Chereads / I Want To Be Strong and Protect My Village! Vol. 2 / Chapter 8 - Chapter 7 : Determination and Dedication

Chapter 8 - Chapter 7 : Determination and Dedication

Bagian 1

Kabar tentang kehebatan Sylphia dalam ujian sihir segera menyebar di seluruh akademi. Tidak butuh waktu lama bagi berita tersebut untuk sampai ke telinga kepala sekolah, seorang pria tua bijaksana bernama Profesor Thaddeus. Meskipun tidak menyaksikan langsung, Thaddeus mendengar laporan yang sangat rinci dari salah satu guru penguji, Profesor Helena, yang sangat terkesan dengan penampilan Sylphia.

Di kantornya yang luas dan dipenuhi buku-buku tebal serta artefak magis, Profesor Thaddeus sedang berdiskusi dengan Profesor Helena tentang potensi besar yang dimiliki Sylphia.

"Profesor Thaddeus, saya tidak pernah melihat siswa bahkan guru sekalipun menunjukkan kemampuan seperti itu," kata Helena dengan penuh semangat. "Sihir tingkat lima dan bahkan enam. Itu benar-benar luar biasa. Sylphia memiliki potensi yang sangat besar."

Thaddeus, dengan janggut putih panjangnya, mengangguk sambil merenung. "Menarik sekali. Jika dia benar-benar seberbakat itu, kita harus memastikan dia mendapatkan bimbingan yang tepat. Apakah kamu memiliki saran?"

"Saya berpikir untuk memintanya membantu Guru Elara dalam penelitiannya," usul Helena. "Elara sedang melakukan penelitian tentang sihir kuno dan pola sihir kompleks. Sylphia akan mendapatkan banyak manfaat dari pengalaman tersebut, dan pengetahuan Elara bisa menjadi sumber inspirasi besar baginya."

Thaddeus tersenyum dan mengangguk lagi. "Itu ide yang sangat bagus, Helena. Saya akan memanggil Sylphia setelah ujian selesai. Kita harus segera memastikan bahwa dia mendapatkan semua bantuan yang dia butuhkan untuk mengembangkan kemampuannya."

Setelah diskusi tersebut, Profesor Thaddeus mengutus bu Helena untuk memanggil Sylphia setelah ujian dan penilaian para penguji selesai..

Siang itu, Sylphia sedang berjalan di lorong sekolah, menikmati pemandangan baru di sekelilingnya. Bangunan megah dengan arsitektur yang rumit membuatnya merasa seperti berada di tempat yang penuh dengan sejarah dan ilmu pengetahuan. Tiba-tiba, seorang guru penguji yang dia temui saat ujian menghampirinya.

"Sylphia," sapa guru tersebut dengan senyuman ramah. "Selamat atas penampilanmu yang luar biasa saat ujian tadi. Kepala sekolah, Profesor Thaddeus, ingin bertemu denganmu. Bisa kita bicara sebentar?"

Sylphia mengangguk, sedikit gugup namun juga penasaran. "Tentu, Bu. Ada apa ini?"

"Kepala sekolah mencarimu. Ikuti saya, saya akan mengantarmu ke ruangannya," jawab Bu Helena. Mereka berjalan menyusuri lorong, dan Sylphia merasa berbagai tatapan iri dan kagum mengarah padanya.

Setelah beberapa saat, mereka sampai di depan pintu besar yang diukir dengan simbol-simbol sihir kuno. Bu Helena mengetuk pintu dengan lembut, lalu membukanya, mempersilakan Sylphia masuk.

Di dalam ruangan, Profesor Thaddeus duduk di belakang meja besar yang penuh dengan buku dan gulungan. Ia tampak sebagai pria paruh baya dengan rambut abu-abu dan jenggot panjang. Kacamata kecil bertengger di ujung hidungnya, memberi kesan bijaksana dan penuh pengalaman.

"Sylphia, selamat datang," sambut Profesor Thaddeus dengan suara hangat. "Silakan duduk."

Sylphia duduk di kursi di hadapannya, masih merasa sedikit gugup.

"Aku mendengar banyak tentang penampilanmu saat ujian tadi," lanjut Profesor Thaddeus. "Meski aku tidak menyaksikannya langsung, para penguji melaporkan hal yang luar biasa. Kamu memiliki bakat besar, dan aku yakin kamu bisa memberikan banyak kontribusi di sini."

"Terima kasih, Profesor," jawab Sylphia dengan sopan. "Saya hanya berusaha yang terbaik."

"Bagus sekali," kata Profesor Thaddeus sambil tersenyum. "Bu Helena, penguji yang mengawasimu tadi, menyarankan agar kamu bekerja sama dengan Guru Elara dalam penelitiannya. Dia adalah salah satu ahli sihir terkemuka di akademi ini, dan aku yakin kamu bisa belajar banyak darinya."

Sylphia merasa terkejut namun juga bersemangat. "Itu akan menjadi kehormatan besar bagi saya, Profesor. Terima kasih atas kesempatannya."

"Tidak perlu berterima kasih, Sylphia. Kami hanya ingin memastikan bahwa bakatmu tidak disia-siakan," jawab Profesor Thaddeus. "Kamu bisa mulai besok. Guru Elara sudah diberitahu dan akan menunggumu di laboratorium sihir."

Setelah percakapan singkat namun penuh arti itu, Sylphia bangkit dan mengucapkan terima kasih lagi sebelum meninggalkan ruangan. Saat ia melangkah keluar, perasaan gembira dan penuh harapan mengisi hatinya.

Seketika setelah keluar dari ruang kepala sekolah, Sylphia tidak bisa menahan senyum bangganya. Ia merasa sangat beruntung bisa menjadi asisten dari Elara, seorang jurnalis sihir yang telah lama ia kagumi. Ia telah membaca setiap tulisan dan penelitian Elara dengan penuh rasa hormat dan kekaguman. Kini, kesempatan untuk belajar langsung darinya terasa seperti mimpi yang menjadi kenyataan.

Dengan langkah ringan, Sylphia berjalan di koridor akademi yang megah. Namun, kebahagiaannya tidak berlangsung lama. Di ujung koridor, ia melihat sekelompok siswa yang sudah menunggu dengan ekspresi tidak bersahabat. Di tengah mereka berdiri Lucien, seorang bangsawan arogan dengan reputasi buruk, dan Arabella, gadis bangsawan yang terkenal dengan sikap angkuhnya. Di samping mereka, beberapa anggota sirkelnya berdiri dengan sikap menyombongkan diri.

"Hei, lihat siapa yang baru saja keluar dari ruang kepala sekolah," kata Lucien dengan nada mengejek, saat Sylphia mendekat.

Arabella menyeringai sinis. "Oh, ini dia si rakyat jelata yang tiba-tiba jadi pusat perhatian. Jangan pikir kau bisa sombong hanya karena sedikit keberuntungan."

Sylphia tetap tenang dan tidak merespons. Ia tahu bahwa konfrontasi seperti ini mungkin akan sering terjadi di sekolah bergengsi seperti ini, di mana status sosial sangat diperhitungkan.

"Jadi, apa yang kau dapatkan di sana?" tanya Lucien dengan nada meremehkan. "Apakah mereka memberimu tugas menyapu lantai?"

"Atau mungkin mereka butuh pelayan tambahan," tambah Arabella sambil tertawa.

Sylphia hanya menatap mereka dengan ekspresi datar, tidak terpengaruh oleh ejekan mereka. Ia tahu bahwa menunjukkan reaksi hanya akan memberi mereka kepuasan.

"Sampah sepertimu seharusnya tahu tempatnya," lanjut Lucien dengan nada mengancam. "Jangan berpikir kau bisa menjadi sesuatu yang lebih di sini. Kami tidak akan membiarkan rakyat jelata seperti dirimu merusak reputasi akademi ini."

"Ya, kau seharusnya tahu batasmu," tambah Arabella, matanya berkilat marah karena kurangnya reaksi dari Sylphia. "Kau tidak lebih dari kutu yang mengganggu."

Merasa kesal karena ejekannya tidak mendapatkan reaksi yang diharapkan, Arabella mengangkat tangannya dan mulai merapal mantra. "Aku akan memberimu pelajaran, agar kau tahu tempatmu."

Namun, saat Arabella mencoba mengeluarkan sihirnya, sesuatu yang aneh terjadi. Tidak ada apa pun yang keluar dari tangannya. Ia mencoba lagi, dengan wajah yang semakin merah oleh amarah dan frustrasi, tetapi tetap tidak ada yang terjadi.

Arabella merapal mantranya dengan penuh kemarahan, namun tidak ada hasil. Setiap kali ia mencoba, hanya udara kosong yang keluar. Ia semakin frustrasi, dan wajahnya memerah karena kemarahan dan malu. Lucien, yang berdiri di sampingnya, mencoba membantu dengan merapal mantranya sendiri untuk menyemangati Arabella, tetapi sama sekali tidak ada aliran sihir yang terasa di tubuhnya. Ia mengerutkan kening dan mencoba beberapa teknik lain, tetapi hasilnya tetap nihil.

Lucien, dengan nada putus asa, berkata, "Apa yang terjadi? Kenapa sihirmu tidak keluar? Aku juga tidak bisa merasakan sihirku!"

Arabella terus berusaha tanpa hasil, sementara Lucien semakin frustasi. "Ini tidak mungkin! Hei, apa yang kau lakukan?!" teriak Arabella, matanya melotot dengan marah.

Di tengah kekacauan ini, langkah-langkah cepat terdengar mendekat dari arah koridor. Seorang siswi muncul. Ia tampaknya berasal dari keluarga bangsawan yang lebih tinggi. Dia adalah Terisha, keponakan raja Phyridia. Terisha dikenal sebagai siswi yang baik hati dan selalu berusaha melindungi siswa-siswa dari intimidasi kaum bangsawan. Dengan sikap tegas dan percaya diri, Terisha menghampiri kelompok tersebut.

"Lucien! Arabella!" kata Terisha dengan nada berwibawa, "Apa yang terjadi di sini? Mengapa kalian mengganggu Sylphia?"

Lucien dan Arabella menoleh dengan terkejut. Terisha dikenal sebagai sosok yang tidak bisa dianggap remeh, dan kehadirannya sering kali membuat intimidator berpikir dua kali.

Lucien mencoba menjelaskan, "Nona Terisha, kami hanya… hanya ingin mengajari rakyat jelata ini tempatnya."

Terisha memandang Arabella dan Lucien dengan tatapan tajam. "Kalian tahu bahwa di akademi ini, setiap siswa harus diperlakukan dengan hormat, tidak peduli dari mana asalnya. Ini adalah tempat belajar, bukan arena pertunjukan kekuasaan."

Arabella, yang masih berusaha menenangkan dirinya, mencoba membela diri. "Kami hanya… hanya ingin dia tahu bahwa dia tidak bisa begitu saja…"

Terisha memotong, "Dan kalian berpikir mengancam dan mengintimidasi adalah cara yang tepat? Keluar dari sini sekarang. Jika kalian tidak berhenti mengganggu Sylphia, aku tidak akan ragu untuk melaporkan kalian kepada dewan akademi."

Lucien dan Arabella saling bertukar pandang. Keduanya merasa sangat tertekan oleh situasi ini, terutama karena efek sihir penghalang yang menghambat kemampuan mereka. Terisha dikenal memiliki koneksi yang kuat di akademi, dan menghadapi kemarahan dari anggota keluarga kerajaan bukanlah hal yang mereka inginkan.

"Baiklah, kami pergi," kata Lucien dengan nada kesal. "Tapi ini belum selesai."

Arabella mengangguk dan mereka berdua bersama sirkelnya meninggalkan tempat itu dengan sangat kesal. Mereka pergi dengan wajah merah dan ekspresi kemarahan yang jelas terlihat.

Setelah mereka pergi, Terisha menoleh ke arah Sylphia dengan ekspresi lembut. "Sylphia, apakah kau baik-baik saja?"

Sylphia mengangguk, sedikit terkejut dengan intervensi Terisha. "Ya, terima kasih banyak. Mereka sudah cukup mengganggu."

Terisha tersenyum ramah. "Kau tidak perlu khawatir. Di sini, kami selalu berusaha menjaga agar semua siswa diperlakukan dengan adil. Aku senang bisa membantu. Oh ya, namaku Terisha, senang bisa berkenalan denganmu. Sepertinya kau menjadi terkenal setelah ujian tadi pagi."

Sylphia tersenyum kembali, merasa lega dan bersyukur atas bantuan Terisha. "Terima kasih, nona Terisha. Aku sangat terbantu olehmu."

"Kalau begitu, mari kita berjalan bersama," kata Terisha. "Aku bisa menunjukkan beberapa bagian dari akademi ini, dan mungkin kita bisa berbicara lebih banyak."

Sylphia mengangguk, merasa lebih nyaman dengan adanya dukungan dari Terisha. Mereka mulai berjalan bersama menuju area lain dari akademi, sambil berbincang-bincang tentang kehidupan di akademi dan berbagi pengalaman mereka.

Bagian 2

Sylphia dan Terisha berjalan melintasi koridor akademi, berbicara tentang berbagai hal. Terisha menunjukkan beberapa tempat penting di akademi, seperti perpustakaan, ruang latihan sihir, dan aula besar tempat sering diadakan pertemuan. Sylphia merasa semakin nyaman di akademi ini, terutama dengan adanya teman seperti Terisha yang ramah dan membantu.

Saat mereka tiba di salah satu koridor, mereka melihat seorang wanita elf dengan rambut ungu berkacamata yang tampak anggun dan berwibawa berjalan mendekat.

"Terisha," sapa bu Elara dengan senyum. "Apa yang kamu lakukan di sini?"

Terisha membalas senyum bu Elara dan berkata, "Selamat siang, Bu Elara. Saya sedang menemani Sylphia, siswa baru yang luar biasa ini. Dia baru saja menunjukkan kemampuan sihir yang menakjubkan saat ujian."

Elara menoleh ke arah Sylphia dengan minat yang jelas. "Ah, jadi kaulah Sylphia yang semua orang bicarakan. Senang bertemu denganmu. Aku Elara."

Sylphia membalas dengan senyuman lebar. "Senang bertemu dengan Anda, Bu Elara. Saya sangat mengagumi karya-karya Anda. Buku-buku yang Anda tulis telah menjadi inspirasi besar bagi saya."

Bu Elara tampak terkejut dan terkejut. "Benarkah? Sangat menyenangkan mendengar bahwa karyaku bisa memberikan pengaruh positif. Terima kasih, Sylphia."

Terisha tersenyum melihat pertemuan ini. "Aku akan meninggalkan kalian berdua. Ada beberapa hal yang harus aku selesaikan. Sylphia, semoga harimu menyenangkan di sini."

Sylphia mengangguk dan mengucapkan terima kasih kepada Terisha sebelum gadis itu pergi. Kemudian, bu Elara mengajak Sylphia untuk berjalan bersamanya. "Ayo, Sylphia. Aku ingin menunjukkan laboratoriumku. Aku yakin kau akan menemukan banyak hal menarik di sana."

Mereka berjalan melalui beberapa koridor lagi sebelum tiba di sebuah pintu besar dengan ukiran yang rumit. Bu Elara membuka pintu dan mengajak Sylphia masuk. Di dalamnya, ruangan itu penuh dengan alat-alat sihir, buku-buku, dan bahan-bahan eksperimen yang tertata rapi.

"Selamat datang di laboratoriumku," kata bu Elara dengan bangga. "Di sini, saya melakukan berbagai penelitian tentang sihir dan artefak kuno. Saya juga bekerja sama dengan banyak penyihir hebat untuk mengembangkan teori-teori baru."

Sylphia memandang sekeliling dengan mata berbinar. "Ini luar biasa. Saya tidak pernah membayangkan bisa berada di tempat seperti ini."

Bu Elara tersenyum hangat. "Aku senang kau menyukainya. Jadi, kau sudah membaca buku-bukuku?"

Sylphia mengangguk antusias. "Ya, terutama tentang manipulasi energi sihir dan teknik penghalang tingkat lanjut. Buku-buku itu sangat membantu dalam mengembangkan kemampuan saya."

Elara terlihat sangat tertarik. "Luar biasa. Kau pasti sangat berbakat jika bisa menguasai teknik-teknik itu. Apa ada yang ingin kau pelajari lebih lanjut?"

Sylphia berpikir sejenak. "Sebenarnya, saya sangat tertarik dengan penelitian tentang penggabungan elemen sihir yang berbeda. Saya ingin tahu apakah ada cara untuk menggabungkan sihir api dan udara tanpa menyebabkan ketidakstabilan."

Bu Elara mengangguk, tampak terkesan dengan pertanyaan Sylphia. "Itu topik yang sangat menarik dan cukup rumit. Saya sudah melakukan beberapa eksperimen di bidang itu. Mungkin Anda bisa membantuku dengan penelitian ini."

Sylphia tersenyum lebar. "Saya akan sangat senang bisa membantu. Ini adalah kesempatan yang luar biasa."

Bu Elara mengangguk dengan penuh perhatian. "Baiklah, mari kita mulai dengan menunjukkan beberapa hasil eksperimenku. Setelah itu, kita bisa membahas lebih lanjut tentang bagaimana kita bisa melanjutkan penelitian ini bersama-sama."

Mereka kemudian berjalan menuju meja kerja yang dipenuhi dengan catatan buku, tabung reaksi, dan beberapa artefak sihir. Bu Elara mulai menjelaskan berbagai eksperimen yang telah ia lakukan, sementara Sylphia mendengarkan dengan penuh perhatian dan kagum. Mereka berdua segera tenggelam dalam diskusi dan kerja sama yang produktif, membuka jalan bagi penelitian-penelitian besar di masa depan.

Sylphia dan bu Elara semakin larut dalam diskusi mereka, mendalami berbagai eksperimen dan teori sihir yang kompleks. Sylphia merasa sangat bersemangat bisa berdiskusi langsung dengan seorang ahli yang karyanya sangat ia kagumi. Setelah beberapa saat, bu Elara menyadari bahwa Sylphia memiliki banyak pengalaman praktis di bidang sihir.

"Sylphia," kata bu Elara sambil mengamatinya dengan rasa ingin tahu, "kamu sepertinya sudah sangat berpengalaman dengan sihir tingkat lanjut. Bagaimana kamu mempelajari semua ini?"

Sylphia tersenyum, sedikit malu-malu. "Sebenarnya, saya belajar banyak dari jurnal-jurnal dan buku-buku yang Anda tulis, Bu Elara. Saya sering memperaktikkan materi yang ada di dalamnya. Suatu saat, saya mencoba salah satu eksperimen dari jurnal Anda tentang penggabungan elemen sihir."

Bu Elara tersenyum penuh minat. "Oh? Ceritakan lebih banyak tentang itu. Bagaimana hasilnya?"

Sylphia tertawa kecil, mengingat kejadian itu. "Yah, saya mencoba menggabungkan sihir api dan air dengan cara yang Anda jelaskan dalam jurnal Anda. Saya sangat berhati-hati dengan semua detailnya, tetapi ada sesuatu yang tidak berjalan sesuai rencana. Ketika saya meluncurkan mantranya, ada ledakan besar yang hampir menghancurkan rumah saya."

Bu Elara menahan tawa, meski tampak terkejut. "Astaga, itu pasti pengalaman yang menegangkan. Apa yang terjadi setelahnya?"

"Saya berhasil menetralkan sihir sebelum ada kerusakan yang lebih parah," jawab Sylphia. "Tapi setelah itu, saya sangat berhati-hati dengan eksperimen saya. Namun, pengalaman itu tidak mengurangi semangat saya untuk belajar lebih banyak. Justru sebaliknya, saya jadi lebih tertarik untuk memahami bagaimana cara menggabungkan elemen-elemen sihir dengan benar."

Bu Elara mengangguk penuh pengertian. "Itu adalah sikap yang sangat baik, Sylphia. Pengalaman-pengalaman seperti itu memang penting untuk memperdalam pemahaman kita tentang sihir. Tidak semua eksperimen akan berjalan lancar, tetapi dari kegagalan kita bisa belajar banyak."

Sylphia kemudian menambahkan, "Selain itu, saya juga banyak belajar dari seorang petualang peringkat S."

Bu Elara mengangkat kesan, terkesan. "Oh? Siapa dia, dan bagaimana kamu bisa belajar darinya?"

"Namanya Aria," kata Sylphia dengan nada penuh kekaguman. "Dia adalah seorang penyihir yang sangat kuat dan terampil. Saya bertemu dengannya saat bergabung dengan seorang petualang regu. Dia melihat potensi saya dan memutuskan untuk melatih saya lebih lanjut. Bersama Aria, saya mempelajari berbagai teknik sihir tingkat tinggi dan cara mengontrol energi sihir dengan lebih banyak lagi. baiklah."

Bu Elara tersenyum semakin lebar. "Itu luar biasa, Sylphia. Aria adalah salah satu penyihir terbaik yang pernah saya dengar. Kamu sangat beruntung bisa mendapatkan bimbingannya."

"Saya tahu," kata Sylphia dengan mata berbinar. "Latihan dengan Aria sangat keras, tetapi saya belajar banyak darinya. Dia mengajarkan saya bagaimana menjaga keseimbangan antara kekuatan dan pukulan dalam setiap mantra yang saya gunakan. Dia juga mengajarkan saya tentang pentingnya disiplin dan fokus dalam menguasai sihir."

Bu Elara mengangguk penuh pemahaman. "Disiplin dan fokus adalah kunci dalam menguasai sihir tingkat tinggi. Dengan pengalaman yang kamu miliki, saya yakin kamu akan bisa mencapai lebih banyak lagi."

Sylphia tersenyum penuh harapan. "Saya akan berusaha sebaik mungkin, Bu Elara. Saya ingin memanfaatkan semua kesempatan ini untuk menjadi penyihir yang hebat dan berguna bagi banyak orang."

Bu Elara menepuk pundak Sylphia dengan bangga. "Dengan semangat dan dedikasimu, aku yakin kamu akan mencapainya, Sylphia. Mari kita mulai bekerja bersama dan sampai sejauh mana kita bisa melangkah."

Mereka melanjutkan diskusi mereka, membahas berbagai teori dan teknik yang lebih mendalam. Bu Elara menjelaskan beberapa pendekatan yang lebih aman untuk menggabungkan elemen-elemen sihir, sementara Sylphia mencatat setiap detail dengan cermat. Mereka juga merencanakan beberapa eksperimen yang akan dilakukan di laboratorium dalam beberapa hari ke depan.

Bagian 3

Sore itu, setelah menghabiskan waktu yang sangat menyenangkan di laboratorium bersama bu Elara, Sylphia akhirnya memutuskan untuk pulang. Ia berjalan perlahan melewati halaman akademi, merasakan suasana yang tenang dan damai. Bunga-bunga bermekaran di taman-taman, dan angin sepoi-sepoi membawa aroma harum bunga. Saat melintasi jalan setapak yang dikelilingi pepohonan, Sylphia melihat seseorang tang nampak tak asing. Ia adalah seorang gadis yang berada di urutan pertama di ujian tadi pagi, Elise.

Sylphia tersenyum melihat Elise yang kini sedang berlatih dengan tekun. Ia merasa sangat terkesan dengan kemampuannya dan ingin mengenalnya lebih dekat. Dengan langkah mantap, ia pun mendekati Elise.

"Elise!" sapa Sylphia dengan suara ramah.

Elise menghentikan latihannya sejenak dan menoleh ke arah suara itu sambil mengusap keringat di leher dan bahunya. Ia tampak terkejut namun senang melihat Sylphia mendekat. "Oh, hai, Sylphia. Ada apa?"

"Aku tadi melihat kamu saat ujian," kata Sylphia, "Kamu luar biasa! Sihir penguatanmu sangat kuat dan terkontrol dengan baik. Oh ya, gunakan ini untuk mengusap keringatmu." Lanjutnya sambil memberikan sehelai tisu.

Elise menerima tisu itu dan tersenyum, sedikit tersipu. "Terima kasih, Sylphia. Aku juga sangat terkesan dengan sihir yang kamu tunjukkan tadi. Sihir level 5 dan bahkan level 6, sungguh menakjubkan."

Sylphia dan Elise terus berjalan melintasi halaman akademi, berbincang-bincang dengan semangat tentang pengalaman dan mimpi mereka.

"Aku masih terkesan dengan sihir penguatanmu, Elise," kata Sylphia. "Bagaimana kamu bisa menguasai teknik itu dengan sangat baik?"

Elise tersenyum, mengenang latihan-latihannya. "Ayahku adalah seorang ksatria yang sangat dihormati. Sejak kecil, dia mengajariku bagaimana cara bertarung dan mengendalikan kekuatan sihir. Kami sering berlatih di halaman rumah, dan dia selalu menekankan pentingnya keseimbangan antara kekuatan fisik dan sihir."

"Wah, itu luar biasa," Sylphia berkomentar kagum. "Aku juga mempelajari banyak hal dari petualang peringkat S. Dia benar-benar hebat dan sangat menginspirasi. Kami sering berlatih bersama, dan dia selalu mendorongku untuk melampaui batasanku."

Elise tampak penasaran. "Bagaimana rasanya berlatih dengan seorang petualang peringkat S? Pasti sangat menantang."

Sylphia mengangguk. "Sangat menantang, tapi juga sangat memuaskan. Ia selalu memberiku tantangan baru dan mengajariku banyak teknik yang belum pernah kupelajari sebelumnya. Ada satu kali ketika dia mengajakku untuk melawan monster besar di hutan. Itu adalah salah satu pengalaman paling menegangkan dalam seumur hidup, tapi aku belajar banyak dari situ."

Elise tertawa kecil. "Aku belum pernah melawan monster sebesar itu. Tapi aku pernah berpartisipasi dalam ekspedisi untuk melindungi desa dari serangan bandit. Itu adalah pengalaman yang cukup menegangkan juga."

"Aku juga pernah menghadapi bandit," kata Sylphia. "Bahkan saat perjalanan menuju akademi ini, karavanku diserang oleh bandit. Tapi sekilas, aku bisa mengalahkan mereka dengan sihir tingkat tinggi."

Elise mengangguk dengan kagum. "Kamu benar-benar hebat, Sylphia. Aku berharap bisa menjadi keberanianmu suatu hari nanti."

Sebelum pulang, Sylphia dan Elise menuju sebuah kedai kecil yang terletak di pusat kota. Kedai ini terkenal dengan hidangan lezat dan suasananya yang nyaman. Mereka duduk di meja dekat jendela, menikmati pemandangan jalanan yang sibuk saat matahari mulai terbenam.

Elise memesan sepiring makanan khas daerah itu, sementara Sylphia memilih hidangan dengan bahan-bahan segar dari kebun lokal. Mereka melanjutkan pembicaraan mereka, membahas berbagai teknik sihir dan pengalaman masing-masing selama beberapa jam terakhir.

Sambil menunggu makanan mereka datang, Elise bertanya, "Sylphia, apakah ada hal tertentu yang ingin kamu capai di akademi ini?"

Sylphia tersenyum dan menjawab, "Aku ingin memperdalam pemahamanku tentang sihir tingkat tinggi dan mungkin menemukan cara baru untuk mengembangkan teknik yang aku pelajari. Dan tentu saja, aku berharap bisa bertemu dengan banyak orang baru dan belajar dari mereka."

Elise mengangguk dengan antusias. "Itu tujuan yang hebat. Aku juga berharap bisa menjadi lebih kuat dan menguasai penguatan sihir dengan lebih baik. Mungkin kita bisa saling membantu dan berlatih bersama."

Saat mereka bercakap-cakap, pintu kedai terbuka, dan seorang gadis dengan rambut merah muda memasuki ruangan. Dia mengenakan pakaian yang modis dan terlihat cukup bersemangat. Matanya berkilau saat dia melihat Sylphia dan Elise, lalu dia mendekat dengan langkah ringan.

Halo, Sylphia! Elise! sapanya ceria. "Kebetulan aku menemukan kalian di sini."

Sylphia mengangkat kepalanya, terkejut melihat gadis itu. "Angeline? Aku ingat kamu dari pendaftaran pagi tadi. Senang bertemu lagi."

Angeline tersenyum lebar. "Ya, senang bertemu denganmu juga. Aku tidak tahu kalian berdua akan makan di sini. Aku baru saja menyelesaikan beberapa urusan di akademi dan memutuskan untuk mampir. Bolehkah aku bergabung?"

Elise, yang belum mengenal Angeline sebelumnya, tersenyum ramah. "Tentu saja, Angeline. Kami baru saja mulai makan, jadi bergabunglah."

Angeline duduk di kursi yang tersedia dan mulai berbincang dengan mereka. "Aku baru saja menyelesaikan beberapa kegiatan di akademi. Selama mendaftar, aku benar-benar penasaran tentang siapa yang akan menjadi teman-teman sekelasku. Jadi, aku senang bertemu kalian."

Angeline duduk di kursi yang tersedia dan mulai berbincang dengan mereka. "Aku baru saja diterima di akademi juga, sama seperti kalian. Aku sangat bersemangat memulai petualangan baru ini."

Sylphia tersenyum dan berkata, "Kami baru saja menjalani ujian, dan sepertinya banyak dari kita yang memiliki tujuan besar di sini."

Angeline mengangguk. "Ya, aku sangat antusias. Aku ingin fokus pada pengembangan sihir penyembuhan dan elemen sihir. Aku percaya ini akan membantu banyak orang di masa depan."

"Menarik sekali," kata Elise. "Kami baru saja berbincang tentang tujuan kami di akademi. Bagaimana denganmu, Angeline? Apakah kamu punya tujuan besar di sini?"

Angeline berpikir sejenak sebelum menjawab. "Aku ingin mempelajari dan menguasai teknik sihir penyembuhan dan elemen sihir. Aku juga berharap bisa membuat beberapa inovasi dalam pengajaran sihir dan membantu teman-teman sekelasku."

"Itu sungguh luar biasa," kata Sylphia. "Aku sangat senang bisa berkenalan lebih dekat denganmu. Mungkin kita bisa saling belajar dan mendukung satu sama lain di akademi."

"Itu ide bagus," tambah Elise.

Saat percakapan mereka semakin akrab, Angeline mendekat sedikit ke Elise dan berbisik, "Oh, Elise, aku ingin mengatakan sesuatu. Kau sebaiknya lebih menjaga penampilanmu, terutama jangan terlalu banyak berkeringat saat berlatih. Apalagi pakaianmu sedikit terbuka di bagian atas, Elise. Aroma keringatmu bisa membuat orang lain kurang nyaman. Kau bisa diejek siswa lain di akademi."

Elise tampak sedikit terkejut dan malu mendengar saran Angeline, namun ia tersenyum dan mengangguk. "Emm… begitu yah, terima kasih sudah mengingatkan, Angeline. Aku akan mencoba untuk lebih memperhatikannya." Katanya. Sesekali ia kembali mencium pundaknya.

Saat makanan mereka tiba, aroma lezat dari hidangan yang disajikan membuat suasana semakin hangat. Mereka makan sambil berbincang-bincang, menikmati makanan dan saling bertukar cerita tentang pengalaman mereka di akademi dan rencana masa depan.

Setelah beberapa saat, mereka merasa kenyang dan puas. Angeline mengangkat cangkir teh, "Sangat menyenangkan berbicara dengan kalian. Aku berharap kita bisa sering bertemu dan saling membantu selama berada di akademi."

"tentu," kata Sylphia. "Kita bisa saling membantu dalam belajar di sini."

Setelah beberapa saat, mereka pun pulang ke penginapan. Sylphia berjalan ke penginapannya, melewati jalan-jalan yang dikelilingi bangunan indah. Langit senja nampak memberikan kehangatan, seolah mengucapkan selamat untuk hari ini.

Bagian 4

Sementara itu di asrama elit, tempat tinggal bagi siswa-siswa dari keluarga bangsawan dan kaum terpandang dengan fasilitas yang mewah dan layanan yang prima, tampak Lucien dan lainnya sedang kesal dengan yang terjadi pada mereka tadi.

Lucien mengetuk-ngetukkan jari-jarinya di meja kayu, matanya menatap kosong ke arah jendela besar yang menghadap ke halaman asrama. Beberapa siswa lainnya, yang juga merupakan bagian dari kelompok elit, berada di ruangan itu dan tampak saling berbisik, membicarakan kejadian yang baru saja terjadi di akademi.

"Bagaimana bisa Terisha membela gadis dari rakyat jelata itu?" gerutu Lucien. "Sungguh memalukan! Dan si Sylphia, dia bahkan belum lama masuk ke akademi, sudah berani menonjol seperti itu!"

Salah satu teman Lucien, Arabella, yang masih terlihat kesal setelah insiden di koridor, duduk di kursi berseberangan dengan wajah cemberut. "Ya, dan yang lebih menyebalkan, si Sylphia ternyata memiliki sihir yang sangat kuat. Dia bahkan membuat kita tidak bisa menggunakan sihir di sekitarnya. Aku tidak pernah merasa begitu tertekan sebelumnya."

Lucien mendengus dengan frustrasi. "Itulah yang membuatku marah. Orang-orang seperti Terisha dan Sylphia sepertinya merasa bisa bertindak seenaknya. Terisha mungkin berpikir bahwa dia bisa melindungi semua orang, tapi itu bukan berarti dia harus mencampuri urusan kita."

Salah satu siswa elit lainnya, Theo, yang baru saja bergabung dalam percakapan itu, menambahkan dengan nada tenang, "Memang, situasi itu cukup memalukan. Terisha seharusnya tidak ikut campur. Itu hanya menunjukkan betapa tidak adilnya semuanya di akademi ini."

Arabella mengangguk setuju. "Aku setuju. Kita harus menemukan cara untuk mengatasi mereka. Sylphia mungkin punya kemampuan luar biasa, tapi kita tidak bisa membiarkannya begitu saja. Dan Terisha, dia jelas memiliki pengaruh yang cukup besar di kalangan siswa. Kita harus berhati-hati."

Lucien memandang ke arah Arabella dan Theo dengan ekspresi yang menunjukkan tekad. "Kita harus mencari cara untuk menunjukkan bahwa siswa elit tidak boleh dipermalukan. Jika perlu, kita harus merencanakan sesuatu yang akan membuat Sylphia dan Terisha tahu tempat mereka."

Theo mengangkat alis dan menanyakan, "Apa yang kamu pikirkan?"

Lucien menggelengkan kepalanya dan menjawab, "Aku belum punya rencana, tapi aku akan mencari cara untuk menurunkan kepopuleran Sylphia di kalangan siswa. Kita tidak bisa membiarkannya begitu saja. Lagipula, dia tidak seharusnya mendapat perhatian yang lebih dari siswa elit seperti kita."

Arabella menambahkan, "Dan kita juga harus memastikan bahwa Terisha tidak bisa terus-menerus melindungi orang-orang seperti Sylphia. Kita harus mencari cara untuk membuatnya sibuk dengan urusannya sendiri."

Tanpa mereka sadari, seorang siswi lain yang akan lewat di lorong dekat ruangan itu mendengar sekilas percakapan mereka. Siswi itu pun berhenti dan bersembunyi di balik dinding dekat pintu ruangan itu, ia seperti bermaksud menguping pembicaraan mereka.

Suasana di ruangan itu menjadi hening. Setelah beberapa saat, Lucien mendapat ide. Ia mengatakan akan menggunakan sebuah artefak yang dipercaya dapat mengendalikan sihir lawan.

"Jadi, ini rencana kita," kata Lucien, suaranya rendah dan serius. "Aku telah mendengar tentang sebuah artefak yang bisa mengambil alih kendali sihir milik lawan. Artefak ini konon memiliki kekuatan untuk memanipulasi sihir pada tingkat yang sangat tinggi. Jadi aku berpikir, jika kita bisa mendapatkan artefak ini, kita mungkin bisa mengalahkan Sylphia."

Arabella menatap Lucien dengan mata terbelalak. "Kau serius? Artefak seperti itu bisa sangat berbahaya. Di mana kita bisa muncul?"

Lucien mengangguk, senyum licik menyingging di bibirnya. "Artefak itu berada di dalam koleksi pribadi kepala sekolah. Aku telah mengamati selama beberapa waktu dan mengetahui bahwa artefak tersebut disimpan di ruang rahasia di belakang perpustakaan akademi."

Theo, yang sudah mengandalkan kemampuannya dalam merencanakan strategi, mengerutkan dahi. "Tapi itu berarti kita harus bisa masuk ke ruang rahasia itu tanpa ketahuan. Tidak ada jaminan kita bisa melewati penjagaan ketat yang ada di sana."

"Benar," kata Lucien, "dan itulah mengapa kita perlu rencana yang solid. Aku akan membuat diversi di malam hari, sehingga sebagian besar penjaga akan fokus di bagian lain kampus. Sementara itu, kalian akan menyusup ke ruang rahasia dan mengambil artefak tersebut."

Arabella tersenyum merasakan adrenalin yang mulai meningkat. "Dan apa yang akan kita lakukan setelah mendapatkan artefak itu?"

"Setelah kita mendapatkan artefak," kata Lucien, "kita akan menggunakannya untuk menghadapi Sylphia. Dengan kekuatan artefak itu, kita bisa merusak kemampuan sihirnya dan mengendalikannya. Dan dengan itu, kita akan bisa melacaknya tanpa meninggalkan jejak."

Theo bertanya, "Dan bagaimana kita memastikan artefak ini tidak diketahui oleh pihak akademi setelah kita mengambilnya?"

Lucien menjawab, "Kita akan menggunakan sihir pemalsuan untuk menggantikan artefak yang diambil dengan replika. Dengan demikian, kepala sekolah dan pihak akademi tidak akan tahu bahwa artefak asli telah ditemukan."

Hal itu sontak membuat siswi yang sedang menguping mereka terkejut. Ia pun segera pergi dari tempat itu untuk memberitahu rencana jahat Lucien dan teman-temannya. Siswi itu adalah Amanda, anak dari seorang walikota di daerah ujung. Dengan hati-hati, Amanda menjauh dari dinding dan segera berlari meninggalkan tempat itu. Setibanya di luar gedung asrama elit, ia berhenti sejenak, berusaha menenangkan pikiran. Ia tahu bahwa ia tidak bisa mengabaikan apa yang baru saja didengarnya, tapi melapor kepada pihak yang salah bisa membuatnya dalam bahaya.

Amanda memutuskan untuk berjalan ke taman akademi, tempat yang biasanya sepi pada jam-jam seperti ini. Sambil berjalan, pikiran berputar mencari solusi terbaik. "Siapa yang bisa aku percayai?" pikirnya. "Jika aku melapor ke guru, mungkin mereka tidak akan percaya atau lebih buruk, Lucien bisa tahu aku yang melaporkan."

Saat melewati perpustakaan, ia melihat seorang siswa perempuan sedang duduk di bangku taman, tenggelam dalam buku tebalnya. Itu adalah Iris, kakak dari Terisha dan keponakan raja Phyridia. Amanda tahu bahwa Iris dikenal sebagai seseorang yang adil dan tidak mudah dipengaruhi oleh status atau kekuasaan. Ia merasa mungkin bisa mempercayainya.

"Amanda?" Iris mendongak dari bukunya saat melihat Amanda berdiri di dekatnya dengan wajah khawatir. "Ada apa? Kamu risih terlihat."

"Iris, aku perlu bicara denganmu," kata Amanda sambil duduk di sebelahnya. Ia menarik napas dalam-dalam sebelum melanjutkan. "Aku baru saja mendengar sesuatu yang sangat serius. Lucien dan teman-temannya berencana mencuri artefak dari kepala sekolah untuk menghabisi Sylphia."

Iris mengerutkan kening. "Mencuri artefak? Untuk menghabisi Sylphia? Itu gila. Apa kamu yakin tentang ini?"

"Ya, aku mendengar mereka memanas dengan sangat jelas," kata Amanda dengan nada mendesak. "Mereka bahkan sudah merencanakan bagaimana cara melakukannya. Kita harus menghentikan mereka."

Iris berpikir sejenak, lalu berkata, "Kita perlu bukti. Jika kita hanya melapor tanpa bukti, mereka mungkin tidak akan percaya pada kita. Tapi jika kita bisa menangkap mereka saat melakukannya, kita bisa membawa mereka ke pengadilan akademi."

"Bagaimana kita bisa melakukannya?" tanya amanda. "Mereka pasti sangat hati-hati dengan rencana mereka."

Iris tipis tersenyum. "Aku punya ide. Aku akan memanggil beberapa teman yang bisa kita percayai. Kita akan mengawasi mereka dan merekam setiap langkah mereka. Jika kita bisa mendapatkan bukti yang cukup, kita bisa membawa ini ke kepala sekolah."

Amanda mengangguk setuju. "Baiklah, mari kita lakukan. Kita harus bergerak cepat sebelum mereka melaksanakan rencana mereka."

Iris segera memanggil beberapa teman yang bisa dipercaya, termasuk Terisha, adiknya. Mereka berkumpul di taman dan membicarakan rencana mereka untuk mengawasi dan mengumpulkan bukti. Malam itu, dengan hati yang penuh tekad, mereka mulai menyusun strategi untuk memastikan bahwa kejahatan Lucien dan teman-temannya bisa diungkap dan dihentikan.

Di sisi lain, Lucien dan pengikutnya mulai menjalankan rencana mereka. Mereka tidak tahu bahwa setiap langkah mereka kini mengintip dengan cermat oleh sekelompok siswa yang bertekad untuk melindungi keadilan di akademi. Kegelapan malam mungkin memberi mereka perlindungan, tetapi kebenaran selalu menerangi untuk terungkap.