Bagian 1
Siang itu, suasana rumah Alice terasa tenang dan sejuk. Lila terbangun dari ranjang kecilnya yang hanya sebesar keranjang belanjaan. Mata abu-abunya mulai menyesuaikan diri dengan cahaya matahari yang masuk melalui jendela. Rambut panjangnya yang berwarna kuning emas berserakan di bantal, memberikan kesan cerah di ruangan. Ia menggerakkan kaki mungilnya dengan hati-hati, berusaha tidak menimbulkan suara.
Setelah membaringkan diri di ranjangnya, Lila melangkah keluar dari kamar. Ia menjelajahi rumah dengan rasa ingin tahu, mencari-cari kehadiran Alice atau orang tuanya. Setiap langkahnya nyaris tak terdengar, dan telinganya yang mirip telinga rubah tetap tegak, mendengarkan setiap suara yang mungkin menandakan keberadaan seseorang.
Di ruang tamu, Lila menyusuri sudut-sudut ruangan yang familiar baginya, tetapi tidak menemukan siapapun. Dengan rasa khawatir, ia memanggil, "A.. is…, a.. ya…, i.. bu…" Suaranya terdengar pelan dan putus asa, tetapi tidak ada jawaban yang ia terima. Suasana rumah yang sepi membuatnya merasa semakin cemas. Ia kembali berjalan ke dapur, tempat terakhir di mana ia melihat ibunya. Namun dapur juga kosong, hanya ada aroma masakan yang masih tersisa di udara.
Sementara itu, di luar rumah, Darius baru saja tiba dari ibukota bersama keluarganya. Mereka baru kembali dari sebuah perjalanan yang panjang dan melelahkan. Dalam suasana yang penuh semangat setelah perjalanan, Darius membawa sebuah surat dari Sylphia yang ingin disampaikan kepada Alice. Sesampainya di depan rumah Alice, Darius mengetuk pintu dengan sopan, berharap Alice atau salah satu anggota keluarganya akan membukakan.
Ketika Lila mendengar ketukan pintu dari arah depan rumah, ia merasa senang, berpikir bahwa Alice mungkin sudah pulang. Dengan penuh semangat, ia berlari kecil menuju pintu, walaupun langkahnya masih agak goyang karena tubuhnya yang kecil. Ketika ia sampai di pintu, ia mencoba membuka gagang pintu dengan usaha keras. Tangannya yang mungil menggenggam gagang pintu yang terlalu tinggi baginya. Ia berjinjit, mencoba sekuat tenaga untuk mencapai gagang pintu yang tampak jauh dari jangkauan.
Saat Darius mengetuk pintu dan Lila berjuang keras untuk membukanya, dia tidak menyadari bahwa orang di balik pintu adalah seseorang yang tidak dikenalnya. Ketika pintu akhirnya terbuka, Lila hanya melihat sosok asing yang berdiri di sana, Darius. Melihat orang yang tidak ia kenal, ia pun menjadi ketakutan. Ia kemudian membalikkan badan dan lari menjauh dari pintu dengan langkah mungilnya.
Darius, yang terkejut melihat reaksi tiba-tiba Lila, mengangkat alisnya dan bertanya-tanya tentang anak kecil itu. "Siapa dia? Kenapa dia lari?" pikirnya dalam hati, sambil memperhatikan Lila yang berlari ke arah ruang belakang.
Tak lama setelah itu, Alice muncul dari halaman belakang, membawa beberapa sayuran segar yang baru dipetik dari kebun. Melihat Darius di depan pintu, dia tersenyum lebar dan menyapa, "Oh, Darius! Selamat datang di rumah. Apa kabar?"
Darius memandang Alice dengan ramah. "Halo, Alice. Aku baru saja mendapatkan surat dari Sylphia. Pengantar pesan kebingungan mencari rumahmu di gerbang desa, jadi aku yang mengambilnya untukmu."
Alice menerima surat dari Darius dengan penuh rasa syukur, lalu bertanya, "Oh, terima kasih banyak, Darius. Aku tidak menyadari ada pengantar pesan di sekitar."
Darius melanjutkan, "Sebenarnya, tadi aku melihat seorang anak kecil di sini. Dia tampaknya ketakutan dan segera berlari menjauh ketika pintu terbuka. Siapa dia? Aku belum pernah melihatnya."
Mendengar keterangan tersebut, Alice tersenyum tipis. "Itu pasti Lila," kata Alice dengan nada tenang. "Dia adalah anak dari ras manusia binatang yang kami adopsi. Dia mungkin belum sepenuhnya terbiasa dengan orang baru dan situasi yang belum dikenal."
Darius mengangguk memahami. "Ah, jadi dia adalah Lila. Baiklah, aku harus melanjutkan pekerjaanku. Sampai jumpa nanti."
Alice melambaikan tangan untuk mengantarkan Darius pergi, kemudian segera bergegas mencari Lila. Hatinya mulai berdebar, khawatir tentang di mana Lila berada dan apakah dia baik-baik saja.
Alice mulai menyusuri setiap sudut rumah, memeriksa kamar-kamar dan ruangan-ruangan yang mungkin menjadi tempat persembunyian Lila. "Lila? Di mana kamu?" panggilnya dengan lembut, berharap bisa menemukan Lila tanpa menakut-nakutinya lebih jauh.
Setelah beberapa saat mencari, Alice merasa cemas karena tidak menemukan Lila di mana pun. Ia mulai khawatir dan berpikir untuk memeriksa tempat-tempat yang mungkin kurang umum terutama jika Lila merasa sangat takut. Alice kemudian memeriksa area bawah meja makan.
Alice merangkak ke bawah meja makan dengan hati-hati, berharap Lila ada di sana. Dan betapa leganya dia ketika melihat Lila bersembunyi di bawah meja, tampak sangat ketakutan. Lila duduk di pojok bawah meja dengan tubuhnya yang gemetar sambil memeluk ekornya. Telinga rubahnya terlihat melemas ke bawah. Mata besarnya memandang dengan ketakutan, dan ada sedikit air mata di sudut matanya.
Alice meraih tangan Lila dengan lembut, berusaha menenangkan. "Lila, sayang, ini aku, Alice. Kamu tidak perlu takut. Aku hanya ingin memastikan kamu baik-baik saja."
Lila menatap Alice dengan penuh kecemasan. Suara lembut dan penuh kasih sayang Alice mulai mengurangi ketegangan di dalam dirinya. Alice dengan sabar mengulurkan tangan dan berkata, "Ayo keluar dari sini, ya? Kamu tidak perlu sembunyi lagi. Semua orang di sini akan menjaga dan melindungimu."
Dengan gerakan lembut, Alice membantu Lila keluar dari bawah meja. Lila mengusap air mata di wajahnya, masih tampak ragu, tetapi perlahan-lahan mulai merasa lebih nyaman di hadapan Alice. Alice memeluknya dengan lembut dan membawanya kembali ke ruang utama rumah.
"Coba lihat," kata Alice sambil mengusap punggung Lila, "Di sini sangat aman. Kamu bisa tinggal di sini dengan kami dan semua orang akan merawatmu dengan baik."
Lila mengangguk sedikit, merasa lebih tenang dengan kehadiran Alice yang penuh kasih. "A.. is…" Ia mencoba berbicara, suaranya masih terdengar kecil dan gemetar.
Alice tersenyum lembut. "Ya, sayang, aku di sini. Kamu tidak perlu khawatir."
Alice menggendong Lila dengan penuh hati-hati dan membawanya ke ruang tamu, di mana mereka bisa duduk dan berbicara lebih tenang. Sambil melanjutkan pembicaraan dengan lembut, Alice berusaha memastikan bahwa Lila merasa aman dan nyaman di rumah baru ini.
Bagian 2
Sore itu, udara terasa sejuk dan cerah. Alice memutuskan untuk membawa Lila berkeliling desa Gatewood, ingin memperkenalkan anak itu kepada penduduk desa dan membantunya merasa lebih nyaman. Setelah makan siang, Alice dan Lila melangkah keluar dari rumah. Lila mengenakan pakaian baru yang diberikan oleh ibu Alice, meskipun masih agak longgar dan kebesaran, namun tampak jauh lebih bersih dan nyaman dibandingkan daster lusuh yang dikenakannya sebelumnya.
Alice memegang tangan kecil Lila dengan lembut. Lila tampak penasaran namun sedikit cemas. Mereka mulai berjalan menyusuri jalan setapak yang menembus desa, di mana berbagai aktivitas sehari-hari penduduk desa berlangsung dengan suasana yang tenang dan akrab.
Di sepanjang jalan, Alice memperkenalkan Lila kepada para penduduk. "Ini Lila," kata Alice sambil tersenyum kepada seorang pedagang sayuran di pasar desa. "Dia baru saja kami adopsi. Kami sedang membantunya merasa nyaman di sini."
Pedagang sayur itu membungkuk sedikit, tersenyum ramah, dan menyapa Lila dengan lembut, "Halo, Lila! Selamat datang di desa Gatewood. Kamu bisa datang ke toko kapan saja kalau butuh sayuran segar."
Lila hanya mengangguk pelan dan mengamati dengan rasa ingin tahu. Sesekali, ia masih berpegangan erat pada tangan Alice. Alice merasa bangga melihat Lila perlahan-lahan mulai beradaptasi, meskipun masih terlihat sedikit canggung.
Mereka melanjutkan perjalanan mereka melewati berbagai rumah dan toko. Alice berhenti di depan toko roti dan memperkenalkan Lila kepada pemiliknya, seorang wanita tua dengan senyuman yang hangat dan ramah. "Ini adalah Lila. Kami baru saja menemukan dan merawatnya. Aku ingin dia merasa betah di sini, jadi kami memutuskan untuk mengenalkan dia kepada semua orang."
Wanita tua itu menunduk untuk melihat Lila dan memberikan senyum lembut. "Selamat datang, Lila. Aku harap kamu merasa nyaman di desa ini. Jangan ragu untuk datang ke toko kapan saja, ya?"
Lila mengangguk kecil, tampak sedikit lebih santai dengan setiap pertemuan. Alice melanjutkan perjalanan mereka dan akhirnya tiba di alun-alun desa. Di sana, anak-anak desa sedang bermain bola dan beberapa penduduk dewasa sedang berkumpul berbincang. Lila melihat ke arah mereka dengan rasa ingin tahu, sedikit terpesona dengan suasana ceria.
Tiba-tiba, Lila melihat seseorang yang sangat dikenalnya. Louis sedang berdiri di dekat alun-alun, berbicara dengan beberapa penduduk desa. Ketika ia melihat Lila dan Alice, wajahnya langsung berseri-seri. Lila yang masih memegang tangan Alice, tiba-tiba berlari kecil menuju Louis. Dengan langkah tergesa-gesa dan ekspresi penuh kegembiraan, Lila memeluk kaki Louis dengan tubuh kecilnya.
Louis terlihat terkejut namun sangat senang. Ia menunduk dan dengan lembut mengangkat Lila ke pelukannya. "Lila! Kamu baik-baik saja?" tanyanya dengan nada lembut. Lila merespons dengan memeluk Louis erat-erat, seolah-olah dia tidak ingin melepaskannya. Matanya yang biasanya menunjukkan kecemasan kini tampak lebih cerah.
Alice tersenyum melihat interaksi antara Louis dan Lila. "Dia sangat merindukanmu, Louis," kata Alice. "Kami baru saja berkeliling desa untuk memperkenalkan dia kepada orang-orang di sini."
Louis mengangguk dan memandang Alice dengan rasa terima kasih. "Terima kasih sudah membantunya merasa lebih nyaman di sini," katanya. "Aku akan memastikan dia merasa aman dan diterima di desa ini."
Setelah beberapa saat, Louis meletakkan Lila dengan lembut di tanah dan berjongkok di hadapannya. "Lila, kamu tahu tidak? Semua orang di desa ini adalah temanmu. Mereka akan selalu siap membantu jika kamu membutuhkan sesuatu."
Lila menatap Louis dengan mata penuh kepercayaan, dan meskipun dia masih merasa sedikit canggung, dia mulai merasa lebih nyaman. Alice dan Louis menghabiskan beberapa waktu lagi di alun-alun, memperkenalkan Lila kepada beberapa penduduk desa yang tersisa. Setiap kali Lila bertemu seseorang baru, dia masih tampak sedikit ragu, tetapi dia perlahan-lahan mulai merasa lebih tenang dan percaya diri.
Sore itu, suasana desa Gatewood terasa tenang dan damai. Setelah berkeliling desa, Louis dan Alice memutuskan untuk mengajak Lila ke tempat Griselda. Griselda sedang melatih beberapa pemuda desa dalam teknik bela diri di area terbuka di luar desa. Matahari mulai meredup di ufuk barat, memberikan cahaya keemasan yang lembut pada latar belakang mereka.
Sesampainya di lokasi latihan, mereka melihat Griselda sedang menginstruksikan kelompok pemuda yang tampak serius mengikuti latihannya. Griselda, dengan seragam kesatria yang terawat rapi dan senyum ramah di wajahnya, langsung menyadari kedatangan Louis dan Alice.
"Selamat sore, Louis, Alice," sapanya sambil menghentikan latihan sejenak. "Oh, Lila ya? Senang bertemu denganmu. Aku Griselda," katanya sambil membungkuk sedikit. Lila, yang awalnya tampak sedikit cemas melihat Griselda mendekat, menarik napas dalam-dalam dan mencoba untuk menenangkan dirinya.
Alice melihat ketegangan di wajah Lila dan tersenyum lembut. "Lila, Griselda adalah seorang kesatria yang sangat baik. Aku rasa kamu bisa merasa nyaman bersamanya."
Griselda, menyadari Lila mungkin merasa sedikit takut, mengulurkan tangan dengan lembut. "Bagaimana kalau aku menggendongmu, Lila? Aku janji akan sangat hati-hati," katanya sambil tersenyum.
Lila masih terlihat ragu. Ia menatap Griselda dengan mata abu-abunya yang besar, telinga rubahnya sedikit mengkerut ke bawah. Namun, setelah beberapa saat, ia mulai merasa nyaman dengan kehangatan dan keleluasaan di sekitar Griselda. Perlahan-lahan, ia mengangguk dan membiarkan Griselda untuk menggendongnya.
Griselda memeluk Lila dengan lembut dan hati-hati. Lila tampak agak canggung di awal, tetapi perlahan-lahan ia mulai merasa lebih nyaman. Griselda membawanya berkeliling sambil memperkenalkan Lila kepada para pemuda yang sedang berlatih.
Para pemuda yang awalnya terlihat sibuk dengan latihan mereka, berhenti sejenak untuk menyapa Lila. Beberapa dari mereka tersenyum ramah dan melambaikan tangan. "Halo, Lila! Selamat datang di desa kami!" kata salah satu pemuda dengan penuh semangat. "Senang melihatmu di sini!"
Salah satu pemuda, yang dikenal sebagai Josef, memperhatikan Lila dan tampak agak serius. "Aku ingat waktu kami membersihkan hutan dua hari lalu. Kami menemukan banyak makhluk kecil sepertinya yang sudah mati di sana," katanya, suaranya berubah menjadi lebih lembut. "Kami semua bekerja sama untuk menguburkan mereka dengan layak. Aku ingat melihat teman-teman Lila di antara mereka. Tapi syukurlah, kamu masih aman dan selamat, Lila."
Lila, yang masih dalam pelukan Griselda, mendengar cerita tersebut dan matanya yang abu-abu tampak memerah. Griselda, merasakan ketegangan di tubuh Lila, membelai punggungnya dengan lembut. "Kamu tidak perlu khawatir, Lila. Kami semua di sini akan menjaga kamu dan memastikan kamu merasa aman."
Setelah beberapa saat menggendong, Griselda akhirnya mengembalikan Lila kepada Alice. Setelah cukup bercengkrama, Louis dan Alice berpamitan sambil menuntun Lila. Saat berjalan-jalan, langkah kecil Lila terhenti ketika melihat anak-anak seusianya sedang bermain. Anak-anak itu yang melihatnya pun menghampirinya. Mereka tampak kagum melihat telinga dan ekor lila. Louis pun mengenalkannya.
"Anak-anak, dia Lila. Dia baru datang ke desa ini kemarin." Kata Louis sambil tersenyum. Anak-anak yang penasaran pun memandangi Lila kembali. Salah satu dari mereka mengenalkan dirinya.
"Halo, namaku Sasha, senang bertemu denganmu." Kata salah satu anak.
"Aa… caa." Lila mencoba menirukannya.
"Benar, ayo kita main bersama!" Kata Sasha.
"Aa… iiin!" Tiru Lila. Ia kemudian menatap Louis dan Alice sesaat. Mereka pun mengangguk, tanda mengizinkannya. Sasha pun kemudian menuntun Lila dan mengenalkannya pada yang lain, dan mereka pun bermain bersama.
Setelah beberapa saat bermain dengan anak-anak desa, matahari mulai merendah menuju sore. Lila tampak berlari kembali dengan langkah-langkah kecil dan bersemangat menuju Louis dan Alice, yang duduk di bawah pohon rindang tidak jauh dari area bermain. Wajahnya yang sebelumnya penuh ketegangan kini dipenuhi dengan cahaya kebahagiaan.
Alice dan Louis, yang sejak awal hari tidak berhenti memantau dari kejauhan, terkejut melihat perubahan besar pada Lila. Saat Lila mendekati mereka, mereka bisa melihat perbedaan yang mencolok dari ekspresi wajahnya. Senyum ceria dan tawa riang yang tidak pernah mereka lihat sebelumnya kini menghiasi wajah imutnya. Ini adalah pertama kalinya Lila tersenyum dan menunjukkan wajah bahagia.
Louis menyadari betapa langka dan berartinya senyuman itu. "Lila! Kamu kelihatan sangat bahagia sekarang," ucapnya dengan nada lembut. Matanya berbinar-binar melihat perubahan positif yang terjadi pada Lila.
Bagian 3
Keesokan harinya, udara pagi yang segar masuk melalui jendela kamar, menyapu lembut wajah Lila yang masih terlelap di ranjang kecilnya. Suara-suara lembut dari luar rumah mulai mengusik tidurnya. Lila membuka matanya, sedikit bingung dengan keramaian yang terdengar. Ia mendengar suara Louis, Alice, dan orang tua Alice berbicara, serta Darius yang terlibat dalam percakapan.
Dengan hati-hati, Lila melangkah turun dari ranjang kecilnya dan berjalan pelan-pelan menuju pintu kamar. Ia mengintip dari celah pintu, mencoba memahami apa yang sedang terjadi di luar. Dari posisinya, ia bisa melihat bahwa sudah ada banyak orang yang berkumpul di halaman rumah. Louis tampak sedang berbicara dengan serius kepada orang tua Alice dan Darius. Sementara itu, Alice tampak sibuk mengatur sesuatu, sesekali melihat ke arah Lila dengan senyuman penuh pengertian.
Ayah Alice, dengan rambut pirangnya yang sudah memutih dan mata biru cerahnya, sedang berdiskusi dengan Louis. "Kita harus segera pergi ke kediaman kepala desa. Ini berkaitan dengan kejadian kemarin, dan kita perlu memastikan bahwa semua informasi tentang apa yang terjadi pada Lila dan teman-temannya bisa disampaikan dengan jelas."
Ibu Alice, dengan rambut hitam dan mata merah yang penuh perhatian, tampak sedikit khawatir. "Namun, bukankah tidak logis menginterogasi anak kecil yang bahkan belum bisa berbicara dengan lancar? Kita tidak bisa mendapatkan informasi yang jelas dari Lila saat ini."
Louis mengangguk, tampak setuju dengan kekhawatiran tersebut. "Benar, tetapi kita perlu melakukan langkah awal untuk menyampaikan apa yang kami temukan dan memulai proses penyelidikan. Mungkin ada cara lain untuk membantu Lila berbicara tentang apa yang terjadi nanti."
Darius, yang berdiri di samping, menambahkan dengan nada yakin, "Apa pun keputusannya, kita harus pergi ke rumah kepala desa dahulu. Hal ini penting untuk memberi mereka gambaran yang jelas tentang situasi ini, dan mungkin mereka bisa memberikan panduan lebih lanjut tentang bagaimana melanjutkan penyelidikan."
Setelah semua setuju, mereka mulai mempersiapkan diri untuk berangkat. Louis menggendong Lila dengan hati-hati, memastikan ia merasa nyaman dan aman. Alice mengikuti di sampingnya, sementara orang tua Alice dan Darius memimpin jalan menuju kediaman kepala desa.
Sesampainya di kediaman kepala desa Gatewood, suasana di dalam ruangan rapat tampak sibuk dan tegang. Kepala desa Neils mempersilakan Louis, Alice, Lila, dan yang lainnya untuk masuk. Di dalam ruangan, terlihat beberapa utusan adipati yang sudah tiba lebih dahulu. Mereka adalah pejabat dari Eldoria yang ditugaskan untuk menangani kasus ini. Terdapat juga beberapa petugas keamanan desa yang sedang menyiapkan dokumen dan peralatan penyelidikan. Terlihat juga Griselda dengan seragam lengkapnya berjaga untuk memastikan kondusifitas selama rapat berlangsung.
Kepala desa Neils memperkenalkan utusan-utusan tersebut kepada Louis dan Alice. Salah satu utusan, seorang pria berpakaian resmi dengan janggut keabu-abuan bernama Lord Hendrick, berdiri di depan meja besar yang dipenuhi peta dan dokumen. Ia menyapa mereka dengan serius dan memberikan tanda tangan untuk mengonfirmasi kedatangan mereka.
Lord Hendrick mulai berbicara, "Terima kasih telah datang. Kami di sini untuk menangani kasus pembantaian yang terjadi di hutan dan mencari tahu siapa pelakunya. Kami sangat menghargai semua informasi yang bisa Anda berikan."
Louis mengangguk dan menjelaskan, "Kami menemukan Lila di hutan setelah melihat kekacauan dan melihat banyak makhluk kecil yang terbunuh. Kami tidak tahu siapa pelakunya, tetapi tampaknya ada motif jahat di balik tindakan ini."
Lord Hendrick mencatat setiap detail dengan seksama. "Kami sudah menerima laporan dari kepala desa mengenai kejadian ini. Dari informasi yang kami miliki, tampaknya pelaku memiliki niat khusus. Kami perlu mendalami lebih lanjut mengenai siapa yang bisa melakukan kekejaman seperti ini."
Alice mengangguk, "Lila mungkin bisa memberikan informasi, tetapi saat ini ia masih sangat ketakutan dan belum bisa berbicara dengan lancar. Kami berharap bisa menemukan petunjuk lebih lanjut melalui penyelidikan ini."
Seorang pria muda dari tim utusan, yang terlihat cermat dan berwibawa, bernama Laurence, berdiri dan berkata, "Kami akan melakukan wawancara dengan semua saksi dan memeriksa area kejadian lebih mendalam. Kami juga akan meminta bantuan dari guild petualang untuk melakukan penyelidikan di luar wilayah ini jika diperlukan."
Lord Hendrick menambahkan, "Kami juga perlu memeriksa latar belakang dari siapa pun yang mungkin memiliki motif untuk melakukan hal ini. Adakah orang-orang yang Anda ketahui di sekitar wilayah ini yang mungkin memiliki konflik atau dendam?"
Louis dan Alice berpikir sejenak. Louis menjelaskan bahwa mereka telah melakukan pemeriksaan awal dan belum menemukan informasi yang mencurigakan, tetapi mereka bersedia membantu dalam penyelidikan lebih lanjut.
Di tengah kesibukan rapat di kediaman kepala desa, Lila merasa sedikit bosan dan bingung dengan semua orang dewasa yang sibuk berbicara. Sementara Louis dan Alice bersama utusan adipati sibuk membahas kasus, Lila merasa penasaran dan tidak tahu harus berbuat apa. Ia memutuskan untuk menjelajah sekitar kediaman dengan hati-hati.
Saat Lila melangkah keluar dari kediaman, udara segar di luar terasa menyegarkan. Mata besarnya terpikat oleh sesuatu yang berwarna-warni dan berkilauan. Sebuah kupu-kupu cantik dengan sayap berwarna biru dan ungu terbang di sekitar taman. Kupu-kupu itu tampak begitu indah dan lembut, seolah-olah ia adalah bagian dari mimpi. Lila, yang belum pernah melihat kupu-kupu seindah itu sebelumnya, merasa sangat tertarik.
Lila yang takjub melihat kupu-kupu itu kemudian mengikutinya, meskipun ia tahu bahwa ia tidak seharusnya jauh-jauh dari tempat pertemuan. Dengan langkah kecilnya, Lila mulai mengikuti gerakan kupu-kupu, yang terbang dari satu bunga ke bunga lainnya. Kadang kupu-kupu itu hinggap sejenak di bunga-bunga taman, dan Lila berusaha mendekati dengan hati-hati, namun begitu ia mendekat, kupu-kupu itu akan terbang lagi.
Lila tidak memperhatikan seberapa jauh ia telah berjalan, terlalu fokus pada keindahan kupu-kupu yang terus melayang di depannya. Ia melewati kebun sayur, taman kecil, dan rumah-rumah desa yang semakin menjauh di belakangnya. Waktu berlalu dan matahari semakin tinggi, namun Lila tetap tidak menyadari betapa jauh ia telah pergi dari kediaman kepala desa.
Ketika kupu-kupu akhirnya terbang hingga keluar desa ke arah hutan yang lebih lebat, Lila semakin penasaran dan terus mengikuti. Dia melangkah lebih jauh ke dalam hutan, dan kedekatannya dengan kupu-kupu membuatnya semakin tidak sadar akan lingkungan sekelilingnya. Suara-suara hutan yang samar-samar mulai terdengar, dan bau tanah yang lembap menyentuh hidungnya.
Kupu-kupu itu akhirnya terbang tinggi ke langit dan menghilang dari pandangan Lila. Pada saat itu, Lila baru tersadar dari keterpikatannya dan melihat sekelilingnya. Hutan yang lebat dengan pepohonan tinggi dan semak-semak yang rapat kini mengelilinginya. Lila merasa ketakutan dan mulai cemas saat menyadari bahwa ia berada jauh dari desa dan kediaman kepala desa.