Di bawah sinar matahari yang terik, Ramiel akhirnya berjalan pulang dari kota. Ia menggantungkan keranjang sayur pada lengannya, serta liontin indah yang ia beli terletak aman di saku celananya. Namun perasaan bimbang menyelimuti dirinya. Padang rumput yang biasanya dipenuhi oleh para petani serta kelinci, kini terasa sepi.
"Entah hanya perasaanku, tapi hari ini aku tak melihat siapapun melintasi ladang," gumam Ramiel mengerutkan dahinya.
Setelah beberapa mil ia lewati, keringat mulai mengalir melalui pelipisnya, tenggorokan Ramiel pun kini terasa kering. Keheningan di sekitarnya menyebabkan suara langkah kaki Ramiel di atas rumput menjadi sangat jelas. Membuatnya berhenti sejenak lalu mengeluarkan satu buah tomat dari keranjang. Buah yang berwarna merah menyala itu membuat air liur mulai terkumpul di mulutnya.
Dengan harapan tomat ini bisa sedikit mengusir rasa dahaga, ia menggigitnya. Kulit tomat yang tipis pecah di antara giginya, mengeluarkan air segar yang membasahi mulutnya. Rasa manis dan segar dari tomat tersebut pun mengalir, menghilangkan sedikit rasa haus yang mengganggunya.
Ramiel mengunyah dengan perlahan, menikmati setiap tetes jus yang mengalir dari tomat, sambil berharap ia segera tiba di rumah untuk berbagi kabar baik dengan keluarganya. Setelah memutuskan untuk melanjutkan perjalanan, pikirannya kini melayang, teringat pada sang kakak yang sebentar lagi akan berpisah dengannya.
Wenna baru saja dilamar oleh seorang pria yang terpelajar dari kerajaan Ashgate, bernama Irvil. Ingatan akan saudarinya yang sedang merapikan kain pengantin membuat Ramiel tersenyum. Gaun itu dipenuhi sulaman bunga krisan yang dikerjakan dengan teliti.
Ramiel ingat betapa ia senang mendengar sang kakak bercerita dengan mata yang berbinar tentang pria itu. Sementara Edwart, selalu tampak tidak senang mendengarnya, meskipun tak bisa dipungkiri bahwa dia akan merindukan hidangan lezat buatan Wenna.
Sepanjang lamunannya itu, Ramiel tanpa sadar telah berjalan lebih jauh dari yang ia kira. Kini dirinya berada di tengah hamparan rumput tinggi. Lalu dari kejauhan, berdiri sosok seseorang yang familiar baginya. Rambut keritingnya berterbangan, tertiup oleh angin. Serta pakaiannya nampak lusuh.
✦✦✦
"Permisi!?" teriak Ramiel berusaha memastikan penglihatannya. Ia berkali-kali memanggil sosok itu, namun tidak juga mendapat jawaban. Keringat Ramiel mengucur deras, bukan hanya karena panas matahari, tetapi juga karena perasaan aneh ketika menatap sosok asing tersebut.
Jarak mereka hanya sekitar setengah mil, namun Ramiel tak dapat melihat wajahnya dengan jelas. Untuk beberapa waktu, ia terdiam menunggu orang itu pergi, atau bahkan mendekat. Ramiel saat ini tak ingin mengambil risiko apapun dengan menghampirinya.
"Ada sesuatu yang tak beres." pikir Ramiel, sosok itu telah berdiri mematung dihadapannya cukup lama. Terlihat seperti wanita, tetapi akhirnya Ramiel cukup muak menunggu lama.
Ia mengepalkan tangannya dan mulai berjalan maju. Meski semakin kencang pula jantungnya berdetak, ia berpikir untuk lari setidaknya. Namun semakin cepat ia berlari, pemandangan di sekitarnya semakin tampak kabur. Rumput yang semula tampak lebat dan hijau kini bercampur aduk.
Siluet pohon-pohon seakan berputar di sekeliling Ramiel. Ia bahkan sampai melewati pohon burja yang sama untuk ketiga kalinya, hingga membuatnya mulai merasa tertekan. Ramiel berhenti, nafasnya tersengal dan dadanya berdebar keras.
Ia tak bisa berkata banyak, menoleh ke belakang, hanya terlihat pepohonan yang tampak asing. Meski sudah berusaha menjauh, ia tetap merasa terjebak pada jalur yang sama. "Apa yang terjadi?" gumam Ramiel pada dirinya sendiri.
Ia berbalik dari arah jalan pulangnya, dan memutuskan untuk melewati hutan dibelakangnya. Ramiel berharap ia bisa memutar dan menemukan jalan pintas ke ladang gandum milik ayahnya. Kemudian ia berjalan dengan menerobos semak belukar yang lebat.
Bayangan pohon menjadi semakin panjang, daun-daun berdesir berbisik ke telinganya. Seketika, sebuah dengungan keras terdengar, membuat telinga Ramiel terasa sakit. Suara itu bergema di dalam kepalanya, seperti ribuan lebah yang menyerbu. Ramiel mengerang, menutup telinga dengan kedua tangan, namun suara itu semakin kuat dan tidak tertahankan.
Membuat Ramiel tersandung hingga liontin terjatuh dari sakunya, kemudian hancur menjadi beberapa bagian. Dengan jari-jari yang gemetar, Ramiel meraih pecahan liontin itu dan menyentuhnya. "Bagaimana bisa sebuah batu permata terbelah dengan mudah." ujarnya mengeluh.
✦✦✦
Seketika, sebuah gelombang terasa mengalir melalui tubuhnya, kemudian pandangan di sekitarnya menghitam. seolah-olah dirinya tertarik ke dalam medan energi, dan berlangsung selama sepersekian detik. Beruntungnya putaran itu berhenti.
Kini Ramiel terpaku, mendapati dirinya yang telah berada di jalur setapak yang ia kenali. Langit terasa lebih cerah serta udara terasa lebih ringan. Kemudian ia coba menjauh secara perlahan sembari memperhatikan ladang rumput dan pepohonan disekitarnya.
Sadar bahwa ia tidak lagi terjebak dalam, pohon burja yang sebelumnya kini terlewat di belakangnya, memudar di kejauhan seiring dirinya melangkah. Bahkan setelah Ramiel membuka telapak tangannya, liontin yang sempat terpecah, sekarang tampak utuh tanpa retakan.
"Apa-apaan ini?" ujar Ramiel.
Namun ia tak ingin berpikir panjang pada hal yang baru saja terjadi, ia langsung berlari menuju rumahnya. Mengetahui bahwa jalan yang ditempuh untuk pulang sudah dekat, ia mulai merasa aman. Tetapi, alangkah terkejutnya Ramiel setelah ia tak dapat menemukan apapun.
Tanah tempat peternakan hewan dibangun serta ladang gandum milik ayahnya kini lenyap, hanya menyisakan sebuah sumur tua yang telah berlumut. Dengan perasaan cemas setengah mati, ia menoleh ke kanan dan ke kiri. "Ayah! Kakak!" teriaknya dengan lantang.
Ramiel merasa sangat frustasi hingga dengan sengaja ia jatuhkan tubuhnya, lalu bersandar pada sumur tua di tempat rumahnya seharusnya berada. Terdiam sambil memandang liontin hitam di tangannya, kemudian memakan satu lagi buah tomat pada keranjang.
"Seseorang!" teriak Ramiel sekali lagi, ia sudah tidak tahu apa yang harus diperbuat. Setelah itu, ia terus berteriak meminta pertolongan, hingga lama-kelamaan keletihan mulai merayap. Matanya terasa berat, dan kepalanya pusing. Sesekali Ramiel menyesap air dari sumur agar tetap terjaga, namun usahanya sia-sia.
Perlahan-lahan, matanya mulai terpejam, membawanya masuk ke alam mimpi. Dalam kegelisahan, Ramiel melihat dirinya berdiri pada ladang yang luas dan gelap. Dikelilingi oleh bayangan. Tak lama kemudian muncul seseorang dari tebalnya kabut, dengan wajah yang penuh luka-luka dan warna kulit yang pucat.
Ramiel tidak bisa bergerak, tubuhnya seolah terpaku di tempat. Ia hanya bisa menyaksikan sosok itu mendekati keluarganya yang telah berbaris di sampingnya. Sosok itu mencengkeram dan mencabik ayahnya dengan tangan yang penuh darah.
Teriakan sang ayah yang mengiris hati membuat Ramiel ingin menghampirinya, namun kakinya seperti terikat oleh rantai kuat. Ramiel merasa napasnya tercekik, matanya dipenuhi air mata. Ia berteriak, memohon agar kekejian ini berhenti, namun nihil suara yang keluar dari tenggorokannya. Sosok itu berbalik, matanya menatap lurus ke arah Ramiel.
✦✦✦
Pada saat itu, Ramiel terbangun dengan mulut yang tertahan, keringat dingin membasahi seluruh tubuhnya, langit dan pemandangan sekitar kini terasa gelap. Di kejauhan, sebuah cahaya berwarna ungu berkilauan, menembus kabut yang mengelilinginya.
Cahaya itu tampak bergerak perlahan, seperti tarian lembut di angin malam. Ramiel memfokuskan pandangannya, meskipun dia berkali-kali mengusap matanya. Benda itu tetap terlihat berputar seakan meminta Ramiel untuk menggapainya.
Sekali lagi, seorang wanita sedang berdiri diam di sana. Kini dengan gaun pengantin dan senyum lembut menghiasi wajahnya. "Wenna?" bisik Ramiel dengan suara serak, masih setengah terjaga dari mimpi buruknya.
Sang kakak tidak menjawab sepatah kata pun, tetapi caranya memandang seolah menjamin bahwa semua akan baik-baik saja. Dengan anggun, Wenna mengulurkan tangan, mengisyaratkan Ramiel untuk mengikutinya.
Cahaya ungu yang mengelilinginya tampak semakin terang, menerangi jalan yang mengarah ke dalam hutan. Ramiel, meskipun masih merasa lelah dan bingung, merasakan dorongan kuat untuk mengikuti kakaknya. Dia bangkit dengan hati-hati, langkahnya goyah pada awalnya.
Ketika dia mendekat, kehangatan mengalir serta mengusir rasa takut yang sempat membekukan hatinya. Tanpa ragu, Ramiel meraih tangan Wenna. Bersama-sama, mereka mulai berjalan memasuki hutan, mengikuti jalan setapak serta masuk ke dalam hutan. Hutan yang dekat namun tak pernah ia kenal.
Mulai detik ini, Ramiel akan selalu mendengar bisikan itu hingga akhir hayatnya. "Herish Atyo Qihim Gonath."
✦━━━✦