[Lalu, bagaimana dengan ayahmu?] tanya Aiko.
"Tenang saja, dia sedang melakukan perjalanan dinas ke luar kota. Aku akan ke sana, tunggu sebentar!"
Fani menutup telepon begitu percakapan berakhir. Segera ia memasukkan seragam yang dikenakan untuk besok dan beberapa alat mandi. Terdengar ketukan pintu kamar. Fani menghampiri pintu sejenak. Saat membuka pintu, Profesor Harry tengah berdiri, tersisa bekas janggut dicukur di sekitar mulut. Mengenakan kacamata dan rambutnya acak-acakan.
"Aku dengan ada telepon barusan, ini soal Aiko, bukan?" tanya Profesor Harry.
"Tepat sekali," balas Fani sedikit mendesah. "Aku tidak menyangka kalau Aiko adalah esper."
"Sebenarnya masih belum, Fani."
Fani tak menggubris jawaban dari Harry, melanjutkan memasukkan pakaian ke dalam tas. "Aku akan memeriksanya, semoga saja itu hanya sekadar mimpi buruk."
"Bisa juga tidak kalau kamu ingat dengan ibunya."
"Tante Zanna?" Fani memastikan lagi.
Harry mengangguk. "Mungkin yang satu ini belum aku ceritakan. Zanna adalah esper elektro juga, aku tidak tahu dia dapat kekuatan dari mana. Bisa saja faktor genetik atau mungkin karena cairan esper."
"Sudah hampir tujuh tahun, semenjak cairan esper menghilang secara misterius kini ada asumsi esper alami?" Mendengar jawaban itu, Fani menaikkan alis. "Tapi apa itu mungkin?"
Harry hanya mengedikkan bahu. "Entahlah bisa saja itu sungguhan. Kalau kamu pernah baca buku sejarah penyihir yang ditemukan di arsip Magical Academy, kamu akan tahu." Ia segera meninggalkan bilik pintu kamar Fani. "Berhati-hatilah di jalan, jangan sembrono menggunakan kekuatanmu."
Fani memutar bola mata. Melanjutkan merapihkan pakaian.
Perjalanan menuju kos Aiko cukup dekat. Hanya menempuh waktu sepuluh menit jika naik ojek online. Setibanya di sana, Fani merogoh tas mengambil ponsel untuk menghubungi Aiko.
Setelah memberitahu, Aiko turun dari kamar. Ia membuka pagar membiarkan Fani untuk masuk.
"Maaf ya tiba-tiba mengajakmu kemari mendadak." Aiko menutup pintu kamar sewaktu mereka tiba di kamar.
Fani mengangguk. "Meski sudah sering kemari, tapi entah kenapa aku masih kagum dengan kamarmu."
Kamar Aiko, dapat dikatakan cukup sederhana bagi gadis remaja SMA. Semua rapih dan tertata dengan baik. Meja belajar yang berada di sebrang kasur itu terdapat buku pelajaran yang berjejeran dengan rapih. Lemari pakaian berada di samping meja belajar. Menyisakan ruang sedikit luas di tengah ruangan.
"Jadi kamu mimpi buruk lagi?" Fani mengambil tempat duduk yang berada di dekat meja belajar.
"Bisa dibilang begitu sih."
"Kalau begitu, ceritakan apa saja mimpimu?"
Hanya satu mimpi yang selalu Aiko alami, ia menjelaskan semuanya pada Fani. Mimpi dalam tidurnya sering terjadi berulang kali.
Tatapan Fani berubah sekejap menjadi mengernyitkan dahi. Ada sesuatu yang tidak beres. Jika mimpi, kenapa terjadi berulang kali? Apakah teori Profesor Harry tadi benar? Satu-satunya cara adalah memastikan.
"Aiko coba kamu tutup mata," pinta Fani dengan lembut.
"Menutup mata?"
Fani mengangguk. Aiko pun menuruti permintaan Fani dengan menutup mata sejenak.
"Sekarang coba angkat tangan kananmu ke samping."
Semoga ini berhasil. Wajah Fani menegang. "Sekarang ingat kembali mimpi barusan."
Saat Aiko berusaha mengingat, sebuah aliran petir menjalar dari tangan Aiko. Fani yang memandangnya terbelalak, tak percaya dengan apa yang dilihat. Petir itu melesat, menghantam dinding.
"Y-yang benar saja!"
"Ada apa?" Aiko membuka mata. Memandang Fani yang membelalakkan mata. Segera Aiko menoleh ke dinding. Dinding itu sedikit hangus. "Apa yang terjadi?"
Fani bangkit dari tempat duduk, berkacak pinggang sembari menghela napas panjang. Ingin mengatakan sesuatu, tetapi sulit bagaimana cara menjelaskannya.
"Lebih baik lihat tanganmu," ucap Fani meminta Aiko memandang tangan.
Aiko pun mengangkat kedua tangan, memandangnya. Masih tersisa percikan petir yang mengitari tangannya. "T-tunggu aku kenapa?" Aiko bernapas dengan cepat.
"Tenang, akan aku jelaskan semuanya. Petirmu tidak akan melukaimu," kata Fani.
"Tapi bagaimana cara menghentikan ini semua?"
"Pikirkan saja kalau petirmu hilang."
Aiko berusaha memikirkan untuk menghilangkan petir. Sesuai instruksi Fani, petir itu sirna. Kini Aiko bernapas lega sembari bersandari di dinding. "Jelaskan, apa yang terjadi padaku?"
Fani menyilangkan kaki dan menyilangkan tangan di dada. Ia duduk bersandar, siap untuk menceritakan segalanya yang diketahui soal kekuatan. "Karena dirimu sudah memiliki kekuatan, harusnya sudah tidak ada rahasia lagi di antara kita."
"Rahasia?"
Fani mengangguk. "Aiko, apa kamu tahu soal esper?" tanyanya sembari memincingkan mata.
Aiko menggeleng perlahan. "Esper? Aku enggak tahu sama sekali."
"Baiklah, aku sekarang bingung ingin menjelaskan dari mana dulu. Oh ya, kita mulai dari yang lebih sederhana. ESP, Extra Sensory Perception mungkin lebih sederhana lagi indra keenam."
Aiko melirik ke sekitar, membuat Fani memiringkan kepala. "Kenapa? Apa yang kamu lakukan?"
"Kalau aku punya indra keenam, bukannya aku bisa melihat lelembut?"
Fani menepuk jidat. Bukan seperti itu cara kerjanya. Ternyata menjelaskan ke orang awam benar-benar menyulitkan. Kalau tidak salah memang ada esper yang bisa melihat lelembut. "Itu benar, tapi bukan itu maksudnya."
"Baiklah kalau begitu, aku akan mendengarkannya." Aiko menunjukkan senyum antusias.
"Bisa dibilang kamu memiliki indra keenam, sederhananya begitu. Kekuatan yang kamu miliki adalah petir. Esper adalah orang yang memiliki kemampuan ESP itu. Setidaknya ada banyak jenis ESP, kalau tidak salah ada lima kemampuan dasar. Prekognisi, cenayang, rekognisi, telepati, dan psikokinesis. Bisa dibilang dirimu masuk katagori psikokinesis," papar Fani yang kemudian terdiam.
"Psikokinesis?"
Fani mengangguk. "Sebuah kemampuan dapat memanipulasi objek. Orang yang memiliki kemampuan psikokinesis hanya mampu mengendalikan satu elemen saja, kalaupun ada itu sangat langka. Elemen yang kamu kendalikan adalah—"
"Petir," potong Aiko, "lalu aku harus bagaimana dengan kekuatan ini?"
Fani mengedikkan bahu, "Lebih baik kamu tahan saja kekuatanmu itu." Ia menggaruk kepala. "Mungkin bisa kamu gunakan untuk mengisi daya ponselmu. Tapi jangan pernah tunjukkan ini kepada siapa pun termasuk Azura."
"Padahal aku ingin memberitahunya." Aiko memajukan bibir. "Omong-omong bagaimana kamu bisa setenang ini? Kenapa kamu enggak kaget sama sekali?"
Fani sedikit tertunduk, memainkan rambut panjangnya itu. "Ini akan sedikit membuka luka lamamu. Masih banyak yang enggak aku ketahui Aiko. Bisa dibilang ini ada kaitannya dengan ibumu."
Aiko membeku setelah mendengar kata ibu dari Fani. Apa yang sebenarnya terjadi di masa lalu? "Fani ceritakan segalanya yang kamu ketahui."
"Sehari setelah kamu ulang tahun, aku mendengar kabar kalau tante Zanna menghilang, saat itu terjadi kekacauan di tengah kota. Ayahku memberitahukan padaku saat aku SMP, mengatakan untuk tidak memberitahumu sampai waktunya tiba.
"Tante Zanna, om Arjuna, dan ayahku mereka bekerja sama membuat cairan esper, sebuah cairan yang dapat membangkitkan kemampuan ESP setiap orang. Setelah itu, tante Zanna dan om Arjuna menikah dan dikaruniai oleh satu gadis dan itu adalah kamu.
"Ayahku menceritakan kalau ibumu adalah esper elektrokinesis atau pengendali listrik, petir entahlah. Enggak salah jika kamu mewarisi kekuatan dari ibumu, setelah kabar menghilangnya ibumu, tim kecil itu bubar om Arjuna harus segera mengamankanmu dan ayahku juga demikian. Cairan esper dianggap sebagai bahan yang terlarang entah mengapa, tetapi benda itu menghilang dan enggak ada yang tahu di mana benda itu berada." Fani berhenti sejenak, menarik napas panjang dan menghembuskannya.
"K-kenapa kamu baru bilang sekarang?" bibir Aiko begetar. Matanya mulai mengucurkan air yang membasahi pipi. "Kenapa kalian menyembunyikannya?" tanya Aiko terisak.
Fani beranjak dari tempat duduk, menghampiri Aiko. Ia melingkarkan kedua tangannya di kepala Aiko, memeluknya perlahan. "Hanya itu yang kutahu, bahkan sosok yang membunuh ibumu pun juga tidak ada yang tahu. Yang jelas semua ingin kamu selamat. Maafkan aku Aiko."