malam yang semakin gelap. Cahaya lilin pada bangunan itu, perlahan mulai menghilang dari kejauhan. Edwart kian berlari melewati padang ilalang yang sunyi, menuju ketidakpastian haluannya.
✦✦✦
Esoknya, mentari yang hangat menyinari ladang luas tempat Edwart terbaring. Cahaya itu perlahan membangunkannya, menyusup di antara rerumputan yang tinggi dan mencapai wajahnya yang lelah. Ia menggeliat, tubuhnya terasa kaku dan pegal setelah semalaman tidur di luar.
Perlahan, ia membuka matanya, hanya untuk mendapati seorang wanita berdiri di hadapannya. "Hey! Apa yang kau lakukan di sini? Berbaring di depan rumahku?" suara wanita itu terdengar tajam, memecah keheningan pagi.
Edwart mengerjap sejenak, mencoba mengumpulkan kesadarannya. Dengan malas, ia bangkit dari tanah yang dingin, lalu memandang wanita itu dengan tatapan lelah. "Tidak penting siapa aku," ucap Edwart sambil mengusap lehernya yang kaku.
"Aku hanya butuh tempat untuk tidur. Tenang saja, aku tidak punya niat jahat." nadanya acuh tak acuh, seolah pertanyaan wanita itu tak lebih dari gangguan yang tak perlu.
Wanita itu tampak tidak terkesan. "Tidur di luar rumah orang asing? Itu bukan ide yang bagus, apa kau tidak punya tempat tinggal?" tanyanya penuh kecurigaan.
Edwart mengerutkan kening, merasa terganggu oleh interogasi yang terus berlanjut. "Bukan urusanmu, aku hanya tersesat dan butuh istirahat. Lagipula, aku tidak mengganggu siapa pun bukan?" jawabnya dengan ketus, sembari meluruskan punggung yang pegal.
Wanita itu memutar matanya, jelas tidak terkesan dengan sikap Edwart. "Sikapmu benar-benar menjengkelkan," katanya dingin, namun tatapan matanya mulai mengukur sesuatu yang lebih dalam.
Edwart, yang sudah merasa lebih waspada, menahan pandangan wanita itu. "Sebenarnya, ada apa di ladang ini? Mengapa tempat suci yang terbengkalai di tanah ini," katanya dengan nada lebih serius, rasa ingin tahunya mulai tumbuh.
Wanita itu mengernyitkan dahi, tampak bingung sejenak oleh pertanyaan itu. Namun, lambat laun, kesadarannya muncul, seolah ingatan samar terlintas di pikirannya. Matanya melembut, dan nada suaranya berubah.
"Jadi, kaulah yang memindahkanku tadi malam?" tanyanya, suaranya kini lebih tenang.
Sebelum Edwart sempat menjawab, wanita itu melanjutkan, "Masuklah, aku sedang membuat sarapan." Edwart terdiam sejenak, ragu. Namun perutnya berbunyi nyaring, menambah bumbu kecanggungan. Wanita itu tersenyum sinis. "Tidak perlu membayar, cepat bangun sebelum roti panggangnya dingin. Dasar pemalas," katanya, lalu berbalik dan membuka pintu rumah.
Edwart, yang merasa tersindir oleh kata "pemalas," mendengus, tetapi tidak bisa menyangkal bahwa sarapan terdengar jauh lebih baik daripada rasa sakit di tubuhnya. Dengan enggan, dia bangkit dari tanah dan mengikuti wanita itu masuk ke dalam rumah.
✦━━━✦