Chereads / Viatrix Space Pirates / Chapter 5 - Tujuan Selanjutnya

Chapter 5 - Tujuan Selanjutnya

Situasi di area sabuk asteroid Sistem Dameon tengah sibuk. Kapal milik sebuah perusahaan pengolahan mineral swasta terbang di dekat Viatrix. Aku bisa melihat tubuhnya yang berwarna abu muda dengan jelas dari jendela pantau raksasa di anjungan.

Kapten tengah bersamaku, duduk di kursi kehormatannya menyaksikan drone penambang yang jumlahnya tak terhitung jari mengebor satu demi satu batuan asteroid. Mineral bukanlah barang yang langka secara harfiah. Pengolahan, pengiriman, dan lainnyalah yang rumit. Maka itu, kami lebih memilih menjualnya dalam bentuk barang mentah.

"Kapten, ada pesan." Saviela, seorang perempuan berambut biru tua berucap, memecah suasana.

"Sambungkan," titah Kapten.

Sepetak layar muncul, menampilkan proyeksi seorang lelaki berusia 40 tahunan, kapten kapal pengangkut milik perusahaan yang menjadi klien kami. "Terima kasih, Kapten Mazcira. Berkat Anda, semuanya berjalan lancar," ucapnya.

Kapten tersanjung. "Senang bisa bekerja sama dengan Anda." Layar yang menampilkan wajah pria tersebut beralih menampilkan peta Sistem Dameon.

Aku jadi terpikir, bagaimana ekspresi orang-orang dari pihak berwajib yang mendapati ratusan bongkah batu antariksa sudah berlubang. Wajah terkejut tak percaya mereka pasti jadi sesuatu yang menyenangkan untuk ditonton.

Kapten memberi perintah lagi. "Sambungkan aku dengan An dan Kaal."

Wajah Anra dan Kaal ditampilkan dengan jelas. Kapten hendak meminta laporan mereka yang tengah mengawal puluhan drone penambang yang beroperasi.

"Kapten, Senior, semuanya terkendali di sini," ucap Anra. Dia kerap memanggilku senior padahal usianya lebih tua dibanding aku.

"Anra benar. Sepertinya sebentar lagi mereka selesai mengangkut mineral-mineral itu," timpal Kaal si pilot yang lebih senior.

Kapten menutup panggilan, "Bagus, kalian tetaplah di sana." Pandangannya kini beralih kepadaku yang tengah berdiri di sebelah kiri kursinya. "Tak lama lagi kita bisa pergi ke Gundarna," ucapnya.

Aku mengangguk. "Benar, untung saja semuanya berjalan lancar.

"Aku ingin bicara dengan tikus tangkapanmu yang itu," ucap Kapten. "Kita pastikan dia buka mulut soal wilayah kekuasaannya."

"Biar aku yang memanggilnya kemari," tawarku. Kapten menerima, sehingga aku langsung beranjak dari posisiku berdiri.

Aku segera berjalan menuju tempat sandera kami menghabiskan waktunya sebagai sandera. Beberapa waktu lalu, pasukannya berusaha menyelamatkannya. Beruntung pasukan keamanan kami cepat tanggap sehingga bisa menghadang pasukan otomaton itu.

Menggunakan otomaton sebagai alat tempur memanglah terdengar hebat dan terkesan sangat "masa depan". Namun sebenarnya, yang spesial hanyalah tubuhnya yang kuat serta kepribadian mereka yang langsung menelan perintah mentah-mentah. Mereka akan langsung membunuh tanpa ampun jika diperintah untuk membunuh.

Mereka cerdas, tetapi kecerdasan buatan merekalah yang mengendalikan diri mereka. Mereka hanyalah boneka.

Di tengah perjalanan, di gudang yang pintunya tengah terbuka. Aku melihat tiga-empat orang tengah sibuk mengatur ulang boneka-boneka baja itu. Aku sedikit mengintip, menilik apa yang orang-orang sedang lakukan.

Seseorang melepaskan kacamata lasnya. "Itu Wakapten!"

"Oh, kerja bagus, kalian semua!" ujarku. Anak buah kapal sering memanggil "wakapten", akronim dari "wakil kapten".

Yang lain ikut menghentikan pekerjaan mereka. Aku bisa melihat wajah mereka yang tak menampilkan perasaan lelah padahal banyak otomaton yang mereka reparasi sekaligus diprogram ulang.

"Kerja bagus juga, Tuan Wakapten!"

"Lanjutkan pekerjaan kalian! Malam nanti akan ada menu spesial," ucapku sembari berjalan lagi menuju sel tawanan.

Aku akhirnya tiba di sel. Tampak Komandan Cox yang tengah berdiam diri sebab tak ada hal lain yang dapat dia lakukan. Aku berdiri membelakangi dinding logam lalu menendangnya beberapa kali dengan telapak kaki hingga terdengar sedikit suara benturan.

"Hei, mau terus diam?" tanyaku. "Kalau mau jadi orang yang berguna sedikit, Kapten ingin membicarakan sesuatu denganmu."

"Kemarin pemimpinmu bicara denganku, meminta kerja sama. Sebenarnya aku sendiri hendak menolong, tapi sayang sekali dia bicara setelah aku memanggil pasukan," balasnya.

Aku sama sekali tak ingin melihat wajahnya. Maka itu aku memunggungi dinding dan membelakanginya. "Memangnya orang sepertimu bisa menolong apa?"

"Aku dengar kalian mau pergi ke Gundarna. Aku bisa jamin kapal kalian sampai sana dengan aman."

"Menjamin, hah?" balasku. Aku sedikit menoleh, sehingga tubuhnya dapat sekilas kulihat dengan ujung mataku. "Menjamin keamanan dan kesejahteraan planet kolonimu saja kau tidak bisa."

"Apa maksudmu?!" Suara Cox terdengar keras, serta tubuhnya yang semula terduduk mulai berdiri.

"Kami sudah menyingkirkan kapal patroli milik Republik dari perbatasan. Lalu kalian datang ke wilayah kami. Kami meminta bantuan sebagai timbal balik supaya kami memperlakukan kalian dengan baik. Bayangkan saja jika yang kalian temukan adalah pesawat Republik, mungkin kau sudah jadi debu antariksa."

Pria itu terdiam sejenak. "Brengsek," ucapnya dengan suara pelan.

"Aku ingin pastikan kami mendapat pertukaran yang setimpal," ucapku.

"Kalian perompak tahu apa soal pertukaran? Kalian yang membuat harga mineral mentah naik di pasaran."

Kembali aku menoleh dan masih tak ingin melihat dirinya dengan jelas. "Jangan berkomentar soal urusan kami, saat urusanmu saja tak bisa kauatasi."

Kerel Cox, seorang perwira tinggi dari Serikat Sistem Independen. Meski dia menginjakkan kaki di Viatrix sebagai seorang tawanan, dia berani seorang diri mendatangi kapal ini. Juga kehadirannya setelah kapal patroli milik Republik berhasil diusir bukanlah suatu kebetulan. Aku rasa, aku tidak sembarang tangkap.

Aku membuka sistem keamanan sel, lalu masuk ke dalamnya sembari menyuruh pria itu berdiri. "Ikut aku. Orang sepertimu masih punya kesempatan untuk diperlakukan baik."

Dia berdiri dengan tangan terikat borgol ke belakang. "Sialan, kau!"

Aku menendangnya pelan, menuntun untuk berjalan. "Sudah, ikuti saja aku."

Aku kembali ke anjungan, ditemani tawananku. Meski aku menganggap Cox sebagai tikus tangkapan, bukan berarti dia tak bisa kami manfaatkan. Kami berdua menghadap Kapten yang tengah berdiri di depan layar utama, menyaksikan proyeksi rute menuju Gundarna.

Kapten berbalik. "Ini dia tamu kita," sambutnya.

"Tamu? Dengan borgol dan sel pengap sebagai tempat tidur?"

Kapten mendekatkan dirinya, memberi tatapan mengintimidasi. "Itu lebih baik, ketimbang aku memutuskan untuk membuangmu ke Dameon 2 dan membuatmu mati kedinginan."

Jika kami memperlakukan orang ini lebih buruk, berarti membuat masalah dengan faksinya. Bisa-bisa seluruh anak buah Viatrix menjadi nama dalam daftar pencarian orang. Atau Serikat akan melawan jaringan perompak Edeatu secara besar-besaran.

"Yu'zar, tolong lepaskan dulu borgolnya. Kita bicara baik-baik saja," titah Kapten.

Aku segera melepaskan borgol. Cox tidak melawan pada saat kedua tangannya lepas dari belenggu. Apa benar orang ini punya maksud dan tujuan lain? Lalu mengapa dia mengirim pasukan kemarin?

Kapten mempersilakan Cox berdiri di sampingnya. Pria itu ikut menatap peta rute menuju raksasa gas Gundarna.

"Aku rasa, aku sudah bicara denganmu soal Gundarna. Bersedia membantu?" tanya Kapten.

Cox menoleh. "Apa yang kaubutuhkan, Perompak?"

"Kau tidak perlu menyebutku seperti itu. Kesannya aku seperti penjahat."

"Kau memang penjahat! Kalian penjahat! Setelah yang kalian lakukan kepadaku, kalian seharusnya ditangkap," ucap Cox dengan nada membentak.

Aku segera menendang bokongnya, berusaha membuatnya tutup mulut. "Kita di sini untuk bicara baik-baik."

"Kau bilang, apa yang kami butuhkan? Kami ingin menjelajah Daerah Belum Terjelajah. Jadi aku ingin kalian memastikan kalian tidak menembak kapalku. Aku rasa itu setimpal setelah kami mengusir kapal Republik dari perbatasan."

Kapten menginginkan supaya Viatrix bisa berlayar dengan aman di Daerah Belum Terjelajah. Tak teridentifikasi sebagai musuh ataupun orang jahat. Tak dapat ancaman jika memasuki wilayah suatu planet. Cox sang komandan militer Serikat menyanggupi.

"Baiklah, aku akan membuat perintah segera setelah kalian lepaskan aku."

Aku segera menatap Kapten yang ikut menoleh kepadaku. Dia memberi senyum, senyuman yang ... licik.

"Saviela, tolong panggil pengawal, lalu sambungkan aku dengan Kaal. Aku punya tugas untuknya."

Mendengar permintaan Kapten, Saviela yang sedari tadi terduduk di depan layar pun menoleh. "Baik, segera."

Wajah Kaal si pria berantena kembali muncul di layar seketika setelah tersambung. "Semua terkendali, Kapten!"

"Kembalilah, Kaal. Aku ada tugas untukmu." Kapten menoleh ke arah Cox.

Dua orang pengawal datang ke anjungan. Memasang kembali borgol ke kedua pergelangan tangan Cox. Orang itu sempat panik ketika dua pegawal menarik paksa dirinya keluar anjungan.

"Hei! Apa yang akan kalian perbuat?" tanyanya dengan suara keras. Namun, orang itu tidak melawan sama sekali ketika pengawal mengantarnya keluar anjungan.

Kapten dan aku hanya memperhatikannya ketika orang itu tak terlihat lagi. "Kita pastikan si bodoh itu tidur nyenyak malam ini."

Aku sekali lagi menoleh, memperhatikan jendela raksasa yang menampilkan barisan asteroid beserta drone yang hilir-mudik.

Sebagai perompak dalam jaringan Edeatu, orang-orang di Viatrix punya ambisi yang sama dengan perompak lain. Kami ingin menjelajah yang tak terjelajah, melihat pemandangan yang belum pernah terlihat, juga menginjakkan kaki di tanah yang jauh di sana. Perjalanan kami menuju Daerah Belum Terjelajah akan segera dimulai.

Kapten sendiri tak berucap sama sekali dan terpaku bersamaan dengan perasaan bangga di dalam hatinya. Dia memimpin semua orang hingga saat ini, hingga mencapai perbatasan wilayah terpetakan.

Semuanya akan bermula esok hari.

-----

Jam di layar utama menunjukkan pukul delapan. Sejak semalam, aku dan awak komando lainnya tak meninggalkan anjungan, tak memejamkan mata semenit pun. Tepatnya kami sulit tidur sebab akan melakukan langkah besar dalam perjalanan kami.

Pemandangan yang jendela raksasa tampilkan adalah ratusan drone milik perusahaan swasta yang kembali ke kapal pengangkut layaknya koloni lebah yang pulang ke sarang mereka.

Sebenarnya membeli mineral mentah kepada perompak bukanlah hal yang diperbolehkan. Kami tidak mengantongi izin eksploitasi. Namun, itulah cara mereka bersaing dengan badan usaha pertambangan milik negara. Ditambah lagi, rumitnya harus mengurus dokumen sana-sini, sehingga mereka memilih kami.

Alarm dinyalakan, bergaung hingga lorong kapal paling belakang. Kapten hendak berbicara kepada setiap individu yang berada di Viatrix. Aku segera berdiri di sampingnya sebagai pendampingnya.

"Dengar, semua! Tak ada yang berleha-leha lagi untuk sekarang. Aku ingin bicara satu-dua hal untuk kalian semua terlebih dahulu."

Semua kru komando berbaris di platform yang lebih rendah, menghadap kami berdua. Sementara awak di tempat lain dapat mendengar suara Kapten melalui pengeras suara yang terpasang di berbagai sudut. Mereka pasti menghentikan pekerjaan mereka seketika setelah suara Kapten terdengar, seperti biasanya.

"Kita baru memulai perjalanan kita sebagai Edeatu. Kita semua tahu, orang-orang sebelum kita sudah pergi ke ratusan tempat tak terpetakan. Dan kita di sini, berdiri untuk meneruskan jejak mereka."

Seluruh awak bersorak menyambut pembukaan pidato Kapten. Sudah seperti biasanya, hampir setiap ruang di Viatrix riuh ketika mendengar suara Kapten. Tak terkecuali anjungan yang diiringi dengan tepukan tangan.

"Kita semua tahu, tidak semua orang akan mendukung kita. Kita bisa dianggap penjahat. Tetapi, kita di sini berdiri bersama untuk pencarian tak berujung dalam hidup masing-masing. Kalian semua setuju?"

Lagi-lagi mereka bersorak, seolah pita suara mereka tidak lelah untuk menyuarakan gairah mereka.

"Gundarna adalah langkah awal kita. Kita akan tunjukkan eksistensi kita, meskipun orang-orang terus memandang kita sebelah mata!"

"Yera-Yera!"

Sorak-sorai seluruh awak komando berakhir. mereka kembali ke tempat masing-masing. Kapten menatapku, memberikan kepalan tangan kirinya untuk melakukan tradisi ketika hendak menjalankan suatu perjalanan.

"Kita mulai?"

Aku mengangguk sembari mengadukan kepalan tanganku. "Ya. Ke tujuan selanjutnya."

"Memulai prosedur lompatan. Qamary, atur rute, sesuaikan dengan jalur. Euize, pastikan tidak ada masalah daya ketika lompatan."

Vidi, asisten komputer Viatrix menampilkan proyeksi peta Galaksi melalui layar setelah Kapten selesai memberikan perintah. Qamary mengatur propulsi agar Viatrix sesuai dengan rute perjalanan. Sementara itu, Euize mengatur pengaturan daya, menjaga agar baik-baik saja ketika lompatan.

Aku sendiri berdiri di sebelah kiri Kapten, melihat satu per satu awak komando untuk mengawasi semua prosedur supaya berjalan baik. Wajah perempuan muda itu menunjukkan ekspresi serius, tetapi santai. Dia memastikan semua perintahnya diselesaikan.

"Viatrix sudah siap untuk memasuki ruang cahaya." Ucapan Vidi yang barusan menandai bahwa Viatrix siap melompat.

"Mulai hitung mundur," titah Kapten.

Layar menunjukkan hitung mundur sepuluh detik. Aku menarik napas panjang, mempersiapkan diriku untuk melihat pemandangan ruang cahaya. Sekali lagi aku menoleh ke arah Kapten. Dia tampak bersedia menghadapi momen yang menentukan masa depannya sebagai Kapten Viatix.

Hitung mundur selesai. Kapten menunjuk ke depan sembari berseru dengan suara lantang penuh semangat. "AYO!"

Pemandangan ruang cahaya yang biasa kulihat ketika melakukan perjalanan lebih cepat dari kecepatan cahaya terasa berbeda kali ini. Perasaan semangat yang bergelora membuat suasananya lebih menegangkan. Campur aduk, rasa gugup beserta lainnya juga menyelimuti diriku.

Hitung mundur lompatan berubah menjadi hitung mundur keluar dari ruang cahaya. Layar pun menampilkan peta yang kudapatkan dari Serikat. Semoga tikus tangkapanku tak tahu kami menggunakan peta milik mereka dalam perjalanan ini.

"Yu'zar." Di tengah-tengah suasana serius ketika kapal berada dalam lompatan cahaya, Kapten memanggilku.

Aku segera menoleh. "Ya, Kapten?"

Kapten memalingkan wajahnya. "Tidak, aku hanya ingin memanggil."

Aku memastikan Kapten baik-baik saja setelah tingkah lakunya yang barusan terkesan aneh. "Ada apa, Kapten Milla?"

Kapten menggeleng. "Tidak, aku hanya merasa sedikit gugup. Maksudku, kita benar-benar menuju daerah yang belum terjelajah itu?"

Ternyata bukan aku saja, dia juga merasakan itu. Aku bisa memahaminya. Dirinya diremehkan, dipandang sebelah mata. Kini momennya untuk membuktikan, dia bisa membawa Viatrix menjelajah lebih jauh.

"Benar. Jadi, ayo lakukan yang terbaik!"

Kapten mengangguk sembari memberi senyuman. Senyuman yang membuatku merasa lega.

Hitung mundur selesai. Viatrix keluar dari ruang cahaya seiring kecepatannya yang menurun drastis. Sebuah planet raksasa gas dengan permukaan berwarna oranye tampak jelas oleh mataku. Gundarna, begitu namanya dituliskan di peta.

Kami berhasil. Viatrix kini berada di sistem Gundarna.

Kapten menoleh ke arahku. "Yu'zar, kita berhasil. Kita di Daerah Belum Terjelajah."

Perasaan senang berbalut bangga menyertaiku. Aku membalas, "Benar. Kita sampai."

Pedra, Euize, Saviela, dan Qamary melihat pemandangan Gundarna melalui jendela raksasa. Tak ada sekalipun sorakan yang mereka lantunkan, tak seperti biasanya. Pemandangan indah yang ditampilkan saat ini membuat siapa pun tak bisa berucap.

Begitu juga denganku dan Kapten. Kami terfokus dengan pemandangan yang memanjakan mata kami. Tujuan kami ada di depan.

Aku merasakan perasaan yang aneh yang sulit aku jelaskan. Aku berdiri di sebelah Kapten, sebagai orang yang mendampinginya hingga sampai ke tujuan. Aku ingin menggenggam tangannya erat-erat.

Perlahan kuarahkan jari kelingkingku meraih telapaknya. Namun, aku tidak bisa, terlebih lagi aku adalah anak buahnya. Aku mengepalkan tanganku supaya aku menghindari yang semestinya tak aku lakukan. Untuk saat ini, bisa berdiri di sampingnya sudah cukup untukku.

Milla, aku akan selalu menemanimu hingga tujuan akhirmu.