Chereads / I Want To Be Strong and Protect My Village! Vol. 2 / Chapter 16 - Chapter 15 : Invention

Chapter 16 - Chapter 15 : Invention

Bagian 1

Di ruang pertemuan megah di Istana Kerajaan Althar, Pangeran Cedric duduk di salah satu sisi meja besar yang terbuat dari kayu mahoni berukir. Di seberangnya, para bangsawan Althar yang berpakaian mewah dan anggun, bersama dengan beberapa penasihat dan ahli artefak, mendengarkan dengan seksama. Suasana di ruangan tersebut penuh dengan nuansa diplomatik dan kewibawaan. Lampu-lampu kristal yang menggantung di langit-langit berkilau lembut, menciptakan suasana yang elegan namun tegang.

Cedric mengatur posisinya dengan hati-hati sebelum memulai diskusi. "Terima kasih atas kesediaan anda semua untuk bergabung dalam pertemuan ini. Seperti yang kalian ketahui, dua tahun lalu kami menemukan sebuah benda misterius di kamp pasukan Althar setelah peperangan. Benda ini tampaknya memiliki mekanisme yang kompleks, dan kami memerlukan bantuan kalian untuk memahami lebih dalam tentang fungsinya."

Seorang bangsawan tua dengan janggut putih, Lord Bartholomew, mengangguk sambil memandang benda itu dengan minat. "Kami telah mendengar sedikit tentang benda ini dari laporan kalian. Seperti apa mekanisme yang dimaksud?"

Cedric mengeluarkan benda misterius dari tasnya dan menaruhnya di atas meja. Benda itu tampak seperti kotak logam yang terdapat serangkaian tulisan asing dan tombol-tombol kecil yang tersebar di seluruh permukaannya. "Elias, ahli artefak dari Calestia, telah menyimpulkan bahwa ini bukan artefak kuno, melainkan sebuah alat dengan mekanisme tertentu. Namun, dia merasa keterampilannya belum mencukupi untuk sepenuhnya memahami bagaimana alat ini bekerja."

Lord Bartholomew menyentuh benda tersebut dengan hati-hati, seolah takut merusaknya. "Kami akan memeriksa benda ini dengan cermat. Tapi izinkan saya memberitahukan kalian bahwa kami memiliki beberapa informasi yang mungkin berguna. Beberapa perajurit kami yang bertugas di kamp pasukan Althar sempat melihat Vanessa dan Franklin, dua penjaga kami, menggunakan benda ini. Mereka mengotak-atik tombol-tombol di alat tersebut dan merapal mantra."

Cedric menoleh dengan penuh perhatian. "Apa yang kalian maksud dengan 'mengotak-atik tombol-tombol'? Apakah mereka menyadari fungsi setiap tombol?"

Lord Bartholomew mengangguk. "Menurut kesaksian dari para perajurit, Vanessa dan Franklin tampaknya sangat akrab dengan tombol-tombol tersebut. Mereka mengatur beberapa tombol dan mengucapkan mantra sambil memeriksa hasilnya. Namun, mereka tidak mengungkapkan banyak informasi sebelum pertempuran berakhir."

Seorang penasihat muda yang duduk di samping Lord Bartholomew, Lady Viera, menambahkan, "Ada kemungkinan bahwa benda ini adalah alat penghubung atau perangkat yang memerlukan pengaturan khusus. Mungkin juga ada bagian dari sihir atau benda yang perlu dipahami lebih dalam. Jika Vanessa dan Franklin sudah menggunakannya, mungkin ada catatan atau bukti di tempat mereka biasanya menyimpan barang-barang mereka."

Cedric mengangguk. "Itu adalah titik awal yang baik. Jika ada catatan atau bukti mengenai penggunaan benda ini, kita bisa mempelajarinya untuk memahami lebih lanjut."

Lord Bartholomew memandang serius. "Kami akan memeriksa kembali catatan dan barang-barang Vanessa dan Franklin. Kami juga akan melacak keberadan mereka jika diperlukan. Sementara itu, kami akan meminta bantuan para ahli kami untuk menganalisis benda ini lebih dalam."

Cedric menghela napas lega. "Terima kasih banyak atas bantuan kalian. Kami sangat menghargai kerja sama ini. Jika ada informasi lebih lanjut, mohon segera informasikan kepada kami. Keamanan kedua kerajaan adalah prioritas utama kami."

Setelah diskusi selesai, Cedric mengumpulkan barang-barangnya dan bersiap untuk kembali ke Calestia. Ia merasa sedikit lebih optimis bahwa dengan bantuan para ahli Althar, misteri benda tersebut mungkin akan segera terpecahkan. Sementara itu, para bangsawan dan penasihat di Istana Althar mulai sibuk dengan tugas mereka, memeriksa catatan dan barang-barang terkait, serta merencanakan langkah-langkah selanjutnya untuk mengungkap rahasia benda misterius tersebut.

Sementara itu di Eldoria, Arlan dan Aria memasuki kedai kecil yang terletak di sudut jalan kota itu. Kedai ini, dengan namanya yang sederhana, "Kedai Hangat," menawarkan suasana nyaman dan santai di tengah keramaian kota. Dengan lampu-lampu berkelap-kelip yang menggantung di langit-langit dan aroma masakan yang menggugah selera, kedai ini merupakan tempat yang ideal bagi mereka untuk beristirahat setelah seharian beraktivitas.

Arlan, yang masih mengenakan jubah hitamnya, merapikan rambutnya yang sedikit berantakan akibat perjalanan. Sementara Aria, yang tampak lebih segar dengan gaun hijau panjangnya, tampak rileks meskipun terjaga oleh pikiran tentang artefak yang sedang mereka selidiki. Mereka melangkah menuju meja di dekat jendela, yang menghadap ke jalanan kota yang mulai gelap saat matahari terbenam.

"Ini tempat yang cukup nyaman," kata Arlan sambil menarik kursi untuk Aria. "Sangat berbeda dengan hutan dan dungeon yang biasa kita kunjungi."

Aria tersenyum dan duduk. "Aku setuju. Kadang-kadang, suasana seperti ini memang diperlukan untuk mengisi ulang energi kita."

Setelah mereka duduk, seorang pelayan mendekati mereka dengan senyuman ramah. "Selamat sore. Apa yang bisa saya bantu?"

"Selamat sore," jawab Arlan. "Kami ingin memesan dua porsi daging panggang dengan sayuran, dan dua gelas jus buah."

Pelayan mencatat pesanan mereka dengan cepat dan melanjutkan ke dapur. Arlan dan Aria saling memandang, keduanya tahu bahwa mereka harus mendiskusikan hal penting ini sambil menunggu makanan mereka tiba.

"Jadi, bagaimana perkembangan penyelidikan artefak yang kita cari?" tanya Aria setelah mereka mulai berbicara serius.

Arlan menyandarkan punggungnya ke kursi dan memandang ke luar jendela sejenak sebelum menjawab. "Menurut laporan terakhir, artefak yang kita cari mungkin berasal dari sebuah tempat yang sangat jauh, yang mungkin tidak pernah dijamah. Konon orang asing yang entah darimana asalnya telah membawa artefak itu ke salah satu kerajaan di daratan ini."

Aria mencoba memahami yang dikatakan Arlan. "Tempat yang jauh?"

"Benar, aku pun pernah bemimpi sedang berada di tempat yang sangat jauh yang tak terjangkau dari sini. Dan di sana terdapat sebuah peradaban yang sama sekali berbeda dan tak pernah terbayangkan oleh siapapun." Lanjut Arlan.

Aria yang ingin tahu pun memperhatikannya dengan sangat penasaran. "Peradaban yang berbeda? Seperti apa?"

Arlan pun menjelaskan mimpinya yang sering kabur dan tak begitu jelas. "Entahlah Aria, aku juga tak begitu mengingatnya. Namun aku masih mengingat sedikit pengelihatan yang kabur di saat aku bermimpi. Aku seperti melihat beberapa orang dengan pakaian aneh namun rapi dan bersih, serta cahaya-cahaya yang menyorot. Aku juga melihat bangunan-bangunan yang menjulang tinggi dan bercahaya terang. Saat aku berusaha melihatnya lebih dekat, aku terbangun."

Mereka pun melanjutkan diskusi mereka, hingga akhirnya makanan pesanan mereka tiba. Mereka menyantap makanan dan minuman dengan sangat menikmati setelah melakukan misi penyelidikan selama berhari-hari.

Bagian 2

Louis, Darius, dan Felica duduk di sebuah kedai sederhana di Eldoria yang tampak nyama. Setelah menghabiskan waktu seharian di dungeon dan berhasil menyelamatkan regu petualang yang terjebak, mereka memutuskan untuk beristirahat sejenak dan menikmati makanan. Kedai ini, dengan lampu kuning yang lembut dan aroma masakan yang menggugah selera, memberikan suasana hangat dan santai yang sangat dinantikan setelah seharian beraksi.

Louis, yang duduk di samping Felica, memesan beberapa porsi makanan, termasuk daging panggang, sayuran segar, dan sup hangat. Darius, di seberang meja, memesan hidangan serupa sambil memeriksa peta yang ia bawa, mungkin untuk merencanakan misi berikutnya. Felica, meski tampak lelah, masih memiliki senyuman ramah di wajahnya saat ia memilih menu makanannya.

Setelah pelayan meninggalkan meja mereka dengan pesanan, Louis memutuskan untuk memanfaatkan waktu santai ini untuk lebih mengenal Felica, terutama mengenai pengalamannya sebagai petualang solo.

"Felica, aku penasaran," Louis mulai, "Kamu bilang kamu seorang petualang solo. Itu pasti sangat menantang. Bagaimana pengalamanmu selama ini?"

Felica memandang Louis dengan senyuman, mengambil tegukan dari gelas jus buahnya sebelum mulai bercerita. "Menjadi petualang solo memang penuh tantangan, tapi juga sangat memuaskan. Aku memulai perjalanan ini setelah meninggalkan kampung halaman. Orang-orang di sana tidak terlalu mendukung pilihanku untuk menjadi petualang, jadi aku memutuskan untuk keluar dan membuktikan diriku sendiri."

Darius, yang mendengarkan dengan saksama, ikut menanggapi. "Itu pasti bukan perjalanan yang mudah. Aku pernah mendengar bahwa menjadi petualang solo bisa sangat berbahaya. Bagaimana kamu menghadapi situasi-situasi sulit?"

Felica mengangguk. "Benar sekali. Ada banyak momen sulit. Salah satu yang paling mengesankan adalah ketika aku menghadapi sekawanan monster yang sangat kuat sendirian. Itu terjadi di sebuah gua di daerah barat. Aku terpaksa menggunakan semua kemampuanku untuk bertahan. Aku mengandalkan pedang sihirku, yang memadukan serangan fisik dengan kekuatan sihir untuk mengalahkan mereka. Itu benar-benar pertarungan yang sangat melelahkan."

Louis terkesan. "Itu luar biasa. Aku tidak bisa bayangkan berapa banyak tantangan yang harus kamu hadapi seorang diri. Bagaimana kamu melatih kemampuanmu?"

Felica tersenyum bangga. "Latihan adalah kunci. Aku menghabiskan banyak waktu untuk melatih keterampilan pedangku dan sihirku. Aku belajar dari berbagai sumber, termasuk guru-guru di berbagai kota dan buku-buku kuno yang aku temukan dalam perjalanan. Selain itu, aku juga sering berlatih dengan monster-monster di alam liar untuk meningkatkan keterampilan bertarungku."

Darius mengangguk penuh kagum. "Kedengarannya seperti kamu memiliki disiplin yang luar biasa. Apakah ada pengalaman tertentu yang sangat berkesan bagi kamu?"

Felica memikirkan sejenak sebelum menjawab. "Ada satu pengalaman yang sangat berkesan. Itu ketika aku menemukan sebuah desa kecil yang sedang mengalami kesulitan karena serangan monster. Mereka meminta bantuanku, dan aku membantu mereka dengan mengusir monster-monster itu. Setelahnya, mereka mengadakan perayaan kecil sebagai tanda terima kasih. Melihat kebahagiaan mereka dan mengetahui bahwa aku telah membuat perbedaan dalam hidup mereka, itu adalah salah satu momen paling memuaskan dalam perjalanan petualanganku."

Sementara itu di desa Gatewood, Alice berdiri di tengah taman kecil di halaman belakang rumahnya, dikelilingi oleh warna-warni bunga yang sedang mekar. Seiring matahari pagi yang lembut menyinari, cahaya keemasan membuat bunga-bunga tampak bersinar, seolah-olah mereka sendiri mengingatkan akan keindahan yang pernah ada. Alice dengan lembut memetik beberapa bunga yang terlihat paling cerah dan harum, berhati-hati agar tidak merusak kelopak-kelopak lembutnya. Bunga-bunga itu terdiri dari berbagai warna, merah, kuning, dan putih seperti simfoni warna yang sempurna.

Setelah mengumpulkan cukup banyak bunga, Alice memasukkannya ke dalam sebuah wadah yang telah dipilihnya dengan hati-hati. Wadah itu terbuat dari anyaman daun yang cantik dan dihiasi dengan pita satin berwarna putih. Ia menyusun bunga-bunga dengan penuh kasih sayang, memastikan setiap bunga diletakkan dengan rapi dan saling melengkapi.

Alice menutup wadah bunga itu dengan lembut dan mulai berjalan menuju ujung desa. Langkahnya pelan dan penuh pengertian. Udara pagi yang segar menyapu wajahnya, namun suasana hatinya terasa berat. Setiap langkah yang diambil menuju pohon besar di ujung desa merupakan langkah menuju kenangan-kenangan yang tak bisa dihapuskan.

Pohon besar itu adalah salah satu yang tertua di desa, dengan cabang-cabangnya yang lebat dan daun-daunnya yang hijau rimbun. Di bawah naungannya yang sejuk, ada sebuah makam kecil yang sederhana namun dihiasi dengan penuh rasa empati. Sebuah batu nisan kecil berdiri di sana, dengan ukiran sederhana yang bertuliskan nama Lila dan tanggal-tanggal penting dalam hidupnya. Di sekeliling makam, terdapat beberapa bunga dan lilin yang ditempatkan oleh orang-orang yang mencintai Lila.

Alice berdiri di depan makam, menatap dengan lembut. Hatinya terasa sesak dengan rasa duka dan kerinduan. Ia meletakkan wadah bunga di dekat batu nisan, lalu menatap dengan penuh kehangatan dan kesedihan. "Lila, aku membawa bunga-bunga ini untukmu," ucapnya dengan suara lembut, seolah-olah berbicara langsung pada roh Lila yang kini beristirahat di sini. "Aku harap kamu menyukai bunga-bunga ini. Mereka mewakili betapa banyaknya cinta dan kenangan indah yang kami miliki untukmu."

Alice duduk di tanah di dekat makam, menyesap keheningan yang menyelimuti tempat itu. Selama beberapa menit, ia membiarkan dirinya tenggelam dalam kenangan-kenangan indah tentang Lila, masa-masa ketika Lila tertawa, bermain dengan mainannya, atau bahkan saat ia baru datang ke desa dan berusaha menyesuaikan diri. Setiap kenangan terasa seperti harta karun yang tak ternilai, dan Alice merasa seolah-olah setiap kenangan itu membawa kembali kehangatan dan keceriaan yang pernah ada.

Di tengah keheningan, Alice mulai berbicara lagi, kali ini dengan nada penuh keikhlasan. "Kamu tahu, meskipun kamu telah pergi, kamu tetap menjadi bagian dari hidup kami. Kami merindukanmu lebih dari yang bisa diungkapkan kata-kata. Louis, Darius, dan aku, kami terus berpikir tentangmu dan berharap kamu menemukan kedamaian di tempat yang lebih baik."

Waktu berlalu perlahan, dan matahari mulai tinggi di langit. Alice tahu bahwa ia tidak bisa tinggal selamanya di sini, meskipun ia ingin sekali menghabiskan waktu lebih lama dengan kenangan-kenangan ini. Dengan perlahan, ia berdiri, memandang makam satu kali lagi, lalu mengambil napas dalam-dalam. Ia merasa ada sesuatu yang bisa sedikit meringankan beban hatinya, adalah cara sederhana namun penuh makna untuk menghormati dan mengenang Lila.

Sebelum pergi, Alice meninggalkan beberapa lilin di sekitar makam, menyalakannya satu per satu. Cahaya lilin itu mulai berkilau lembut di bawah sinar matahari, seolah-olah simbol dari cinta dan doa yang terus menyala meskipun Lila tidak lagi bersama mereka.

Dengan satu tatapan terakhir yang penuh rasa sayang, Alice beranjak dari makam dan melangkah kembali menuju rumahnya. Setiap langkahnya terasa lebih ringan, dengan perasaan bahwa meskipun Lila tidak lagi ada, kenangan dan kasih sayang yang ia tinggalkan akan selalu hidup dalam hati mereka.

Bagian 3

Sementara itu di sebuah tempat yang sangat jauh, yang tak pernah dijangkau dan diketahui siapapun yang ada di daratan Altheria, Vanessa sedang berjalan di sebuah koridor dengan pakaian narapidana dan tangan diborgol. Kemudian seorang penjaga berseragam, yang tak lain adalah sipir membawanya ke sebuah ruang introgasi.

Vanessa dibawa memasuki ruang interogasi yang sederhana namun menekan. Dinding-dindingnya berwarna putih dingin, dan lampu sorot di atas meja interogasi membuat suasana semakin tegang. Penjaga yang membawanya mengenakan seragam ketat dan masker penutup wajah, memberikan kesan formal dan tanpa emosi.

Vanessa, yang mengenakan pakaian narapidana berwarna putih dengan lorek abu-abu dengan borgol di tangan, terlihat sangat berbeda dari wanita yang pernah dikenal sebagai penyihir terampil. Matanya penuh kebingungan dan ketakutan, sementara tatapannya yang biasanya penuh percaya diri kini tampak meredup.

Begitu Vanessa duduk di kursi di depan meja interogasi, penjaga tersebut mundur ke sudut ruangan, mengamati dengan sikap waspada. Ruangan itu diisi oleh sebuah meja logam, kursi yang menempel ke lantai, dan sebuah kamera CCTV di sudut atas ruangan yang terus merekam setiap gerakan.

Di balik meja, seorang pria dengan pakaian rapi, lengkap dengan jas hitam, dasi merah, dan kacamata hitam, tampak duduk dengan sikap tenang dan penuh kendali. Pria itu memeriksa beberapa dokumen di meja, menandai beberapa poin dengan pena. Setelah beberapa saat, ia meletakkan dokumen-dokumen itu dan menanggalkan kacamatanya. Pria itu tersenyum dingin saat mengangkat kepalanya untuk melihat Vanessa dengan penuh perhatian.

Ketika kacamata hitamnya ditanggalkan, wajah pria itu terungkap. Ternyata, dia adalah Sir Hansel, seorang yang dikenal sebagai tabib legendaris dari desa Gatewood dan disebut-sebut telah menghilang beberapa waktu lalu. Wajahnya tampak tidak berubah banyak, namun ada sesuatu dalam tatapan matanya yang mengungkapkan kepintaran dan kejam.

Sir Hansel membuka dokumen di meja dan memandang Vanessa dengan serius. "Vanessa, izinkan saya menjelaskan beberapa hal sebelum kita mulai. Anda adalah narapidana dalam kasus penyelundupan narkoba dari negara Staller ke negara Aestelanta. Sebagaimana yang saya ketahui, anda seharusnya dijatuhi hukuman mati dengan regu penembak. Namun, anda mendapatkan amnesti presiden dengan syarat bahwa anda bersedia menjalankan misi untuk memata-matai benua Altheria yang telah terisolasi selama hampir seribu tahun."

Vanessa menatap Sir Hansel dengan kecemasan, mencoba mengontrol emosinya. "Ya, itu benar. Namun, saya tidak pernah membayangkan akan terjebak dalam situasi seperti ini."

Sir Hansel mengangguk, lalu melanjutkan. "namun alih-alih menjalankan misi anda, anda malah membangun kehidupan baru di benua itu. Anda memutuskan untuk bersembunyi di tempat itu, melupakan janji anda kepada pemerintah dan perusahaan Sentinel Foundation yang telah membiayai operasi ini. Saya ingin tahu apa yang membuat anda mengabaikan misi dan memilih untuk menjalani kehidupan baru."

Vanessa menundukkan kepalanya, merasa terpojok. "Saya… saya merasa tertekan oleh misi itu. Benua itu, meski terisolasi, terasa seperti tempat yang lebih damai dibandingkan dengan kehidupan saya sebelumnya. Saya hanya ingin menjalani hidup dengan cara saya sendiri."

Sir Hansel mencatat respons Vanessa dengan penuh perhatian, kemudian melanjutkan. "Namun, anda juga telah melanggar kontrak dari perusahaan Sentinel Foundation. Mereka bisa menggugat anda jika anda melanggar kesepakatan. Apakah anda menyadari betapa seriusnya pelanggaran ini?"

Vanessa mengangkat kepalanya, menatap Sir Hansel dengan tatapan penuh penyesalan. "Saya tahu. Dan saya siap menghadapi konsekuensinya. Tapi apa yang anda inginkan dari saya sekarang?"

Sir Hansel menatap Vanessa dengan tajam. "Saya tidak tertarik pada masa lalu anda ataupun pelanggaran yang anda lakukan. Saya hanya ingin mengetahui lebih lanjut tentang alat yang Anda dan Franklin dapatkan. Alat tersebut sebenarnya bukan artefak kuno, bukan? Melainkan sebuah alat modern buatan Sentinel Foundation yang dirancang untuk mengendalikan gelombang yang mempengaruhi otak para monster. Bagaimana Anda dan Franklin bisa mendapatkan benda itu? Apa tujuan anda menggunakan alat itu?"

Vanessa terlihat terkejut. "Alat itu? Saya… saya tidak tahu banyak tentang itu. Franklin dan saya hanya berusaha memahami cara kerjanya. Kami tidak tahu bahwa alat itu memiliki fungsi seperti itu."

Sir Hansel menatap Vanessa dengan ekspresi yang tajam. "Apakah Anda tahu siapa yang membawa alat itu dan apa tujuannya di benua itu? Informasi ini sangat penting bagi kami."

Vanessa menggigit bibirnya, merasa tertekan. "Saya tahu sedikit tentang penggunaannya, tetapi Franklin tidak memberitahu saya banyak hal. Kami hanya tahu bahwa alat itu bisa mempengaruhi monster di benua ini. Itu semua yang saya ketahui."

Sir Hansel berhenti sejenak, kemudian berdiri dan mulai berjalan di sekitar ruangan. "Ada satu hal lagi. Apakah anda mengetahui kemungkinan dampak dari penggunaan alat ini pada lingkungan dan makhluk di benua itu? Anda nyaris mengacaukan benua itu dengan alat yang anda gunakan! Untung saja Sentinel Fundation melacak keberadaan alat itu dan langsung mengerahkan pesawat-pesawat tempurnya untuk menghentikan aksi anda."

Vanessa menggeleng. "Kami hanya tahu bahwa alat itu bisa mengontrol monster, tetapi tidak mengetahui dampak hal itu akan lebih luas. Kami tidak pernah membayangkan bahwa alat itu bisa menjadi masalah besar."

Sir Hansel berhenti dan menatap Vanessa dengan tajam. "Baiklah, Vanessa. Kami akan terus memantau informasi yang anda berikan. Jika anda berusaha berbohong atau menyembunyikan sesuatu, konsekuensinya akan lebih berat."

Sir Hansel kemudian kembali duduk di kursinya, menandakan akhir dari interogasi tersebut. Vanessa merasa lelah dan tertekan, namun ia tahu bahwa situasi ini belum berakhir. Sir Hansel memiliki tujuan dan rencana yang lebih besar, dan Vanessa hanyalah bagian kecil dari teka-teki yang lebih kompleks.