Bagian 1
Malam itu, suasana di akademi terasa lebih hening dari biasanya. Lucien dan teman-temannya bergerak dengan hati-hati melalui lorong-lorong yang gelap. Mereka telah mempelajari jadwal patroli para penjaga dan tahu persis kapan harus bergerak untuk menghindari tertangkap.
Di tengah akademi, di dalam sebuah ruangan yang terjaga ketat, terletak artefak yang mereka incar. Artefak tersebut disimpan di dalam lemari kaca yang dilindungi oleh berbagai macam perlindungan sihir. Lucien, yang memimpin kelompok itu, mengeluarkan sebuah kunci khusus yang berhasil mereka curi dari ruang penyimpanan kepala sekolah.
"Ayo, cepat," bisik Lucien. "Kita tidak punya banyak waktu."
Dengan cekatan, Lucien memasukkan kunci itu ke dalam slot kecil di sisi lemari kaca. Setelah beberapa detik, terdengar bunyi klik dan perlindungan sihir di sekitar lemari kaca pun mulai menghilang. Mereka membuka lemari kaca itu dengan hati-hati dan mengambil artefak tersebut, sebuah batu kristal berwarna ungu yang bersinar dengan aura magis.
"Ini dia," kata Lucien dengan senyum puas. "Dengan ini, kita bisa menghabisi Sylphia."
Tanpa mereka sadari, di kejauhan, Iris dan kelompoknya mengamati semua itu dengan hati-hati. Mereka merekam setiap langkah Lucien dan teman-temannya, memastikan bahwa mereka mendapatkan bukti yang cukup.
"Kita punya cukup bukti sekarang," bisik Iris kepada yang lain. "Kita harus melapor ke kepala sekolah sebelum mereka bisa menggunakan artefak itu."
Amanda mengangguk. "Ayo, kita harus bergerak cepat."
Namun, Lucien dan kelompoknya juga sudah bersiap untuk fase berikutnya dari rencana mereka. Mereka keluar dari ruangan dengan artefak di tangan dan mulai menuju ke tempat di mana mereka berencana untuk menyerang Sylphia. Saat itu, Lucien melihat bayangan yang bergerak di lorong. Ia merasakan ada sesuatu yang tidak beres.
"Tunggu," bisik Lucien. "Ada yang mengikuti kita."
Mereka berhenti dan bersembunyi di balik pilar besar, mencoba mengintai siapa yang mungkin sedang mengawasi mereka. Sementara itu, Iris dan kelompoknya berusaha tetap tidak terdeteksi, tetapi ketegangan semakin meningkat.
"Kita harus berpisah," bisik Iris. "Kalian pergi laporkan ke kepala sekolah, aku akan terus mengawasi mereka."
Amanda dan beberapa lainnya mengangguk dan segera bergerak menuju kantor kepala sekolah. Iris tetap berada di belakang, mengamati Lucien dan teman-temannya dengan saksama.
Saat Lucien dan kelompoknya merasa bahwa mereka aman, mereka melanjutkan perjalanan mereka. Namun, langkah mereka semakin cepat dan hati-hati, menyadari bahwa ada kemungkinan mereka diawasi.
Mereka tiba di sebuah ruangan yang cukup luas dan tertutup. Di sinilah mereka berencana untuk menggunakan artefak itu untuk menghabisi Sylphia. Lucien menempatkan artefak tersebut di tengah ruangan dan mulai merapal mantra untuk mengaktifkan kekuatannya.
"Ini akan segera selesai," kata Lucien dengan senyum jahat.
Di saat yang sama, Amanda dan kelompoknya telah mencapai kepala sekolah dan melaporkan semua yang mereka lihat. Kepala sekolah, dengan wajah serius, segera memerintahkan penjaga untuk bergerak dan menghentikan Lucien dan teman-temannya.
Ketegangan semakin memuncak saat Lucien dan kelompoknya hampir menyelesaikan mantranya. Namun, sebelum mereka bisa mengaktifkan artefak tersebut, pintu ruangan terbuka dengan keras dan para penjaga bersama kepala sekolah masuk, menghentikan mereka tepat waktu.
"Apa yang kalian lakukan?" suara kepala sekolah menggema di ruangan itu. "Kalian berencana mencuri dan menggunakan artefak terlarang untuk mencelakai siswa lain?"
Lucien dan teman-temannya terdiam, tidak bisa berkata-kata. Mereka tertangkap basah dan tidak ada jalan keluar. Iris yang mengikuti mereka pun masuk bersama para penjaga, memastikan bahwa rencana jahat mereka tidak akan pernah terwujud.
Kepala sekolah pun hendak mengambil artefak itu dan menyimpannya kembali dengan aman. "Kalian akan menerima hukuman yang setimpal untuk tindakan ini. Di akademi ini, tidak ada tempat untuk kejahatan seperti ini."
Namun tanpa disangka-sangka, artefak itu sudah aktif dan tidak dapat dikendalikan. Kepala sekolah, Lucien, Iris, dan semua yang ada di sana mulai terlihat panik. Artefak tersebut memancarkan cahaya ungu yang semakin terang, menyebarkan aura magis yang mengancam. Getaran halus mulai terasa di lantai, tanda bahwa kekuatan artefak itu semakin besar dan tidak terkendali.
"Kita harus segera menonaktifkan artefak ini!" seru kepala sekolah, berusaha tetap tenang meski wajahnya menunjukkan kekhawatiran yang mendalam. "Semua orang, menjauh dari sini!"
Para siswa yang berada di ruangan itu segera bergerak mundur, mengikuti perintah kepala sekolah. Iris dan Amanda tetap berada di dekat kepala sekolah, siap membantu sebisa mereka. Lucien dan teman-temannya, yang tadinya penuh keyakinan, kini terlihat ketakutan dan bingung.
"Ini tidak seharusnya terjadi," bisik Lucien, suaranya penuh penyesalan. Ia yang awalnya nampak puas dan bahagia seusai mencuri artefak itu, kini menjadi panik.
Kepala sekolah dan para stafnya mulai merapal mantra untuk mencoba mengunci kembali artefak itu. Mereka menggerakkan tangan mereka dalam pola-pola yang rumit, mencoba menyalurkan energi sihir mereka untuk menetralkan kekuatan artefak. Namun, setiap kali mereka mencoba, cahaya ungu itu justru semakin terang dan energi yang terpancar semakin kuat.
"Kita membutuhkan lebih banyak kekuatan sihir," kata salah satu guru dengan suara tegang. "Ini di luar kemampuan kita."
Bagian 2
Di tengah ketegangan yang semakin memuncak, tiba-tiba pintu aula terbuka dengan keras. Cahaya dari koridor membujur siluet seorang wanita yang berjalan dengan tenang namun penuh keyakinan. Semua mata yang dilihat pada gambar tersebut, berharap kehadirannya membawa solusi di tengah krisis ini.
"Sylphia!" seru kepala sekolah dengan suara penuh harapan.
Sylphia, dengan kekuatan penuh tekad dan tajam, melangkah mendekati artefak yang mengamuk. Ia baru saja kembali ke akademi untuk mengambil barang-barangnya yang tertinggal di ruang guru Elara ketika mendengar tentang kekacauan yang terjadi.
"Apa yang terjadi di sini?" tanyanya singkat, melihat ke arah kepala sekolah dan para guru yang tampak kelelahan dan putus asa.
Kepala sekolah menjelaskan masalahnya dengan cepat. "Artefak ini telah diaktifkan dan kami tidak dapat mengendalikannya. Kami membutuhkan bantuanmu, Sylphia. Kami telah mencoba segala cara, tetapi tidak ada yang berhasil."
Sylphia menatap artefak itu dengan penuh konsentrasi. Ia merasakan energi yang kuat dan tidak stabil dari artefak tersebut. Dengan tenang, ia mulai merapal mantra, tangannya membentuk pola-pola rumit di udara. Aura magisnya segera terasa memenuhi ruangan, mengimbangi kekuatan artefak yang mengamuk.
Para guru dan siswa menatap dengan kagum ketika pola sihir Sylphia mulai bersinar dengan terang. Ia mendekati artefak dengan hati-hati, memastikan setiap gerakannya tepat dan terukur. Sylphia mengingat semua pelajaran dan pengalaman yang telah ia lalui, termasuk pelajaran berharga dari Elara dan petualang peringkat S, Aria.
"Bantu aku dengan memberikan energi sihir kalian," kata Sylphia kepada para guru yang masih berada di persahabatan. "Kita harus menyatukan kekuatan untuk menetralkan artefak ini."
Para guru segera merespons, menyalurkan energi sihir mereka ke arah Sylphia. Cahaya dari pola sihir semakin terang, mengalahkan cahaya ungu dari artefak. Aura magis yang mengancam mulai mereda, berganti dengan energi yang stabil dan terkendali.
Setelah beberapa saat yang terasa sangat lama, Sylphia berhasil menyalurkan energi yang cukup untuk mengunci kembali artefak tersebut. Dengan gerakan tangan terakhir, ia menutup pola sihir dan artefak itu kembali ke keadaan semula, diam dan tidak berbahaya.
Di tengah suasana yang mulai tenang pasca krisis artefak, Iris dan Amanda, dengan ekspresi serius, mendekati Sylphia. Mereka berdua terlihat sangat gelisah dan ingin menyampaikan sesuatu dengan cepat. Sylphia, masih merasakan kelelahan setelah mengendalikan artefak, memandang mereka dengan penuh perhatian.
"Iris? amanda? Ada apa?" tanya Sylphia sambil mengamati wajah mereka yang tegang.
Iris menghela napas dalam-dalam, seolah berusaha menenangkan dirinya sebelum berbicara. "Sylphia, kami baru saja mengetahui sesuatu yang sangat mengecewakan. Lucien dan kelompoknya telah merencanakan sesuatu yang sangat jahat. Mereka bermaksud mencuri artefak untuk menggunakannya melawanmu."
Amanda menambahkan, "Saya mendengar mereka berbicara tentang rencana mereka dari balik dinding. Mereka nampaknya sangat serius dan sepertinya siap melakukan hal-hal yang bisa sangat berbahaya."
Sylphia terdiam sejenak, memproses informasi tersebut. Ia menoleh ke arah Lucien dan teman-temannya yang masih berdiri di sudut aula dengan wajah pucat. "Mereka sedang bersembunyi di sini," katanya dengan nada dingin.
Tanpa berkata lebih banyak, Sylphia melangkah menuju Lucien dan kelompoknya. Lucien, Arabella, dan sisa kelompoknya, yang melihat Sylphia mendekat dengan wajah serius dan penuh tekad, langsung menjadi gelisah. Mereka saling berdiskusi dengan cemas, tidak tahu apa yang harus dilakukan.
Ketika Sylphia sampai di depan mereka, ia mengeluarkan tongkatnya dan menodongkannya ke arah Lucien dengan gerakan tegas. "Jadi, apa yang kalian rencanakan?" tanyanya dengan suara tegas.
Lucien dan teman-temannya terlihat sangat ketakutan. Arabella yang biasanya penuh percaya diri kini tampak sangat pucat dan bergetar. "Sylphia, kami… kami tidak bermaksud melakukan sesuatu yang buruk. Kami hanya… hanya ingin…"
Tanpa banyak basa-basi, Sylphia langsung merapalkan mantra singkat namun sangat kuat.
"Exsilium Arcanum, Vinculum Mystica, Claudere Potentia, Nox Aevi!"
Seketika muncul lingkaran sihir di bawah kaki Lucien dan teman-temannya. Itu adalah sihir tingkat 5 yang akan mengunci daya sihir seseorang yang ditargetkan. Siapapun yang terkena dampak sihir ini maka orang itu takkan bisa mengeluarkan daya sihirnya, namun mananya akan tetap terkuras. Sihir ini bisa dibatalkan jika orang yang ditargetkan dapat menggunakan sihir di atas tingkat 5. Namun untuk target Sylphia saat ini sepertinya tak ada yang dapat melakukan sihir tingkat 4 ke atas.
"Kurasa ini cukup membuat kalian sedikit jera. Dengan ini, kalian tak akan bisa merapalkan sihir untuk beberapa saat. Jika dipaksakan, mana kalian akan tetap berkurang, namun sihir kalian tidak akan bekerja," jelas Sylphia dengan suara yang tegas namun tenang.
Lucien dan teman-temannya mencoba merasakan aliran sihir di tubuh mereka, tetapi sia-sia. Mereka tampak panik dan bingung, menyadari bahwa mereka tak lagi bisa menggunakan sihir mereka. Wajah mereka pucat, terutama Lucien yang terlihat sangat ketakutan.
Sylphia berbalik dan mulai berjalan pergi, meninggalkan mereka di tengah-tengah aula. Setelah beberapa langkah, ia menambahkan tanpa menoleh, "Kalian bisa melepas efek sihir ini jika kalian bisa menggunakan sihir tingkat 5 ke atas."
Semua orang yang ada di situ sempat tercengang melihat pemandangan itu. Para siswa yang menyaksikan kejadian tersebut berbisik-bisik, sebagian besar dari mereka terkesan dan takjub dengan kehebatan Sylphia. Beberapa dari mereka bahkan mulai merasa hormat padanya.
Lucien, yang biasanya penuh percaya diri dan sombong, kini terlihat sangat lemah dan tak berdaya. Ia memandang Sylphia dengan tatapan penuh kebencian, tetapi juga ketakutan yang mendalam. "Ini belum selesai," gumamnya dengan suara bergetar, namun Sylphia sudah terlalu jauh untuk mendengarnya.
Iris dan Amanda yang berada di dekat situ hanya bisa tersenyum tipis melihat bagaimana Sylphia menangani situasi tersebut dengan tegas. Mereka merasa lega bahwa ada seseorang yang bisa menghadapi Lucien dan kelompoknya.
"Dia benar-benar luar biasa," bisik Amanda kepada Iris.
"Iya, dia memang luar biasa. Dan sekarang, Lucien tahu bahwa dia tidak bisa semena-mena lagi," jawab Iris dengan nada bangga.
Dengan langkah yang penuh percaya diri, Sylphia meninggalkan aula tersebut, meninggalkan jejak kekaguman di hati banyak siswa dan pengajar yang menyaksikan kejadian itu. Sementara itu, Lucien dan teman-temannya harus menghadapi konsekuensi dari tindakan mereka, berharap bisa menemukan cara untuk melepaskan diri dari sihir yang mengunci kemampuan mereka.
Bagian 3
Setelah Sylphia meninggalkan aula, kepala sekolah yang sebelumnya berencana menjatuhkan hukuman kepada Lucien dan teman-temannya berdiri di tengah ruangan, menatap mereka dengan penuh pertimbangan. Semua mata beralih padanya, menunggu keputusan yang akan diambil.
Kepala sekolah, yang dikenal sebagai sosok yang bijaksana dan tegas, menghela napas panjang sebelum berbicara. "Lucien, Arabella, dan kalian semua yang terlibat dalam tindakan mencuri artefak ini," suaranya menggelegar di ruangan itu, membuat semua orang setuju, "tindakan kalian sangat tidak dapat diterima dan membahayakan keselamatan semua orang di akademi ini."
Lucien dan teman-temannya menundukkan kepala mereka, tidak berani menatap kepala sekolah.
Namun, setelah jeda sejenak, kepala sekolah melanjutkan, "Namun, hukuman yang dijatuhkan oleh Sylphia sudah cukup berat dan sesuai dengan kesalahan kalian. Kalian tidak hanya kehilangan kemampuan sihir kalian untuk sementara waktu, tetapi juga harus menghadapi kenyataan bahwa kalian telah dipermalukan di depan seluruh akademi."
Lucien mengangkat kepalanya dengan penuh kerumitan dan sedikit harapan. "Jadi… kami tidak akan menerima hukuman tambahan?"
Kepala sekolah menahannya perlahan. "Hukuman dari Sylphia sudah pantas dan cukup berat. Biarkan ini menjadi pelajaran bagi kalian. Jika kalian berani mengulangi kesalahan ini, hukuman berikutnya tidak akan seimbang dengan yang kalian terima hari ini."
Para siswa yang menyaksikan kejadian itu saling berbisik. Ada yang merasa hukuman itu terlalu ringan, namun banyak juga yang setuju bahwa apa yang dilakukan Sylphia sudah lebih dari cukup untuk membuat Lucien dan kelompoknya jera.
"Terima kasih, kepala sekolah," gumam Lucien dengan nada yang nyaris tak terdengar. Dia tahu bahwa dia tidak punya pilihan selain menerima konsekuensinya.
Kepala sekolah menatap mereka sekali lagi sebelum berbalik menuju para staf dan guru. "Pastikan mereka melakukan pengintaian dengan ketat. Saya tidak ingin kejadian serupa terulang kembali."
Semua guru mengangguk, termasuk guru Elara yang terlihat sedikit lega. Mereka semua tahu bahwa situasi ini tidak akan mudah bagi Lucien dan teman-temannya, dan itu sudah menjadi hukuman yang cukup berat.
Iris dan Amanda saling bertukar pandang, keduanya merasa lega bahwa masalah ini telah diselesaikan dengan cara yang adil. Mereka kemudian berjalan keluar dari aula, berencana memberi tahu Sylphia tentang keputusan kepala sekolah.
"Semoga ini menjadi pelajaran bagi mereka," kata Amanda.
"Ya," jawab Iris. "Dan semoga Sylphia tahu bahwa dia punya banyak dukungan di sini."
Namun siapa sangka, ketika Lucien dan teman-temannya sedang dalam perjalanan ke asrama, tiba-tiba Sylphia muncul di tengah jalan yang hendak mereka lalui. Mereka pun sempat terkejut dan panik, entah apa yang akan dia lakukan kali ini.
Lucien mengerutkan keningnya, jelas-jelas tidak nyaman dengan kehadiran Sylphia. "Apa yang kamu inginkan lagi?" tanyanya dengan nada defensif.
Sylphia mengangkat tangannya dengan tenang, menunjukkan bahwa dia tidak memiliki niat buruk. "Tenang saja," katanya. "Aku hanya ingin berbicara."
Arabella, yang terlihat lebih ketakutan daripada yang lain, mencoba menarik Lucien mundur. "Ayo pergi, Lucien. Kita tidak perlu mendengarkannya."
Sylphia menenangkannya. "Tenanglah sedikit, aku hanya ingin melepas kuncian sihir itu," katanya sambil meraih mantra untuk menghilangkan efek sihir yang sebelumnya ia gunakan pada mereka. "Aku tidak ingin kalian memiliki balas dendam padaku."
Lucien menatapnya dengan bingung. "Mengapa kamu melakukan ini?"
Sylphia menatap mereka dengan serius. "Aku tidak ingin memiliki masalah dengan kalian. Aku hanya meminta satu hal, jangan ganggu aku. Selebihnya, aku tidak akan mencampuri urusan kalian."
Arabella menghela nafas lega saat merasakan aliran sihirnya kembali normal. "Apakah itu saja?" tanyanya dengan nada yang lebih lembut.
Sylphia mengangguk. "Ya, hanya itu. Aku tidak berada di sini untuk mencari musuh. Aku hanya ingin belajar dan menjalani hari-hariku dengan damai."
Lucien masih tampak ragu, tapi akhirnya mengangguk. "Baiklah, kalau begitu. Kami akan membiarkanmu." gumamnya dengan nada enggan. "Ayo kita pergi."
Sylphia tersenyum tipis. "Terima kasih."
Arabella, yang merasa sedikit lebih lega, sempat menundukkan kepalanya kepada Sylphia dan mengucapkan terima kasih dengan suara pelan, "Terima kasih, Sylphia." Setelah itu, dia segera menyusul Lucien dan yang lainnya.
Sylphia yang melihat sikap Arabella sedikit berubah menaikkan alisnya, sedikit terkejut dengan ucapan terima kasih yang tulus itu. Namun, ia tidak berkata apa-apa dan melanjutkan perjalanannya kembali ke penginapan.
Sambil berjalan, Arabella berkata kepada Lucien, "Apa yang dilakukan Sylphia sebenarnya telah membebaskan kita dari hukuman kepala sekolah. Kalau tidak, siapa yang tahu apa yang akan terjadi pada kita."
Lucien terdiam sejenak sebelum akhirnya mengangguk pelan. "Mungkin kau benar. Tapi tetap saja, aku tidak suka dia," ujarnya dengan nada keras kepala.
Arabella tersenyum tipis. "Setidaknya kita tidak perlu mengganggunya lagi. Siapa yang tahu, mungkin suatu saat kita membutuhkannya."
Lucien hanya menghela nafas panjang. "Kita lihat saja nanti. Yang jelas, aku tidak ingin kejadian seperti tadi terulang lagi."
Sementara itu, Sylphia akhirnya tiba di penginapan. Ia merasa lega setelah hari yang penuh dengan ketegangan itu. Setelah melewati hari yang panjang dan penuh tantangan, ia merasa sudah tiba saatnya untuk beristirahat dan mempersiapkan diri untuk hari berikutnya.
Dengan pikiran yang lebih tenang, ia bersiap untuk tidur, berharap besok akan menjadi hari yang lebih baik di akademi sihir Seal Altair. Dan mulai besok, kehidupannya sebagai siswi di akademi sihir Seal Altair pun dimulai.