"Kau mau apa, Kapten?"
"Aku ada pertemuan dengan Tuan Matakrom, jadi aku minta tolong untuk menemaniku," jawab Kapten, sedikit memalingkan pandangannya dariku.
Tenyata itu. Kapten akan melakukan pertemuan secara tidak langsung dengan Tuan Matakrom. Yah, kadang dia gugup jika harus berbicara dengan petinggi Edeatu, meskipun hanya lewat panggilan hologram. Mungkin karena ini tahun pertamanya duduk di kursi kapten Viatrix.
Sebenarnya aku juga gugup. Selain karena aku akan menghadapi pemimpin, ini adalah tahun pertamaku sebagai wakil kapten. Semenjak seluruh anak buah memilih Milla Mazcira sebagai kapten, dia menunjukku sebagai pendampingnya.
Aku menyanggupi permintaan Kapten yang tadi. "Ah, tentu saja. Aku kira ada perlu apa."
Aku berjalan menuju kursi yang aku duduki sebelumnya. Kapten masih duduk di kursinya sedari tadi.
"Memangnya kaukira aku mau apa?" tanya Kapten dengan nada curiga. Ditambah lagi tatapannya menjadi tajam dengan sebelah alisnya dinaikkan.
"Yang itu tidak penting," balasku. Lagian aku tidak berpikir aneh-aneh. Aku hanya berpikir Kapten butuh teman mengobrol, tidak lebih.
Kapten tertawa kecil sembari menutupi mulutnya dengan telapak tangan. Kami berdua kembali menatap layar komputer.
Layar hologram menampilkan proyeksi tiga dimensi seorang pria paruh baya berambut abu-abu. Pria itu mengenakan topi besar berwarna hitam yang selaras dengan sebuah mantel dan mengenakan kemeja berwarna putih pucat di lapisan dalamnya. Matanya satu, yang alami, sedangkan sebelah matanya sudah diganti dengan perangkat mata sibernetik berwarna biru terang.
"Ini dia, Tuan Matakrom sudah tersambung," ucap Kapten.
Aku bertemu dengannya, Tuan Matakrom sang pemimpin Edeatu. Beliau sudah lebih jauh mengarungi luasnya samudera antariksa dan menemukan bermacam tempat serta materi berharga. Saat ini di usianya yang mulai menua, beliau memilih untuk bergerak di belakang layar.
"Salam. Saya Milla Mazcira, Kapten Viatrix. Saya bersama wakil saya, Yu'zar."
Kapten berucap sebagai pembuka kata. Dia tidak terdengar gugup sama sekali, malah justru menunjukkan wibawanya sebagai kapten.
"Ah, kudengar kalian sedang berlayar di Dameon, bukan begitu?" tanya Tuan Matakrom.
"Benar. Kami sudah tiba di sini dan menemukan batuan bernilai tinggi," balas Kapten.
"HAHAHA." Tuan Matakrom tertawa kencang, mungkin bisa dibilang tawa khas perompak. "Bakat ayah ibumu benar-benar menurun kepadamu, Mazcira."
Tawa Tuan Matakrom membuatku dan Kapten menutup mata dan terdiam sesaat. Benar-benar membuat kaget.
"Saya sangat tersanjung," balas Kapten singkat.
Mungkin ada yang heran kenapa aku tidak mengeluarkan satu kata pun. Gugup! Aku terlalu takut berbicara saking gugupnya. Bayangkan jika aku salah bicara di depan proyeksi holografik Tuan Matakrom. Meski hanya proyeksi, itu membuatku benar-benar gemetar.
Benar saja, Tuan Matakrom heran. "Kalau begitu, yang di sampingmu itu bagaimana? Apa dia perompak yang setia?"
Beliau bertanya kepada Kapten. Syukurlah, daripada aku harus repot-repot menjawab.
"Oh. Yu'zar sangat loyal. Bukan begitu?" Kapten menoleh kepadaku sesaat setelah ucapannya selesai. Dia malah mengajakku bicara.
"I-iya, Tuan." Aku akhirnya membalas ucapan Kapten Milla meskipun agak terbata-bata. Singkat, memang. Kalau panjang-panjang, bisa-bisa aku dijuluki Yu'zar si Ajudan Gagap.
"HAHAHA! Aku bisa melihat kesetiaanmu bahkan dengan mata palsuku ini." Tuan, bisakah berhenti tertawa keras-keras seperti itu?
Aku sedikit menundukkan pandanganku, menghindari kontak mata dengan proyeksi Tuan Matakrom. "Saya sangat tersanjung, Tuan," balasku singkat.
Kesetiaan adalah hal yang selalu aku bawa ke mana pun. Terutama kesetiaanku kepada orang-orang di Viatrix yang sudah menyelamatkan hidupku. Sebagai seorang yang menjelajahi luasnya lautan hampa tak berujung seorang diri, aku harus setia kepada siapa pun yang membantuku. Begitulah janjiku kepada diriku sendiri ketika aku tidak bisa membuat janji dengan siapa pun.
"Tuan. Saya hendak melaporkan asteroid berharga yang kami temukan di Sistem Dameon. Memang kami baru menemukan sebagian kecil, tetapi kebanyakan batuan yang kami temukan bisa dijual dengan harga tinggi," ucap Kapten panjang.
"Viatrix sudah melaporkannya ke bagian penjualan. Mereka memberi sambutan positif dan kabarnya sudah ada orang yang hendak membeli dalam jumlah banyak," sambung Kapten.
"HAHAHAHA!" Lagi-lagi Tuan Matakrom tertawa kencang. "Bagus! Kerja bagus!"
"Kami akan menambahkan temuan kami ke dalam Peta Perompak," ucapku.
Peta Perompak adalah peta Galaksi yang dibuat oleh perompak Edeatu. Petanya mirip dengan Peta Galaksi, tetapi lebih banyak menunjukkan lokasi harta. Siapa orang di balik penyusunan peta itu? Ialah Tuan Matakrom sendiri. Peta Perompak memang belum selengkap Peta Galaksi milik Republik dan peta milik Serikat yang bernama "Peta Klavan Visk" itu. Bisa dibilang tujuan Viatrix adalah menjelajah supaya Peta Perompak bisa kami lengkapi.
Salah satu keuntungan yang bisa didapat ketika Viatrix berkontribusi untuk melengkapi peta adalah menaikkan reputasi. Jika reputasi kami naik, kami bisa dipercaya oleh pihak-pihak yang ingin membeli sumber daya. Dan yang lebih menguntungkan lagi, kami bisa menaikkan harga penjualan sumber daya hingga dua kali lipat.
"Bagus! Semoga kalian cepat dapat hasil dari penjualannya," balas Tuan Matakrom. Untung beliau tidak tertawa lagi.
"Kalau begitu, kami berdua mohon izin untuk melanjutkan pekerjaan," ucap Kapten.
"Ya! Teruslah bekerja keras, Nak."
Kapten mengangguk menanggapi ucapan Tuan Matakrom. "Terima kasih."
Dia menutup panggilan hologram dengan Tuan Matakrom. Ruangan menjadi sedikit lebih gelap karena cahaya layar hologram yang mati.
Kapten berdiri lebih awal ketimbang diriku yang masih nyaman untuk duduk. Dia mengulurkan tangannya, mengajakku untuk bangun dari tempat duduk. "Ayo. Kita lanjut kerja."
Aku mengangguk dan meraih telapak tangannya yang mengenakan sarung tangan berwarna hitam. Aku ikut berdiri, lalu melepaskan tangannya sesaat setelahnya. Sehabis itu, kami berdua pun keluar dari ruangan pribadinya.
Kami berdua berjalan menuju anjungan bersamaan setelahnya. Di tengah jalan, kami bertemu dengan satu-dua anak buah yang lalu-lalang. Setelah beberapa waktu, kami berdua tiba di anjungan kapal, di mana orang-orang tidak kalah sibuknya mengurus satu-dua hal.
Kapten berdiri di depan mimbar dengan permukaan berbentuk setengah lingkaran dengan tiga layar hologram berbentuk persegi yang cukup luas. Dia menekan sebuah tombol, menghadirkan sebuah kursi yang muncul dari bawah. Aku sendiri berdiri sembari melihat awak komando yang tengah bekerja di lantai yang lebih rendah.
"Qamary, tolong ke sini sebentar," panggil Kapten.
Seseorang menghampiri kami, seorang perempuan ras Thimaii bernama Qamary Ttara, seorang navigator. Kulitnya berwarna hijau muda dan kepalanya botak. Agak aneh sih kelihatannya, tetapi kepala botak adalah daya tarik Thimaii perempuan.
"Atur rute menuju Gundarna untuk perjalanan kita ke tujuan selanjutnya," titah Kapten Milla.
"Baiklah, dimengerti," balas Qamary.
Tiba-tiba terbesit ide di kepalaku. "Sebentar!" ujarku menghentikan langkah Qamary yang hendak kembali ke meja kerjanya. "Kapten, aku sarankan kita mencari asteroid es terlebih dahulu sebelum ke Gundarna."
Kapten Milla dan Qamary sama-sama menatapku serius.
"Begini. Asteroid es mudah ditemukan di lingkar luar sistem. Bagaimana kalau kita singgah sebentar untuk mengambil air lalu pergi ke Gundarna kemudian," jelasku.
Qamary terlihat berpikir. "Idenya bagus, Kapten."
"Ah, kita perlu cari lokasi asteroid esnya," ujar Kapten. "Kalau begitu, atur rutenya nanti saja."
"Baiklah." Qamary meninggalkan tempat kami.
Pandangan Kapten beralih ke layar di depannya, begitu pula aku.
"Vidi, pindai," ucap Kapten memberi perintah kepada Si Arwah Kapal.
"Pemindaian dimulai."
Vidi si perangkat kecerdasan buatan mulai memindai. Perangkat semacam itu sangat bisa diandalkan. Aku menyebutnya "arwah" sebab Vidi tidak punya wujud yang jelas, hanya suaranya saja yang hadir.
"Pemindaian selesai."
Layar menampilkan hasil pindaian beserta keterangannya. Pandangan Kapten langsung tertuju pada salah satu keterangan hasil pandaian.
"Yu'zar." Kapten memanggilku. Telunjuknya menunjuk layar. "Lihat ini."
Aku memperhatikan layar dengan serius setelah Kapten memintaku dengan nada yang serius pula. Layar menunjukkan sebuah pesawat yang terpindai.
Gawat jika pesawat itu adalah pesawat mata-mata. Viatrix sempat berurusan dengan pihak militer Republik kemarin, dan mereka pasti tak tinggal diam. Namun, jika pesawat itu bukan milik mereka, tetap saja tidak baik. Bisa saja orang-orang di pesawat itu hendak mencuri sumber daya kami.
"Kapten, apa aku harus memantau mereka secara langsung?" tanyaku.
Wanita muda itu mengalihkan tatapannya kepadaku. "Lakukanlah!" titah Kapten. Aku membalasnya dengan anggukan.
Aku langsung berlari ke area hanggar. Jaraknya tidak begitu jauh, sehingga tidak butuh waktu yang begitu lama. Aku pun akhirnya tiba di area hanggar setelah beberapa saat.
Sesaat aku tiba di hanggar, aku langsung berjalan menuju pesawatku yang terparkir di antara dua pesawat tempur lainnya. Seorang teknisi memanggilku ketika aku hendak masuk ke dalam pesawatku.
"Yu-Yu!" panggilnya. Sumpah, itu adalah nama panggilan paling aneh yang pernah aku terima.
Aku menghampirinya yang berdiri di sebelah pesawatku. Namanya Senna, seorang Manusia perempuan berusia 24 tahunan. Kulitnya gelap dan rambutnya hitam bergelombang. Jarang sekali aku temukan perempuan menjadi teknisi, mungkin aku menjelajah Galaksi kurang jauh.
"Apa pesawatku sudah siap?" tanyaku kepada perempuan dengan pakaian teknisi berwarna hitam.
"Aman!" jawabnya singkat. Aku hanya mendengarkannya sembari mengenakan jaket pilotku.
Tanpa basa-basi lagi, aku langsung menaiki sebuah tangga vertikal menuju kokpit pesawatku.
Pesawatku, sebuah pesawat tempur satu awak yang sudah menemaniku sangat lama, bahkan sebelum aku menjadi anggota Viatrix. Aku sudah menjelajah banyak tempat dengan pesawatku. Dari mana aku mendapatkannya? Singkat cerita, aku mencurinya di salah satu hanggar ketika aku hendak melarikan diri. Sekarang kendaraan ini sudah mendapat banyak modifikasi.
Aku duduk di kokpit sembari memasangkan helm ke kepalaku. Aku bersiap untuk lepas landas.
Pesawatku lepas landas, tidak perlu minta izin atau apa pun. Aku mengarahkan pesawatku keluar dari hanggar. Pesawatku terbang menjauhi Kapal Viatrix dalam waktu cukup singkat.
Viatrix bisa terlihat dari sebuah layar di kokpitku. Kapal itu megah dengan tubuhnya yang memiliki warna eksterior violet. Tubuhnya panjang, sepanjang 200 etrogal (satuan pokok untuk besaran panjang dalam system Satuan Antarbintang) dan memiliki sisi yang meruncing di bagian depan. Bagian belakangnya lebih besar dari bagian depan karena di sanalah tempat mesin pendorong. Viatrix punya tiga pendorong utama, serta pendorong tambahan di berbagai sisi.
Aku terbang mendekati bebatuan yang melayang. Memang benar adanya, kebanyakan bebatuan itu mengandung mineral berharga tinggi. Aku segera melakukan pemindaian. Akhirnya aku bisa menemukan pesawat yang mencurigakan tadi.
Pesawatku diarahkan untuk mendekati pesawat yang terpindai. Sebuah pesawat kargo yang dikawal oleh dua pesawat berukuran lebih kecil tengah berhenti di dekat area batuan. Mencurigakan, memang. Jangan-jangan mereka mau mengambil sumber daya yang ada di Dameon juga.
"Itu ...." Rupa pesawat yang mengawal pesawat kargo itu taka sing untukku. Aku terhubung dengan pesawat kargo yang mencurigakan. "Pesawat kargo di depan, beri tahu identitas kalian."
Pesawat kargo itu tidak merespons. Aku tidak ingin buang waktu. Aku langsung mengunci target, lalu menekan tombol tembak yang ada di tuas kendali sebelah kanan sebagai tembakan pembuka. Tembakanku mengenai salah satu pesawat, membuatnya meledak seketika.
Dua pesawat yang masih ada pun menjauhi tempat mereka berhenti. Aku harus mengejarnya. Aku menginjak sebuah pedal kaki di paling kanan, membuat pesawatku menaikkan kecepatan. Beberapa kali juga aku mengirim tembakan ke arah pesawat tempur yang mengawal pesawat kargo itu.
Satu tembakanku mengenai sayap targetku. Aku bisa melihat gemercik api, setelahnya pesawat tersebut semakin lama semakin pelan. Langsung saja aku mengirim tembakan penutup. Dua pesawat tempur sudah disingkirkan.
Pengejaranku masih berlanjut. Pesawat kargo itu masih tidak ingin kalah. Aku melancarkan tembakan dengan cepat, bersamaan dengan ibu jari kananku yang terus menerus menekan tombol tembak. Aku juga harus mengendalikan tuas kendali ke kanan-kiri supaya bisa mengejar kargo penyusup itu.
Pesawat kargo itu berhasil menjaga jaraknya dengan pesawatku. Tidak hanya itu, tembakan yang kukirim berhasil mereka hindari. Aku menekan sebuah tombol di dasbor, letaknya di dekat layar yang menampilkan sasaran. Aku berusaha mengunci sasaran, tetapi pesawat kargo itu cukup lincah untuk ukuran pesawat yang cukup besar.
Target terkunci. Aku segera menekan tombol tembak sesaat setelahnya. Aku menggunakan senjata meriam ion. Tepat sasaran, tembakanku mengenai tubuh pesawat itu. Tidak membuatnya hancur, tetapi menjadi berhenti seketika.
Pesawatku terbang dengan kecepatan lebih lambat menuju pesawat kargo itu. Aku menghubungkan ulang dengan si penyusup. "Kau lebih baik jangan melawan ketika masuk teritori kami."
"Mesinnya mati, sistem avioniknya juga mati," ucap salah seorang penumpang pesawat itu, tepatnya pilot kurasa. Suaranya tak terdengar seperti orang, melainkan sebuah otomaton (istilah yang sering digunakan untuk menggambarkan sebuah robot atau android).
Orang-orang di pesawat mencurigakan itu tak menghiraukan ucapanku. Namun, aku bisa mendengar suara mereka yang saling berucap satu sama lain.
"Kita dibajak! Siapkan senjata kalian."
"Kita tidak akan melawan, kecuali kau ingin mati di tangan perompak."
"Otomaton sialan!"
Aku mendengar percakapan beberapa orang. Pesawatku semakin dekat dengan kargo penyusup itu. "Kalian ditangkap karena telah memasuki wilayah kami."
Aku mengarahkan pesawatku agar terbang ke atas atap pesawat kargo penyusup. Kedua pesawat kami pun tertaut, terhubung melalui sebuah tabung yang menjadi jalan menuju sebuah pintu di bagian atap. Sederhananya, atap pesawat kargo dan bagian bawah pesawatku seolah terhubung dengan terowongan vertikal. Aku segera menuruni tangga vertikal yang ada di pintu keluar pesawatku, tempatnya di belakang kursi pilot.
Aku menginjakkan kaki di pesawat kargo penyusup, tepatnya di area yang memuat barang. Kargonya masih kosong, mungkin tadinya hendak di isi. Aku segera menyiapkan pistolku, bentuknya seperti cincin besar sehingga aku menamainya "cincin laser".
Aku berjalan menuju kokpit. Pintunya tertutup, tetapi langsung terbuka ketika aku mulai mendekat. Aku pun masuk ke dalam kokpit dan mendapati tiga orang yang mengangkat tangan saat kutodongkan pistolku. Satu orang berkulit gelap dengan pakaian rapi berwarna abu-abu tua, dua lagi duduk di kursi pilot dan kopilot wujudnya memanglah otomaton.
"Jadi, kau adalah perompak?" tanya orang itu dengan tangan yang diangkat.
"Mau apa kau di wilayah kami?" tanyaku tanpa menghiraukan pertanyaannya yang tadi.
Orang berpakaian rapi menghampiriku. "Lebih baik kita selesaikan ini dengan baik-baik. Namaku Kerel Cox, komandan militer Serikat Sistem Independen. Aku mendengar kabar bahwa kapal milik Republik sudah diusir dari Sistem Dameon. Jadi—"
"Aku tidak peduli," sambarku. Pistolku semakin dekat dengan kepalanya sebab aku ingin orang dari Serikat bodoh itu tutup mulut. "Sekarang, kau ikut denganku."
Benar saja, orang itu berhenti bicara dan memberiku jalan menuju kursi pilot. Langsung saja kutembaki dua otomaton pilot itu secara bergiliran. Bisa-bisanya mereka memercayakan makhluk buatan sebagai pengemudi pesawat.
Aku pun membawa orang yang kutemukan beserta pesawat-nya yang masih tertaut dengan pesawatku menuju Viatrix.