Deru ombak bergemuruh bersamaan dengan awan kelabu yang memancarkan petir berulang kali. Angin kesiur kencang menerpa rambut pendek seorang gadis yang tengah berdiri di pulau terpencil. Semua serba kelabu, kegelapan tampak di kejauhan seolah badai akan segera tiba. Kaki gadis itu berusaha melangkah mundur, tetapi di belakangnya lautan luas menyambut begitu gelap. Degup jantung berdetak kencang. Semua gelap pekat....
***
Saat itulah semua berubah ketika ia bangun dari tempat tidur. Peluh membasahi dahi serta napas tak beraturan menyelimutinya. Segera ia menoleh sekitar, berada di ruangan kamar. Barusan tadi mimpi buruk untuk kesekian kalinya. Belakangan ia sering bermimpi buruk soal badai di tengah lautan.
Apa maknanya? Ia pun tak tahu. Memilih untuk berusaha melupakannya. Secercah cahaya mentari berusaha menerobos masuk dari bilik jendela yang tertutupi oleh selambu. Ia menurunkan kedua kaki yang telanjang, menyentuh lantai yang dingin. Membuka selambu itu, cahaya mentari dengan langit cerah menyambut.
Sosok gadis dengan rambut pendek menyentuh bahu, dengan bola mata berwarna ungu itu berdiri dari balik jendela. Kulitnya putih bersih beserta piama berwarna biru itu menambah kesan putri cantik baru saja bangun dari tidurnya.
Aiko Miyako namanya, seorang gadis yang tinggal sendiri di sebuah kos. Jarang sekali anak SMA menginap di kos. Meski begitu, kos yang disewa Aiko cukup ketat pengamanannya, jadi aman dari berbagai godaan terutama para buaya darat.
Aiko mengambil handuk yang dibeberkan di kursi, memasuki kamar mandi. Selang beberapa saat ia mulai mengenakan seragam bermodelkan pelaut berwarna biru dan putih serta rok berwarna biru. Tak lupa ia mengikat dasi pita di kerah seragam model pelaut itu.
Saat keluar kamar menuruni tangga, ia disambut oleh ibu Kos yang ramah. Wajahnya dipenuhi oleh keriput dan rambutnya mulai memutih. "Wah gadis cantik ini mau pergi ke sekolah?" Senyuman menyambut Aiko.
"Ini hari pertamaku sih." Aiko terkekeh sembari menggaruk kepala yang tak gatal.
"Jangan lupa untuk bayar bulanannya ya."
Benar juga, sekarang akhir bulan. Ia memutar bola mata, tersenyum lalu menganggukkan kepala. "Baiklah akan kubayar saat awal bulan nanti. Belum ada kiriman soalnya."
Setelahnya ia melanjutkan langkah, meninggalkan kos perempuan itu. Berjalan kaki mengikuti jalan hingga keluar dari kompleks perumahan. Sebuah halte dipenuhi oleh berbagai kalangan, ada yang mengenakan seragam SMA, SMP, bahkan para pekerja kantoran. Mereka semua menanti bus yang akan tiba.
Tepat ketika Aiko baru tiba, bus telah datang menanti. Bersama dengan penumpang lain, Aiko berbaur. Ia mencari tempat duduk yang berada di bus bagian belakang. Tempat duduk favoritnya yang selalu membuat Aiko nyaman. Bus perlahan mulai melaju, wajah Aiko terpantul di jendela saat ia tengah melamun memandang jalanan yang padat di luar sana.
Sudah kelas dua ya, tahun depan bakal ikut SNBT nih, pikir Aiko. Saat ini masih tak tahu Aiko ingin kuliah di mana. Bahkan ia tak memiliki keinginan. Meski sudah sering mendengar penyuluhan di sekolah mengenai kampus, tetap saja itu tak membantu sama sekali. "Aku ingin apa ya?"
"Enggak seperti biasanya kamu melamun seperti ini." Suara itu membuyarkan lamunan Aiko, ia segera menoleh ke sebelah kanan. Seorang lelaki mengenakan kemeja putih dan celana hitam itu tengah duduk di samping Aiko.
"S-sejak kapan kamu di sini?" tanya Aiko.
"Sejak tadi lah, kamu saja yang enggak sadar," balas lelaki itu.
Lelaki yang duduk di samping Aiko, bernama Azura. Seperti biasanya ia enggan merapihkan rambut meski seragam yang dikenakan rapih.
"Omong-omong rapihkan dulu rambutmu tuh." Aiko memandang ke kepala Azura.
"Ogah ah, lagi pula kalau aku merapihkan rambut yang ada malah culun, enggak keren."
Memangnya bisa gitu ya? Aiko pun segera merapihkan rambut Azura dengan telapak tangan. "Setidaknya rapih dulu biar kaya siswa teladan minimal."
"Tumben banget bawel pagi-pagi gini?" Azura bertanya-tanya. Sebelumnya, Aiko tak pernah se-bawel ini.
"Enggak boleh?" Aiko bertanya balik.
Azura mengedikkan bahu. "Entahlah aku tidak tahu. Apa jangan-jangan efek awal semester kamu jadi semangat?"
"Mana ada yang seperti itu, perasaan dari dulu aku juga begini."
Oh ya selama ini kan dia selalu kejam sama aku. Azura mengingat kembali pada masa lalunya. Aiko memang menjadi sosok yang mudah menyapa siapa saja. Para lelaki pun tak sedikit pula yang menatap kecantikannya. Setidaknya ia menjadi salah satu dari tiga besar gadis tercantik di sekolah. Magnetnya begitu kuat sampai-sampai menarik perhatian para lelaki.
Namun, di balik murah senyum itu Aiko menyimpan rahasia yang tak diketahui oleh siapapun—kecuali teman dekatnya. Suatu ketika Azura pernah pergi ke rooftop untuk menyegarkan pikirannya. Tanpa sengaja ia bertemu dengan Aiko yang tengah bersandar di pagar pembatas. Tak ada ekspresi seperti biasa dengan memancarkan senyuman seterang mentari.
Saat Aiko berbalik, ia memandang Azura yang berdiri di bilik pintu. "Apa yang dilakukan oleh gadis tercantik di sekolah di sini? Bukannya harus istirahat di kantin?" Pertanyaan blak-blakan dari Azura keluar begitu saja.
"Ya suka-suka aku, memangnya masalah?" tanya Aiko dengan tatapan sinis. "Lagi pula di sini merupakan tempat tersembunyi. Jadi jarang ada yang bisa menemukanku. Apa lagi jadi populer di seluruh kalangan itu begitu menyebalkan."
Tak membalas ucapannya. Azura pun melangkah menuju pagar pembatas, bersandar. Jaraknya dengan Aiko cukup jauh.
"Kenapa kamu kemari?" tanya Aiko. "Kamu menguntitku ya?"
"Astaga, memangnya wajahku seperti buaya darat?"
Aiko mengangguk.
Jahat sekali! Umpat Azura dalam hati. "Aku cuma siswa biasa di sini. Aku juga tidak tertarik sama kamu."
Aiko menaikkan alis, tak percaya dengan apa yang baru saja diucapkan oleh Azura.
"Pemandangan di sini sangat bagus. Aku hanya ingin memandang gedung-gedung itu. Tak ada yang lain-lain," lanjut Azura memandang bangunan di depan sana.
Angin bertiup menerpa mereka, membuat suasana tenang menyelimuti. Sesekali Azura menarik napas panjang. "Azura, itu namaku."
"Pasti ada modus." Aiko mengernyitkan dahi.
"Sudah kubilang aku tidak tertarik denganmu, Aiko Miyako," sanggah Azura menyebut nama Aiko. Setelahnya, Azura berbalik tak betah menghadapi Aiko.
"Hei, jangan bilang siapa-siapa ya," ucap Aiko.
"Tenang saja, aku enggak bakal bilang siapa-siapa."
Ucapan Azura yang menjaga rahasia Aiko itu benar. Semenjak itu hubungan mereka dekat. Sudah setahun yang lalu lebih tepatnya mereka diam-diam ke rooftop bersama-sama membicarakan banyak hal.
Bus berhenti di halte depan sekolah. Aiko dan Azura turun bersamaan berbaur dengan siswa lain. Azura menyusul di belakang Aiko, tanpa sepatah kata pun ia ucapkan padanya. Sebenarnya agar tidak jadi tatapan sinis di mata para lelaki. "Sebenarnya, kalau kamu ingin bicara enggak masalah sih," kata Aiko menghentikan langkah.
Azura pun turut demikian ikut berhenti berjalan. "Bingung mau bicara apa lagi pula—"
"Aiko!" seorang gadis berambut panjang hingga menyentuh punggung entah dari mana melompat menerjang Aiko hingga keduanya menghantam tanah.
Memandang itu, Azura hanya bisa menghela napas lesu. Bisa-bisanya di pagi seperti ini Fani menerjang Aiko seperti tak pernah bertemu selama puluhan tahun.
"F-Fani! Bisa enggak sih enggak usah peluk-peluk gini!" Aiko berdecak kesal sembari berusaha melepaskan pelukan Fani.
"Enggak mau, kita sudah berjanji buat jadi adik kakak kan?"
Benar-benar konyol, pikir Azura berusaha mengabaikan mereka.