2010
Kue tart mendarat di atas meja dengan terdapat lilin berbentuk angka tujuh serta tulisan di bagian atas kue, Happy Birthday Aiko. Seorang wanita dengan rambut pendek menyentuh bahu berusaha menata meja dengan tiga piring yang telah disebar.
"Bagaimana sudah siap, Zanna?" tanya Arjuna yang berdiri di bilik pintu.
"Ini harusnya jadi sesuatu yang spesial buat Aiko, tapi kenapa aku begitu gugup."
"Ayolah, kita sudah sering melakukan ini setiap tahun." Arjuna mengaitkan telapak tangan dengan telapak tangan Zanna. "Apa yang kamu pikirkan?"
"Proyek tersembunyi."
Arjuna menghela napas panjang, meletakkan tangan di atas bahu Zanna. "Hei, tenang saja semua akan baik-baik saja."
Zanna mengangguk. "Kamu benar. Aku hanya khawatir selama ini."
Raut wajah Arjuna berubah sesaat. Ia sedikit tertunduk, tahu apa yang dirasakan oleh Zanna. Zanna tengah menjalankan sebuah proyek tersembunyi. Namun, itu sangat membebaninya. Walau Arjuna sudah berusaha membuat tenang dan ikut membantu menggarap proyek tersembunyi itu, tetap saja Zanna tak bisa menghilangkan rasa khawatir.
Arjuna melirik jam di dinding, waktu menunjukkan pukul satu siang. "Aiko sudah pulang, waktunya kita menjemputnya dan memberi kejutan." Segera ia berbalik menuju garasi, menyalakan mobil. Zanna duduk di samping Arjuna.
Deru mesin terdengar, mobil melaju memasuki jalan raya. Perjalanan menuju sekolah dasar memakan waktu kurang lebih sepuluh menit. Tiba di sekolah, mobil yang dikendarai oleh Arjuna memasuki lapangan parkir mobil. Zanna turun dari mobil segera menunggu di dekat pintu masuk sekolah.
Bel berbunyi, pintu sekolah terbuka. Tak sulit menemukan gadis ciliknya, Aiko. Seperti hari-hari sebelumnya, ia selalu bersama Fani melangkah keluar dari sekolah.
Aiko memandang sekitar, tak lama ia menemukan Zanna. "Mama!" Aiko segera berlari menuju ibunya.
"Selamat siang, tante Zanna." Fani menyusul di belakang Aiko yang sama-sama menghampiri Zanna.
"Wah, Fani ada di sini juga toh," sapa balik Zanna dengan senyuman. Ia memandang Aiko. "Aiko, kamu pergi ke mobil dulu ya, ada yang ingin mama bicarakan pada Fani."
Apa ini? Soal apa? Fani sedikit kebingungan dengan maksud Zanna. Aiko segera bergegas menuju mobil. Mereka berdua memandang Aiko yang tengah berlari ke mobil hingga naik ke dalamnya.
"Fani, kamu tahu kan hari ini ulang tahun Aiko?" Zanna bertanya pada Fani.
"Aku selalu ingat, te, memangnya ada apa?" tanya Fani kembali.
"Karena hari ini Aiko ulang tahun, kamu mau bergabung?"
"Eh, enggak apa-apa te? Bukannya nanti malah mengganggu?"
Zanna mengangguk. "Kamu kan teman dekat Aiko."
***
2020
Lamunan Fani buyar ketika sebuah spidol melayang ke arahnya, mengenai dahi. Merintih kesakitan, Fani segera mengambil spidol itu. "Fani, kamu sudah berani melamun ya di pelajaran Bahasa Inggris?!"
Fani lupa kalau guru Bahasa Inggris di sekolah ini sangat galak. Ia segera bangkit dari tempat duduk mengembalikan spidol itu. "Maafkan saya Mam, lain kali saya tidak mengulanginya."
"Kalau tak bisa menepati janji, jangan buat janji." Wanita pengajar Bahasa Inggris itu menghela napas. "Duduk kembali sana."
Fani mengangguk.
Pelajaran berlangsung hingga jam istirahat makan siang berbunyi. Fani bersama Aiko bergegas menuju rooftop setelah membeli cemilan di kantin. Mereka berdua, tidak, sebenarnya bertiga ditambah dengan Azura yang kini selalu nimbrung bersama mereka.
"Bisa-bisanya kamu melamun saat pelajaran Bahasa Inggris." Azura menyeruput susu coklat kemasan.
"Entahlah, aku enggak tahu tiba-tiba teringat sesuatu." Fani mengedikkan bahu.
"Memangnya apa yang sedang kamu ingat?" Aiko kini melontarkan pertanyaan pada Fani.
"Masa lalu," balasnya singkat sembari melahap sandwich. Azura dan Aiko menoleh bersamaan. "Apa?" tanya Fani saat ia sadar tengah dilirik kebingungan oleh mereka berdua.
Kedunya menggeleng kepala, melanjutkan memandang bangunan tinggi. Angin bertiup perlahan melambai-lambaikan rambut pendek Aiko. Siang yang sangat membosankan, walau baru memasuki hari pertama. Ditambah kenapa tadi sudah ada pelajaran bahasa Inggris.
Masa lalu ya, pikir Fani sejenak mendongak ke atas. Entah mengapa ia tiba-tiba saja teringat dengan masa lalu. Terlebih tadi masa lalu Aiko dan ia sewaktu masih SD. Kalau tidak salah saat itu adalah ulang tahun Aiko. Benar, bulan depan Aiko ulang tahun.
"Baiklah sebentar lagi masuk," kata Azura melipat bungkus kotak susu. "Semoga nanti pelajarannya enggak aneh-aneh."
"Maksudnya bahasa Inggris?" Aiko menoleh pada Azura.
"Matematika, semoga saja enggak ada pelajaran karena ini hari pertama." Azura berbalik menuruni tangga.
Aiko menyusul, tetapi saat tiba dibilik pintu ia memandang Fani yang masih terdiam memandang langit. "Fani, kamu enggak masuk?"
Tersadar dari lamunan, Fani pun segera menyusul. Langkahnya terhenti, ingatan dalam kepala kembali diputar. Teringat hal lain kalau apa yang terbesit di benaknya sewaktu pelajaran bahasa Inggris adalah hari terakhir Aiko merasakan ulang tahun bersama keluarganya.
***
Hujan menyambut di kala senja. Padahal siang tadi mentari memancarkan sinar yang terang nan jernih. Kini, sinar terang itu telah sirna tertutupi oleh kapas kelabu yang menjatuhkan rintik air ke bumi. Seorang diri Aiko duduk di halte bus sembari bermain ponsel. Menanti bus yang datang. Sebenarnya tidak sendirian, ia bersama siswa dari kelas lain entah itu adik kelas atau kakak kelas.
Notifikasi di layar ponsel begitu padat, dipenuhi oleh pesan-pesan yang masuk dari grup kelas, Fani, dan Azura. Saat tengah menggulir ke atas, terdapat satu kontak yang hanya bertuliskan nomor telepon. Terdapat pesan yang tak pernah dibalasnya. Pesan itu sengaja dibisukan oleh Aiko. Mengingatkan hal yang benar-benar membuatnya terpuruk.
Meski berusaha untuk melupakannya, tetapi rasa takut dan amarah itu masih meledak dalam kepala. Benar-benar tak bisa dimaafkan. Terdengar deru mesin bus berhenti di halte. Pintu terbuka, Aiko segera memasuki bus. Ia duduk di bangku favoritnya di paling belakang. Selang beberapa menit berhenti, bus pun melaju membelah hujan yang mengguyur kota Surabaya.
Tiba di halte dekat dengan rumah, Aiko segera beranjak turun. Namun, ia berdecak kesal tak membawa payung. Pikirnya hujan akan reda sewaktu tiba di halte dekat kos. Kenyataannya berbalik. Tak tahu harus bagaimana, Aiko memilih untuk duduk menanti hujan reda di halte.
Bus yang semula berhenti telah melaju meninggalkan halte. Sendirian dengan suara air berjatuhan menemani Aiko dalam kesendirian.
Selang beberapa menit, mobil sedan berwarna biru berhenti di dekat halte. Aiko meliriknya, alisnya mengerut seolah tahu mobil siapa yang tengah berhenti itu. Seorang yang tak ingin ditemui olehnya. Lampu mobil itu semula menyala kini padam bersamaan mesin mobil yang mati. Turun dari mobil seorang pria mengenakan kemeja berwarna biru dan celana panjang hitam layaknya pekerja kantoran dengan membawa payung, berlari menuju halte.
Ia sedikit tersenyum memandang Aiko yang tengah duduk. Menutup payungnya, menghampiri Aiko. "Kuantar kamu pulang, nak."
"Aku sedang tidak ingin diantar olehmu." Aiko mengerutkan hidung.
"Aiko, beri ayah kesempatan sekali lagi."