Chereads / Lucylle / Chapter 2 - 2 - Crisp and Vibrant Vegetables

Chapter 2 - 2 - Crisp and Vibrant Vegetables

   Jalanan berbatu bergema dengan suara derap kereta kuda dan percakapan penduduk kota. Kios yang dihiasi dengan kanopi berjajar di sepanjang jalan, meja-meja kayunya penuh dengan barang unik dari berbagai tempat. Di tengah keramaian pasar, Ramiel bergerak dengan cekatan.

   Ia mencari kios yang menjual buah dan sayur-sayuran segar sesuai perintah ayahnya. Matanya sangat tajam menelusuri deretan kios, memperhatikan setiap barang dagangan yang ditawarkan. Udara dipenuhi dengan berbagai suara: bunyi ritmis pukulan tukang besi yang menempa alat, panggilan melodius para pedagang yang menawarkan dagangan mereka, dan tawa ceria anak-anak yang berlalu lalang di keramaian.

   Aroma roti yang baru dipanggang bercampur dengan bau menyengat rempah-rempah eksotis, menciptakan campuran yang memikat indera penciuman. Pada satu sisi, seorang tukang daging memamerkan berbagai jenis sosis asap dan unggas panggang.

   Di sebelahnya, seorang penjual ikan menawarkan hasil tangkapan hari itu, berkilauan di bawah sinar matahari dengan janji akan hidangan yang lezat. Para pengrajin memamerkan karya tangan mereka di bawah tenda berwarna cerah. Seorang tukang tembikar membentuk tanah liat menjadi vas-vas elegan.

   Sementara seorang penenun menunjukkan pola rumit dari permadani terbarunya. Bengkel tukang besi menyala panas, memberikan cahaya oranye di atas pajangan pedang dan baju zirahnya, setiap bagian dibuat dengan cermat hingga sempurna. Musisi dan penghibur menambah suasana meriah pasar.

   Sebuah rombongan penyanyi memainkan lagu-lagu ceria dengan lute dan seruling, musik mereka berhembus di pasar seperti angin sepoi-sepoi yang menyenangkan. Di dekatnya ada seorang pemain akrobat menghibur sekelompok anak-anak dengan pertunjukan bola dan obor berwarna-warni yang memukau.

        

✦✦✦

       

   Di sudut pasar, ia melihat kios besar dengan kanopi hijau, penuh oleh buah-buahan segar dan sayuran yang beraneka ragam. Penjualnya seorang wanita paruh baya dengan senyum ramah serta tangan yang cekatan, menawarkan apel merah mengkilap, jeruk kuning cerah, hingga berbagai macam sayuran hijau yang tampak segar dan lezat.

   Ramiel mendekati kios tersebut, mengeluarkan kantong kecil dari sakunya yang berisi koin. Wanita penjual itu tersenyum padanya, "Selamat pagi tampan, kau butuh sesuatu? Cobalah lobak segar ini."

   Ramiel tersenyum balik, mengingat daftar yang diberikan ayahnya. "Ah...terimakasih, saya hanya butuh beberapa tomat, kentang, dan wortel. Berapa harganya?" sembari menunjuk barang dagangan yang ia butuhkan.

   "Kau anak pintar, ibu memintamu membeli sayuran ya?" wanita itu dengan cekatan memilihkan beberapa tomat terbaik dari keranjang, menyusun wortel yang segar, dan memilih kentang yang paling besar. "Untuk semua ini, lima koin perak, nak," katanya dengan suara lembut.

   Ramiel mulai menghitung dan menyerahkan koin itu kepada wanita penjual. "Terima kasih, nyonya," senyumnya. Ramiel menaruh buah dan sayur ke dalam keranjang kecil yang dibawanya, kemudian ia melihat sekeliling pasar sekali lagi.

   Keindahan dan keramaian pasar membuatnya merasa sejenak terlepas dari kekhawatirannya. Khawatir akan sesuatu, yang terus mengawasinya semenjak ia memasuki pasar ini. Tidak... Sejak ia terakhir membersihkan ternak, dia merasakan sepasang mata yang mengintai dari kejauhan.

   Dia melangkah melewati kios-kios yang dipenuhi aroma harum, hingga rumah bordil yang mempekerjakan banyak wanita. Kemudian ia mendekati bagian pasar yang lebih tenang, di mana hanya ada beberapa kios yang tersisa. Namun perasaan diawasi semakin menguat.

   Ramiel menoleh lagi ke belakang, tetapi yang ia lihat hanyalah orang-orang yang sibuk dengan urusan mereka sendiri. Kemudian tak jauh dari sana, salah satu toko memikat mata Ramiel, hingga tak memberikan waktu berpikir lama untuk menghampirinya. Cukup aneh, tetapi hatinya tak bisa menolak.

          

✦✦✦

   Toko yang dilapisi beludru gelap, dan barang-barangnya bersinar dengan kilauan yang tak biasa. Pedagangnya merupakan seorang pria tua dengan mata tajam juga suara yang seolah-olah bergema, memanggil Ramiel lebih dekat.

   "Mari, tuan muda." pedagang itu memanggilnya, menuntunnya dengan suara yang halus. Ramiel ragu sejenak, namun semakin dilihat ia semakin terlena, hingga dirinya mulai mendekat. Sebuah liontin hitam dengan permukaannya yang pekat, dihiasi dengan corak indah di pinggirnya.

   Pria tua itu tersenyum tipis saat dia melihat mata Ramiel yang berbinar. "Ah, Carlen Clad," gumamnya. "Sebuah peninggalan, atau bisa kubilang artefak yang sangat indah."

   Terpaku oleh ketajaman liontin itu, Ramiel berdiri di depan kios, tenggelam dalam pikiran dan perasaan yang campur aduk. Suasana pasar yang ramai di sekitarnya terasa menghilang, hanya ada dirinya dan liontin tersebut. Ramiel mengulurkan tangan dan berkata, "Berapa harganya?" suaranya nyaris berbisik.

   Pria tua itu tetap tersenyum dengan tipis. "Untukmu, tuan muda, hanya dua koin perak." tak pernah terpikirkan oleh Ramiel jika barang seperti itu bisa sangat mudah didapatkan. Bahkan dia dapat menjualnya dengan harga yang lebih mahal untuk mendapat keuntungan. Ramiel merogoh kantongnya, pikirannya sudah terpikat terbawa liontin itu.

   Saat dia menyerahkan beberapa koin, jari-jari pedagang itu menyentuhnya, seakan ia mengirimkan rasa dingin melalui tangan Ramiel. Tanpa pikir panjang, Ramiel langsung mengantongi liontin itu. Serta memutuskan untuk cepat-cepat kembali ke rumah.

          

✦✦✦

   Sementara itu, Jorren di rumah meneguk segelas susu dari peternakan sendiri, ia menikmati momen istirahatnya dengan menyandar pada kursi jerami, menghirup udara segar yang membawa aroma tanah subur ke indra penciumannya. Sesaat dia meraih cangkir minumannya, ketukan tajam di pintu terdengar.

   Mengira itu adalah Ramiel, Ia berseru, "Masuk, nak!" beberapa waktu kemudian, Jorren tidak mendapatkan jawaban dari Ramiel. Keheningan berhembus, rumah keluarga Wealton terletak di balik hutan pohon burja dan jamur, serta kebun yang luas.

   "Mungkinkah dia kelelahan berjalan?" tanpa berpikir panjang, Jorren berdiri menuju pintu untuk menyambut Ramiel.

   Tetapi, seketika ia teringat, anak bungsunya tak pernah sekalipun mengetuk pintu saat pulang ke rumah. Membuat tubuh Jorren kini merinding, ia merasakan hawa keberadaan sesuatu yang tak ia kenal. Bayangan besar tampak menunggu di balik pintu, menaruh keraguan pada hatinya untuk mencari tahu.

         

✦✦✦

   Beberapa waktu berlalu, kini hari telah menjelang malam. Dalam perjalanan pulangnya, Edwart mendapat banyak hasil buruan membuat dirinya puas dan gembira. Dengan hati-hati ia melangkah sembari sedikit bersenandung.

   Edwart kemudian berkata, "Besok, aku dapat menjual beberapa kulit rusa, kemudian membelikan keju untuk para tikus." nama panggilan untuk saudara dan saudarinya.

   "Dengan begitu mereka tidak akan berani mengejekku si pemalas lagi." ujarnya percaya diri.

   Ia segera berjalan cepat dengan perasaan bangga di hatinya. Namun, setelah Edwart melintasi satu pohon raksasa yang menjulang tinggi di tepi jalan setapak, suasana di sekelilingnya mulai berubah. Begitu dilihat dengan seksama, ia kian mendapati dirinya tak berada di jalan yang biasa ia lewati.

   Ketenangan perjalanannya sirna, tergantikan oleh sedikit rasa bimbang yang menyelimuti hatinya. Lalu Edwart menggenggam pedangnya dengan erat, merapatkan perlindungan diri. "Begitu lelahnya hari ini, hingga pikiranku terganggu." gumamnya, menegaskan keyakinan pada diri sendiri.

   Setelah memutuskan untuk jalan beberapa langkah, akhirnya Edwart yakin, ia tak mengenal segala pemandangan ini. Tetapi hatinya masih tetap bersikeras, tak mungkin pengalaman berburu miliknya kini melemah. Bahkan instingnya tidak tahu kemana arah jalan pulang.

   "Biasanya, berjalan ke arah barat selalu menuntunku pulang, angin pun tak berhembus malam ini." dengan segala kecemasannya, ia tetap teguh mencari petunjuk.

   Hingga Edwart berpikir untuk berjalan lebih jauh ke barat. Sampailah ia di suatu wilayah yang dipenuhi oleh rerumputan, ia melihat sebuah rumah kecil yang tampaknya telah usang. Meski begitu, pintu rumah itu sedikit terbuka, menampakkan kegelapan yang seolah menunggu. "Tidak ada salahnya untuk sekedar mampir," pikirnya, "mungkin aku bisa mendapatkan bantuan, siapa tahu?"

   Dengan tenang, ia melangkah lebih dekat. Mengetuk pintu itu dengan perlahan, serta memanggil seseorang yang mungkin menghuni rumah tersebut. Namun tak ada jawaban. Hingga pikirannya memaksa Edwart untuk segera melihat kedalam. Seisi rumah tampak berantakan, seolah dilanda badai.

   Kain-kain berserakan, berbagai macam benda tampak tergeletak di lantai. Alih-alih terperangkap dalam rasa panik, Edwart justru mengeluarkan batu asahnya dengan cepat. Ia menggosokkan batu itu hingga percikan api mulai menyala. Namun pencahayaan membuat dirinya terkejut, ketika menyaksikan hal yang terpampang didepan mata.

   

✦━━━✦