Tibalah Fani di lokasi kekacauan yang tak jauh dari sekolah. Pria berkacamata hitam itu tersenyum saat memandang Fani. "Tidak kusangka kalau kamu bakal muncul dan menghadapi aku."
Fani mengernyitkan dahi. "Setidaknya ini jadi pertarungan kita untuk yang kedua kalinya." Lengkukan bibir Fani mulai terbentuk.
"Tapi sayangnya, bukan kamu yang sedang ingin kucari," kata sang pria bernama Black Glass. Setidaknya Fani yang memberikan julukan itu.
"Lalu kenapa kamu mengacaukan sekolahku, Black?"
Black tertawa lebar, "Aku telah mendengar sebuah proyek rahasia itu. Proyek mengenai cairan esper yang menggunakan DNA gadis petir."
Mendengar itu, seketika bibir Fani memelintir. Tak percaya Aiko kini menjadi sasaran empuk. Namun, siapa yang melakukannya? Terlalu banyak musuh yang terjadi dengan orang-orang di balik penelitian dan pengembangan cairan esper itu.
Fani pun mulai menerjang maju. Begitu pula tangan Black mulai bergerak. Besi-besi yang berada di tubuh bus itu mulai melesat ke arah Fani. Namun dengan cepat tubuh Fani lenyap, melakukan teleportasi. Ia muncul di udara, mulai mengayunkan tangan yang terkepal sembari terjun bebas. Jarak yang begitu dekat, tak mungkin dihindari oleh Black. Fani berhasil menghantam wajah Black, lalu mundur beberapa langkah.
Nyeri mulai menjalar kepalan tangan. Fani segera mengibaskan tangannya berulang kali untuk meredakan rasa nyeri. Kelihatannya ia tak berniat melakukan hal serupa besok-besok.
Black menyentuh pipi, merasakan pukulan yang begitu kuat dari seorang gadis. Kini amarah mulai meletup-letup. Ia pun segera mengangkat tangan yang tertuju pada bus yang terbalik. Bagian bawah bus pun melayang menuju ke arah Black. Ia berhasil menangkap besi panjang, segera menajamkan ujung besi.
"Yang benar saja," keluh Fani.
Black pun segera menerjang Fani. Ia mengajungkan besi panjang itu, Fani segera menundukkan badan menghindari tebasan horizontal. Melenyapkan tubuh kembali muncul di belakang Black. Fani mengayunkan tendangan. Black pun tersungkur di atas aspal.
"Sudah menyerah atau belum nih?" Pertanyaan Fani seolah tengah mengejek Black. Namun, Black segera bertumpu pada besi tajam itu. Ia bangkit, kemudian berbalik dengan cepat. Tak sempat melakukan teleportasi, Fani hanya bisa mundur beberapa langkah.
Salah satu tebasan Black mengenai wajah Fani. Fani melakukan teleportasi hingga memisahkan jarak cukup lebar di antara mereka. Pada bagian pipi, luka mulai terbuka, darah segar mengalir. Namun, Fani tak goyah. Luka semacam ini sangat kecil baginya. Terlebih itu bukan pertama kalinya Fani bertarung.
***
Napas Aiko terengah-engah. Tengah bersembunyi di suatu tempat yang cukup jauh dari sekolah. Perlahan napasnya mulai berangsur normal. Untuk saat ini Aiko aman dari kekacauan barusan.
Saat hendak melanjutkan langkah, tiba-tiba kakinya berhenti melangkah. Teringat dengan Fani yang bertarung sendirian. Apa dia baik-baik saja? Ia menggigit bibir saat hendak berbalik. Kegelisahan mulai menyelimutinya perlahan. Ia tak bisa meninggalkan Fani sendirian.
Aiko mengangkat kedua tangan, perlahan mengatur napas. Percikan petir mulai menjalar di kedua tangannya. Merasa sudah siap, ia pun berlari, berbelok. Saat tengah berlari, Aiko menabrak seseorang yang tak asing. "A-Azura?"
"Apa yang kamu lakukan di sini, Aiko?" tanya Azura kembali.
"Eh, anu, itu ...."
"Pasti soal Fani 'kan?" Azura mengerutkan dahi.
"Eh, kamu tahu dari mana?"
"Soal itu nanti saja, aku jelaskan. Sekarang apa yang mau kamu lakukan?"
Aiko sedikit tertunduk, ia tak bisa mengatakan kalau ia memiliki kemampuan elektro. Terlebih Aiko mengingat mengenai perkataan Fani, soal warga kota masih belum bisa memahami kemampuan di luar akal sehat.
"Biar kutebak, esper elektro?"
Mendengar itu, membuat Aiko mengangkat wajah. "Bagaimana kamu bisa tahu?"
"Jujur saja," Azura menggaruk kepala. "Aku melihatmu di kelas saat itu aku melihat kamu bisa mengeluarkan percikan petir bukan?"
"Jadi kamu melihatnya ya?"
Azura mengangguk. "Aku sudah terbiasa dengan itu dan juga rahasiamu akan selalu aman. Jadi kamu ingin menyelamatkan Fani?"
"Kelihatannya aku enggak bisa meninggalkannya," kata Aiko. Saat ia berusaha melangkah, tiba-tiba Azura melentangkan kedua tangan di hadapan Aiko.
"Jangan lakukan hal sembrono, kalau kamu enggak bisa bertarung. Pikirkan matang-matang sebelum turun ke sana."
"Aku enggak punya pilihan lain, aku enggak bisa kabur meninggalkan sahabatku. Aku hanya takut dia tidak kembali, ditambah dia sudah sering menolongku. Sekarang waktuku untuk menolongnya," lirih Aiko.
Mendengar itu, membuat Azura paham dengan Aiko. "Ternyata begitu ya." Lengkukan bibir mulai terbentuk di wajah Azura. "Baiklah, kita akan menolongnya. Tapi sebelum itu, biarkan aku menunjukkan sesuatu padamu." Azura mengangkat tangan ke atas.
Aiko melirik ke atas. Sebuah lingkaran putih perlahan mulai terbentuk, melayang di atas telapak tangan Azura. Mata Aiko berbinar, saat memandang kejadian itu.
"Jadi, kamu juga esper, Azura?"
"Aku adalah penyihir."
***
Fani terlempar jauh hingga tersungkur di atas tanah. Sekujur tubuh terasa nyeri yang luar biasa. Perlahan ia mulai bangkit. Napasnya terengah-engah, lawannya begitu tangguh. Darah segar mengalir di samping bibir, Fani mengusap darah segar itu.
"Bagaimana sudah mulai menyerah?" tanya Black seraya menghentikan langkah untuk mendekati Fani.
"Menyerah ya?" Fani tersenyum simpul, "tentu saja aku belum menyerah sama sekali."
Black berdecak kesal mendengar ungkapan barusan. "Memang kelihatannya aku harus menghabisimu." Ia melanjutkan langkah mendekati Fani.
Saat jarak di antara Black dan Fani semakin dekat, tanpa ragu-ragu Black mengayunkan kaki ke arah Fani, membuat gadis itu mundur beberapa langkah. Kini bagian perut Fani merasakan nyeri luar biasa.
Langkah Black kian mendekat, kali ini ia mengangkat besi panjang dengan ujung yang lancip. Perlahan ia hendak menancapkan pada tubuh Fani.
Saat itu juga sebuah petir berwarna biru menyambar ke arah Black membuatnya terlempar mundur beberapa meter. Fani menoleh ke arah petir itu berasal. Tak jauh dari tempatnya berbaring, Aiko berdiri dengan kedua tangan terangkat. Percikan petir mulai mengitari pergelangan tangan.
"Ini semakin gawat," celetuk Fani.
Aiko mempercepat langkah menghampiri Fani. Ia mengangkat kepala Fani. "Kamu enggak apa-apa 'kan?"
"Astaga padahal sudah kubilang untuk lari, kenapa malah kembali sih?" keluh Fani.
"Jadi kamu ya gadis petir itu?"
Aiko dan Fani menoleh bersamaan ke arah Black yang berusaha berdiri tegak. "Sesuai dengan ucapannya," lanjut Black. "Sekarang aku harus melumpuhkanmu." Black mengangkat besi panjang, melemparkannya pada Aiko.
Besi panjang itu melesat ke arah Aiko. Segera Aiko mengangkat tangan, aliran petir mulai menjalar, menahan laju besi panjang. Ia tersenyum bahagia, segera melemparkan besi panjang kembali ke arah Black. Namun dengan sigap Black mengendalikan besi itu memutar balik ke arah Aiko.
Kali ini sebuah lingkaran dengan tulisan latin yang mengitari lingkaran, terbentuk berwarna putih. Besi yang melesat mulai terpantul.
"Lingkaran sihir?" mata Fani terbelalak saat memandang lingkaran itu untuk pertama kalinya. "S-siapa yang mengendalikannya?"
"Itu aku." Suara tak asing di telinga Fani itu membuatnya menoleh ke sumber suara. Azura melangkah ke depan Fani, melindungi Aiko dan Fani. "Sekarang waktunya mengakhiri permainan ini."