Chereads / Viatrix Space Pirates / Chapter 9 - Ancaman Tak Diketahui

Chapter 9 - Ancaman Tak Diketahui

"Jam berapa di sana sekarang? Di sini langit sudah gelap."

Kapten bertanya padaku melalui sambungan komunikasi. Proyeksi wajahnya terlihat jelas melalui layar lebar di anjungan.

Sudah beberapa hari sejak Kapten pergi ke permukaan awan Gundarna. Sementara waktu ini, aku yang memimpin Viatrix selaku wakil kapten. Situasi sekitar tampak aman-aman saja. Namun, bukan berarti aku bisa duduk bersantai.

Aku sendiri tengah berdiam di anjungan. Sekarang sudah masuk waktu untuk para kru untuk beristirahat, kecuali mereka yang menapat sif jaga malam.

Aku menjawab, "Jam 8, Milla."

Tak biasanya aku memanggil namanya. Sejak pertama kali aku menginjakkan kaki di sini, aku sudah memandangnya sebagai pemimpin Viatrix. Tak kuduga bisa jadi orang terdekatnya di sini. Untuk kru yang seusia dengannya atau bahkan sudah sepuh, tak ada satu pun yang berani memanggil namanya.

"Tidak tidur?" tanya Kapten kepadaku.

"Aku tidak bisa tidur nyenyak kalau dapat tugas seperti ini." Sebenarnya aku memilih untuk tidak tidur dan memberi jatah istirahat kepada kru komando yang lain. "Kau sendiri tidak tidur? Katanya langit sudah gelap."

Kapten tertawa kecil. "Sebenarnya sekarang sudah dini hari," jawabnya. "Sayang sekali aku tidak bisa melihat bulan. Awannya sangat tebal."

"Bagaimana dengan Anak-Anak? Kerja mereka bagus?" sambung Kapten bertanya padaku.

Aku menyandarkan tubuhku di kursi. Dua tanganku ditaruh di belakang kepala.

"Ya, sejauh ini mereka mau mendengar ucapanku."

Telingaku mendengar suara berulang kali. Ternyata muncul dari perangkat komunikasi yang terpasang di cuping telingaku. Seseorang berusaha menghubungiku.

"Kapten. Aku ada urusan sebentar. Kau sebaiknya istirahat sekarang."

"Baiklah. Tolong jaga Viatrix lagi, ya!"

Layar holografik tetiba padam. Aku mengakhiri laporanku hari ini, yang malah menjadi sesi mengobrol sebelum tidur. Aku segera merespons orang yang hendak menghubungiku.

"Yu'zar, bisa ke ruang makan sebentar?"

Ternyata itu adalah Qamary, perempuan yang bekerja di anjungan sebagai navigator. Dia mengajakku untuk pergi ke ruang makan. Aku tebak para kru komando juga ada di sana.

Aku menjawab, "Baiklah."

Aku segera berjalan menuju ruang makan. Lorong kapal tak sesibuk di waktu siang, sebab hanya sebagian awak kapal yang berjaga di waktu malam. Cahaya di lorong juga remang-remang, menyesuaikan supaya para kru merasakan kantuk.

Beberapa otomaton—hasil pemrograman ulang setelah pasukan milik Serikat tiba—berpapasan di jalan menuju ruang makan. Mereka tak menyapa, tak menyambut. Selain tampak tak punya kelemahan, mereka juga tampak tak punya perasaan termasuk rasa segan dan ramah.

Aku pun tiba di ruang makan. Benar saja, para awak komando ada di sana. Mereka menyajikan satu wajan besar penuh dengan nasi beserta daging cincang dan potongan sayuran.

"Selamat!" teriak seluruh awak komando.

Aku terdiam sejenak. Ini bukan hari lahirku, bukan juga hari lain yang biasanya dirayakan. Seluruh awak komando malah ikut terdiam.

"Untuk pekan pertamamu menjadi pemimpin sementara!" timpal Saviela.

Aku ikut duduk di dekat mereka. "Ayolah, ini tak perlu dirayakan. Lagi pula aku bukan menggantikan Kapten, hanya membantu kerjaannya."

"Kapten-lah yang meminta kami menyiapkan perayaan," ucap Euize.

Benar saja, mereka sudah saling bekerja sama untuk menyiapkan hal ini. Mau buat apa lagi? Sambutan hangat dari orang-orang yang sudah bersedia bekerja untukku harus aku nikmati. Apa lagi Kapten yang jadi dalang rencananya.

Qamary mendekatiku dan menyuruhku kembali berdiri. "Ayo, kami ingin dengar sambutanmu, Tuan Wakapten."

"Pidato! Pidato! Pidato!" Awak kapal yang lain ikut menyahut seolah sudah merencanakan semuanya. Aku akhirnya berdiri meskipun tidak begitu yakin dengan apa yang aku ucapkan kepada Anak-Anak.

"Tak lama lagi, aktivitas pengolahan gas di Gundarna akan usai. Beruntung kita punya data lingkungan, jadi tidak perlu bertahun-tahun melakukan observasi. Satu hal yang perlu kita lakukan adalah kerja lebih keras lagi. Untuk kita, untuk Viatrix."

Anak-Anak bersorak sembari mengangkat gelas besar berisi soda—mereka tahu aku tidak minum alkohol. Ternyata hal seperti ini menyenangkan juga.

"Aku dan Kapten akan mengurus rencana selanjutnya. Qamary, pastikan rute selanjutnya lancar. Euize, bilang ke bawahanmu untuk mengecek sistem listrik. Saviela, kalau aku memintamu untuk membajak data pemerintah lagi, lakukan saja. Untuk Pedra, tidak perlu sok baik di depan para gadis. Aku tahu kau biasanya minum alkohol."

"Jangan sembarangan. Siapa yang dikenal dengan julukan 'bocah polos' di sini?" ujar Pedra.

Semuanya tertawa, entah menertawakan aku atau Pedra.

"Baiklah, untuk menikmati momen ini. Mari kita bersulang untuk kita, untuk Kapten, dan untuk Viatrix. Bersulang!" tutupku sembari mengangkat gelas saji.

"Bersulang!"

Layar menunjukkan waktu semu saat ini. Pukul lima. Aku sedang berada di anjungan untuk berdiam diri. Biasanya Kapten menyuruhku untuk tidur di ruang istirahat. Juga biasanya aku tak pernah sepagi ini memulai pekerjaan.

-----

Aku duduk sembari memonitori sutuasi sekitar. Pengawasan terhadap area sekitar masih dilakukan. Aku sudah mengirim otomaton prob yang diprogram ulang, juga pemindaian dengan perangkat milik Vidi. Kami tentunya tidak mau pihak Serikat mengendus aktivitas kami di daerah mereka setelah organisasi antarsistem bintang itu mengantar Viatrix ke sini.

Gundarna, pemilik cadangan gas jangka panjang. Bahkan jika dimanfaatkan selama ratusan tahun, ukuran permukaannya belum akan menciut. Republik ingin memanfaatkannya sebagai sumber energi di perbatasan. Sementara Serikat ingin menjadikan planet tak diketahui ini sebagai eksportir gas ke berbagai planet di bawah naungan mereka. Tetapi yang menang tetap saja kami, perompak Viatrix.

"Senior, aku sudah dapat jadwal keberangkatan kapal mereka," ucap Saviela. Dia ikut menemaniku di sini padahal aku sudah menganjurkannya untuk istirahat.

"Baiklah. Tunjukkan kepadaku," balasku.

Sejak kabar bahwa kapal kilang dan pengangkut gas alam cair telah tiba di lokasi, mereka telah memanggil beberapa kapal tambahan. Dua kapal yang sudah tiba di awal sudah pergi, digantikan dengan dua kapal lain yang akan berangkat. Tampaknya proses pengolahan mereka tak menemui kendala, sehingga berjalan lancar dan memakan waktu tak lama.

Aku perlu mengawasi pemindaian yang dilakukan prob, juga memperhatikan jadwal keberangkatan kapal dari permukaan Gundarna. Aku terlalu fokus dengan tampilan yang diberikan layar holografik. Sampai-sampai tak menyadari Saviela berjalan mendekati kursi Kapten.

"Mau aku ambilkan kopi, Senior Yu?" tawar perempuan berambut biru gelap itu.

"Boleh, untuk kali ini saja. Aku sedikit ngantuk," jawabku.

Perempuan itu langsung pergi meninggalkanku. Aku kini sendirian di anjungan.

Bekerja cukup lama meski hanya memantau sekitar membuatku mengantuk. Terutama ketika tidak ada teman. Mungkin itu sebabnya Kapten membagi jatah jaga dua orang setiap hari.

Aku hilang fokus sesaat karena tidak sengaja menutup mata. Seketika aku cepat-cepat membuka mata supaya rasa kantuknya hilang. Kantukku hilang seketika setelah aku melihat hal mengejutkan ditampilkan di layar.

Otomaton prob yang aku kirim hilang kontak.

"Sebentar. Benda itu di mana?" Dengan panik, aku berulang kali menyegarkan tampilan layar.

Tak ada gunanya, situasi darurat sudah datang. Aku harus memanggil para kru komando.

"Semuanya, bangun! Aku perlu kalian."

Aku menyentuh layar untuk terhubung dengan pengeras suara di masing-masing ruang istirahat awak komando.

"Cepat!" teriakku.

Awak komando pasti sedang di perjalanan. Aku tak bisa terus menunggu dan mengandalkan mereka.

"Vidi, pindai lokasi terakhir otomaton pengintai."

"Dimengerti. Memindai."

Vidi, asisten Kapal Viatrix mulai memindai. Pintu terbuka dan para awak komando sudah tiba di anjungan. Akhirnya aku mendapat sedikit angin segar.

"Ada masalah apa, Wakapten?" tanya Euize seketika setelah dia tiba.

Aku mencoba menjelaskan situasinya pada mereka. "Prob pengintai hilang kontak. Lebih baik kita cari sekarang. Cepat!"

Para awak komando bergegas menempati kursi mereka masing-masing. Sementara itu, Saviela datang dan memberikan segelas kopi hangat sembari memegang telapak tanganku.

"Jangan panik, ya," ucap Saviela sembari tersenyum. Aku membalasnya dengan anggukan.

Aku beralih ke layar hologram lebar di meja kendali. "Siapkan kapal untuk pergi ke lokasi terakhir kali otomaton pengintai terdeteksi. Euize, pastikan daya aman. Pedra, siapkan sistem pertahanan tapi jangan menembak. Kita belum tahu lawan kita siapa."

"Pemindaian selesai. Lokasi terakhir objek ditemukan."

Vidi telah usai memindai. Kami harus memantau apa yang terjadi secara langsung. Kalau benda itu diambil oleh musuh untuk menemukan Viatrix, bisa jadi bahaya.

"Arahkan kapal menuju titik yang ditentukan!" titahku.

Viatrix terbang menuju lokasi terakhir prob pengintai terdeteksi. Letaknya membuat kapal ini harus terbang menjauhi Gundarna. Waktunya agak lama jika menggunakan kecepatan standar, tetapi jaraknya terlalu dekat jika menggunakan kecepatan cahaya.

"Naikkan kecepatan, maksimum standar."

Setelah sekitar tujuh menit, Viatrix semakin dekat dengan titik lokasi. Otomaton pengintai itu tak terdeteksi oleh pantauan optik. Yang terlihat justru sebuah kapal dengan warna eksterior abu gelap.

Aku meneliti layar dengan serius. "Vidi, pindai kapal di depan."

"Dimengerti."

Layar menunjukkan penampakan kapal itu setelah Vidi selesai memindai. Kapal itu bukanlah milik Republik ataupun Serikat, melainkan milik perongsok yang senang mengumpulkan sampah ruang angkasa. Ukurannya bahkan lebih kecil ketimbang kelas korvet, yang mana merupakan kelas kapal tempur paling kecil.

Perongsok itu mengambil prob pengintai mesti karena mereka tahu benda itu berharga. Biasanya mereka lebih mengganggu. Bahkan para perongsok itu tidak ragu untuk mempreteli sebuah bagian kapal yang masih aktif untuk dijual lagi dengan harga lebih tinggi.

"Dekati kapal itu! Qamary, perkirakan kapal itu akan menuju ke mana. Saviela, sambungkan aku dengan kapal itu."

"Baiklah. Mencari rute yang paling memungkinkan," balas Qamary.

Viatrix semakin dekat dengan kapal itu. Aku masih berusaha untuk mengirim pesan kepada kapten kapalnya.

"Ini kapal perompak antariksa Viatrix. Kalian telah mengambil barang milik kami. Kembalikan dengan baik-baik jika kalian masih ingin hidup tenang."

Aku menunggu beberapa saat. Pesanku barusan tak kunjung mendapat balasan dari para perongsok itu. Sementara itu, Saviela berhasil menyadap mereka.

"Ada yang mengejar di belakang, kapal yang lebih besar."

"Jangan khawatir, kita akan melompat sebentar lagi."

"Bos, mereka mengirim pesan. Katanya, beda itu milik mereka."

"Cepat siapkan rute menuju—"

Aku mendengar jelas percakapan beberapa orang yang terdengar seperti awak kapal perongsok.

Qamary melaporkan temuannya. "Wakapten, aku menemukan rute yang memungkinkan. Mereka akan pergi menuju planet bernama Sardif. Kemungkinan sebentar lagi mereka akan melompat."

Sardif bukan nama yang familiar. Tetapi yang penting adalah menghentikan kapal itu sebelum membawa kabur barang curian mereka.

Mereka berbincang lagi.

"Bos, kapal sudah siap lompat."

"Bagus. Mulai hitung mundurnya."

Kapal itu hendak melompat dengan kecepatan cahaya sesaat lagi. Bagian "knalpot" kapal mereka semakin menyala biru terang. Aku harus menghentikannya.

"Aktifkan sinar penarik. Arahkan kepada kapal itu!"

Sinar penarik aktif, menarik kapal yang hampir menyelesaikan prosedur lompatan kecepatan cahaya. Kapal itu masih melaju, melawan gaya tarik perangkat pamungkas milik Viatrix. Lihat saja siapa yang akan menang di permainan ini.

"Tarik kapal itu ke sini."

Kapal para perongsok tak mau berhenti melawan meski sinar penarik berhasil membuat mereka mendekati Viatrix. Agaknya mereka sama sekali tak gentar. Mereka menaikkan kecepatan sehingga Viatrix dan kapal jelek mereka seperti sedang saling menarik.

Terdengar lagi perbincangan dari kapal perongsok, atau tepatnya pencuri.

"Bos, mereka mau melawan kita!"

"Terus naikkan kecepatan!"

"Kecepatan sudah pada batas. Bisa-bisa kapal kita meledak kalau begitu."

"Tidak—"

Mesin kapal musuh mendadak berhenti. Alhasil sinar penarik dapat dengan mudahnya menarik kapal itu supaya mendekati Viatrix.

"Matikan sinar penarik. Arahkan Viatrix menuju kapal itu."

Viatrix terbang di samping kapal perongsok yang berukuran lebih kecil. Aku bersiap untuk pergi ke kapal itu untuk menyelesaikan urusan terakhirku sebagai pemimpin sementara.

"Kerja bagus. Sekarang aku punya kepentingan dengan para perongsok itu. Sambungkan jembatan penghubung. Panggil si otomaton penjaga."

"Yera-yera!" balas seluruh awak komando.

Aku segera berlari menuju jembatan yang menghubungkan Viatrix dengan kapal milik pencuri itu. Letaknya berada di samping kapal, biasanya digunakan untuk menghubungkan kapal pedagang dengan Viatrix.

"Jembatan sudah terhubung. Masuklah lewat pintu dua," ucap Saviela melalui sambungan komunikasi.

Beberapa otomaton yang diprogram ulang ikut denganku. Tak percaya aku akan bekerja sama dengan mereka. Memang harus kuakui, para robot itu adalah sekutu yang baik meski aku tidak begitu suka dengan mereka.

Pintu terbuka, aku memasuki jembatan pendek yang menghubungkan antarkapal. Pintu kapal perongsok terbuka seketika.

"Waspada!" seruku. Aku mengarahkan cincin laser-ku ke ruangan yang berada di balik pintu.

Para otomaton ikut menodongkan senjatanya, bersiaga jika ada sambutan tidak ramah. Namun, yang aku temukan bukanlah komplotan perongsok itu. Tak ada satu pun orang yang berada di kapal.

"Berpencar. Cari prob pengintai dan para pencuri itu. Hati-hati dengan perangkap di sekitar!" perintahku kepada para otomaton.

"Dimengerti. Dimengerti."

Sementara para otomaton berpencar, aku hendak menghubungi Kapten Milla dan melaporkan situasi yang terjadi.

Aku tersambung dengannya. "Kapten, prob pengintai dicuri, tetapi aku sudah menangkap kapal pencurinya. Kapalnya kosong."

"Ada yang mengacau?" tanya Kapten.

"Benar. Mereka adalah kelompok perongsok."

"Lebih baik tidak perlu cari orangnya selama mereka bukan dari Serikat. Ambil kembali saja probnya, itu yang kita perlukan."

Aku mendengar perintah Kapten dari perangkat komunikasi. "Baiklah, dimengerti," balasku.

"Tuan Wakapten, ke sini."

Satu personel otomaton yang ada di kokpit kapal memanggilku. Ketika aku tiba, ia menunjukkan tampilan sepetak layar.

"Mereka kabur," ucapnya dengan suara khas robot.

Layar menunjukkan, orang-orang itu menggunakan pesawat darurat untuk melarikan diri.

"Baiklah. Cari saja prob-nya, atau ambil juga benda yang berharga dari sini."

"Dimengerti."