Chereads / I Want To Be Strong and Protect My Village! Vol. 2 / Chapter 13 - Chapter 12 : Farewell

Chapter 13 - Chapter 12 : Farewell

Bagian 1

Lila mencoba kembali melangkah ke arah yang dia rasa bisa membawanya kembali ke desa, namun semua terlihat sama dan tidak familiar. Hutan yang sebelumnya terlihat penuh warna dan menarik kini terasa menakutkan dan misterius. Ia mulai merasa ketakutan, telinga rubahnya yang awalnya tegak kini terbungkuk dan ekornya juga tampak terkulai. Lila mulai merasakan ketidaknyamanan dan kengerian yang mendalam.

Ia mencoba memanggil Louis dan Alice dengan suara terbata-bata, "Oo... iis? A... is?" namun suaranya teredam oleh suara hutan yang ramai dan angin yang berdesir. Lila merasa tersesat dan bingung, berusaha mencari jalan keluar sambil terus-menerus memanggil nama-nama yang ia ingat meski masih dengan terbata-bata. "Oo... iis..., Aa.. iis..., Aa.. ya.., I.. buu.., Aa.. caa.., I.. eta..." ("Louis, Alice, ayah, ibu, Sasha, Griselda")

Saat Lila berjalan lebih dalam ke hutan, ia semakin merasa ketakutan. Suasana sekitar hutan tampaknya semakin gelap seiring dengan pergeseran matahari, dan ia merasa semakin takut dan cemas. Ia menggenggam kedua tangan mungilnya di dada, sembari menoleh-noleh, berharap tak ada sesuatu yang akan menakuti dan menyakitinya.

Lila kemudian duduk di balik semak-semak di bawah sebuah pohon besar untuk menyembunyikan dirinya dari sesuatu yang menakutkan dan mengancam. Dengan hati yang berdebar, ia mencoba menenangkan dirinya sembari menunggu orang-orang datang. Dalam hatinya, ia berharap Louis atau Alice akan segera menemukan jejaknya dan membawanya kembali ke tempat yang aman.

Dari balik semak-semak, ia merasa suasana di sekelilingnya semakin gelap seiring dengan mundurnya matahari. Suara hutan yang biasanya menenangkan kini terasa mengancam, menambah ketakutan yang dirasakan Lila. Telinga rubahnya yang sebelumnya hanya membungkuk kini terkulai lemas ke bawah menandakan ia benar-benar merasa cemas. Tubuh kecilnya mulai bergetar ketakutan. Ia kemudian memajukan dan memeluk ekornya yang lembut dan besar, mencoba menenangkan dirinya di tengah kegelapan yang semakin menyelimuti. Sesekali ia menengok-nengok sekitarnya untuk memastikan tak ada sesuatu yang menakutinya.

Mata besar Lila mulai berkaca-kaca. Ketenangan yang ia rasakan saat melihat kupu-kupu telah hilang sepenuhnya, tergantikan oleh rasa takut dan kesepian yang mendalam. Ia memandang sekeliling dengan sangat cemas, berharap Louis atau Alice segera menemukannya. Ia sekali lagi menyebut nama-nama yang ia kenali dengan suara pelan dan bergetar seperti menahan tangis. "Aa.. iis..., Ooo.. iiis.., aa... tuut..." ("Alice, Louis, aku takut...")

Tiba-tiba, dari balik semak-semak, ia mendengar suara langkah kaki mendekat ke arahnya, membuat Lila semakin ketakutan. Ia memeluk ekornya yang hangat dan lembut dengan lebih erat. Mata besarnya yang lucu semakin berkaca-kaca, satu senggolan saja akan membuat air matanya menetes. Orang itu berjalan-jalan di sekitar semak-semak tempat Lila bersembunyi sambil ketakutan. Dan pada akhirnya orang itu membuka semak-semak tempat Lila bersembunyi.

Lila yang melihat orang yang tidak ia kenal mendekatinya pun terkejut dan sontak berlari ketakutan. Makhluk kecil itu berlari dengan kaki mungilnya tanpa arah ataupun tujuan yang jelas sembari menemukan tempat untuk bersembunyi. Ia berlari dengan sekuat tenaga, melintasi semak-semak dan batang pohon yang berdiri tegak. Namun, orang asing itu terus mengejarnya dengan langkah kakinya yang sangat cepat. Ia sepertinya mantan petualang.

Lila terus berlari dan berharap orang itu tak lagi mengejarnya dan membuatnya ketakutan. Hingga akhirnya anak itu tersandung akar pohon hingga terjatuh. Orang menakutkan itu pun terus mendekat hingga akhirnya berada persis di depannya. Lila yang masih tersungkur merasa tak bisa melarikan diri lagi. Ia menatap orang itu dengan mata besarnya yang penuh ketakutan dan berharap tidak menyakiti dirinya. Tubuhnya semakin gemetar. Air matanya pun mulai menetes di pipinya.

Orang itu tersenyum jahat lalu dengan kejamnya mencengkram atau mencangking telinga rubahnya hingga tubuh anak itu ikut terangkat cukup tinggi, dan kemudian mendekatkan wajahnya dengan wajah anak itu. Ia memandangi wajah Lila yang sangat ketakutan dengan penuh rasa gemas yang berlebihan.

"Wah, imutnyaa.!! aku sampai ingin memeras tubuhnya hidup-hiduup..!!" Kata orang itu dengan ekspresi gemas serta suara yang menyeramkan, membuat Lila mulai merengek dengan suara kecilnya yang bergetar. Rasa sakit dan nyeri mulai melanda Lila. Tubuhnya bergetar lebih hebat menunjukkan betapa ketakutan dan kesakitannya ia saat ini.

"Ehek.., ehek.., eeee.., eeeee..." Lila mulai menangis dengan nada pelan sambil menahan rasa nyeri yang menyakitkan di telinga rubahnya. Mata besarnya semakin banyak meneteskan air mata seolah memohon untuk dilepaskan. Rasa sakit yang dirasakannya semakin memperburuk ketakutan yang mendalam. Ia benar-benar sangat ketakutan setengah mati.

Namun orang itu tampak tidak memperdulikan tangisan Lila, dan hanya memandangnya dengan senyuman gemas yang berlebihan dan tidak berperasaan. Lila benar-benar terjebak dalam rasa sakit dan penderitaan.

"Ehek.., uaaa..!! aaaaa..!!" Lila yang semakin ketakutan dan merasa kesakitan pun menangis sedikit lebih keras, berharap sangat dalam agar Louis atau Alice datang dan menyelamatkannya. Rasa takut, sakit, dan kesedihannya campur aduk, dan ia merasa sangat kecil dan tak berdaya di tengah situasi yang menakutkan ini.

Orang itu tersenyum kegirangan melihat wajah Lila yang dipenuhi dengan ekspresi ketakutan yang luar biasa. Senyuman jahat itu tampak semakin memperburuk suasana, membuat jantung Lila berdetak kencang dan napasnya semakin berat.

Dengan satu gerakan cepat dan brutal, orang itu mengangkat tubuh kecil Lila yang beratnya hampir tak terasa, kemudian membantingnya dengan sangat keras ke tanah berkali-kali sambil tertawa terbahak-bahak. Tubuh kecilnya menghantam tanah dengan dengan keras berulang kali, dan yang terakhir kepala belakangnya terbentur dengan batu hingga berdarah, membuatnya sampai kejang-kejang selama beberapa saat.

"Akhqkahqqkhaakhqkahqkqq..." Tubuh kecil Lila berkontraksi di luar kendalinya. Mata besarnya yang lucu kini melotot seperti mau keluar. Mulut kecilnya menganga mengeluarkan air liur yang tak beraturan. Lila kejang-kejang dengan penderitaan luar biasa, dampak dari benturan di kepalanya setelah dibanting secara brutal oleh orang tak berperasaan itu.

Orang itu tampak kegirangan melihat wajah kejang-kejang Lila yang dihiasi dengan air mata yang terus mengalir dan bercucuran tanpa henti. "Oohh.. imutnyaaa!! Lagi! Lagi!!!"

Setelah kejangnya mereda, Lila kembali tersadar. Ia kembali merengek dan menangis kesakitan. Ia memegang tubuhnya yang bergetar, berusaha mengurangi rasa sakit yang menusuk. Sedikit gerakan saja membuat tubuhnya merasa sangat kesakitan setelah ia dibanting, dan air matanya terus mengalir tanpa henti dari mata besarnya. Tangisan dan rengekannya semakin keras seiring dengan ketakutannya.

Orang itu tampak kegirangan oleh tangisan Lila, dan ingin mencoba melakukan sesuatu menarik lainnya. Dengan tangan kasarnya, ia kemudian mencengkram menarik telinga kiri Lila yang berbulu lembut dan mulai memotongnya dengan pisau yang tajam. Gerakan pisau itu sangat menyakitkan dan menambah penderitaan Lila. Setiap kali pisau itu menggesek memotong telinga rubahnya, Lila merasakan perih dan ngilu yang luar biasa. Darah mulai bercucuran dari telinga yang dipotong, menciptakan genangan merah di tanah di bawahnya.

"KHAAAAAAAA!!! HUUAAAAAA!!! HUUAAAAAAA!!!!!....."

Teriakan dan tangisan keras Lila akhirnya pecah, lebih keras dari sebelumnya hingga burung-burung kecil di sekitarnya berterbangan. Ini adalah suara paling keras yang pernah ia keluarkan seumur hidupnya. Lila dipenuhi dengan rasa kesakitan bukan main, air matanya mengalir lebih deras, membanjiri pipi mungilnya hingga membasahi baju dan menetes-netes ke tanah. Setelah beberapa saat tangisannya perlahan berhenti, dan tubuhnya mulai lemas. Tubuh kecilnya ambruk, tergeletak tak berdaya di tanah dengan air mata yang masih mengalir dari mata besarnya, serta genangan darah dari luka di pangkal telinganya yang dipotong.

Orang itu tertawa kegirangan namun ia masih belum puas. Dengan tangan yang masih berlumuran darah Lila, ia mencengkram menarik ekor Lila yang berbulu tebal dan lembut. kemudian mulai mempersiapkan pisau untuk memotongnya. Ia berencana akan memotongnya sedikit demi sedikit dari ujung hingga pangkal ekornya seperti mengiris bawang. Ia tak sabar ingin segera melihat wajah kesakitan dan ketakutan Lila lebih dari itu. Ekspresi wajah Lila yang penuh ketakutan semakin memperlihatkan betapa menderitanya ia saat itu.

Orang itu memegang ujung ekor Lila, kemudian mulai memotong-motong perlahan ekornya yang lembut dari ujung hingga pangkal seperti mengiris bawang. Lila yang sudah kehabisan tenaga bahkan hanya untuk menangis sekalipun hanya bisa membuka mulut kecilnya sambil merintih kesakitan dengan tangisan kecil yang nyaris tak terdengar. Matanya menyipit sambil merasakan perih, ngilu, dan kesakitan yang luar biasa saat ekornya diiris-iris. Air matanya tak pernah berhenti mengalir dari mata kecilnya.

Darah mulai bercucuran keluar dengan sangat banyak dari ekornya, meninggalkan serpihan bulu-bulu halus di atas genangan darah. Lila yang malang harus kehilangan ekornya dengan tragis dan sangat menyakitkan. Ekornya yang besar, lembut, dan halus yang selama ini selalu ia peluk untuk menenangkan dirinya dari rasa takut serta menghangatkan tubuh mungilnya, kini telah hilang untuk selamanya.

"Aaa... aa... aa..." Lila merintih dan menangis kecil dengan suara serak yang lemah dan nyaris tak terdengar sambil merasakan sakit yang luar biasa setiap detiknya. Suara tangisannya yang pelan pun semakin pelan hingga akhirnya tak terdengar lagi setelah beberapa saat.

Saat orang itu asyik mengiris ekor Lila untuk irisan yang terakhir sambil menikmati penderitaannya, sesosok berpakaian serba hitam tiba-tiba meluncur dari balik rimbunnya pepohonan.

Bagian 2

Dengan gerakan yang penuh kecepatan, sosok itu menebas tangan orang itu dengan pedang yang berkilau hingga tangan orang itu terputus. Tangannya yang memegang pisau jatuh ke tanah, dan orang itu terkejut dan marah. Kemudian sosok lainnya muncul. Seorang penyihir berpakaian hijau melayang di udara. Dengan satu gerakan tangan, ia memancarkan energi sihir yang lembut dan indah, dan dalam sekejap, ia menangkap tubuh mungil Lila yang terluka parah. Mereka berdua tak lain adalah Arlan dan Aria yang baru saja pulang dari Calestia setelah melakukan penyelidikan mengenai artefak.

Aria dengan cepat membawa Lila ke tempat yang aman, sebuah ruang tersembunyi di hutan yang penuh dengan vegetasi rimbun dan terlindung dari pandangan. Ia meletakkan tubuh Lila yang mungil di atas permukaan lembut yang telah ia siapkan. Dengan cemas, Aria memeriksa kondisi Lila.

Aria, seorang petualang peringkat S yang berpengalaman dan telah menghadapi banyak marabahaya, ia bahkan dibuat syok dengan kondisi Lila yang sangat mengenaskan. Seorang anak perempuan yang masih sangat kecil dan bahkan sepertinya belum lancar berbicara, telah mengalami penyiksaan mengerikan dan sebrutal ini. Ekor dan satu telinga rubahnya telah terputus dan masih mengeluarkan darah, meski tak sederas tadi. Tubuh kecilnya pucat menunjukkan ia telah kehabisan banyak darah. Beberapa bagian tubuhnya lebam dan kepala belakangnya bocor seperti telah dibanting berulang kali. Nafasnya pun sangat pendek dan hampir tak terdengar. Dan kini anak ini telah berada di antara hidup dan mati.

Sambil menahan syok, Aria berupaya untuk menyelamatkan anak malang ini sebisanya. Ia tahu bahwa sihir penyembuhan biasa tidak akan bisa menyelamatkannya. Anak ini bisa dikatakan sudah sekarat. Dia merasa tertekan dan gelisah, karena setiap detik sangat penting untuk menyelamatkan nyawa anak kecil ini. Dalam keadaan terdesak, ia melakukan rencananya untuk melakukan ritual penyembuhan yang sangat rumit dan menguras mana-nya.

Dengan mengumpulkan semua keberanian dan kekuatannya, Aria mulai mempersiapkan ritual tersebut. Ia memanggil kekuatan alam dan elemen di sekelilingnya, menarik energi dari tanah dan udara, serta memusatkan mana-nya dengan hati-hati. Ritual ini bukan hanya memerlukan konsentrasi yang luar biasa, tetapi juga menguras sebagian besar mana-nya. Aria tahu bahwa proses ini bisa sangat melelahkan dan berpotensi berbahaya bagi dirinya sendiri, karena ritual ini umumnya dilakukan oleh banyak orang.

Aria menggambar lingkaran pelindung di sekitar Lila menggunakan bubuk cahaya yang bercahaya lembut. Lingkaran tersebut bersinar dengan warna-warna cerah, sementara Aria mulai mengucapkan mantra kuno dengan suara lembut namun penuh kekuatan. Suaranya bergema di sekitar mereka, mengalir dengan energi magis yang kuat. Setiap gerakan tangan dan kata yang diucapkan memerlukan ketepatan dan kekuatan yang besar.

Sementara itu, Arlan, yang telah siap untuk bertindak, mengamati orang itu. Dengan ketenangan dan ketegasan, Arlan bergerak menuju lokasi di mana penjahat tersebut masih tergeletak. Dia masih terlihat marah dan gelisah, tetapi ia tahu bahwa tindakan ini perlu dilakukan untuk memberikan pelajaran yang setimpal.

Saat Arlan mendekati penjahat, ia merasa kemarahan dalam dirinya semakin memuncak. Penjahat itu terlihat sedang tergeletak di tanah, kesakitan dari luka-luka yang telah diberikan oleh Arlan sebelumnya. Arlan berdiri di sampingnya dengan pedang terhunus, mata penuh amarah.

"Engkau sudah membuat anak kecil tak berdosa menderita," Arlan mengatakannya dengan nada dingin dan penuh kebencian. "Kau akan membayar untuk apa yang telah kau lakukan."

Dengan satu gerakan cepat, Arlan kemudian memotong kaki kiri penjahat, memastikan bahwa ia tidak akan bisa melarikan diri atau melanjutkan tindakan kejamnya lagi. Arlan merasa bahwa tindakan ini adalah balasan yang setimpal untuk tindakan brutal yang telah dilakukan penjahat tersebut terhadap Lila. Ia tahu bahwa meskipun tindakan ini tidak dapat mengembalikan semua yang telah terjadi, setidaknya bisa memberikan keadilan bagi penderitaan yang telah dialami Lila.

Kembali ke tempat di mana Aria melakukan ritualnya, suasana terasa penuh dengan keheningan dan energi yang kuat. Aria terus bekerja dengan intensitas penuh, menyalurkan mana-nya ke dalam tubuh Lila dan mengkonversikan mana menjadi 'energi kehidupan' yang sangat dibutuhkan. Cahaya yang lembut dan hangat mulai mengelilingi tubuh Lila, dan perlahan-lahan, warna pucat pada wajahnya mulai kembali ke warna yang lebih sehat.

Aria merasa lelah dan keringatan, tetapi ia tetap fokus pada tugasnya. Setiap napas yang diambilnya terasa semakin berat, dan ia tahu bahwa dia harus memberikan semua yang dia punya untuk memastikan Lila selamat.

Setelah beberapa waktu yang tampak seperti keabadian, Aria akhirnya selesai dengan ritualnya. Tubuh Lila mulai stabil, dan napasnya mulai teratur. Meskipun Lila belum sepenuhnya sadar, Aria bisa merasakan perubahan positif dan merasakan bahwa anak itu akan selamat.

Aria pun menggendong tubuh kecil Lila yang beratnya nyaris tak terasa. Di saat yang sama, Arlan datang sambil menyeret pelaku yang telah menyiksa Lila. Mereka pun membawa Lila dan orang yang menyiksanya ke desa.

Bagian 3

Di kediaman kepala desa, Louis, Alice, dan semua orang yang berkumpul sedang dalam keadaan panik. Mereka baru menyadari bahwa Lila hilang. Louis berjalan mondar-mandir dengan wajah penuh kekhawatiran, sementara Alice berusaha menenangkan dirinya sendiri, meskipun hatinya cemas. Mereka terus mencari di setiap sudut rumah kepala desa, berharap menemukan Lila bersembunyi di suatu tempat.

Hingga tengah hari ketika matahari memberikan sinar dengan panas-panasnya, keputusasaan mulai menyelimuti mereka. Louis menghampiri setiap orang yang ditemuinya, menanyakan apakah mereka melihat seorang anak kecil dengan telinga dan ekor rubah. Tapi tidak ada yang bisa memberikan jawaban yang memuaskan. Sementara itu, Alice merasa semakin gelisah. "Kita harus menemukannya, Louis," kata Alice dengan suara gemetar. "Dia pasti ketakutan."

Saat mereka hampir kehilangan harapan, seorang anak kecil yang bermain di sekitar desa mendekati mereka. Anak itu dengan mata besar dan polos berkata, "Aku tadi melihat anak kecil dengan telinga rubah mengejar kupu-kupu. Dia terus mengejar kupu-kupu itu sampai jauh, mungkin keluar desa."

Mendengar informasi tersebut, Louis dan Alice merasa sedikit lega namun juga lebih cemas. "Apa kamu yakin? Kamu melihatnya keluar desa?" tanya Louis dengan nada penuh harap. Anak kecil itu mengangguk dan berkata, "Aku dan teman-temanku berusaha memanggilnya, tapi dia hanya menoleh sebentar dan tersenyum. Kemudian dia kembali mengejar kupu-kupu itu."

Dengan informasi baru ini, Louis dan Alice bergegas menuju gerbang desa. Hati mereka berlomba dengan waktu, khawatir tentang apa yang mungkin terjadi pada Lila di luar sana. Sesampainya mereka di gerbang desa, mereka melihat dua sosok yang familiar berjalan mendekat. Itu adalah Aria dan Arlan. Aria memeluk tubuh kecil Lila yang belum tersadar, dengan perban melilit pantat dan kepalanya. Arlan, dengan wajah serius, menyeret seorang pria dengan paksa.

Louis segera berlari mendekati mereka, "Aria! Apa yang terjadi dengan Lila?" Ia hampir tak bisa menahan emosinya. Alice segera menghampiri Aria dan Lila, tangannya gemetar saat menyentuh kepala Lila yang terkulai lemas. Tubunya tampak penuh luka. Telinga kiri dan ekornya yang menggemaskan juga telah hilang, digantikan dengan lilitan perban.

Aria, dengan wajah letih namun tegas, menjawab, "Kami menemukannya di hutan. Dia diserang oleh orang ini," katanya sambil melirik ke arah pria yang diseret Arlan. "Lila kehilangan banyak darah, tapi aku berhasil melakukan ritual penyembuhan. Dia akan pulih, tapi butuh waktu untuk sadar. Namun sepertinya kami sedikit terlambat. Orang itu sepertinya sempat membanting anak ini berulang kali hingga pada akhirnya dengan sadis memotong telinga kiri dan ekornya..."

Alice yang melihat kondisi mengenaskan Lila pun syok dan tak kuasa menahan tangisnya. Namun ia bersyukur Lila masih selamat. Alice menatap Aria dengan penuh rasa syukur. "Terima kasih, Aria. Kamu menyelamatkannya," katanya dengan suara penuh emosi. Ia kemudian memeluk Lila dengan hati-hati, memastikan tidak menyentuh perbannya.

Arlan mendekat, wajahnya penuh dengan kemarahan namun terkendali. "Orang ini yang menyiksa Lila," katanya sambil menunjukkan pria yang sedang ia seret. "Dia akan menghadapi keadilan atas apa yang telah dia lakukan."

Louis menatap pria itu dengan kebencian yang membara di matanya, hendak menebasnya dengan pedangnya. Namun, Arlan menahannya. "Tenang, Louis. Dia akan mendapatkan hukuman yang setimpal," kata Arlan dengan tegas.

Pria itu kemudian, dengan sangat kegirangan dan tanpa rasa bersalah, mulai menceritakan bagaimana ia menyiksa Lila. "Aku mengejarnya hingga dia ketakutan. Kemudian aku membantingnya hingga ia kejang-kejang, aku masih mengingat jelas wajah imutnya ketika menangis dan kejang-kejang! Aku kemudian memotong telinga dan ekornya!," katanya dengan senyum jahat. "Tangisannya dan wajahnya yang ketakutan itu... sungguh menggemaskan!! Aku ingin melihatnya lagi!!!"

Mendengar itu, Louis semakin marah, tapi sebelum ia bisa bereaksi, Arlan melayangkan pukulan keras ke wajah pria itu hingga ia pingsan. "Cukup," kata Arlan dengan dingin. "Dia tidak layak berbicara lebih banyak."

Para utusan adipati yang masih berada di sana dan menyaksikan langsung kejadian itu pun segera bertindak. "Kami akan melaporkan hal ini pada adipati dan membawa pelaku tersebut," kata salah satu utusan dengan tegas. Mereka segera mengikat pria itu dan membawanya pergi, memastikan ia tidak bisa melarikan diri.

Dengan pelaku di tangan pihak berwenang, Louis, Alice, lainnya kembali fokus pada Lila. Mereka tahu bahwa pemulihan Lila akan panjang, tetapi dengan kasih sayang yang mereka berikan, mereka berharap ia akan merasa aman dan dicintai.

Mereka pun membawa Lila ke rumah Alice dan membaringkannya di ranjang kecilnya, tempat biasa ia tidur. Di dalam rumah, suasana penuh kekhawatiran dan harapan terpancar dari wajah Louis dan Alice. Louis menggenggam tangan kecil Lila dengan lembut, berusaha memberikan sedikit rasa aman di tengah penderitaannya.

Sore harinya, Lila akhirnya bangun. Mata kecilnya terbuka perlahan menunjukkan mata besarnya yang lucu. Alice dan Louis serta semua yang ada di sana pun merasa lega. Namun tepat setelah membuka matanya, Lila langsung menangis dan berteriak histeris, seolah masih berada di hutan bersama orang yang menyiksanya dengan sadis.

"KHAAAA!!! HAAAAA!!!! HUUAAAA!!!!!! HUUAAAAAAAAAAA!!!!!!"

Semua orang yang ada di sana sontak terkejut dan kebingungan dengan Lila yang tiba-tiba menangis histeris tepat setelah ia membuka matanya. Alice pun segera memeluknya dan menenangkannya. "Lila sayang. ini aku, Alice. Kau sudah aman di sini.." Alice berusaha menenangkan Lila dengan suara yang lembut sembari memeluk dan mengelus kepalanya. Namun Lila justru semakin meronta-ronta ketakutan sambil menangis dan berteriak-teriak dengan keras. Air matanya mengalir deras membanjiri pipi mungilnya. Makhluk mungil itu terlihat sangat histeris dan ketakutan seolah-olah semua orang yang ada di situ adalah orang yang sama seperti yang menyiksanya tadi di hutan. Semua orang semakin kebingungan, hingga akhirnya Lila kembali pingsan setelah menangis hebat.

Alice dan Louis pun panik dan cemas, takut sesuatu yang lebih buruk terjadi pada Lila. Air mata mulai keluar dari mata Alice yang memandangi reaksi Lila barusan. Sementara Louis, tatapannya kosong seolah belum percaya dengan apa yang ia saksikan.

Aria kemudian mendekat dan meletakkan tangan di bahu Alice. "Sepertinya trauma berat bisa menyebabkan reaksi seperti ini," jelasnya dengan suara lembut namun serius. "Terlebih lagi, Lila telah kehilangan ekornya. Bagi ras manusia binatang, ekor adalah bagian tubuh yang sangat penting untuk mengendalikan emosi."

Kata-kata Aria membuat hati Louis dan Alice seketika menjadi hancur. Alice menutup wajahnya dengan kedua tangannya, seolah tak kuasa menahan tangis yang ingin meledak. Mereka sampai tak dapat membayangkan betapa menderita dan ketakutannya Lila saat ia disiksa. Louis menggenggam tangan Lila lebih erat, perasaannya campur aduk antara marah, sedih, dan tidak berdaya. "Apa yang bisa kita lakukan untuk memulihkannya, Aria?" tanya Louis dengan suara parau.

Aria menatap Louis dengan simpati. "Kita harus bersabar. Memberikan cinta dan perhatian yang konsisten. Terkadang, trauma seperti ini bisa sembuh dengan waktu dan kasih sayang yang cukup. Kita juga bisa mencari bantuan dari penyembuh lain yang mungkin lebih berpengalaman dalam kasus seperti ini."

Arlan, yang sejak tadi hanya terdiam memandang dari sudut ruangan, mendekat dan meletakkan tangan di bahu Louis. "Kita akan melakukan semua yang bisa kita lakukan untuknya. Dia membutuhkan kita semua sekarang lebih dari sebelumnya."

Alice menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri. "Aku akan merawatnya dengan sebaik-baiknya," katanya dengan tekad yang kuat. Lila sudah menjadi bagian dari keluarga kita.

Bagian 4

Selama beberapa hari berikutnya, Louis dan Alice melakukan yang terbaik untuk merawat Lila. Mereka merawatnya dengan penuh kasih sayang tanpa henti, berbicara dengan lembut, dan berusaha memberinya makanan serta minuman. Meski begitu, reaksi Lila tetap selalu sama. Setiap kali ia membuka matanya, ia hanya terus menangis histeris dan meronta-ronta, sebelum akhirnya kembali pingsan. Padahal jika terus seperti ini, maka kondisinya akan terus memburuk. Louis dan Alice serta orang tuanya semakin kebingungan, karena sejak pertama kali Lila terbangun pasca tragedi itu, tak sesuap pun makanan masuk ke mulutnya, dan tak setetes pun air masuk membasahi tenggorokannya.

Hingga pada suatu hari, Lila kembali terbangun. Namun kali ini ada yang aneh. Pandangannya hanya memunculkan tatapan kosong dan tak menunjukkan emosi apapun, berbanding terbalik dengan reaksi sebelum-sebelumnya. Louis dan Alice yang duduk pun menjadi heran dan sangat kebingungan. Mereka benar-benar tak tahu apa yang terjadi pada Lila, dan tak tahu juga apa yang harus mereka lakukan. Louis bertanya dengan suara lembut, "Lila, apa kamu bisa mendengarku?" Namun, Lila hanya menatap ke depan tanpa ekspresi, seolah dunia di sekitarnya tidak ada. Mata besarnya yang lucu bahkan tak bergerak melirik ke arah mereka. Telinga rubahnya yang tersisa satu hanya terkulai lemas dan tak bergerak sedikit pun.

Alice mencoba dengan lembut, "Lila sayang, apa kamu merasa lebih baik?" Namun tetap tak ada jawaban. Lila tidak merespon sedikitpun, bahkan hanya mengangguk atau menggelengkan kepala pun tidak. Ia hanya terdiam mematung dengan tatapan kosong, membuat Louis dan Alice semakin kebingungan dan penuh kekhawatiran.

Hari berikutnya, kepala desa menjenguknya dengan membawa seorang tabib. Kepala desa menanyakan bagaimana kondisi terakhir Lila. Ibu Alice yang ada di situ pun menjelaskan dengan detail, bagaimana Lila sempat menangis dan berteriak histeris sambil meronta-ronta ketakutan setiap kali bangun, dan kini anak itu menjadi kaku tanpa memperlihatkan emosi sedikitpun.

Alice dan Louis masih merasakan kesedihan yang mendalam tak sanggup berbicara lebih banyak, sehingga ibu Alice yang akhirnya menjelaskan. "Hari itu Alice dan lainnya membawa Lila kemari setelah Aria dan Arlan menemukannya. Aku dan suamiku sangat syok melihat keadaan Lila saat itu. Kemudian sore harinya, ia terbangun dan langsung menangis hebat dan berteriak histeris bahkan sampai meronta-ronta tidak karuan sebelum akhirnya kembali pingsan. Dan itu terus terjadi sampai-sampai ia tak pernah makan dan minum. Hingga hari kemarin, anak itu terbangun dengan tatapan kosong tanpa emosi apapun, dan itu terjadi sampai sekarang." Jelas ibu Alice dengan nada penuh kesedihan.

Tabib yang baru saja selesai memeriksa Lila pun memberikan penjelasan. "Bagi ras manusia binatang, ekor adalah bagian tubuh yang sangat penting untuk mengendalikan emosinya. Karena itulah ia terus menangis dan berteriak histeris setelah ekornya hilang. Dan, ia sepertinya mengalami cidera parah di kepala belakangnya, yang menyebabkan ia menjadi lumpuh seperti saat ini."

Alice dan Louis yang mendengar itu pun semakin merasa hancur. Hati mereka benar-benar remuk melihat kemalangan yang menimpa Lila, seorang anak yang masih sangat kecil dan bahkan belum bisa berbicara dengan benar yang selama beberapa hari ini mewarnai hari-hari mereka.

Beberapa hari setelahnya, Alice dan keluarganya serta Louis terus berusaha merawat Lila semampu mereka. Namun, Lila tetap dalam keadaan yang sama, tatapannya kosong dan tak menunjukkan emosi apapun. Setiap kali Louis atau Alice menyuapinya, Lila hanya membuka mulut karena reflek yang masih tersisa tanpa menunjukkan ekspresi, dan sering kali menolak makanan atau minuman dengan menutup mulutnya rapat-rapat. Telinga yang tersisa satu kini sama sekali tak pernah bergerak.

Louis dan Alice merasa semakin putus asa. Mereka tak tahu bagaimana cara mengembalikan kondisi Lila. Hari demi hari berlalu dengan kegelisahan yang mendalam. Louis tak bisa tidur nyenyak, setiap malam ia duduk di samping ranjang kecil Lila, menggenggam tangan kecilnya yang mungil, berharap ada keajaiban yang bisa mengembalikan keceriaan di wajah anak itu.

Di sisi lain, Alice mencoba berbagai cara untuk merangsang respons Lila. Ia membacakan cerita-cerita dongeng, membawa mainan-mainan kesukaan Lila, dan bahkan mencoba bernyanyi untuknya. Namun, Lila tetap tidak bereaksi. Alice sering menangis sendirian di kamar, merasakan gelisah dan beban kegagalan melindungi seseorang yang telah ia anggap sebagai adiknya sendiri.

Griselda, yang sering datang mengunjungi, juga merasa terpukul. Ia berdiri di samping ranjang Lila, berusaha memberikan semangat kepada Louis dan Alice. Namun, di balik kata-katanya yang kuat, ada rasa bersalah yang mendalam. Griselda merasa bahwa ia telah gagal menjaga desa itu serta orang yang hidup di dalamnya. Sesekali ia melihat pedangnya yang seharusnya ia gunakan untuk melindungi orang-orang yang membutuhkan perlindungannya, namun nyatanya hari ini seorang anak kecil terbaring tak berdaya dengan kondisi yang sangat memprihatinkan setelah mengalami tragedi mengerikan. Setiap kali ia melihat Lila, hatinya terasa hancur. Lila seolah menjadi gambaran atas kegagalannya melindungi orang lain.

Anak-anak kecil yang menjadi teman Lila sesekali menjenguknya dengan ditemani salah satu orang tua mereka. "Apa Lila akan bermain dengan kita lagi?" tanya salah seorang anak perempuan dengan polosnya. Alice pun mengangguk. "Dia sudah tak sabar bermain dengan kalian lagi. Doakan supaya Lila segera sembuh ya..." Katanya sambil tersenyum pada anak itu.

Pada hari-hari terakhirnya, Lila semakin lemah. Tubuhnya yang kecil menjadi semakin kurus karena kekurangan gizi dan energi. Kondisi mental yang hancur karena trauma berat serta dampak dari kerusakan organ dan anggota tubuh vitalnya membuatnya semakin sulit untuk bertahan.

Akhirnya, pada suatu malam yang sunyi, Lila menghembuskan nafas terakhirnya. Louis, yang duduk di sampingnya, merasakan tangan kecil Lila menjadi dingin dan tubuhnya tak lagi bergerak bernafas. Dengan air mata yang mengalir deras, ia merangkul tubuh kecil itu, merasa kehilangan yang begitu mendalam.

Pagi harinya, Alice menemukan Louis yang masih memeluk tubuh Lila. Tangisannya pecah ketika menyadari bahwa Lila telah tiada. Suara tangisan Alice terdengar hingga setiap sudut rumah, membawa kesedihan yang mendalam. Orang tua Alice pun juga sangat terpukul setelah kehilangan 'anak' ketiga mereka. Griselda yang datang segera setelah mendengar kabar itu, hanya bisa berdiri kaku di pintu, dengan air mata yang mengalir tanpa henti. Hatinya hancur melihat Lila yang telah pergi, merasa gagal sebagai seorang pelindung dan ksatria.

Berita kematian Lila menyebar ke seluruh desa. Kepala desa, yang merasa bertanggung jawab atas kejadian ini, merasa sangat terpukul. Ia merasa tak becus melakukan pengawasan ketika rapat berlangsung pada hari itu. Desa Gatewood diliputi kesedihan mendalam atas kehilangan Lila, anak kecil yang telah mereka adopsi sebagai bagian dari keluarga besar mereka. 

Pemakaman Lila diadakan dengan penuh rasa duka. Louis, Alice, Griselda, dan seluruh warga desa berkumpul untuk memberikan penghormatan terakhir. Louis menggendong tubuh kecil Lila untuk terakhir kalinya, sementara Alice berjalan di sampingnya dengan mata yang bengkak karena menangis. Mereka memakamkan Lila di bawah pohon besar di tepi desa, tempat di mana Lila dulu sering bermain sebelum tragedi itu terjadi.

Setelah pemakaman, Louis dan Alice berusaha bangkit dari kesedihan mereka. Mereka tahu bahwa Lila tidak akan pernah kembali, namun kenangan tentangnya akan selalu hidup di hati mereka. Griselda berjanji pada dirinya sendiri untuk menjadi ksatria yang lebih baik dan lebih waspada, berusaha melindungi mereka yang tak bisa melindungi diri mereka sendiri. Kepala desa, dengan beban rasa bersalah yang mendalam, bertekad untuk meningkatkan pengawasan dan melindungi desa dari ancaman yang mungkin datang.

Bagian 5

Hari-hari berikutnya, kehidupan di rumah Alice berjalan seperti biasa, namun dengan bayangan kehilangan yang selalu menghantui. Setiap pagi, Alice bangun lebih awal dan memulai aktivitas rumah tangganya, tetapi ada kekosongan yang tak tergantikan. Ia sering kali berhenti sejenak di depan ranjang kecil tempat Lila tidur, memandangi selimut yang terlipat rapi dan bantal yang masih meninggalkan bekas kepala kecil Lila. Harapannya untuk melihat Lila kembali berbaring di sana dengan wajah imutnya yang penuh keajaiban, terasa menyakitkan setiap kali kenyataan menghantamnya.

Alice juga sering duduk di sudut ruangan tempat Lila biasa bermain. Mainan-mainan yang dulu sering menjadi sumber kegembiraan Lila sekarang tersusun rapi dan tak bergerak, seolah menunggu tangan kecil yang pernah menghidupkan mereka. Alice mengambil salah satu mainan itu, sebuah boneka kecil yang sering dibawa Lila, dan memeluknya erat. Air mata mengalir tanpa henti saat kenangan tentang wajah imut Lila dan keceriaan anak itu terlintas di benaknya. Tempat persembunyian Lila di bawah meja juga sering ia pandangi, berharap melihat Lila sedang bersembunyi di sana dengan mata besarnya yang lucu dan berkaca-kaca.

Di luar rumah, kehidupan juga berlanjut dengan ritme yang serupa. Louis, yang sehari-hari pergi berburu di hutan, kini sering menemukan dirinya kembali ke tempat dimana ia pertama kali menemukan Lila. Di sana, di tengah hutan yang tenang, ia duduk di atas batu besar sambil memandang sekeliling, mengenang saat-saat ketika ia melihat Lila untuk pertama kalinya, saat ia menemukan anak kecil itu yang kelaparan dan ketakutan. Ingatan tentang bagaimana ia memberi Lila makan untuk pertama kalinya, bagaimana mata besar Lila bersinar dengan rasa berharap dan kepercayaan, menghantuinya dengan manis-pahit. Ia benar-benar tak menyangka kejadian mengerikan yang ia dapati pada makhluk-makhluk kecil seperti Lila sebelumnya, kini juga terjadi pada Lila.

Louis berjalan perlahan di sekitar tempat itu, memperhatikan setiap detail yang mungkin telah dilewatkannya sebelumnya. Setiap batang pohon, setiap semak belukar, seolah membawa kembali kenangan tentang Lila. Ia sering berhenti sejenak, mengumpulkan buah-buahan atau daun-daunan yang dulu ia gunakan untuk memberi makan Lila, mencoba merasakan kembali momen-momen itu. Setiap kali ia menemukan jejak kaki kecil yang mirip dengan jejak Lila, hatinya terasa sesak dengan kesedihan yang mendalam.

Di malam hari, saat Louis mengunjungi rumah Alice, mereka sering duduk bersama di dekat perapian, berbicara tentang Lila. Mereka berbagi kenangan, menceritakan kisah-kisah kecil tentang hari-hari yang mereka habiskan bersama Lila. Mereka tertawa kecil saat mengenang bagaimana Lila mencoba meniru kata-kata yang diajarkan Alice, atau bagaimana ia berlari-lari mengelilingi meja makan dengan mainan di atas kepalanya. Namun, setiap tawa selalu diiringi oleh rasa kehilangan yang mendalam.

Alice beberapa kali memandangi Louis dengan tatapan penuh dan cinta, mengetahui bahwa mereka berdua berbagi beban kehilangan yang sama. Louis, dengan segala ketegaran dan kekuatannya, tetap menjadi sandaran bagi Alice. Mereka saling mendukung, saling menguatkan, dan bersama-sama mencoba mengisi kekosongan yang ditinggalkan oleh Lila. Setelah berbincang dan mengenang bersama, Louis pun kembali ke rumahnya, meninggalkan Alice dengan perasaan campur aduk antara kesedihan dan kerinduan.

Hari demi hari berlalu, dan meskipun rasa kehilangan itu tak pernah benar-benar hilang, Louis dan Alice berusaha menemukan kedamaian dalam kenangan. Mereka tahu bahwa Lila, meskipun telah tiada, akan selalu menjadi bagian dari hidup mereka. Setiap sudut rumah, setiap sudut hutan, akan selalu mengingatkan mereka pada kebahagiaan yang pernah mereka rasakan bersama anak kecil yang penuh keajaiban itu. 

Seandainya Lila pergi dengan tenang dan merasakan kebahagiaan sesaat sebelum ajalnya, mungkin Alice, Louis, dan lainnya tak begitu larut dengan kesedihan yang berlebihan. Namun kenyataan berkata lain. Lila merasakan penderitaan luar biasa selama beberapa hari sebelum akhirnya meninggal. Bahkan orang terakhir yang anak itu lihat, dengar, dan ia temui ketika masih 'sadar' bukanlah orang-orang sekitar yang menyayanginya, melainkan justru seseorang yang telah menyiksanya dengan kejam dan brutal sehingga ia meninggal dengan sangat tragis. Baik Alice maupun Louis sebenarnya bisa merelakan kepergian Lila, namun mereka takkan pernah bisa menerima nasib tragis yang menimpa anak malang itu sebelum kematiannya. 

Meski begitu, Alice, Louis dan orang-orang yang menyayanginya tetap bertekad untuk terus hidup dengan penuh makna, menghormati kenangan Lila dengan cara yang terbaik. Alice mulai melibatkan dirinya lebih dalam dalam kegiatan desa, membantu anak-anak lain dengan penuh kasih sayang, seolah mengalihkan cinta dan kasih sayang yang dulu pernah ia berikan pada Lila. Louis, di sisi lain, semakin mendalami keahliannya dalam berburu, memastikan bahwa ia selalu bisa menyediakan bahan yang terbaik untuk warga desa.