Bagian 1
Beberapa hari setelah eksekusi pelaku, suasana di desa Gatewood perlahan kembali normal. Namun, jejak tragedi yang menimpa Lila masih meninggalkan kesan mendalam di hati warganya, terutama Louis dan Alice. Kabar mengenai hukuman yang dijatuhkan kepada pelaku kejahatan itu telah tersebar luas, dan semua orang di desa merasa campur aduk antara lega dan duka. Di tengah-tengah situasi ini, Felica, seorang petualang kelas A dari ras manusia binatang dengan rambut jingga cerah dan telinga serta ekor rubah, datang ke desa Gatewood. Tujuannya adalah untuk mengenang kehidupan Lila serta memberikan penghormatan terakhir sebagai bentuk rasa empatinya setelah anak yang malang itu mengalami nasib dan tragedi yang sangat mengerikan.
Sesampainya di Gatewood, Felica disambut oleh suasana desa yang tenang dan tenteram. Dia berjalan melintasi jalanan berbatu yang dikelilingi oleh rumah-rumah sederhana dan kebun-kebun kecil. Saat ia mendekati pasar desa, ia melihat seorang wanita muda yang tampaknya sedang sibuk dengan aktivitas sehari-harinya. Tak lain ia adalah Alice.
Felica mendekati Alice dengan langkah penuh rasa hormat. "Izin, Nona. Apakah anda yang merawat Lila semasa ia hidup?" tanya Felica dengan suara lembut namun penuh perhatian.
Alice menoleh dan tersenyum lembut. "Ya, saya Alice. Dilihat dari penampilan anda, anda pasti Felica yang saya dengar dari surat berita. Saya mengetahuinya melalui sebuah berita yang beredar mengenai aksi unjuk rasa di istana. Selamat datang di Gatewood. Apa yang bisa saya bantu?"
Felica mengangguk, lalu dengan rasa empati yang mendalam, ia mulai berbicara, "Saya datang ke sini untuk mengenang Lila dan mencari tahu tentang kehidupannya. Saya ingin mendengar banyak tentang dia, dan saya ingin mengetahui lebih banyak tentang kehidupan sehari-harinya dari orang yang merawatnya dengan penuh kasih. "
Mendengar permintaan Felica, Alice merasakan sebuah dorongan untuk berbagi semua kenangan indah tentang Lila. Dia tersenyum dengan rasa bangga dan sedih, lalu mengajak Felica ke rumahnya.
"Lila adalah anak yang sangat istimewa," mulai Alice sambil berjalan, suara Alice penuh dengan kelembutan dan kesedihan. "Walaupun dia hanya bersama kami untuk waktu yang singkat, dia memberikan begitu banyak kebahagiaan dalam hidup kami. Setiap hari, dia memiliki kebiasaan kecil yang sangat menggemaskan."
Setelah beberapa saat berjalan, mereka akhirnya sampai di rumah Alice. Alice dengan antusias mengajak Felica ke setiap bagian rumahnya dimana bayang-bayang Lila masih terlihat. Alice menunjukkan ranjang kecil yang hanya sebesar keranjang belanjaan dimana Lila tidur. Alice kemudian mengajaknya ke ruang makan, menunjukkan sebuah meja dimana Lila suka bersembunyi di bawahnya di saat ia merasa ketakutan. Alice juga menunjukkan mainan boneka yang sering dibawa Lila, dimana bekas sentuhan tangan Lila masih terasa hangat. Setelah menunjukkan beberapa benda yang sering disentuh Lila, Alice mengajak Felica duduk di ruang tamu. Ia pun menceritakan asal-usul Lila bisa bersamanya.
"Semua berawal saat temanku yang merupakan seorang petualang, Louis sedang berburu. Kemudian ia melihat Lila yang kelaparan dan memberinya makanan. Ia kemudian juga melihat makhluk-makhluk lain yang mirip dengan Lila telah ditemukan tak bernyawa. Louis pun membawa Lila dengan harapan supaya ia lebih aman. Sejak itu, Lila tinggal di rumahku. Aku dan orang tuaku merawatnya dengan penuh kasih sayang. Saat pertama kali dia datang, dia tampak ketakutan dan cemas. Tapi kemudian, perlahan-lahan dia mulai merasa nyaman. Dia suka sekali bermain dengan mainan-mainan kecil yang kami berikan kepadanya. Salah satu kebiasaannya yang paling menggemaskan adalah saat dia selalu meletakkan mainan di atas kepalanya dan berlari-lari di sekitar meja makan sambil memegang mainan itu."
Felica mendengarkan dengan penuh perhatian. Alice melanjutkan, "Lila juga sangat menyukai saat-saat ketika kami membawa keluar untuk bermain dengan anak-anak desa. Dia sangat bersemangat dan bahagia ketika dia bisa berlari dan bermain bersama mereka. Itu adalah pertama kali wajah cerianya terlihat. Terutama ketika dia menemukan kupu-kupu di halaman. Dia akan mengejar kupu-kupu itu dengan penuh semangat, mata besarnya berkilat penuh rasa ingin tahu."
Alice tampak semakin bersemangat ketika menceritakan kebiasaan Lila yang lainnya. "Dia juga sangat penasaran dengan banyak hal di sekitar rumah. Suatu ketika, dia menemukan sarang burung di taman dan sangat senang melihat telur-telur kecil di dalamnya. Dia menghabiskan waktunya hanya untuk mengamati burung-burung kecil itu dengan penuh kekaguman. "
Namun, saat Alice sampai pada bagian di mana Lila akhirnya meninggal, emosinya mulai pecah. "Sejak setelah ia diserang oleh orang misterius, hari-hari terakhirnya sangat sulit. Dia mengalami banyak penderitaan, dan melihatnya seperti itu... rasanya sangat hancur. Kami berusaha keras untuk membuatnya nyaman, tapi dia hanya menunjukkan kehampaan, tidak ada senyuman ataupun ekspresinya lagi."
Felica menatap Alice dengan penuh simpati. "Aku sangat prihatin mendengar tentang kesedihan yang kau rasakan, nona Alice. Lila telah meninggalkan jejak yang mendalam di hati banyak orang. Meskipun dia tidak bisa lagi bersama kita, kenangan tentang dia akan selalu hidup."
Alice mengangguk dengan penuh rasa terima kasih. "Ya, kami akan selalu mengingatnya dengan kasih sayang. Dia mengajarkan kami banyak hal tentang cinta dan kekuatan, meskipun waktu bersama kami sangat singkat."
Felica berdiri dan berkata dengan tulus, "Terima kasih telah berbagi cerita tentang Lila. Aku akan selalu menghargai kenangan tentangnya dan berusaha untuk memastikan bahwa kenangan itu akan tetap ada. Kami akan terus berjuang untuk keadilan dan keamanan bagi semua makhluk, terutama mereka yang paling lemah."
Setelah berbincang dengan Alice, Felica melangkah keluar dari rumahnya, dan saat itulah Louis tiba. Louis, yang mengenakan pakaian petualangannya yang khas, memperhatikan sosok Felica dengan menghilang. Dengan rasa penasaran, ia mendekati Felica, memperkenalkan dirinya.
"Selamat pagi," kata Louis dengan ramah. "Aku Louis. sepertinya kamu adalah orang baru di desa ini. Apakah kamu baru saja tiba?"
Felica tersenyum lembut. "Selamat pagi, Louis. Ya, aku Felica. Aku baru saja datang untuk mengunjungi desa ini dan mengenal lebih jauh tentang Lila."
Alice pun memperkenalkan mereka. "Louis, dia Felica, petualang peringkat A dari ras manusia binatang. Sepertinya kemampuannya setara denganmu. Felica, dia keka… sahabatku, Louis. Dia juga petualang peringkat A sepertimu. Identitas petualangnya dari guild Eldoria."
Felica tampak senang setelah bertemu sesama petualang. "Wah, itu hebat, mungkin kita bisa menjalankan misi bersama." Katanya dengan senyum antusias. Felica pun mengurungkan niatnya untuk pergi dan kembali berbincang-bincang di situ.
Bagian 2
Setelah saling memperkenalkan, mereka mulai berbincang-bincang tentang Lila. Felica dengan cermat mendengarkan setiap cerita dari Louis dan Alice, merasa semakin terhubung dengan kisah Lila yang penuh warna. Pembicaraan mereka pun kemudian beralih ke topik dunia petualang.
Louis, yang penuh semangat, menceritakan berbagai pengalaman dan petualangan yang telah dilaluinya. Ia berbicara tentang misi-misi berbahaya, tempat-tempat yang menakjubkan, dan tantangan-tantangan yang mereka hadapi sebagai petualang sejati. Felica mendengarkan dengan antusias, jelas tertarik dengan dunia yang penuh dengan aksi dan keajaiban itu.
Saat percakapan mereka berakhir, Louis kemudian bertanya pada Felica, "Jadi, Felica, setelah ini, apa rencanamu? Apakah ada sesuatu atau tujuan yang ingin kamu capai?"
Felica menghela napas, tampak berpikir sejenak sebelum menjawab. "Sebenarnya, aku belum memiliki tujuan yang jelas. Setelah mengunjungi Gatewood dan menghormati kenangan Lila, aku masih belum tahu apa langkah berikutnya. Aku merasa sedikit kehilangan arah saat ini."
Louis merenung sejenak. "Kalau begitu, bagaimana kalau kamu bergabung dengan regu kami? Besok, aku dan Darius akan pergi ke Eldoria untuk mengambil misi di guild petualang.
Felica tampak terkejut namun tertarik dengan tawaran tersebut. "Bergabung dengan regu petualang ya? Kedengarannya menarik. Aku akan sangat senang untuk bergabung dan melihat apa yang bisa kupelajari dari pengalaman ini."
Louis tersenyum lebar. "Bagus sekali! Kami akan sangat senang jika kamu bergabung. Kami punya banyak hal yang bisa dikerjakan dan tempat yang bisa dijelajahi. Dengan keahlianmu, aku yakin kita bisa melakukan banyak hal hebat bersama. Oh ya, reguku terdiri dari tiga orang, aku sendiri sebagai petarung pedang, kemudian Darius, ia adalah seorang pemanah. Dan Sylphia, saudari Alice, ia adalah penyihir."
Alice tersenyum dan mengangguk. "Sylphia sekarang sedang bersekolah di akademi sihir di Phyridia."
"Akademi sihir? Aku pernah mendengarnya. Pasti sangat menyenangkan bisa menempuh pendidikan di sekolah bergengsi seperti itu." Sahut Felica.
Setelah kesepakatan tersebut, mereka menghabiskan waktu untuk berbincang-bincang lebih lanjut tentang rencana-rencana mendatang dan misi yang akan mereka ambil di Eldoria. Louis mengajak Felica untuk ikut serta dalam makan malam sederhana yang diadakan di rumah Alice, sehingga mereka bisa lebih mengenal satu sama lain sebelum memulai petualangan baru mereka.
Malam itu, suasana di rumah Alice menjadi lebih ceria. Louis, Felica, dan Alice bersama-sama berbagi cerita dan tawa. Felica merasa semakin diterima dan siap untuk memulai babak baru dalam petualangannya.
Keesokan harinya, sinar matahari pagi yang hangat menyinari desa Gatewood ketika Louis, Darius, dan Felica bersiap untuk berangkat ke Eldoria. Louis memastikan semua perlengkapan dan persediaan sudah siap, sementara Darius memeriksa busur dan anak panahnya dengan teliti. Felica, memeriksa semua perlengkapan, dan mengikat pedangnya di pinggang.
Sebelum berangkat, mereka bertiga menyempatkan waktunya untuk mengunjungi makam Lila yang ada di bawah pohon besar di ujung desa. Louis mendekat dan berjongkok tepat di depan batu nisannya. "Lila, kami akan berangkat dulu, ya… Jaga dirimu baik-baik di sana. Kami semua mencintaimu." Louis kemudian mengelus batu nisan itu, seolah membayangkan sedang mengelus kepala Lila.
"Siap untuk petualangan baru?" tanya Louis dengan senyum bersemangat.
"Selalu siap," jawab Darius dengan anggukan.
"Aku sudah tidak sabar," tambah Felica sambil tertawa ringan.
Mereka mulai berjalan melewati jalan desa menuju gerbang. Louis memperkenalkan Darius dan Felica satu sama lain sepanjang jalan.
"Darius, ini Felica. Dia petualang kelas A yang akan bergabung dengan kita," kata Louis.
"Dengan senang hati berkenalan denganmu, Felica," sapa Darius dengan ramah.
"Sama-sama, Darius. Senang bisa bergabung dengan kalian," jawab Felica dengan senyum hangat.
Dalam perjalanan menuju Eldoria, mereka mulai saling berbagi cerita tentang pengalaman masing-masing. Louis menceritakan peristiwa dua tahun lalu, ketika gelombang serangan monster melanda Eldoria. Dia berbicara dengan semangat, menggambarkan betapa mengerikannya situasi saat itu dan bagaimana mereka harus berjuang mati-matian untuk melindungi kota.
"Kami harus bekerja sama dengan petualang lain dan prajurit kota untuk menahan gelombang monster yang tak ada habisnya," cerita Louis dengan mata yang penuh antusias. "Itu adalah pertempuran yang panjang dan melelahkan. Banyak yang terluka, tapi kami berhasil mempertahankan Eldoria."
Darius mengangguk, menambahkan, "Aku ingat betapa sulitnya saat itu. Kami hampir kehabisan persediaan, tapi semangat kami tidak pernah padam. Itu adalah ujian yang memperkuat persahabatan kami."
Felica mendengarkan dengan kagum. "Kalian benar-benar hebat. Menghadapi serangan monster seperti itu bukanlah hal yang mudah. Aku sendiri pernah terlibat dalam beberapa pertempuran melawan monster, tapi tidak sebesar itu."
Louis tersenyum. "Itu semua berkat kerja sama tim. Setiap orang memainkan peran penting. Sylphia dengan sihir dan penyembuhannya, Darius dengan tepat memanahnya, dan aku dengan pedangku. Kami semua saling melindungi."
Felica tertawa kecil. "Aku sudah tidak sabar bertemu Sylphia dan melihat bagaimana kalian bekerja sebagai tim."
Selama perjalanan, mereka juga berbicara tentang hal-hal yang lebih ringan. Darius menceritakan kisah-kisah lucu dari masa kecilnya bersama Louis, bagaimana mereka sering bermain di hutan dan bermimpi menjadi petualang hebat. Felica berbagi cerita tentang petualangan solonya, termasuk beberapa misi berbahaya yang ia selesaikan sendiri.
Perjalanan mereka terasa singkat karena percakapan yang menyenangkan. Pemandangan indah sepanjang jalan juga menambah kesan positif dalam perjalanan mereka. Hutan lebat dengan sinar matahari yang menembus celah dedaunan, sungai yang mengalir dengan jernih, dan burung-burung yang berkicau riang membuat perjalanan semakin menyenangkan.
Ketika mereka tiba di gerbang Eldoria, mereka disambut oleh hiruk-pikuk kota yang sibuk. Pasar yang ramai, pedagang yang berteriak menjajakan barang dagangannya, dan para petualang yang lalu-lalang membuat suasana terasa hidup.
"Inilah Eldoria," kata Louis dengan bangga. "Tempat di mana kita akan menjalankan misi dan menghadapi tantangan baru."
Felica mengangguk dengan mata berbinar. "Aku sudah tidak sabar untuk memulai."
Dengan semangat yang tinggi, mereka melangkah masuk ke kota Eldoria, siap untuk petualangan baru yang menanti mereka di guild petualang.
Bagian 3
Sesampainya di tengah kota, Louis, Darius, dan Felica langsung menuju guild petualang, sebuah bangunan besar dan megah dengan pintu kayu besar yang dihiasi ukiran rumit. Di dalam, suasana terasa sibuk dan penuh semangat. Petualang dari berbagai tingkatan berkumpul, berdiskusi, dan bersiap-siap untuk misi mereka. Beberapa duduk di meja kayu panjang, mengobrol dengan rekan-rekan mereka, sementara yang lain berdiri di depan papan misi, membaca dengan cermat deskripsi misi yang terpampang di sana.
Louis, Darius, dan Felica langsung menuju papan misi. Mereka mencari misi yang sesuai dengan tingkat kemampuan mereka. Louis membaca setiap misi dengan teliti, berharap menemukan sesuatu yang menantang namun bisa mereka selesaikan.
"Bagaimana dengan ini?" Louis menunjuk sebuah misi penyelamatan. "Regu petualang peringkat D terjebak di sebuah dungeon di lereng bukit yang terletak tak jauh dari kota."
Darius mendekat untuk membaca deskripsi misinya. "Terjebak di dungeon? Itu bisa berbahaya. Tapi sepertinya kita mampu melakukannya."
Felica mengangguk setuju. "Ini kesempatan bagus untuk menguji kerja sama kita sebagai tim. Dan membantu sesama petualang adalah hal yang mulia."
Louis mengangguk dengan tekad. "Baiklah, kita ambil misi ini."
Mereka pun menuju meja resepsionis untuk mendaftarkan misi tersebut. Resepsionis, seorang wanita muda dengan rambut cokelat panjang dan senyum ramah, menyambut mereka.
"Selamat datang di guild petualang Eldoria. Apa yang bisa saya bantu?"
"Kami ingin mendaftarkan misi penyelamatan regu petualang peringkat D yang terjebak di dungeon di lereng bukit," kata Louis sambil memberikan kertas misi kepada resepsionis.
Wanita itu membaca kertas misi dengan seksama, kemudian mengangguk. "Misi ini sangat penting. Regu petualang itu sudah terjebak selama dua hari. Mereka kehabisan persediaan dan membutuhkan bantuan segera. Apakah kalian yakin bisa menangani ini?"
Louis, Darius, dan Felica saling pandang dengan yakin. "Kami siap," jawab Louis dengan tegas.
"Baiklah," kata resepsionis sambil mencatat detail misi mereka. "Saya akan memberi tahu ketua guild bahwa kalian mengambil misi ini. Semoga sukses, dan hati-hati di luar sana."
Mereka bertiga mengangguk dan meninggalkan meja resepsionis. Louis merasakan semangat membara di dalam dirinya. Ini adalah kesempatan untuk membuktikan kemampuan mereka sebagai tim dan membantu sesama petualang yang sedang dalam bahaya.
"Sebaiknya kita persiapkan segala sesuatunya sebelum berangkat," kata Darius. "Kita butuh persediaan dan peralatan yang cukup."
"Benar," setuju Felica. "Aku akan mencari beberapa ramuan penyembuh dan persediaan makanan."
Louis mengangguk. "Aku akan memeriksa peralatan kita. Pastikan semuanya siap dan dalam kondisi baik."
Dengan rencana yang jelas di benak mereka, mereka bertiga menyebar untuk mempersiapkan segala sesuatunya. Louis memeriksa pedangnya, memastikan bahwa senjatanya dalam kondisi sempurna. Darius memeriksa busur dan anak panahnya, memastikan bahwa semua peralatan dalam kondisi siap pakai. Felica membeli ramuan penyembuh dan persediaan makanan di pasar, berbicara dengan para pedagang untuk mendapatkan barang-barang terbaik.
Setelah semuanya siap, mereka berkumpul kembali di pintu gerbang kota. Dengan persediaan yang cukup dan rasa percaya diri yang tinggi, mereka bersiap untuk berangkat menuju lereng bukit di mana regu petualang peringkat D terjebak.
"Ayo kita pergi," kata Louis dengan tegas. "Regu petualang itu membutuhkan kita."
Bagian 4
Louis, Darius, dan Felica berjalan menuju lereng bukit tempat dungeon berada. Udara di sekitar mereka semakin dingin, menandakan mereka semakin mendekati pintu masuk. Sesampainya di sana, mereka melihat pintu batu besar yang tertutup lumut dan tanaman liar, memberikan kesan tua dan terabaikan. Louis mengambil napas dalam-dalam sebelum mendorong pintu batu itu dengan tenaga penuh. Suara gemeretak keras terdengar saat pintu terbuka perlahan, menyingkap lorong gelap di dalamnya.
"Kita harus berhati-hati," bisik Darius, matanya tajam mengawasi sekeliling. Ia mengangkat busurnya, siap menghadapi ancaman apapun.
Felica mengangguk setuju. "Jangan khawatir, aku akan mengawasi belakang dan bersiap dengan pedang sihirku," ujarnya dengan penuh keyakinan.
Mereka melangkah masuk, dan suasana langsung berubah menjadi mencekam. Udara lembap dan bau tanah basah mengelilingi mereka. Cahaya obor yang mereka bawa memantul di dinding batu yang kasar. Mereka berjalan dengan langkah hati-hati, waspada terhadap setiap suara dan gerakan di sekitar mereka.
Tidak lama setelah mereka memasuki dungeon, suara gemuruh terdengar dari kejauhan. Tiba-tiba, seekor monster besar muncul dari kegelapan. Monster itu berbentuk seperti laba-laba raksasa dengan delapan mata merah menyala dan taring yang meneteskan racun.
"Siap-siap!" seru Louis sambil menghunus pedangnya.
Darius langsung memanah monster itu dengan beberapa panah sekaligus yang beracun. Panah itu mengenai beberapa mata monster, membuatnya mengaum marah dan melompat ke arah mereka. Louis dengan gesit melompat ke samping, menghindari serangan monster. Felica segera melancarkan serangan dengan pedang sihirnya. Dengan satu ayunan cepat, ia menebas tubuh laba-laba, seketika menyebabkan monster itu terbelah. Monster laba-laba pun dapat mereka kalahkan dengan mudah. "Itu serangan yang bagus, Felica." Kata Louis.
Felica tersenyum percaya diri. "Aku menghabiskan hari-hariku sebagai petualang solo dengan melawan monster-monster seperti ini. Namun mereka masih terlalu kuat untuk petualang peringkat C ke bawah."
Louis mengangguk. "Mereka pasti menghadapi banyak bahaya seperti ini."
"Kita harus terus maju," jawab Darius dengan tekad.
Mereka melanjutkan perjalanan menyusuri lorong-lorong dungeon. Di tengah jalan, mereka bertemu dengan monster-monster kuat lainnya, seperti golem batu yang kuat dan serangga raksasa yang bisa mengeluarkan asam. Setiap kali mereka menghadapi musuh, mereka bekerja sama dengan baik, menggunakan keahlian masing-masing untuk mengalahkan mereka.
Ketika mereka semakin dalam ke dalam dungeon, mereka menemukan tanda-tanda keberadaan regu petualang yang terjebak. Ada bekas jejak kaki dan peralatan yang tertinggal. Mereka pun segera menyusuri tempat itu.
Akhirnya, mereka menemukan sebuah ruangan besar yang dipenuhi dengan monster. Di tengah ruangan, mereka melihat beberapa petualang yang terluka dan terjebak di bawah reruntuhan.
"Lihat! Mereka ada di sana!" seru Felica.
Louis, Darius, dan Felica segera terjun ke dalam pertempuran melawan monster-monster itu. Felica menggunakan pedang sihirnya untuk menciptakan pelindung sihir di sekitar petualang yang terjebak, sementara Louis dan Darius menyerang monster dengan keahlian mereka. Setelah pertempuran yang cukup panjang, mereka berhasil mengalahkan semua monster.
Dengan hati-hati, mereka membantu petualang yang terjebak keluar dari reruntuhan. Salah satu petualang, seorang pria muda dengan luka di lengannya, mengucapkan terima kasih dengan suara serak. "Terima kasih... kami pikir kami tidak akan selamat."
"Semua sudah berakhir sekarang," kata Louis dengan senyum meyakinkan. "Kami akan membawa kalian keluar dari sini."
Mereka memimpin regu petualang yang terluka keluar dari dungeon, memastikan bahwa tidak ada yang tertinggal. Ketika mereka akhirnya mencapai pintu keluar, cahaya matahari yang hangat menyambut mereka, memberikan harapan baru.
Di luar, para petualang yang diselamatkan mengucapkan terima kasih kepada Louis, Darius, dan Felica dengan penuh rasa syukur. "Kalian adalah pahlawan kami," kata salah satu dari mereka dengan mata berkaca-kaca.
"Kami hanya melakukan tugas kami," jawab Darius dengan rendah hati.
Louis mengangguk. "Yang penting kalian semua selamat. Kalian harus segera mendapatkan perawatan medis."
Felica tersenyum, merasa bangga telah menjadi bagian dari misi penyelamatan ini. "Aku senang bisa membantu," katanya.
Setelah memastikan semua petualang yang diselamatkan mendapatkan bantuan yang mereka butuhkan, Louis, Darius, dan Felica kembali ke guild petualang untuk melaporkan keberhasilan mereka. Mereka merasa lega dan puas telah menyelesaikan misi mereka dengan baik.
Dalam perjalanan pulang, rombongan petualang yang baru diselamatkan berjalan perlahan di sepanjang jalan setapak yang membawa mereka kembali ke kota Eldoria. Langit sore yang cerah memberikan cahaya hangat, dan angin sepoi-sepoi bertiup, memberikan sedikit kenyamanan setelah pertempuran sengit di dalam dungeon.
Salah satu petualang yang diselamatkan, seorang pria muda dengan rambut coklat keriting dan wajah berdebu, mendekati Louis dan mengucapkan terima kasih sekali lagi. "Namaku Joren," katanya. "Aku tidak tahu bagaimana kami bisa cukup beruntung menemukan kalian di saat yang tepat."
Louis tersenyum ramah. "Kami senang bisa membantu, Joren. Bisa ceritakan bagaimana kalian bisa terjebak di sana?"
Joren menghela napas panjang sebelum mulai bercerita. "Kami adalah regu petualang peringkat D, baru saja memulai perjalanan kami. Kami mendengar tentang dungeon itu dari salah satu papan misi di guild dan berpikir itu akan menjadi pengalaman yang bagus untuk meningkatkan keterampilan kami dan mendapatkan beberapa hadiah."
Seorang wanita muda dari regu Joren, dengan rambut pirang yang diikat rapi dan wajah penuh luka, melanjutkan ceritanya. "Awalnya, semuanya berjalan lancar. Kami berhasil mengalahkan beberapa monster kecil dan mengumpulkan beberapa harta. Tapi semakin dalam kami masuk, semakin kuat monster yang kami hadapi."
"Benar," tambah seorang pria bertubuh kekar dengan bekas luka di lengannya. "Kami bertemu dengan monster laba-laba raksasa, dan meskipun kami berhasil mengalahkannya, kami kelelahan. Kami memutuskan untuk beristirahat sejenak, tetapi kami tidak menyadari bahwa kami sudah masuk terlalu dalam."
"Dan saat itulah masalahnya dimulai," lanjut Joren dengan suara serius. "Kami diserang oleh golem batu dan serangga raksasa yang bisa mengeluarkan asam. Pertempuran itu membuat kami terpencar. Beberapa dari kami terluka parah dan tidak bisa bergerak cepat."
Wanita muda itu mengangguk, matanya berkaca-kaca saat mengingat kejadian itu. "Kami berusaha bertahan dan saling melindungi, tapi monster terus datang. Kami terjebak di ruangan besar itu, dengan reruntuhan yang jatuh menghalangi jalan keluar kami. Kami pikir itu adalah akhir dari segalanya."
Louis mendengarkan dengan seksama, merasakan ketegangan dan ketakutan yang mereka alami. "Itu pasti sangat menakutkan," katanya dengan empati. "Kalian menunjukkan keberanian yang luar biasa."
Joren tersenyum lemah. "Terima kasih, tapi kami sangat beruntung kalian datang tepat waktu. Jika tidak, kami mungkin tidak akan bertahan lebih lama lagi."
Felica, yang berjalan di samping mereka, mengangguk. "Ini mengingatkan kita betapa pentingnya persiapan dan kewaspadaan. Dungeon bisa sangat berbahaya, terutama bagi mereka yang belum berpengalaman."
Darius menambahkan, "Dan pentingnya bekerja sama sebagai tim. Kalian bisa bertahan karena saling melindungi dan mendukung satu sama lain. Itu adalah pelajaran berharga."
Selama perjalanan, regu Louis dan petualang yang diselamatkan terus berbicara, berbagi pengalaman dan cerita petualangan mereka. Setiap cerita membawa pelajaran dan pengingat tentang risiko dan hadiah dari kehidupan seorang petualang. Mereka tertawa dan berbicara, saling memberi semangat dan motivasi untuk menghadapi tantangan berikutnya.
Ketika mereka akhirnya mendekati gerbang kota Eldoria, matahari sudah hampir tenggelam di cakrawala, memberikan pemandangan yang indah dengan cahaya keemasan yang menyinari jalan. Louis, Darius, dan Felica merasa puas telah menyelesaikan misi mereka dengan sukses, sementara para petualang yang diselamatkan merasa bersyukur dan terinspirasi oleh keberanian dan keterampilan penyelamat mereka.