2010
Berakhirnya ulang tahun Aiko membuat satu keluarga itu turut bahagia merayakannya. Termasuk dengan Fani yang datang sebagai teman dekat. Kedua orang tua Aiko, Zanna dan Arjuna telah menganggap Fani bagian dari keluarganya. Walau Fani sendiri terkadang sungkan.
Keesokan harinya di sekolah memasuki jam istirahat. Fani dan Aiko duduk di bawah pohon yang rindang berbaring di bawahnya. "Aiko maaf ya kemarin aku enggak bawa kado."
"Bagiku kamu sudah datang saja itu cukup." Aiko mengangkat tangan ke udara kosong. "Tumben hari ini tenang sekali."
"Enggak suka ketenangan?" tanya Fani balik.
Aiko menggeleng. "Enggak, hanya saja kali ini lebih tenang."
Selang itu, bel berbunyi. Segera Aiko dan Fani beranjak kembali ke kelas. Langit yang semula terang mulai dipenuhi awan kelabu saat memasuki tengah hari. Zanna telah menunggu Aiko di tempat biasanya, depan pintu masuk sekolah. Dengan riang dalam gemuruh kelabu, Aiko segera menghampiri Zanna. Mereka bergegas menaiki mobil. Saat perjalanan menuju rumah, hujan mulai mengguyur kota Surabaya. Kemacetan terjadi di dekat lampu merah.
Aiko yang duduk di bangku belakang hanya terdiam sembari menatap butiran air yang melekat di kaca jendela.
"Aiko, bagaimana sekolahmu hari ini?" Arjun mendadak melemparkan pertanyaan.
"Semua baik-baik saja kok, Yah. Beberapa minggu lagi ada UTS, tadi juga belajar matematika dan aku dapat nilai sembilan puluh." Aiko menyunggingkan bibir saat membalasnya.
"Bagus dong kalau begitu," sahut Zanna melirik ke belakang.
Aiko tersenyum simpul saat mendengarnya.
Arjuna yang tengah fokus ke jalanan tiba-tiba memajukan diri, menyipitkan mata memandang ke depan. Ada cahaya seperti api yang menyala lalu mati, kembali menyala. Berulang kali terjadi. Arjuna mulai gelisah saat memandang sesuatu tengah terjadi di depan sana.
"Ada apa?" Zanna menoleh ke arah yang sama. Sebuah api tengah berkobar dalam hujan. "Ini buruk." Segera Zanna melepas sabuk pengaman dan membuka pintu mobil.
Namun, sebelum benar-benar turun. Arjuna menggenggam erat lengan Zanna. Ia menggelengkan kepala pada istrinya. "Itu berbahaya Zanna, kita sudah sepakat untuk tidak terlibat lagi dengan kekacauan."
"Arjuna, dengarkan aku. Aku tak bisa tinggal diam, di depan sana sedang ada bahaya yang terjadi. Percayalah padaku ini yang terakhir kalinya." Zanna melakukan kontak mata dengan Arjuna.
Arjuna melirik pada Aiko yang duduk di belakang, tengah memandang kebingungan kedua orangtuanya tengah berbicara apa. Arjuna mengangkat kepala memandang Zanna yang segera bergegas turun dari mobil. "Baiklah tetap aman."
Zanna mengangguk. Pintu mobil dibuka, ia segera berlari dalam derasnya hujan menuju sumber kekacauan yang terbakar.
***
2020
"Apa yang kamu lakukan di sini?" Aiko mengernyitkan dahi. "Sudah kubilang aku enggak mau bicara sama ayah."
Arjuna menundukkan kepala. Wajah yang basah akibat kecipratan air hujan meski telah menggunakan payung. "Ayah minta maaf soal itu, karena ayah enggak bisa melakukan apa pun."
Lengang menyelimuti mereka dalam hujan deras. Aiko masih berdiam diri, tak ingin menerima permintaan maaf sang Ayah. Apa yang telah berlalu adalah murni kesalahannya, namun semua itu tak bisa diterima oleh Aiko.
"Perkataan ayah saat itu begitu kejam, harusnya ayah tidak mengatakan hal yang buruk soal dirimu," lanjut Arjuna dengan bibir bergetar. "Beri ayah kesempatan lagi."
Aiko masih tak berkutik. Selang beberapa saat ia membuka mulut. "Aku enggak peduli apa yang ayah katakan padaku. Tapi kenapa ayah bisa setega itu? Kenapa ayah bisa-bisanya bermain dengan perempuan lain di saat mama sudah tiada?"
"Tapi ayah sudah tidak melakukan itu lagi Aiko."
Mendengar itu membuat Aiko merapatkan bibir. "Selalu saja dengan jawaban yang sama dan tidak berubah sama sekali." Ia berbalik badan, bertepatan dengan hujan yang sudah reda. "Omong-omong soal uang kos, aku bisa membiayainya sendiri." Aiko melanjutkan langkah, meninggalkan halte bus dan Arjuna seorang diri di halte itu.
Dengan wajah murung, Arjuna berbalik memasuki mobil. Ia tertunduk di atas kemudi. Apa yang harus kulakukan, Zanna?
Setibanya di kos, Aiko menaiki tangga dengan raut wajah murung. Berhenti di depan kamar, ia memasang kunci pintu, memutar gagang. Memasuki kamar yang sedikit gelap. Melemparkan tas di atas kasur, bersamaan dengan Aiko yang turut melompat.
Perlahan air mata mulai membasahi pipi. Air mata itu tak bisa terbendung. Berusaha menenangkan diri, namun Aiko tak mampu melakukannya. Mama, apa yang harus kulakukan? Pertanyaan itu terbesit dalam benaknya, berusaha mencari jawaban yang benar. Namun, rasanya sangat mustahil melakukannya.
Aiko mendekap bantalnya dengan erat, seluruh tangisnya tertutupi oleh bantal. Kenapa ini harus terjadi padaku? Amarah bercampur dengan tangisnya menwarnai suramnya kamar yang lampunya sengaja tak dinyalakan oleh Aiko.
Tangisnya itu perlahan membawa Aiko dalam tidurnya yang lelap. Ia menguap, kelelahan menangis.
Tertidur selama kurang lebih tiga jam. Kamar Aiko semakin gelap gulita. Ia segera beranjak menuju saklar lampu, menyalakannya. Hari di luar sana sudah gelap. Bahu Aiko melemas, kembali berbaring di atas kasur. Amarahnya itu masih belum mereda padahal sudah setahun yang lalu. Aiko masih belum bisa memaafkan sosok ayahnya.
Angin menderu kencang di luar sana, bersamaan dengan guntur yang menyambar. Aiko melirik hujan dari balik kamar, segera ia turun dari kasur melangkah menuju jendela. Di luar sana petir menyambar berulang kali bersama gemuruh guntur yang membuat kaca bergetar. Aiko menutup jendela dengan selambunya. Ia kembali ke kasurnya, berbaring tak melakukan apa pun hingga terlelap dalam tidur.
Langit kelabu kembali mewarnai langit bersamaan dengan petir dan guntur yang menyambar. Deru ombak menghantam tepi pantai memekakkan telinga. Angin kencang berhembus meniup rambut pendek Aiko yang tengah berdiri di sebuah pulau terpencil di tengah lautan.
Aiko menggigit bibir, memandang kengerian di depan sana. Terlebih petir-petir kali ini menyambar begitu kencang dari sebelumnya. Tak segan-segan petir-petir itu mulai menyerang tanah, membuat Aiko harus berlari menghindari. Ia memasuki hutan, namun petir itu tak berhenti menyerang. Tibalah ia di sisi pantai yang lain. Petir-petir itu semakin menghujam tanah.
Tak ada lagi jalan untuk kabur. Aiko segera menyilangkan tangan, melindungi dari petir itu.
Bola mata Aiko terbuka tiba-tiba. Peluh membasahi dahi, napasnya menderu tak beraturan. Ia segera memandang sekitar, jam di dinding menunjukkan pukul sebelas malam. Kenapa ini agak berbeda ya?
Teringat dengan sesuatu, Aiko segera beranjak dari kasur. Ia menghampiri tas yang tergeletak di lantai. Segera merogohnya, mengambil ponsel. Ia mulai mencari kontak sosok yang dikenalnya. Pada layar telepon tertera nama Fani. Aiko mendekatkan ponsel ke telinga.
[Halo? Aiko ada apa malam-malam menelepon?]
"Fani, kamu bisa datang ke kosku?"
[Kosmu? Tentu saja, aku akan ke sana?]
"Lalu, bagaimana dengan ayahmu?" tanya Aiko.
[Tenang saja, dia sedang melakukan perjalanan dinas ke luar kota. Aku akan ke sana, tunggu sebentar!]
Aiko mengangguk yang tak diketahui oleh Fani. Ia mematikan ponsel lalu bersandar di kasur. Kini ia menoleh ke jendela yang ditutupi oleh selambu. Hening menyelimutinya di dalam kamar.
Hujan yang mengguyur kini sudah reda, memastikan itu Aiko membuka selambu langit di luar begitu cerah dengan bulan yang bergelantungan bersama bintang-bintang.
Ini sudah kesekian kalinya aku bermimpi buruk tentang hal yang sama. Apa yang sebenarnya terjadi padaku?