Chapter 11 - Chapter 10 : Family

Bagian 1

Louis berjalan dengan Lila masih dalam pelukan Alice, pikirannya sibuk memikirkan situasi yang baru saja diceritakan kepada Griselda. Beberapa saat yang lalu, Adipati Eldoria sudah melakukan pemberantasan bandit di seluruh wilayah dengan melibatkan para petualang peringkat A, termasuk regunya sendiri. Jadi bagaimana kejadian ini bisa terjadi? Siapa yang melakukannya?

"Adipati Eldoria baru saja memastikan wilayahnya bersih dari bandit," gumam Louis, matanya menatap jalan setapak di depan mereka dengan tatapan kosong. "Bagaimana bisa ada kekejaman seperti ini terjadi lagi?"

Alice, yang mendengar gumaman Louis, menatapnya dengan rasa ingin tahu. "Mungkin ini bukan pekerjaan bandit biasa, Louis. Ada kemungkinan ini ulah seseorang atau kelompok dengan motif yang berbeda."

Louis mengangguk. "Itu mungkin. Tapi siapakah mereka? Dan apa yang mereka inginkan dengan menyerang makhluk tak bersalah seperti Lila dan keluarganya?"

Alice menghela napas. "Mungkin kita perlu menggali lebih dalam. Ada banyak kemungkinan. Mungkin ini ulah pemburu kejam yang mengincar bagian tubuh mereka untuk dijual di pasar gelap, atau mungkin ada alasan yang lebih gelap lagi di balik semua ini."

Louis merasakan getaran tidak nyaman di dadanya. "Apa pun alasannya, kita harus menemukan pelakunya dan menghentikan mereka sebelum lebih banyak makhluk yang menjadi korban."

Setelah kembali ke rumah Alice, suasana di dalam rumah terasa hangat dan tenang. Louis dan Alice dengan hati-hati menidurkan Lila di sebuah ranjang kecil yang hanya sebesar keranjang buah. Ranjang itu kemudian dihiasi dengan selimut lembut dan bantal-bantal empuk, berusaha membuat suasana tidur anak itu menjadi nyaman dan aman. Louis memperhatikan Lila yang tampak lebih tenang dalam tidurnya, meskipun wajah polosnya masih menyimpan bayangan trauma. Mata Lila yang terpejam erat menyiratkan rasa kelelahan dan ketidaknyamanan yang mendalam.

Alice, dengan lembut, menutupi Lila dengan selimut, memastikan bahwa anak itu tetap hangat dan nyaman. Louis berdiri di sampingnya, merasa hatinya tersentuh melihat betapa rentannya Lila. "Aku harap dia merasa aman di sini," kata Louis, suaranya rendah dan penuh rasa empati.

Alice mengangguk, matanya penuh dengan keleluasaan. "Aku yakin dia akan merasa lebih baik di sini. Kami akan merawatnya sebaik mungkin. Tapi, kita harus memikirkan langkah selanjutnya."

Louis duduk di kursi di samping ranjang Lila, sementara Alice berdiri di dekat jendela, memandang awan yang berjalan dengan tenang di langit. "Apa rencanamu?" tanya Alice, memecah keheningan.

"Sepertinya kita harus memastikan Lila mendapatkan perawatan yang baik," kata Louis, berusaha merangkai pikirannya dengan jelas. "Tapi kita juga harus berpikir tentang bagaimana mengatasi masalah yang lebih besar ini. Aku merasa ada sesuatu yang tidak beres dengan apa yang terjadi di hutan. Bagaimana mungkin orang jahat bisa melakukan hal semacam ini di tengah-tengah wilayah yang sudah dibersihkan oleh Adipati Eldoria?"

Alice berpikir sejenak, lalu menjawab, "Memang aneh. Mungkin ada sesuatu yang lebih besar di balik semua ini. Namun, saat ini, prioritas kita adalah memastikan Lila mendapatkan perlindungan dan perawatan yang layak."

Louis mengangguk. "Setuju. Aku merasa Lila akan lebih baik di sini bersama keluarga kamu. Mereka bisa memberikan perhatian dan rasa aman yang dibutuhkan Lila saat ini."

Alice tersenyum lembut. "Aku akan berbicara dengan keluargaku tentang hal ini. Mereka pasti akan setuju untuk merawat Lila. Selain itu, aku juga bisa membantu Lila dalam proses penyembuhan emosionalnya. Kita harus memberi waktu dan ruang untuknya agar merasa lebih baik."

Louis terlihat lega. "Terima kasih, Alice. Aku tahu ini bukan hal yang mudah, dan aku sangat menghargai bantuanmu. Aku juga akan memastikan bahwa kita tidak membiarkan kejadian ini berlalu begitu saja. Kita harus mencari tahu siapa yang bertanggung jawab dan menghentikan mereka."

Alice menyentuh lengan Louis dengan lembut. "Kita akan melakukannya bersama-sama. Kamu tidak sendirian dalam hal ini."

Louis tersenyum dengan penuh rasa syukur. "Terima kasih, Alice. Kita akan memastikan bahwa Lila dan makhluk-makhluk lain tidak menjadi korban kekejaman semacam ini lagi."

Setelah diskusi panjang mengenai nasib Lila, Louis dan Alice sepakat untuk merawat Lila dengan penuh perhatian dan kasih sayang. Alice berjanji untuk menjaga Lila dengan baik dan memastikan bahwa anak itu mendapatkan segala yang dibutuhkan untuk pemulihan. Sementara itu, Louis bertekad untuk terus menyelidiki dan mencari pelaku kejahatan tersebut, memastikan bahwa tidak ada lagi kekejaman yang akan terjadi di wilayah mereka.

Menjelang sedikit sore, langit desa Gatewood mulai memerah oleh cahaya matahari yang memancarkan warna oranye lembut. Louis mengajak Griselda dan beberapa pemuda dari desa, yang dikenal dengan semangat dan keinginan mereka untuk membantu, menuju lokasi di hutan tempat makhluk-makhluk kecil itu dibantai. Mereka semua bergegas untuk mencapai tempat kejadian sebelum malam tiba, membawa serta alat-alat sederhana untuk menguburkan mayat-mayat yang tak bernyawa.

Setibanya mereka di lokasi, suasana di sekitar hutan terasa berbeda dari biasanya. Segala sesuatu tampak terlalu tenang, dan suasana menjadi mencekam saat mereka melangkah lebih dalam. Louis memimpin rombongan, dengan Griselda di sampingnya, serta beberapa pemuda yang tampak khawatir namun bertekad untuk membantu.

"Ini adalah tempatnya," kata Louis dengan suara serak, menunjukkan area terbuka di mana makhluk-makhluk kecil itu ditemukan. Langit di atas mereka mulai gelap, dan cahaya matahari yang tersisa tidak cukup untuk menerangi suasana yang mengerikan di bawah.

Ketika mereka mendekat, pemandangan mengerikan itu mulai tampak jelas. Mayat-mayat makhluk kecil itu tergeletak di tanah, banyak di antara mereka dengan kondisi yang sangat mengenaskan. Beberapa dari mereka tampak terpotong-potong, dengan darah yang menggenang di sekitar mereka. Beberapa lainnya memiliki kepala yang hancur dan tubuh yang rusak parah.

Salah satu pemudi, yang baru pertama kali melihat pemandangan semacam ini, tiba-tiba merasa mual dan jatuh ke tanah sambil muntah. Suara muntahannya membuat suasana semakin mencekam.

Griselda berdiri tegak, wajahnya tegang dan kemerahan karena kemarahan yang mendalam. Ia mengerang marah dan menggigit bibirnya hingga sedikit berdarah, menggambarkan betapa murkanya ia terhadap tindakan kejam ini. "Ini tidak bisa dibiarkan begitu saja!" desis Griselda dengan nada berapi-api. "Kita harus memastikan bahwa pelaku kejahatan ini mendapatkan hukuman yang setimpal. Ini adalah tindakan kejam yang tidak bisa diterima!"

Beberapa pemuda di sekitar tampak terkejut, matanya masih tidak percaya dengan apa yang mereka lihat. Mereka mulai mengumpulkan kekuatan dan keberanian untuk mendekati pemandangan tersebut, membantu memindahkan tubuh-tubuh yang tak bernyawa dengan hati-hati. Salah satu dari mereka, yang tampaknya agak lebih berani, mengangkat salah satu makhluk kecil dan menatapnya dengan penuh rasa kasihan. "Ini terlalu mengerikan," ujarnya dengan suara bergetar. "Bagaimana mungkin seseorang bisa melakukan sesuatu seperti ini?"

Louis mengangguk dengan sedih. "Aku juga tidak tahu. Tapi kita harus melakukan yang terbaik untuk memberikan mereka pemakaman yang layak. Mereka tidak pantas mendapatkan akhir yang seperti ini."

Griselda mengatur napasnya, mencoba untuk menenangkan diri. "Aku akan memastikan bahwa laporan tentang kejadian ini sampai ke pihak berwenang. Ini bukan hanya tanggung jawab kita, tetapi juga tanggung jawab seluruh kerajaan untuk memastikan bahwa pelaku kejahatan ini dihukum."

Beberapa pemuda mulai menggali lubang untuk menguburkan makhluk-makhluk kecil tersebut. Setelah beberapa saat, akhirnya, lubang-lubang penguburan telah siap. Mereka dengan hati-hati menempatkan tubuh-tubuh mungil tersebut ke dalamnya. Setelah proses pemakaman selesai, mereka berdiri di samping makam, memberikan penghormatan terakhir. Louis dan Griselda saling bertukar pandang, saling memahami bahwa perjuangan mereka baru saja dimulai.

Dengan matahari yang mulai merunduk di balik cakrawala, mereka meninggalkan tempat tersebut dengan tekad baru untuk menyelidiki lebih lanjut dan memastikan bahwa keadilan ditegakkan. Griselda menguatkan tekadnya untuk bertindak tegas, sementara Louis berfokus pada penyelidikan yang akan datang, siap untuk menghadapi tantangan berikutnya dalam upaya mereka untuk melindungi makhluk-makhluk tak bersalah dan memastikan bahwa tidak ada lagi kekejaman yang terjadi di dunia mereka.

Di kediaman Adipati Maurice di Eldoria, suasana di ruang rapat terasa sangat tegang. Tembok besar yang dihiasi oleh peta-peta wilayah dan lukisan-lukisan menyaksikan kemarahan Maurice yang memuncak. Seorang pelayan berdiri cemas di sudut ruangan, menghindari tatapan marah dari sang adipati. Sepertinya Maurice baru saja menerima surat mendesak dari Neils, kepala desa Gatewood, mengenai kejadian tragis di hutan yang melibatkan ras manusia binatang.

Maurice menggebrak meja dengan keras, menyebabkan semua benda di atasnya bergetar. "Bagaimana bisa ini terjadi?!" teriaknya dengan nada penuh amarah, menatap surat yang baru saja ia baca. "Belum lama ini kita baru saja menghabisi dan membersihkan semua bandit di wilayah ini! Laporan ini... laporan ini menunjukkan kekejaman yang tidak pernah kita hadapi sebelumnya!"

Seorang penasihat senior, yang berdiri di samping meja, mencoba berbicara dengan hati-hati. "Tuan, saya memahami kemarahan Anda. Namun, mungkin ada penjelasan lain. Meskipun kita telah melakukan kampanye besar-besaran melawan bandit, mungkin ada kelompok kecil atau individu yang lolos dari pengawasan."

Maurice memotong dengan keras. "Kelompok kecil? Ini bukan hanya kelompok kecil, ini adalah kejahatan yang dilakukan dengan tujuan yang sangat keji! Mengapa ada seseorang yang berani melakukan hal seperti ini di wilayah kita? Dan yang lebih penting, bagaimana ini bisa terjadi setelah semua upaya kita untuk membersihkan para penjahat di wilayah kita?"

Penasihat tersebut mencoba meredakan ketegangan. "Mungkin kita harus memeriksa lebih lanjut. Bisa jadi ini adalah tindakan dari individu yang memiliki agenda pribadi atau bahkan mungkin ada kekuatan gelap yang memanipulasi situasi."

Maurice mengelap wajahnya dengan tangan, berusaha menenangkan diri. "Baik, kita akan menyelidiki lebih dalam. Namun, kita tidak bisa membiarkan ini berlalu begitu saja. Jika berita ini sampai ke Raja Theodore, reputasi kita akan hancur, dan peluang saya untuk pencalonan periode berikutnya akan sirna. Kita harus menemukan siapa pelaku sebenarnya dan memastikan mereka mendapatkan hukuman yang setimpal."

Penasihat tersebut mengangguk. "Tentu saja, tuan. Kami akan segera mengirimkan tim penyelidik ke lokasi kejadian. Kami juga bisa melakukan pemeriksaan lebih lanjut terhadap semua aktivitas di wilayah ini, untuk memastikan tidak ada ancaman serupa di masa depan."

Maurice menghela napas panjang. "Baiklah, lakukan segera. Saya ingin laporan lengkap secepat mungkin. Dan pastikan untuk memberi tahu saya setiap perkembangan, terutama jika ada informasi yang bisa mengarah pada pelaku."

Sebelum penasihat itu bisa menjawab, Maurice melanjutkan dengan nada yang lebih lembut namun penuh tekanan. "Aku ingin laporan ini disampaikan dengan hati-hati kepada semua pihak yang berkepentingan. Jangan sampai ada yang mengetahui kecuali kita benar-benar siap untuk menghadapinya. Kita harus menjaga reputasi kita di depan publik dan menghindari kepanikan."

Penasihat mengangguk cepat. "Akan dilakukan, tuan. Kami akan mengawasi situasi ini dengan sangat ketat."

Maurice berbalik dan berjalan menuju jendela besar yang menghadap ke halaman, menatap jauh ke arah kota Eldoria yang tenang. Pikiran tentang kemungkinan dampak negatif dari kejadian ini membuatnya semakin cemas. Ia harus memastikan bahwa keadilan ditegakkan dan bahwa wilayahnya tetap aman dan stabil. Segala sesuatu yang bisa membahayakan reputasinya harus segera diatasi.

Setelah penasihat meninggalkan ruangan untuk menjalankan perintah Maurice, sang adipati tetap berdiri di jendela, berpikir keras. "Siapa yang bisa melakukan kekejaman ini? Apa tujuan mereka? Dan bagaimana kita bisa mencegah kejadian serupa di masa depan?" pikirnya, berusaha untuk mencari solusi terbaik dalam situasi yang semakin kompleks ini.

Di dalam pikirannya, Maurice mulai merencanakan langkah-langkah yang harus diambil untuk mengatasi krisis ini. Ia tahu bahwa tindakan cepat dan tepat sangat penting untuk menjaga reputasi dan keamanan wilayahnya. Dengan penuh tekad, ia berjanji untuk menghadapi segala tantangan yang mungkin muncul, memastikan bahwa tidak ada lagi kekejaman yang terjadi di bawah pengawasannya.

Bagian 2

Pagi itu, sinar matahari yang lembut menyaring melalui tirai jendela kamar kecil tempat Lila tidur. Ruangan itu didekorasi dengan sederhana namun nyaman, dengan ranjang kecil yang tampak empuk dan hangat. Lila terbangun dengan mata yang masih berat, bingung dengan lingkungan barunya. Ia menggosok matanya yang masih mengantuk, hanya untuk menemukan dirinya berada di tempat yang tidak dikenalnya. Suara lembut dan pemandangan asing membuatnya merasa tidak nyaman dan cemas.

Lila duduk di ranjang, melihat sekeliling dengan mata besar dan penuh rasa ingin tahu. "Aa... aaa...!" suaranya terdengar merengek dan bergetar penuh kebingungan. Ia berusaha mencari Louis dengan menengok perlahan ke kanan dan kiri. Telinga rubahnya terlihat lemas dan merunduk ke bawah, menandakan ia sedang tak berdaya. Ia kemudian berdiri dengan gemetar, mencoba menjangkau dinding kamar yang tampaknya terlalu jauh dan tinggi untuk tangannya yang kecil. Mata besarnya mulai berkaca-kaca, menunjukkan betapa takut dan bingungnya ia. Tubuhnya yang kecil bergetar ringan, seolah bisa meledak dalam tangisan kapan saja.

Saat itulah pintu kamar terbuka perlahan, dan Alice muncul dengan senyuman lembut. Dia membawa nampan yang penuh dengan makanan hangat, sepotong daging panggang yang masih mengepul dan segelas susu hangat. Alice mengenakan gaun sederhana namun bersih, dan ekspresi ramah di wajahnya menunjukkan bahwa dia ingin membuat Lila merasa lebih baik.

"Apa kabar, sayang?" tanya Alice dengan suara lembut, memasuki ruangan dengan langkah hati-hati. "Aku bawa sesuatu untukmu. Lihat, ada daging panggang dan susu hangat. Ini semua untukmu."

Lila menatap Alice dengan tatapan bingung. Ia terlihat masih ketakutan sambil memeluk ekornya yang lembut. Melihat makanan yang disajikan, perutnya berbunyi nyaring, menunjukkan bahwa ia sangat lapar. Namun, ketidakpastian dan rasa takut masih menghantui pikirannya. Alice menyadari ini dan berusaha untuk menenangkan Lila lebih jauh.

"Jangan khawatir, Louis sedang keluar sebentar, tapi dia akan kembali segera. Aku di sini untuk memastikan kamu merasa nyaman," kata Alice, sambil meletakkan nampan di meja samping ranjang. "Kamu pasti sangat lapar setelah kemarin, jadi ayo kita makan bersama."

Alice duduk di samping ranjang, mencoba untuk tidak menakuti Lila dengan mendekatinya perlahan. Ia mengambil sepotong daging dan menawarkan kepada Lila dengan senyum lembut. "Coba makan ini. Aku yakin kamu akan menikmatinya."

Lila memandang daging dengan rasa ingin tahu dan sedikit keraguan. Namun, aroma daging yang menggugah selera membuatnya merasa lebih lapar dari sebelumnya. Dengan perlahan, ia meraih potongan daging dengan tangan kecilnya dan mengendus-endusnya. Ia kemudian mulai memakannya. Setiap gigitan membuatnya merasa lebih nyaman, dan air mata ketakutannya perlahan-lahan menghilang.

Alice duduk di sampingnya, mengamati dengan penuh perhatian. "Kamu tahu, kita semua di sini ingin membantu dan melindungimu. Kamu tidak perlu merasa takut lagi. Kami akan menjaga kamu dan memastikan kamu aman."

Lila mengangguk pelan, matanya masih tampak ragu tetapi sedikit lebih tenang. Setelah beberapa saat, ia juga mulai minum susu hangat yang Alice berikan, membuatnya merasa lebih hangat dan nyaman. Suara lembut dan penuh perhatian Alice membuat suasana di kamar terasa lebih tenang.

Alice kemudian menyentuh lembut kepala Lila. "Louis sedang melakukan sesuatu yang penting. Tapi dia pasti akan kembali secepatnya. Sementara itu, kamu bisa merasa nyaman di sini dan mendapatkan makanan yang kamu butuhkan."

Setelah Lila menyelesaikan makanannya, Alice membantunya kembali ke ranjang dan memastikan bahwa ia merasa nyaman. "Jangan khawatir, kita semua akan menjaga kamu dengan baik," kata Alice sambil memberikan senyum hangat. "Kamu akan merasa lebih baik setelah beberapa saat. Kami di sini untuk membantu dan melindungimu."

Bagian 3

Setelah Lila selesai makan dan merasa lebih nyaman, Alice memutuskan untuk memanfaatkan waktu ini untuk membantu Lila merasa lebih terbiasa dengan lingkungan barunya dan belajar berbicara. Alice duduk di samping ranjang, memandang Lila dengan penuh kasih sayang.

"Baiklah, Lila," kata Alice lembut sambil memberikan senyum yang menenangkan. "Sekarang kita akan mencoba belajar beberapa kata sederhana. Aku tahu ini mungkin sulit untukmu, tapi kita bisa melakukannya bersama-sama."

Lila menatap Alice dengan rasa ingin tahu, meskipun masih tampak sedikit cemas. Alice tahu bahwa membuat Lila merasa nyaman dan aman adalah langkah pertama yang penting. Ia mulai dengan kata-kata yang mudah dan sehari-hari.

"Ini adalah kata pertama yang ingin kita pelajari. Katakan 'terima kasih'," kata Alice sambil menunjukkan ekspresi wajah yang ceria dan menunggu Lila untuk menirukan.

Lila memandang Alice dengan serius, bibirnya bergerak mengikuti gerakan mulut Alice. Dengan suara kecil dan agak bergetar, Lila mencoba menirukan, "'Te-te-te-ma... aci…?"

Alice tersenyum lebar. "Bagus sekali, Lila! Kamu hampir benar. Coba ulangi sekali lagi dengan lebih jelas."

Lila mencoba lagi, mengulangi dengan lebih hati-hati, "'Telii... maa...ci.'"

"Ya, itu dia! Bagus sekali!" puji Alice dengan penuh semangat. "Sekarang, mari kita coba kata berikutnya. Katakan 'selamat pagi.'"

Alice mengucapkan kata-kata dengan jelas dan pelan, memastikan Lila dapat melihat gerakan mulutnya. Lila mengerutkan keningnya sedikit, mencoba menirukan dengan suara yang hampir tidak terdengar, "'ce-ce-lamat pa-pa... pa... gi?'"

Alice mengangguk dengan antusias. "Hampir benar, Lila! Kamu sudah sangat baik. Coba sekali lagi dengan lebih percaya diri."

Lila mencoba lagi dengan perlahan, "cee.... maa.. agi..?.'"

"Ya, itu dia!" Alice memuji dengan penuh gembira. "Kamu sangat pintar! Kita akan terus berlatih sedikit lagi."

Alice melanjutkan dengan kata-kata sederhana lainnya, seperti 'halo,' 'selamat tinggal,' dan 'tolong.' Ia memperhatikan dengan seksama setiap usaha Lila, memberikan pujian dan dorongan setiap kali Lila berhasil menirukan kata-kata tersebut dengan benar. Meskipun kadang-kadang Lila berbicara dengan terbata-bata dan suara yang sangat kecil, kemajuan yang dibuatnya terlihat jelas.

Saat Alice dan Lila sedang duduk di kamar, berlatih berbicara, pintu kamar terbuka perlahan. Orang tua Alice, ayah dan ibunya, memasuki ruangan dengan senyum hangat di wajah mereka. Ayah Alice adalah seorang pria berusia paruh baya dengan rambut pirang yang sudah memutih dan mata biru yang lembut. Ibu Alice, seorang wanita dengan rambut hitam dan mata merah, menyusul di belakangnya.

"Alice, kami datang untuk melihat bagaimana keadaan Lila," kata ibu Alice dengan suara lembut, sambil melirik ke arah ranjang kecil tempat Lila berbaring. Ayah Alice mengikuti di belakangnya, membawa nampan berisi camilan dan teh herbal.

Lila yang sebelumnya tampak tenang saat berlatih berbicara, mendengar suara asing dan melihat dua orang baru di dalam kamar. Ia terkejut dan segera bersembunyi di balik rok Alice. Matanya yang besar penuh rasa takut menatap ayah dan ibu Alice dengan penuh kecemasan.

Alice, yang memahami reaksi Lila, tertawa kecil dengan lembut. ""Lila, ini ayah dan ibu. Jangan khawatir, Lila, mereka sangat baik. Ibu dan Ayah pasti akan menyambutmu dengan hangat."

Ayah dan ibu Alice berhenti sejenak sambil tersenyum lembut. Ibu Alice melangkah lebih dekat dengan penuh hati-hati, dan ayahnya meletakkan nampan di meja kecil dekat ranjang. Mereka tidak ingin membuat Lila merasa ketakutan.

"Selamat pagi, Lila," sapa ibu Alice dengan nada lembut dan penuh pengertian. "Kami senang sekali bisa bertemu denganmu."

Lila mengintip dari balik rok Alice, matanya masih dipenuhi rasa kebingungan. Perlahan-lahan, ia mulai melangkah keluar dari tempat persembunyiannya, mengamati ibu Alice dengan penasaran. Ia menatap ibu Alice dengan mata besarnya yang lucu sambil memiringkan kepala dan menggoyangkan ekornya. Ibu Alice duduk di tepi ranjang, dengan gerakan yang lembut dan menenangkan, mencoba tidak membuat gerakan yang mendadak.

Alice melihat bagaimana Lila mulai menunjukkan sedikit rasa ingin tahu, dan ia merasa lega. "Lila, ini ibu dan ayah. Mereka sangat baik, dan mereka juga akan membantu kita untuk memastikan kamu merasa nyaman di sini."

Lila perlahan-lahan melangkah mendekati ibu Alice, matanya yang besar mengamati setiap gerakan ibu Alice dengan seksama. Ibu Alice mengulurkan tangan dengan lembut, memberikan senyum hangat yang penuh kasih sayang. "Kamu pasti merasa bingung sekarang, tetapi kamu tidak perlu khawatir. Kami akan ada di sini untuk membantu."

"Apakah kamu ingin mencoba camilan yang kami bawa?" tambah ayah Alice dengan senyum ramah, sambil menunjukkan nampan yang penuh dengan roti dan buah-buahan segar.

Lila, yang mulai merasa sedikit lebih nyaman, mengangguk perlahan. Alice membimbingnya menuju meja kecil, di mana ayahnya telah menyiapkan makanan. Dengan hati-hati, Lila mengambil sepotong roti dan mencobanya. Rasa manis dari roti dan kesegaran buah membuat Lila merasa sedikit lebih tenang.

Ibu Alice mengamati Lila yang masih tampak sedikit canggung dan penuh rasa ingin tahu di lingkungan barunya. Dengan senyum lembut, ia berbicara kepada Alice, "Alice, bagaimana jika kamu memandikan Lila dengan air hangat? Aku akan menyiapkan pakaian baru untuknya. Pakaian yang ia kenakan sekarang sudah lusuh dan kotor."

Alice mengangguk setuju. "Baik, Ibu. Aku akan memandikannya sekarang."

Alice berlutut di hadapan Lila dan berbicara dengan lembut, "Lila, ayo kita mandi dulu, ya. Airnya hangat dan pasti akan membuatmu merasa lebih segar."

Lila mengerutkan alisnya, tampak ragu dan sedikit ketakutan. "A-... ai..?"

Alice mengangguk dengan senyuman menenangkan. "Iya, air hangat. Kamu akan merasa nyaman setelah mandi. Ayo, ikut aku."

Dengan hati-hati, Alice memegang tangan Lila dan membimbingnya menuju kamar mandi. Di sana, Alice mengisi bak mandi dengan air hangat, menciptakan uap yang lembut di sekitar ruangan. Lila berdiri di dekat pintu, tampak gelisah dengan air yang mengisi bak.

Alice menoleh dan melihat ketakutan di mata Lila. "Jangan takut, Lila. Air ini hangat dan tidak akan menyakitimu. Lihat?" Alice mencelupkan tangannya ke dalam air, memperlihatkan betapa hangat dan menyenangkannya air tersebut. "Coba rasakan."

Lila ragu-ragu, tetapi ia mempercayai Alice. Dengan hati-hati, ia memasukkan tangannya ke dalam air. Ketika merasakan kehangatan yang nyaman, ekspresinya mulai berubah. "A... ngaat..."

Alice tersenyum lega. "Iya, hangat. Ayo, kita mandi sekarang." Dengan lembut, Alice membantu Lila melepaskan pakaian lusuhnya dan mengangkatnya ke dalam bak mandi.

Awalnya, Lila tampak kaku dan canggung di dalam air, tetapi Alice terus menenangkan dengan berbicara lembut. "Rasanya enak, kan? Kita bisa bermain sedikit dengan air juga." Alice mencipratkan sedikit air ke lengan Lila, membuatnya tersenyum kecil.

Lila mulai rileks, menikmati kehangatan air yang membungkus tubuhnya. Alice mengambil sepotong sabun wangi dan mulai membersihkan Lila dengan lembut, menghindari gerakan yang tiba-tiba agar Lila tetap merasa aman. "Lila, lihat. Kita punya busa yang banyak," kata Alice sambil membuat busa sabun di tangannya dan meniupnya pelan ke udara, membuat Lila tertawa kecil.

Sambil membersihkan rambut Lila yang kusut, Alice berbicara dengan suara yang penuh kasih. "Kamu tahu, Lila, sekarang kamu adalah bagian dari keluarga kami. Kamu akan selalu aman dan dicintai di sini."

Lila menatap Alice dengan mata yang besar dan penuh kepercayaan. "U... lu.. aka?"

Alice mengangguk, merasa terharu mendengar Lila mulai berbicara lebih banyak. "Iya, keluarga. Kami semua akan selalu ada untukmu. Ayah, Ibu, dan aku akan menjaga dan merawatmu."

Setelah beberapa saat, ketika Lila sudah benar-benar bersih dan harum, Alice membilas sisa sabun dari tubuhnya. "Nah, sekarang kita sudah selesai mandi. Bagaimana rasanya? Enak, kan?"

Lila tersenyum lebar dan mengangguk. "Ee.. naa..."

Alice mengangkat Lila dari bak mandi dan membungkusnya dengan handuk lembut. "Sekarang kita akan mengeringkanmu dan memberikan pakaian baru. Kamu pasti akan merasa lebih baik."

Alice mengeringkan tubuh Lila dengan lembut, memastikan tidak ada air yang tersisa di rambut atau tubuhnya. Ketika Lila sudah benar-benar kering, Alice membawanya keluar dari kamar mandi, di mana ibu Alice sudah menunggu dengan pakaian baru yang bersih dan rapi.

Bagian 4

Setelah Lila selesai dimandikan dan dikeringkan, Alice membawa Lila ke kamarnya. Di sana, Alice membuka sebuah peti kayu yang sudah lama tidak digunakan. Ia mengambil beberapa pakaian kecil yang pernah ia kenakan saat masih kecil.

"Ini adalah pakaian yang pernah kupakai dulu, Lila," kata Alice sambil tersenyum. "Mungkin masih sedikit kebesaran, tapi setidaknya lebih nyaman dibandingkan pakaianmu yang lama."

Lila memandangi pakaian itu dengan rasa penasaran. Alice membantu Lila mengenakan salah satu gaun kecil berwarna merah jambu dengan hiasan kepala kucing di ujungnya. Meski sedikit longgar, gaun itu tampak cocok untuk Lila.

"Kamu terlihat sangat manis, Lila," puji Alice sambil membenarkan kerah gaun. "Bagaimana, nyaman?"

Lila memegang ujung gaunnya dan tersenyum malu-malu. "nya... wan..."

Alice mengelus kepala Lila dengan lembut. "Bagus. Sekarang, ayo kita keluar dan temui Ibu."

Di ruang tamu, ibu Alice sudah menunggu dengan senyum hangat di wajahnya. Ia melihat Lila dengan penuh kasih sayang. "Lila, kamu terlihat sangat cantik dengan pakaian baru itu."

Lila tersenyum malu-malu dan bersembunyi di balik rok Alice lagi. Ibu Alice tertawa kecil. "Jangan malu, sayang. Ayo, ikut ibu berkeliling rumah. Kita tunjukkan semua ruangan agar kamu merasa lebih nyaman di sini."

Ibu Alice menggandeng tangan Lila dengan lembut dan mulai berjalan berkeliling rumah. Alice mengikuti dari belakang, memastikan Lila merasa aman. Mereka pertama kali menuju dapur, yang besar dan terang dengan jendela yang menghadap ke kebun belakang.

"Ini adalah dapur kami, Lila. Di sini ibu biasanya memasak makanan untuk keluarga," kata ibu Alice. "Apakah kamu suka memasak?"

Lila menggelengkan kepala dengan polos.

Ibu Alice tersenyum. "Tidak apa-apa. Nanti kita bisa belajar bersama."

Mereka melanjutkan perjalanan ke ruang makan, di mana sebuah meja kayu besar dengan beberapa kursi mengelilinginya. "Ini ruang makan kami. Di sini kita berkumpul untuk makan bersama," jelas ibu Alice.

Lila melihat sekeliling dengan mata berbinar. "Ma.. kaa.. ee.. caama?"

Alice mengangguk. "Iya, makan bersama. Nanti kita akan makan bersama-sama di sini."

Mereka kemudian menuju ruang keluarga, yang dilengkapi dengan sofa empuk dan perapian yang hangat. Di sudut ruangan, terdapat rak buku yang penuh dengan berbagai buku cerita. "Ini adalah ruang keluarga. Di sini kita biasanya bersantai dan menghabiskan waktu bersama-sama," kata ibu Alice.

Lila melihat rak buku dengan rasa ingin tahu. Ia kemudian menunjuk ke salah satu buku dengan tangan mungilnya.

Alice tersenyum dan mengambil salah satu buku dari rak. "Iya, buku. Kami bisa membacakan cerita untukmu nanti."

Lila mengangguk antusias. "au.. acaa..."

Ibu Alice tertawa kecil. "Kita pasti akan membaca banyak cerita untukmu, Lila."

Setelah itu, mereka menuju ke kebun belakang. Kebun itu penuh dengan bunga warna-warni dan tanaman sayuran. Di sudut kebun, ada sebuah ayunan yang tergantung di dahan pohon besar. "Ini adalah kebun kami. Kamu bisa bermain ayunan di sini kapan saja kamu mau," kata ibu Alice.

Lila melihat ayunan dengan mata berbinar. "Aa... uyaa...!"

Alice tersenyum. "Iya, ayunan. Nanti kita bisa bermain di sana."

Setelah berkeliling rumah, mereka kembali ke ruang tamu. Ibu Alice berlutut di depan Lila dan memegang kedua tangannya dengan lembut. "Lila, kami sangat senang kamu di sini bersama kami. Kami ingin kamu merasa seperti di rumah sendiri, dan kami akan selalu ada untukmu."

Lila menatap ibu Alice dengan mata besar yang penuh haru. "ima... acii..."

Alice memeluk Lila dengan penuh kasih sayang. "Kami senang kamu di sini, Lila. Kamu sekarang bagian dari keluarga kami."

Lila merasakan hangatnya pelukan Alice dan senyum lebar menghiasi wajahnya. Meskipun perjalanan hidupnya baru saja dimulai, Lila tahu bahwa ia kini berada di tempat yang aman dan penuh kasih sayang.

Setelah berkeliling rumah, ibu Alice bersiap-siap untuk melanjutkan pekerjaannya di ladang. Ia mengambil topi jerami dan keranjang yang biasa digunakan untuk memanen sayuran. Sebelum pergi, ia menunduk dan memberikan ciuman lembut di dahi Lila.

"Ibu harus pergi bekerja di ladang sekarang, sayang. Nanti kita akan makan siang bersama," kata ibu Alice dengan senyum hangat.

Lila mengangguk perlahan, tampak mengerti meskipun masih sedikit cemas.

"Jaga diri baik-baik ya, Lila," tambah ayah Alice yang bersiap untuk pergi berdagang di pasar desa. Ia memiliki rambut pirang yang sudah memutih dan mata biru yang lembut. Ia juga memberikan senyuman pada Lila sebelum melangkah keluar.

"Ayah harus pergi ke pasar. Aku akan pulang nanti sore," kata ayah Alice, suaranya penuh kelembutan.

Lila menatap mereka dengan mata besarnya, mencoba memahami rutinitas baru ini. Alice kemudian berjongkok di depan Lila, menatap matanya dengan penuh perhatian.

"Aku akan tetap di sini bersamamu, Lila. Tapi aku harus menghitung keuangan, jadi mungkin aku tidak bisa bermain terus-menerus. Tapi jangan khawatir, aku punya sesuatu untukmu," kata Alice sambil membuka laci di dekat meja makan.

Alice mengeluarkan sebuah kotak kecil berisi mainan. Ia mengambil salah satu mainan kecil berbentuk boneka dan memberikannya kepada Lila. "Ini, kamu bisa bermain dengan ini. Bagaimana?"

Lila memegang mainan itu dengan rasa penasaran. Ia memandang Alice sejenak, lalu mulai bermain dengan mainan kecil itu. Ia menaruh boneka kecil itu di atas kepalanya, kemudian berlari-lari mengelilingi meja makan sambil memegangi boneka di atas kepalanya agar tidak jatuh.

Alice tertawa kecil melihat tingkah Lila yang menggemaskan. "Hati-hati jangan sampai jatuh, Lila!"

Meskipun tidak ada tawa ceria bahkan senyum sedikit pun dari wajah Lila, namun cara dia berlarian dan bermain menunjukkan kebahagiaan yang mulai ia rasakan. Alice merasa lega melihat Lila bisa sedikit lebih nyaman dan mulai menikmati lingkungannya yang baru.

Alice kemudian duduk di meja makan dengan tumpukan kertas di depannya. Ia mulai menghitung dan mencatat keuangan keluarganya, namun tetap memperhatikan Lila dari sudut matanya. Melihat Lila yang berlarian dengan mainan di kepalanya membuat Alice tersenyum.

Lila terus berlarian, sesekali menatap Alice dengan mata besarnya untuk memastikan bahwa dia masih di sana. Ketika Alice menyadari itu, ia memberikan anggukan dan senyuman yang menenangkan. "Aku di sini, Lila. Jangan khawatir."

Lila merasa sedikit lebih tenang dan terus bermain dengan mainan kecilnya. Sesekali ia berhenti dan menatap mainan itu, seolah-olah sedang memikirkan sesuatu yang dalam. Kemudian ia kembali berlarian, menelusuri ruang tamu dan dapur sambil memegangi mainan di kepalanya.

Setelah beberapa saat, Alice merasa perlu berinteraksi lagi dengan Lila. Ia meletakkan pena dan kertasnya, kemudian memanggil Lila yang masih berlarian. "Lila, apakah kamu mau minum susu atau makan sesuatu?"

Lila berhenti berlari dan menatap Alice dengan mata besarnya yang lucu dan terlihat penasaran. "Uu.. cuu..."

Alice tersenyum. "Baik, aku akan buatkan susu hangat untukmu. Tunggu sebentar, ya."

Alice berjalan ke dapur dan mulai memanaskan susu. Sementara itu, Lila duduk di kursi kecil dekat meja makan, menunggu dengan sabar. Alice merasa senang melihat betapa cepat Lila bisa merasa nyaman di rumah ini.

Setelah susu hangat siap, Alice menuangkannya ke dalam cangkir kecil dan membawanya ke meja makan. "Ini dia, Lila. Susu hangat untukmu."

Lila memegang cangkir itu dengan kedua tangan kecilnya dan menyeruput susu dengan hati-hati. "u.. cuu...," katanya dengan suara pelan.

Alice duduk di sampingnya dan mengelus kepala Lila. "Bagus. Kamu suka di sini, Lila?"

Lila mengangguk pelan, matanya masih fokus pada cangkir susu. "u.. caa..."

Alice tersenyum puas. "Kami senang kamu di sini, Lila. Kamu bagian dari keluarga sekarang."

Lila menatap Alice dengan mata yang penuh kehangatan dan rasa terima kasih. Meski masih banyak yang harus dilalui, Lila tahu bahwa ia telah menemukan tempat yang aman dan penuh kasih di rumah Alice. Alice merasa lega dan bahagia, tahu bahwa mereka bisa memberikan rumah yang penuh cinta untuk Lila.