Bagian 1
Seminggu yang lalu…
Siang itu, Sylphia sedang melakukan eksperimen magisnya di ruang bawah tanah rumahnya. Di sekelilingnya terdapat berbagai macam ramuan, gulungan perkamen dengan catatan-catatan rinci, dan alat-alat sihir yang berkilauan dengan cahaya mistis. Cahaya lilin yang redup menambah kesan misterius pada ruang tersebut.
Sylphia memusatkan perhatiannya pada sebuah botol kaca yang berisi cairan berwarna ungu gelap. Dengan hati-hati, ia menuangkan sedikit cairan tersebut ke dalam panci perak yang sudah dipanaskan. Segera setelah cairan itu menyentuh panci, suara desisan terdengar dan asap berwarna biru mulai mengepul.
"Ayo, kali ini harus berhasil," gumam Sylphia dengan penuh harap. Ia mengambil sejumput serbuk kristal hijau dari sebuah kotak kecil dan menaburkannya ke dalam panci. Ledakan kecil pun terjadi, dan wajahnya langsung terkena cipratan abu hitam.
"Ugh, kenapa selalu seperti ini?" keluh Sylphia sambil mengusap wajahnya yang kini penuh dengan jelaga. Meski begitu, semangatnya tidak surut. Ia mencatat hasil eksperimen tersebut di sebuah buku catatan tebal yang sudah penuh dengan coretan dan diagram.
Sambil membersihkan abu di wajahnya, ia merenung sejenak. "Mungkin perlu sedikit perubahan pada takaran serbuk kristal hijau ini," pikirnya. Dengan cekatan, ia meraih sebuah botol lain berisi cairan merah muda dan meneteskan beberapa tetes ke dalam panci yang sudah mulai dingin. Reaksi kimia terjadi lagi, kali ini menghasilkan percikan cahaya yang lebih lembut dan tidak ada ledakan.
Sylphia tersenyum puas. "Sepertinya ini lebih baik. Tinggal menunggu reaksinya beberapa saat."
Selagi menunggu, ia melirik ke arah rak buku di sudut ruangan. Di sana tersimpan berbagai macam buku sihir, manuskrip kuno, dan jurnal penelitian dari berbagai alkemis terkenal. Salah satu buku yang menarik perhatiannya adalah "Seni Ramuan Misterius." Yang ditulis oleh alkemis legendaris, Elara Moonshadow. Buku itu sering menjadi referensinya saat bereksperimen.
Tak lama kemudian, panci perak di depannya mulai mengeluarkan cahaya lembut dan berkilauan. Sylphia kembali fokus pada ramuannya. Ia mengaduknya perlahan dengan tongkat sihir kecil, memastikan semua bahan tercampur dengan sempurna.
"Ini dia, saatnya untuk menguji," ujarnya sambil menuangkan ramuan tersebut ke dalam sebuah vial kecil. Ia menutup vial itu dengan hati-hati dan mengangkatnya ke depan mata, mengamati cairan di dalamnya dengan penuh harap.
Sebuah senyuman puas terbentuk di bibirnya saat ia melihat cairan tersebut bersinar dengan lembut. "Akhirnya, berhasil!" serunya dengan penuh kegembiraan. "Ramuan ini akan sangat berguna untuk misi berikutnya."
Dengan semangat, Sylphia mencatat semua langkah dan hasil eksperimennya di buku catatan. Setiap detail ia tuliskan, berharap ramuan ini bisa menjadi referensi berharga di masa depan. Setelah selesai mencatat, ia menyimpan vial berisi ramuan itu dengan hati-hati di rak khusus, bersama dengan ramuan-ramuan lain yang telah berhasil ia buat.
Setelah selesai dengan eksperimennya, Sylphia kemudian menuju ruang tamu rumahnya. Ia dan menemui ayahnya yang sedang berada di sana, duduk di kursi favoritnya sambil membaca koran. Dengan hati-hati, ia mendekati ayahnya dan menarik napas dalam-dalam sebelum berbicara.
"Ayah, aku ingin bicara," katanya, suaranya tegas namun lembut.
Ayahnya, seorang pria paruh baya dengan rambut beruban yang tertata rapi, menurunkan korannya dan menatap putrinya dengan penuh perhatian. "Tentu, Sylphia. Ada apa?"
"Aku ingin pergi ke akademi sihir di Seal Altair, di kerajaan Phyridia," ujarnya dengan penuh keyakinan. "Aku ingin melanjutkan pendidikanku di sana."
Ayahnya terdiam sejenak, mengerutkan keningnya. "Seal Altair? Itu sangat jauh, dan biayanya pasti mahal. Aku tidak yakin kita bisa membiayainya, Sylphia."
Sylphia sudah menduga ayahnya akan mengatakan itu. Dengan tenang, ia menjelaskan, "Ayah, aku sudah memikirkan ini dengan matang. Aku bisa membayar biaya pendidikanku sendiri. Selama ini, aku sudah menabung misi-misi yang aku ikuti. Selain itu, dengan kemampuanku saat ini, aku bisa mengajukan keringanan biaya atau bahkan beasiswa." Sylphia meyakinkan ayahnya kalau ia bisa membiayai hidupnya sendiri, karena bagaimanapun, Sylphia adalah petualang kelas A. Imbalan yang ia peroleh dari misinya tergolong tinggi, dan memang yang paling tinggi jika mengecualikan petualang peringkat S.
Ayahnya masih tampak ragu. "Tapi, Sylphia, bagaimana dengan keselamatanmu? Perjalanan ke Seal Altair tidaklah mudah, dan kehidupan di sana juga penuh tantangan."
Sylphia tersenyum, mencoba meyakinkan ayahnya. "Ayah, aku sudah menghadapi banyak tantangan sebagai seorang petualang. Aku yakin bisa menjaga diriku sendiri. Lagi pula, di sana aku akan belajar lebih banyak dan menjadi lebih kuat. Aku ingin mencapai potensi terbaikku, dan akademi di Seal Altair adalah tempat terbaik untuk itu."
Ayahnya menghela napas panjang, melihat tekad yang terpancar di mata putrinya. Ia tahu bahwa Sylphia adalah anak yang kuat dan mandiri, dan keinginannya untuk belajar dan berkembang tidak bisa diabaikan begitu saja.
"Aku mengerti, Sylphia," kata ayahnya akhirnya. "Jika ini benar-benar keinginanmu, dan kau sudah siap dengan segala tanggung jawabnya, aku tidak akan menghalangimu. Tapi ingat, selalu berhati-hatilah dan jangan ragu untuk meminta bantuan jika membutuhkannya."
Sylphia tersenyum lebar dan memeluk ayahnya dengan penuh kasih. "Terima kasih, Ayah. Aku berjanji akan menjaga diriku dan membuat kalian bangga."
Setelah percakapan itu, Sylphia merasa lega dan bersemangat untuk mempersiapkan perjalanan dan pendaftarannya ke akademi. Ia tahu bahwa perjalanan ini akan membawa banyak tantangan baru, namun juga peluang besar untuk belajar dan berkembang. Dengan dukungan dari keluarganya dan tekad yang kuat, ia siap menghadapi masa depan di Seal Altair.
Bagian 2
Sore itu, Griselda sedang memimpin latihan rutin para pemuda desa di sebuah lapangan terbuka yang dikelilingi oleh pohon-pohon rindang. Suara dentingan pedang, derap kaki yang bergerak cepat, dan seruan penuh semangat memenuhi udara. Para pemuda berlatih dengan penuh dedikasi, dipacu oleh arahan tegas namun penuh dorongan dari Griselda.
Griselda, dengan rambut panjangnya yang diikat rapi dan wajah yang memancarkan ketegasan, mengamati setiap gerakan para pemuda dengan seksama. "Jangan lengah! Fokus pada lawanmu! Gerakanmu harus lebih cepat dan tepat!" teriaknya sambil menunjukkan gerakan yang benar dengan pedang di tangannya.
Di ujung jalan, Louis terlihat sedang berjalan-jalan menikmati suasana desa. Ia mendengar suara-suara latihan kemudian mendekati lapangan. Saat tiba di sana, ia melihat para pemuda berlatih dengan giat di bawah bimbingan Griselda. Ia tersenyum, merasa bangga melihat semangat mereka.
Griselda melihat Louis mendekat dan memberikan isyarat kepada para pemuda untuk beristirahat sejenak. "Kita istirahat sejenak! Minum air dan bersiap untuk latihan berikutnya." perintahnya. Para pemuda pun meletakkan pedang mereka dan mengelap keringat sambil mengobrol ringan.
Griselda kemudian berjalan mendekati Louis. "Louis, senang melihatmu di sini. Bagaimana harimu?" tanyanya dengan senyuman hangat.
Louis membalas senyuman itu. "Baik, kak. Aku hanya berjalan-jalan mengelilingi desa dan mendengar suara latihan kalian. Mereka terlihat sangat giat berlatih."
Griselda mengangguk. "Mereka memang sangat bersemangat. Sepertinya beberapa dari mereka ingin menjadi petualang yang hebat sepertimu."
Louis tertawa kecil. "Aku hanya berusaha untuk melakukan yang terbaik demi impianku. Lagipula, mereka memiliki pelatih yang hebat."
Griselda tertawa bersama Louis. "Terima kasih, Louis. Aku hanya ingin memastikan mereka siap menghadapi dunia luar. Ada banyak bahaya di luar sana, dan mereka perlu dilatih dengan baik."
Di tengah obrolan, Louis merenung sejenak sebelum mengangkat kepalanya dan berkata, "Kak, rasanya sudah lama sekali sejak kita terakhir kali berlatih bersama. Aku merasa rindu dengan latihan-latihan kita dulu."
Griselda tersenyum hangat mendengar perkataan Louis. " Sepertinya sudah tak ada yang bisa aku ajarkan kepadamu, Louis. Kau sekarang sudah menjadi petualang yang hebat. Aku bangga dengan pencapaianmu…"
Louis yang mendengar itu pun menggelengkan kepala, wajahnya menunjukkan ketulusan. "Tidak, kak. Kau akan selalu menjadi panutanku. Kaulah yang selama ini selalu melatihku, dan mengajariku sehingga aku bisa berada di titik ini. Sampai kapan pun, aku akan selalu membutuhkan bimbinganmu."
Griselda terharu mendengar kata-kata adiknya. Ia menatap Louis dengan penuh kasih sayang dan kebanggaan. "Louis, aku merasa bangga bisa mengajarimu banyak hal. Tapi sekarang, kau juga sudah menjadi sosok yang bisa diandalkan. Banyak orang yang melihatmu sebagai teladan, sama seperti aku melihatmu."
Louis tersenyum malu-malu. "Tetap saja, tidak ada yang bisa menggantikan tempatmu. Latihan bersama denganmu selalu memberiku semangat lebih."
Griselda tertawa kecil. "Baiklah, kalau begitu. Bagaimana kalau kita berlatih sebentar? Meski aku yakin kau sudah lebih hebat dari yang kau sadari."
Louis berjalan mendekati sekelompok pemuda yang sedang beristirahat setelah latihan. "Bolehkah aku meminjam pedangmu sebentar?" tanya Louis kepada salah satu dari mereka.
Pemuda itu, yang tampak terkejut namun juga merasa terhormat, segera menyerahkan pedangnya. "Tentu, Louis. Silakan," jawabnya dengan antusias.
Louis mengangguk berterima kasih dan kembali ke tempat Griselda menunggu. Dengan senyuman di wajahnya, Griselda mengangkat pedangnya, siap untuk memulai latihan. "Baiklah, Louis. Tunjukkan padaku apa yang kau pelajari selama ini."
Mereka berdua mengambil posisi dan mulai bergerak. Gerakan pertama adalah serangan cepat dari Louis, yang langsung disambut dengan blok yang elegan dari Griselda. Pertarungan mereka berlangsung dengan kecepatan dan ketepatan yang luar biasa. Setiap serangan dan pertahanan dilakukan dengan sempurna, menunjukkan kemahiran mereka.
Pedang mereka beradu dengan suara dentingan yang tajam. Louis melakukan serangan balik yang cepat, mencoba mengalahkan pertahanan Griselda. Griselda, dengan pengalaman dan keterampilannya, mampu menghindari serangan itu dan merespons dengan serangan balik yang memaksa Louis untuk mundur sedikit.
Para pemuda yang sedang beristirahat terpesona oleh pemandangan itu. Mereka tidak pernah menyaksikan duel seindah dan secepat ini. Gerakan Griselda yang halus dan presisi serta kecepatan dan kekuatan Louis menciptakan pemandangan yang menginspirasi. Mereka saling bertukar serangan dan pertahanan dengan begitu luwes, seolah-olah mereka menari dalam simfoni pedang.
Salah satu pemuda berbisik, "Lihat bagaimana mereka bergerak! Aku berharap bisa berlatih seperti itu suatu hari nanti."
Yang lain menimpali, "Ini lebih dari sekadar latihan fisik. Mereka menunjukkan keahlian dan hubungan yang mendalam antara guru dan murid."
Louis, yang merasa adrenalinnya meningkat, mencoba manuver yang lebih kompleks. Dia melompat ke udara, mengayunkan pedangnya ke arah Griselda. Griselda dengan tenang mengantisipasi gerakan itu dan memblokirnya dengan mudah. Mereka terus bergerak dengan ritme yang semakin intens, menunjukkan kemampuan dan semangat mereka.
Setelah cukup lama beradu pedang, mereka berhenti sejenak untuk bernafas. Louis, dengan napas yang terengah-engah, tersenyum lebar. "Kau masih yang terbaik, Kak Griselda."
Griselda tertawa ringan. "Dan kau, Louis, semakin hebat setiap harinya. Aku bangga padamu."
Para pemuda yang menyaksikan memberikan tepuk tangan meriah. Mereka terinspirasi oleh kemampuan dan hubungan yang terlihat antara Louis dan Griselda. "Aku ingin berlatih lebih keras," kata salah satu dari mereka dengan semangat baru.
"Ya, kita harus meningkatkan latihan kita. Jika kita bisa belajar setengah dari apa yang mereka tunjukkan, kita akan menjadi lebih kuat," tambah yang lain.
Griselda memandang para pemuda itu dan tersenyum. "Latihan yang keras dan dedikasi adalah kuncinya. Teruslah berlatih dan jangan pernah menyerah."
Louis mengembalikan pedang yang dipinjamnya dan mengucapkan terima kasih. "Kalian semua juga sudah melakukan pekerjaan yang luar biasa. Teruslah berlatih dengan tekun."
Para pemuda itu mengangguk dengan penuh semangat. Mereka merasa termotivasi untuk terus berlatih dan mencapai tingkat keahlian yang mereka saksikan hari ini.
Setelah latihan usai, para pemuda berdiri tegak dan memberi hormat kepada Griselda dan Louis. "Terima kasih atas latihannya, Kak Griselda, Kak Louis!" seru mereka serentak dengan penuh semangat. Griselda dan Louis membalas hormat mereka dengan senyuman bangga.
"Kerja bagus, semuanya," kata Griselda. "Ingatlah, latihan keras akan membuahkan hasil. Jangan pernah menyerah."
Para pemuda mengangguk dengan semangat dan mulai membubarkan diri, kembali ke rumah masing-masing untuk melanjutkan kegiatan mereka. Louis dan Griselda melihat mereka pergi, senang melihat antusiasme dan dedikasi dalam diri para pemuda itu.
"Sepertinya mereka benar-benar terinspirasi," kata Louis sambil tersenyum.
"Ya, dan itu sebagian besar karena dirimu," jawab Griselda, menepuk bahu Louis. "Kau adalah contoh yang baik bagi mereka."
Mereka kemudian mulai berjalan pulang bersama. Langit sore memancarkan cahaya jingga keemasan, menciptakan pemandangan yang menenangkan di desa Gatewood. Louis merasa sangat beruntung memiliki kakak seperti Griselda dan kampung halaman yang begitu damai.
Bagian 3
Pagi itu, sinar matahari yang hangat menyinari padang rumput di dekat desa Gatewood. Louis dan Darius sedang berlatih sambil sesekali memeriksa senjata mereka. Louis melatih teknik berpedangnya, menciptakan gerakan-gerakan yang rumit dan cepat. Sedangkan Darius, ia terlihat berlatih menembakkan beberapa anak panah sekaligus, mengenai beberapa target di tempat berbeda.
Di kejauhan, Sylphia terlihat berjalan mendekati mereka, wajahnya tampak ceria namun juga sedikit tegang. Ia perlahan melangkah mendekati Louis dan Darius. "Louis! Darius! Kemarilah sebentar!" Katanya dengan nada agak keras, bermaksud supaya Louis dan Darius bisa mendengarnya.
Mendengar Sylphia seperti memanggil, mereka berdua pun mendekatinya. "Ada apa, Sylphia?" tanya Louis sambil mengelap keringat di dahinya.
"Aku ingin memberitahu kalian sesuatu," kata Sylphia, matanya nampak bersinar dengan tekad. "Aku akan bersekolah di akademi sihir di Phyridia. Jadi mungkin untuk sementara aku tak bisa menjalankan misi bersama kalian."
Louis dan Darius saling memandang sejenak sebelum merespons. "Itu terdengar hebat!" kata Louis dengan senyum lebar, kagum dengan tekad Sylphia. "Akademi sihir di Phyridia sangat terkenal. Kau pasti akan belajar banyak di sana."
Darius, meskipun tersenyum, ia tampak sedikit cemas. "Apakah kau yakin dengan keputusanmu ini, Sylphia? Perjalanan ke Phyridia sangat jauh, belum lagi biaya untuk kebutuhan selama perjalanan dan biaya hidup di sana. Apakah kau sudah memikirkan semua itu?"
Sylphia mengangguk, meyakinkan Darius. "Aku sudah memikirkannya dengan matang, Darius. Aku tahu ini akan sulit, tapi aku sudah menabung dari pekerjaan yang aku lakukan selama ini. Selain itu, aku juga bisa mengajukan keringanan biaya dengan kemampuanku saat ini. Ini adalah impianku, dan aku yakin ini adalah langkah yang benar."
Louis mendekat ke Sylphia, "Kami akan selalu mendukungmu, Sylphia. Kau adalah penyihir berbakat yang kami miliki."
Darius mengangguk. "Jika kau sudah yakin, maka aku juga mendukungmu. Kita akan selalu ada di sini untukmu, kapan pun kau membutuhkan bantuan."
Sylphia tersenyum lebar, merasa lega mendapatkan dukungan dari teman-temannya. "Terima kasih, Louis, Darius. Dukungan kalian berarti banyak bagiku. Aku akan memberikan yang terbaik di sana dan membuat semua orang bangga."
Setelah itu, karena hari masih cukup panjang, mereka memutuskan untuk berburu monster di hutan, barang kali mereka menemukan hal menarik. Mereka berencana mencari bahan untuk diberikan kepada warga desa yang memiliki keterampilan untuk mengelola bahan-bahan yang mereka berikan. Di perjalanan, mereka sempat bernostalgia.
Louis memandang sekitar, mengingat di saat ia dan Darius berburu di sekitar hutan itu. "Aku ingat, dua tahun lalu kita pernah berburu di sekitar sini, Darius. Saat itu kita hanya mencari tanaman obat dan berburu monster-monster kecil."
"Benar Louis, saat itu kita masih merasa tegang, khawatir jika sewaktu-waktu diserang monster mengerikan." Kata Darius sambil memandangi sekeliling. "Tapi sekarang kita tak lagi terlalu khawatir seperti dulu. Kita adalah salah satu petualang terbaik di Eldoria!" Lanjutnya. Louis tersenyum mendengar ucapan Darius. Sementara Sylphia mendengarkannya dengan senang.
Mereka berjalan memasuki hutan dengan langkah yang ringan. Kadang-kadang mereka berhenti sejenak untuk memeriksa jejak atau mendengarkan suara-suara yang berasal dari dalam hutan. Tidak lama kemudian, mereka menemukan jejak kaki besar yang mengarah ke sebuah area yang lebih terbuka.
"Ini terlihat seperti jejak ogre," kata Louis sambil menunjuk ke jejak besar di tanah. "Mari kita ikuti dan lihat apakah kita bisa menemukannya."
Dengan hati-hati, mereka mengikuti jejak tersebut, dan tidak lama kemudian menemukan sebuah clearing di tengah hutan. Di sana, mereka melihat sekelompok ogre yang sedang beristirahat di bawah pohon-pohon besar. Ogret-ogret ini tampaknya sedang makan dan tidak menyadari kehadiran mereka.
"Bagaimana kalau kita memulai dengan pendekatan yang hati-hati?" saran Darius. "Kita bisa menggunakan serangan kejutan untuk mengalahkan mereka sebelum mereka sempat bereaksi."
"Itu ide bagus. Sylphia, kau bisa menggunakan sihirmu untuk memulai serangan. Darius, aku dan kau akan mengikuti dengan serangan fisik." Kata Louis.
Sylphia pun mempersiapkan mantra api, menyiapkan sebuah bola api besar di tangannya. Dengan gerakan cepat dan tepat, dia melemparkan bola api ke arah kelompok ogre. Bola api meledak di tengah-tengah mereka, menciptakan kekacauan dan kerusakan yang cukup besar.
Ketika ogre-ogre itu mulai bergerak panik dan mencoba untuk melawan, Louis melompat ke medan pertempuran dengan pedangnya, sementara Darius dengan cepat menarik busurnya dan mulai menembakkan panah secara akurat ke arah ogre- ogre yang mencoba mendekati mereka.
Pertempuran berlangsung dengan cepat. Meskipun ogre- ogre itu cukup kuat, Louis, Darius, dan Sylphia menggunakan keahlian mereka dengan efektif. Sylphia memanfaatkan sihirnya untuk melemparkan berbagai mantra, mulai dari mantera es untuk membekukan gerakan ogre hingga mantra petir yang menyambar mereka. Darius terus memberikan dukungan dengan panah-panahnya, menargetkan titik-titik lemah pada tubuh ogre dengan presisi yang mematikan.
Ketika pertempuran akhirnya selesai, mereka berdiri di tengah tubuh ogre-ogre yang tergeletak di sekitar mereka. "Kerja bagus," puji Louis, menepuk bahu Darius dan Sylphia. "Kita bisa mengumpulkan bahan-bahan yang bisa kita ambil darinya dan membawanya pulang."
Mereka mulai mengumpulkan bahan-bahan dari ogre yang telah mereka kalahkan. Kulit dan kuku ogre yang kuat dan inti kristal akan sangat berharga bagi penduduk desa. Kulit dan kuku ogre bisa digunakan untuk membuat perisai dan armor yang tahan lama, sementara batu kristal di dalam tubuhnya dapat digunakan untuk ramuan sihir.
Sylphia memeriksa sisa ramuan sihirnya dan memastikan tidak ada yang terbuang. "Kita juga bisa mencari beberapa bahan tambahan di sekitar sini untuk ramuan sihirku. Beberapa tumbuhan dan herba yang ada di hutan ini mungkin berguna."
Setelah beberapa saat, mereka akhirnya selesai mengumpulkan bahan-bahan dan siap untuk kembali ke desa. Matahari mulai terbenam, menciptakan warna-warna keemasan di langit. Mereka berjalan pulang dengan beban penuh di punggung mereka, merasa puas dengan hasil berburu mereka hari itu.
Di perjalanan, Sylphia berkata kalau ia akan berangkat ke Phyridia dua hari lagi. Sedangkan besok ia akan mencari karavan untuk bisa menumpang. "Aku akan berangkat ke Phyridia dua hari lagi. Besok aku akan mencari karavan yang menuju ke sana untuk menumpang."
"Begitu ya." Kata Louis. "Kalau begitu kami akan membantumu mencari karavan. Aku kenal orang yang memiliki koneksi ke bebrbagai pengembara. Mungkin dia bisa membantu."
"Terima kasih, Louis." Jawab Sylphia.
Darius memandangi langit sore, kemudian ia berkata pada Sylphia. "Katakan saja apa yang kau perlukan, Sylphia. Tak perlu sungkan, kami pasti akan membantumu."
Sylphia tersenyum, merasa terharu dengan dukungan sahabatnya. "Terima kasih Darius, aku merasa beruntung memiliki sahabat seperti kalian…"
Louis tersenyum, "Baiklah, hari ini kita akhiri sampai memberikan bahan-bahan ini. Setelah itu mari kita pulang dan beristirahat. Terutama kau, Sylphia. Besok dan selanjutnya akan menjadi hari yang panjang bagimu."
Sylphia pun mengangguk, "baiklah, teman-teman." Mereka pun berjalan pulang sambil menikmati suasana sore disertai angin yang berhembus.
Setibanya di desa, mereka disambut dengan sapaan oleh beberapa penduduk. Mereka pun bergi ke tempat warga yang memiliki keterampilan dan memberikan bahab-bahan yang mereka bawa dari hutan. "Terima kasih banyak, Louis, Darius, dan Sylphia. Ini sangat membantu kami," kata salah seorang penduduk desa.
Bagian 4
Keesokan harinya, Louis, Darius, dan Sylphia bertemu di persimpangan desa. Cahaya matahari pagi menyinari mereka, memberikan suasana segar di desa Gatewood yang masih tenang. Louis mengajak mereka mengikutinya. "Ayo, ikuti aku," kata Louis sambil melangkah menuju sebuah rumah yang agak terpisah dari rumah-rumah lainnya di desa itu.
Mereka bertiga berjalan melewati jalanan desa yang masih lengang. Sesekali mereka menyapa penduduk desa yang sudah mulai beraktivitas pagi itu. Setelah beberapa saat berjalan, mereka tiba di sebuah rumah besar dengan halaman luas yang dipenuhi dengan berbagai peralatan perjalanan, mulai dari kereta kuda hingga berbagai jenis perlengkapan berkemah. Rumah itu milik Sir Gerald, seorang pria yang dikenal memiliki banyak koneksi dengan para pengembara dan pedagang dari berbagai wilayah.
Setelah sampai di sana, Louis mengetuk pintu rumah Sir Gerald dan mengucapkan permisi. Tak lama kemudian, seorang pria berusia sekitar lima puluh tahun dengan rambut kelabu dan wajah yang ramah membuka pintu. "Ah, Louis! Senang sekali melihatmu. Masuklah, masuklah," kata Sir Gerald dengan suara yang hangat.
Mereka bertiga masuk ke dalam rumah yang terasa hangat dan nyaman. Di dalam, mereka disambut dengan aroma teh herbal yang menyegarkan. Sir Gerald mempersilakan mereka duduk di ruang tamu yang luas, dihiasi dengan berbagai peta dan barang-barang unik dari berbagai penjuru dunia.
Louis langsung menuju pokok pembicaraan. "Sir Gerald, kami membutuhkan bantuanmu. Kami sedang mencari karavan yang akan menuju Phyridia besok. Apakah kau tahu ada yang bisa membantu kami?"
Sir Gerald mengangguk sambil berpikir sejenak. "Tunggu di sini sebentar. Aku akan ke samping rumah dan menanyakan kepada para pengembara yang sedang memperbaiki karavan mereka. Mungkin mereka tahu sesuatu."
Louis, Darius, dan Sylphia menunggu dengan sabar di ruang tamu. Mereka menikmati secangkir teh herbal yang disajikan oleh pelayan rumah Sir Gerald. Louis terlihat sedikit gelisah, berharap mereka bisa mendapatkan informasi yang mereka butuhkan untuk perjalanan Sylphia ke Phyridia.
Sementara itu, di samping rumah, Sir Gerald mendekati beberapa pengembara yang sedang sibuk mengemasi barang-barang mereka dan memberi makan kuda. Terlihat beberapa karavan besar berdiri di halaman, siap untuk perjalanan jauh. Sir Gerald menyapa mereka dengan senyum ramah. "Selamat pagi, teman-teman. Aku ingin menanyakan sesuatu. Apakah ada di antara kalian yang tahu apakah ada karavan yang akan menuju Phyridia besok?"
Salah satu pengembara, seorang pria berbadan besar dengan janggut lebat, mengangkat tangannya, seperti ingin memberitahu sesuatu, "Aku dengar ada karavan dari desa sebelah yang akan menuju Phyridia besok pagi. Mereka biasanya lewat di sini untuk mengumpulkan beberapa barang tambahan dan mengisi bekal sebelum melanjutkan perjalanan."
Sir Gerald tersenyum puas. "Terima kasih atas informasinya. Ini akan sangat membantu temanku." Setelah mendapatkan informasi yang dibutuhkan, Sir Gerald kembali ke ruang tamu dan menyampaikan kabar baik kepada Louis, Darius, dan Sylphia.
"Aku punya kabar baik. Ada karavan dari desa sebelah yang akan menuju Phyridia besok pagi. Mereka biasanya lewat di sini untuk mengisi bekal. Kalian bisa bertemu dengan mereka dan mengatur perjalanan bersama mereka."
Wajah Louis berseri-seri mendengar kabar itu. "Terima kasih banyak, Sir Gerald. Ini sangat membantu kami."
Sylphia juga terlihat lega. "Terima kasih, Sir Gerald. Saya benar-benar terbantu berkat informasi dari anda."
Sir Gerald tersenyum hangat. "Tidak masalah. Selalu senang bisa membantu. Pastikan kalian siap dengan semua perlengkapan dan bekal yang dibutuhkan. Perjalanan ke Phyridia cukup jauh, dan kalian harus mempersiapkan diri dengan baik."
Setelah itu, mereka sempat mengobrol mengenai cerita mereka. Sir Gerald menanyakan berjalanan mereka sebagai petualang di Eldoria Louis pun menceritakan semua yang mereka alami, mulai dari berburu monster, mencari tanaman obat, menyelamatkan seseorang, menahan gelombang serangan monster, hingga yang terakhir ikut melakukan perburuan bandit. Mereka saling berbagi cerita hingga tak terasa hari mulai sore.
Setelah berbicara tentang pengalaman dan rencana perjalanan mereka, Louis, Darius, dan Sylphia mengucapkan terima kasih kepada Sir Gerald dan meninggalkan rumahnya dengan hati yang lebih tenang. Mereka tahu bahwa besok adalah hari yang penting, dan mereka harus mempersiapkan segala sesuatunya dengan baik untuk memastikan perjalanan Sylphia berjalan lancar. Mereka pun kembali ke desa untuk mempersiapkan segala sesuatu yang mereka butuhkan untuk perjalanan ke Phyridia.
Setelah mendapatkan kabar baik dari Sir Gerald, Louis, Darius, dan Sylphia pulang ke rumah masing-masing, berpisah di persimpangan jalan utama desa. Senja sudah mulai merayap, namun hati mereka terasa hangat dengan harapan dan rencana yang akan datang. Sylphia berjalan pulang dengan langkah ringan, senyumnya tersungging lega. Setelah ini, ia akan langsung melakukan persiapan dan mengemasi barang-barangnya.
Sesampainya di rumah, Sylphia melihat ibunya sedang menyirami tanaman di kebun kecil mereka. "Ibu," panggil Sylphia. Ia kemudian berjalan mendekati ibunya, "Aku akan berangkat ke Phyridia besok."
Ibunya menoleh, senyumnya terhenti sejenak digantikan oleh raut khawatir yang segera ia sembunyikan dengan kehangatan seorang ibu. " Kau yakin sudah siap?" tanyanya dengan lembut.
Sylphia mengangguk tegas. "Aku sudah memikirkannya dengan baik, bu. Akademi sihir di Phyridia adalah tempat terbaik untukku belajar dan berkembang. Aku bisa membayar biaya pendidikanku sendiri, dan dengan kemampuanku sekarang, aku yakin bisa mengajukan keringanan biaya."
Ibunya menarik napas dalam, lalu menghela dengan lembut. "Jika itu yang kau inginkan, ibu akan mendukungmu. Kau tahu itu. Hanya saja, kau harus berhati-hati dan menjaga diri baik-baik, Sylphia."
Sylphia tersenyum, meraih tangan ibunya dan menggenggamnya erat. "Terima kasih, Bu. Aku akan berhati-hati."
Setelah berbincang sejenak dengan ibunya, Sylphia masuk ke dalam rumah dan mulai mengemasi barang-barangnya. Ia mengumpulkan buku-buku sihir, ramuan-ramuan yang sudah ia buat, serta pakaian yang akan ia butuhkan. Saat ia sedang sibuk menata barang-barang di kamarnya, Alice kebetulan lewat dan melihat pintu kamar Sylphia yang terbuka. Dengan rasa ingin tahu, Alice menghampiri.
"Kau sudah akan berangkat, Sylphia?" tanya Alice, sambil bersandar di ambang pintu.
Sylphia menoleh dan tersenyum melihat kakaknya. "Ya, Alice. Aku berangkat besok pagi. Aku sangat bersemangat."
Alice masuk ke dalam kamar dan duduk di tepi tempat tidur. "Aku sedikit khawatir denganmu," katanya pelan. "Phyridia cukup jauh, dan perjalanan bisa berbahaya. Tapi aku yakin kau kuat dan bisa menjaga diri."
Sylphia merasa terharu dengan kekhawatiran kakaknya. "Terima kasih, Alice. Aku akan menjaga diri. Jangan khawatir."
Alice tersenyum, menatap adiknya dengan bangga. "Aku tahu kau bisa. Kau selalu berusaha keras dan tidak pernah menyerah. Itu yang membuatmu luar biasa."
Mereka berbicara tentang banyak hal, mengenang masa kecil mereka dan menceritakan mimpi-mimpi masa depan. Alice membantu Sylphia memilih barang-barang yang perlu dibawa dan menyusun semuanya dengan rapi. Mereka tertawa bersama, merasa semakin dekat dalam momen-momen itu.
Bagian 5
Keesokan harinya, mentari baru saja terbit, memancarkan cahaya lembut ke seluruh desa Gatewood. Sylphia, mengenakan jubah sihirnya yang sudah rapi, berdiri di tepi jalan utama desa. Angin pagi membawa kesegaran, namun ada sedikit kecemasan dan kegembiraan yang menyelimuti hatinya. Di sekelilingnya, orang-orang yang sangat ia cintai berkumpul untuk mengucapkan selamat tinggal dan memberikan dukungan.
Orang tua Sylphia, Alice, Louis, Darius, Griselda, dan beberapa warga desa termasuk Sir Gerald, dan kepala desa, berdiri di sana. Mereka berbincang dan tertawa, berusaha membuat suasana lebih ringan. Sir Gerald, dengan pengetahuannya yang luas tentang pengembaraan, berbicara dengan Sylphia mengenai perjalanan yang akan datang.
"Sylphia," kata Sir Gerald dengan suara tenang namun tegas, "perjalanan ini akan penuh tantangan, tapi aku yakin kau siap menghadapinya. Jangan ragu untuk meminta bantuan jika kau membutuhkannya, dan selalu ingat pelajaran yang kau dapat di sini."
Sylphia mengangguk, senyumnya penuh rasa terima kasih. "Terima kasih, Sir Gerald. Aku akan mengingat semua nasihatmu."
Orang tua Sylphia mendekat, wajah mereka penuh harapan dan kecemasan. Ibunya, dengan mata yang sedikit berkaca-kaca, meraih tangan Sylphia. "Anakku, jaga dirimu baik-baik. Belajarlah dengan giat, dan ingat selalu bahwa kami bangga padamu."
Ayahnya menepuk pundaknya dengan lembut. "Kau adalah kebanggaan kami, Sylphia. Tetaplah kuat dan jangan pernah menyerah."
Sylphia memeluk kedua orang tuanya erat-erat, merasakan kehangatan cinta mereka. "Terima kasih, Ibu, Ayah. Aku akan berusaha sebaik mungkin dan selalu mengingat pesan kalian."
Louis dan Darius, yang telah menjadi sahabat sejatinya dalam petualangan, memberikan dukungan mereka dengan cara yang khas. Louis tersenyum lebar dan mengacungkan jempol. "Kau pasti bisa, Sylphia! Kami akan selalu mendukungmu dari sini."
Darius, dengan tatapan penuh keyakinan, berkata, "Jika ada yang membutuhkan bantuan, kirim pesan padaku. Kita adalah tim, dan tim selalu saling mendukung."
Alice, yang merasa sedikit emosional, memeluk Sylphia erat-erat. "Jangan khawatirkan kami di sini. Fokuslah pada tujuanmu dan raihlah semua yang kau impikan."
Griselda memberikan nasihat terakhir sebelum kepergian Sylphia. "Jangan pernah menyerah, Sylphia. Ingat, kekuatan sebenarnya datang dari dalam dirimu. Berpegang teguhlah pada prinsip-prinsip yang kau yakini, dan kau akan menemukan jalanmu."
Sylphia merasa hatinya penuh dengan cinta dan dukungan. Ia mengangguk pada Griselda, merasa lebih kuat dan siap menghadapi apapun yang ada di depannya. "Terima kasih, Griselda. Aku tidak akan mengecewakan kalian."
Sir Neils selaku kepala desa memberikan nasihat pada Sylphia sebelum kepergiannya. "Sylphia, kau adalah kebanggaan kami semua. Setinggi apapun pencapaianmu, jangan pernah lupakan kami dan desa ini. Dan juga, berhati-hatilah dalam perjalanan, jaga dirimu baik-baik. Kami semua senantiasa akan selalu menunggu kepulanganmu."
"Tentu, pak kepala desa. Bagaimana pun desa Gatewood adalah tempatku untuk pulang. Jangan terlalu mengkhawatirkanku. Aku akan menjaga diri baik-baik dan segera kembali. Kata-kata Sylphia membuat Sir Neils bangga padanya.
Setelah beberapa saat berbincang dan mengucapkan salam perpisahan, rombongan karavan yang ditunggu-tunggu akhirnya tiba. Kereta-kereta besar, ditarik oleh kuda-kuda kuat, berhenti di depan mereka. Sir Gerald memberikan tanda berhenti pada karavan itu dan berbicara dengan pemimpin rombongan, memastikan semuanya telah diatur untuk keberangkatan Sylphia.
Sylphia melihatnya dengan senyum haru di wajahnya. Karavan itu terdiri dari beberapa kereta yang ditarik oleh kuda-kuda perkasa, dikawal oleh sekelompok regu petualang… Sir Gerald memberi isyarat berhenti, menandakan bahwa akan ada yang ikut dengan mereka.
Sylphia dengan cepat dibantu oleh Louis dan Darius untuk menaikkan barang-barangnya ke dalam salah satu kereta. Barang-barangnya yang terdiri dari buku-buku, ramuan-ramuan sihir, dan barang pribadi lainnya disusun rapi di dalam kereta. Ia merapikan pakaian dan perlengkapannya dengan penuh harap dan semangat untuk perjalanan yang akan datang.
Setelah selesai menata barang, Sylphia berjalan mendekati orang tuanya yang sedang menunggu dengan penuh cemas dan haru. Ia memeluk ibunya erat, mencium pipinya yang hangat. Ibunya memandanginya dengan mata berkaca-kaca, memberikan pesan-pesan terakhir agar Sylphia menjaga diri dan memanfaatkan kesempatan ini dengan baik di Akademi Sihir Phyridia. Ayahnya memberi sentuhan di pundaknya dengan bangga, memberikan semangat bahwa mereka selalu bersamanya dalam doa dan dukungan.
Sylphia kemudian berpaling ke arah Alice, Louis, Darius, Griselda, Sir Gerald, dan kepala desa serta penduduk desa yang ikut berkumpul di sana. Mereka semua memberikan sorot mata penuh harapan dan semangat. Louis dan Darius memberikan janji untuk selalu mendukungnya dari jauh, siap membantu jika diperlukan.
Setelah itu, Sylphia naik ke salah satu karavan di belakang. Karavan itu pun mulai bergerak perlahan-lahan, meninggalkan desa Gatewood yang dikenalnya selama ini. Sylphia berada di dalam kereta, tetapi ia tetap membalas lambaian tangan dari orang-orang desa yang berada di tepi jalan. Mereka saling melambaikan tangan dengan penuh haru dan cinta, hingga akhirnya Sylphia dan desa Gatewood benar-benar tidak terlihat lagi di balik tikungan jalan.
Sylphia duduk di dalam kereta dengan perasaan campuran antara haru, rasa keberanian, dan semangat baru yang menyala-nyala. Ia memandang keluar, menatap langit biru yang cerah dan pemandangan hijau yang berlalu dengan cepat. Dalam hatinya, ia merasa siap untuk menghadapi petualangan baru dan mengejar mimpinya di Akademi Sihir Phyridia.