Chereads / Beyond The Current / Chapter 5 - Diawali dengan Kejanggalan

Chapter 5 - Diawali dengan Kejanggalan

Lampu kamar Aiko telah padam, Aiko telah terlelap dalam tidur, sedangkan Fani masih tetap terjaga untuk memastikan Aiko tak bermimpi buruk lagi. Anomali yang aneh, tetapi dikatakan aneh juga tidak. Terlebih sebelum kemari, Profesor Harry memberitahu soal gejala Aiko. Apakah semua esper alami mengalami gejala yang serupa dengan Aiko?

Ia duduk di kursi meja belajar Aiko sembari menopang dagu, melirik ke beberapa pigora mini yang dipajang di atas meja. Semua itu adalah foto-foto Aiko dengan dirinya sewaktu masih menginjak sekolah dasar, bahkan ada foto Zanna di samping foto mereka. Hanya saja, ia tak melihat foto ayahnya terpajang.

Beban berat yang harus dipikul, Fani menghela napas panjang. Selama ini kamu selalu memendam sendirian ya Aiko. Andai saja ada yang bisa ia lakukan. Jam di dinding menunjukkan pukul satu dini hari, tak ada tanda-tanda Aiko mengalami mimpi buruk.

Fani menarik kasur bawah, setelahnya merebahkan diri di atasnya. Sebelum benar-benar terlelap, ia memandang wajah Aiko yang tertidur. Sebisa mungkin aku harus bisa membantunya. Ia perlahan membelai rambut Aiko. Menganggapnya seperti adik kandung sendiri.

 

Perlahan mentari menyingsing di timur. Lampu-lampu yang semula dinyalakan kini semua telah padam satu per satu. Jalanan yang perlahan mulai dipadati oleh kendaraan-kendaraan bermotor.

Saat menanti di halte bus, Aiko menguap lebar begitu pula dengan Fani yang ikut menguap. Tadi malam benar-benar aneh bagi Aiko. Entah kenapa rasanya tadi Aiko sempat bertanya, "Apa petirku sudah hilang?" Saat mencoba mengarahkan ke dinding petir itu masih merambat.

Meski benar-benar ceroboh, sampai membangunkan Fani dari tidurnya.

"Lain kali jangan lakukan itu lagi," pinta Fani setelah usai menguap di halte bus.

"Aku hanya penasaran, siapa tahu bisa hilang 'kan?" Aiko cekikikan membalas Fani.

"Kelihatannya enggak mungkin bisa hilang."

"Ternyata kamu tahu banyak soal esper ya."

Fani memasang senyum kecut mendengar ucapan Aiko barusan. Sebenarnya lebih terpaksa sih. Lagi pula Fani tak banyak mengetahui soal esper, ia tahu hanya dari penjabaran singkat dari Harry yang selalu bercerita. Setidaknya informasi yang didapat pun sedikit berguna.

"Apa memang harus banget ya disembunyikan?" tanya Aiko penasaran.

"Kalau enggak, kamu bakal jadi target penelitian sih. Jadinya jangan gunakan kekuatanmu di sekolah." Fani melipat kedua tangan. Setidaknya untuk saat ini masih kembali normal.

Dari tempat Fani dan Aiko duduk, sebuah mobil hitam tengah berhenti. Di dalamnya terdapat dua pria yang tengah mengamati mereka. "Kita dapat targetnya," ucap salah satunya. "Fani Gunawan, dia anak Profesor Harry 'kan?"

Pria satunya mengangguk. "Untuk saat ini kita jangan gegabah dulu."

***

Menjelang senja, seluruh siswa SMA G mulai memadati pintu keluar. Keramaian di bawah sana tampak dari jendela kelas. Azura memandangnya dengan kedua tangan di belakang. Papan tulis di belakangnya tengah dihapus oleh Fani perlahan. Dan Aiko berada di tempat duduk, tengah bermain ponsel.

Fani mengusap peluh, meletakkan penghapus di atas meja. Kini papan tulis telah bersih. Ia berkacak pinggang sedikit menyunggingkan bibir. Bernapas lega, pekerjaannya sudah usai sore ini.

"Azura, kamu enggak pulang?" tanya Fani menoleh pada Azura yang tengah berdiri di dekat jendela.

"Di bawah sana masih ramai, aku malas untuk turun."

Fani menaikkan alis, berdiri di samping Azura memandang ke bawah sana. Benar saja di bawah begitu ramai dan padat. "Bukannya ini biasa ya?"

"Memang begitu, tapi kali ini lebih ramai." Azura berbalik melangkah menuju bangku. "Ya, waktuku untuk pulang sampai ketemu besok." Kini ia meninggalkan kelas, menyisakan Fani dan Aiko.

Saat berada di luar kelas, Azura segera menuju toilet pria yang berada di dekat kelasnya. Ia memasuki toilet itu, sedikit membuka pintu. Sesuatu yang tidak beres tengah terjadi. Terlebih saat pelajaran tadi siang, tak sengaja Azura memandang Aiko yang bisa mengeluarkan petir. Kini ia menaruh curiga pada Aiko. Dari balik pintu toilet, ia mengernyitkan dahi, menopang dagu.

Apa dia adalah esper yang dibicarakan belakangan? Azura bertanya pada pikiran dan asumsinya. Ia pikir selama ini hal itu hanyalah sebuah gosip biasa. Akan tetapi, bisa saja gosip tersebut adalah kenyataan. Kelihatannya aku harus mengikuti mereka.

 

"Jadi soal esper kenapa harus disembunyikan?" tanya Aiko saat mereka mulai menuruni tangga.

"Sederhana saja sih jawabannya, agar tidak mengejutkan banyak orang. Kamu tahu sendiri kan, kalau ada seseorang yang memiliki kelebihan pasti bakal ada tanggapan kalau kamu adalah penyihir," balas Fani.

Dipikir kembali benar juga dengan apa yang dikatakan oleh Fani. Terlebih dunia ini masih trauma dengan kehadiran penyihir yang selalu menggunakan sihir hitam. Pada abad ke-16 terdapat sebuah era yang disebut perburuan penyihir. Penegak hukum melakukan pembunuhan massal terhadap para penyihir.

Entah keberadaan penyihir itu benar adanya atau tidak, Aiko tidak tahu kenyataannya. Atau jangan-jangan esper sudah ada sejak dahulu kala dan dianggap sebagai penyihir. Mungkin saja, tak ada yang tak mungkin.

Setibanya di gerbang sekolah, decitan ban menderu. Dari kejauhan sebuah bus kehilangan kendali hingga berguling di dekat sekolah. Laju bus itu tertuju pada gerbang sekolah para siswa di sekitar Aiko dan Fani berangsur mundur. Namun, segera Fani menggenggam lengan Aiko. Tubuh Fani lenyap bersama Aiko seketika, lalu muncul di sisi lain.

Bus itu menghantam gerbang sekolah, menimbulkan sedikit kebakaran. Seluruh siswa SMA G yang belum angkat kaki, mulai merekam video mengenai bus yang menghantam gerbang itu.

Di sisi lain, Fani dan Aiko berusaha tuk bernapas lega. "Kenapa bisa terjadi kecelakaan di dekat sekolah?" tanya Aiko. "Dan kenapa kita bisa berada di sini?"

Fani segera menoleh ke arah bus itu mengalami kecelakaan. Matanya menyipit, sosok bayangan dari balik asap tebal tengah melangkah menghampiri Fani.

"Fani jangan-jangan kamu...?"

Fani mengangguk. "Sesuai dengan apa yang kamu pikirkan, Aiko." Sorot mata Fani masih memandang ke depan. Penasaran, Aiko pun turut memandang ke arah yang sama dengan Fani yaitu memandang sosok yang tengah melangkah dari balik asap, lambat laun sosok itu mulai muncul di hadapan mereka.

Seorang pria mengenakan jaket kulit berwarna hitam serta kaca mata hitam berdiri. Pria itu memandang sekitar, tengah mencari sesuatu. Selang memandang sekitar, ia kini menoleh ke arah Fani. Raut wajah tergores senyuman. "Aku menemukanmu."

Mata Fani terbelalak, saat memandang pria itu. "Ini buruk," ucapnya.

"Buruk maksudnya?"

"Nanti saja ceritanya." Fani segera menarik lengan Aiko. Tubuhnya pun hilang bersama tubuh Aiko. Mereka pun berlari meninggalkan lokasi sekolah.

Pria berkacamata hitam itu mengejarnya, bahkan tak diam, kedua tangannya bergerak. Bagian-bagian tubuh bus itu perlahan mulai terangkat dan melayang. Melesat menuju ke arah Aiko dan Fani.

Saat Fani melirik ke belakang, ia segera melakukan teleportasi. Tubuh Aiko dan Fani lenyap, lalu muncul di sisi lain yang aman dari serangan besi barusan.

"Aiko, pergilah, aku akan mengatasi masalah ini. Yang satu ini adalah urusanku."

"T-tapi bagaimana denganmu?"

"Aku baik-baik saja, lagi pula aku pandai menghindar. Jangan coba-coba gunakan petirmu." Fani segera berbalik kembali ke medan pertarungan.